Wednesday, March 14, 2012

Sinopsis Novel "Bumi Manusia" Karya Pramodya Ananta Toer

Bumi Manusia (BM) membuka buku pertama dari rangkaian 4 cerita lain, berkisah tentang tokoh utama bernama Minke. Seorang pemuda berdarah keturunan bangsawan Jawa, hidup dan dibesarkan dalam tradisi aristokrasi. Namun, segala bentuk kemudahan maupun fasilitas melingkupi diri priyayi Jawa dan disokong pemerintah kolonial Hindia Belanda tak membuatnya silau. Minke justru menjaga jarak dan kritis terhadap atmosfir kehidupan orang-orang berdarah biru.

Anak priyayi bersosok nasionalis itu tersadar setelah dengan mata hati merasakan pelik kehidupan bangsa jajahan. Terutama soal cengkeraman pikiran feodalistik ternyata masih mengakar kuat. Laku feodal itu bertemu dengan semangat kolonial Hindia Belanda. Jadilah kembar siam mengoyak-moyak kehidupan pribumi terperintah. Nama dan panggilan "Minke" pun berasal dari sentimen rasialis untuk memisahkan golongan Belanda totok, peranakan, dan pribumi. "Minke" plesetan dari pengucapan "Monkey" (bhs Inggris; monyet). Pengucapan bernada rasialis itu bak gayung bersambut. Dalam tataran berbahasa Jawa, dikenal hierarki komunikasi antarmanusia seperti;
bahasa krama inggil, krama madya, dan ngoko. Krama inggil diucapkan seseorang berderajat sosial lebih rendah kepada lawan bicara yang berstatus sosial lebih tinggi. Sedangkan lawan bicara berderajat sosial tinggi cukup membalas dengan bahasa Jawa ngoko. Untuk penyebutan "kamu", bahasa Jawa ngoko-nya "kowe" yang berarti "anak monyet". Monkey, kowe, dan monyet setidaknya menjadi simbol pemisah antara golongan bangsa Barat, priyayi, dan rakyat jelata.

Salah satu upaya keluar dari jebakan kolonialisasi adalah melalui pendidikan dan pergaulan antarbangsa di
Hogere Burger School (HBS). Dia begitu kagum pada guru bahasa dan sastra Belanda, Magda Peters, perempuan itu penganut aliran etis serta sering mengajarkan hakekat kebebasan manusia melalui karya sastra. BM juga diwarnai oleh bumbu kisah percintaan Minke. Tokoh ini bertumbuh menjadi lelaki dewasa setelah memadu kasih dengan Annelies Mellema. Gadis indo terlahir dari rahim seorang nyai bernama Ontosoroh alias Sanikem yang 'dijual' oleh bapaknya kepada pembesar pabrik gula Tulangan, Sidoarjo bernama Herman Mellema. Kehadiran Minke di tengah-tengah keluarga Mellema tak disukai Robert, kakak Annelies. Pemuda peranakan Jawa-Belanda itu menunjukkan sikap antipati terhadap segala sesuatu berbau pribumi.

Rumah Sanikem-Herman Mellema yang dijuluki
Boerderij Buitenzorg, sebenarnya hanya bagian dari simbol kolonialisasi. Boerderij (istana) Buitenzorg (bebas masalah atau kesulitan) tak terletak di wilayah Wonokromo, Surabaya, Jawa Timur. Nama itu lebih mengacu pada bangunan megah di pusat kota Bogor, Jawa Barat, sekarang lebih dikenal dengan sebutan Istana Bogor. Kondisi sosio-kultur masyarakat Jawa pada abad 19 masih erat menggenggam watak feodal, hingga berakibat timbul sinisme terhadap sosok nyai-nyai, seperti Sanikem. Alih-alih masyarakat sudi melihat isi dan proses hidup sang nyai menghadapi perilaku keluarga (suami dan anak laki-laki) sebagai representasi "negara", sinisme masyarakat justru meletakkan posisi Ontosoroh pada sang liyan -- dianggap menolak mainstream yang wajib dipersulit dengan hukum positif-formal versi kolonial.

Kendati Minke sebagai terpelajar telah berusaha sekuat mungkin menghindari dan melawan sikap pemisahan (segregasi) ras, namun lingkungan sosial tak pernah beranjak ke arah tatanan masyarakat yang lebih humanis.  Terbukti, hukum positif-formal perkawinan versi kolonial menolak perkawinan Minke-Annelies yang dilakukan secara Islam. Sistem pendidikan Eropa di luar kota kelahiran Minke, memang mengakibatkan putusnya kelangsungan tradisi sebuah keluarga dalam kehidupannya. Tetapi itu tidak membuat Minke sepenuhnya memiliki identitas alternatif. Setinggi apapun ia terangkat oleh pendidikannya, ia tetap seorang pribumi, tetap warga negara kelas dua. Perkawinan Minke-Annelies dalam hukum Islam tidak mampu melawan rasialisme antipribumi. Sikap masyarakat kolonial yang rasialis merupakan wujud peminggiran kedaulatan pribumi.


Hal senada dibuktikan ketika Nyai Ontosoroh dan Annelies dipanggil pihak pengadilan yang melanjutkan gugatan tentang hak waris dan pemeliharaan anak dari pengadilan di Amsterdam. Berkas-berkas itu ditandatangani Amelia Mellema-Hammers dan dikuasakan kepada anaknya Ir. Maurits Mellema, anak syah (versi hukum perkawinan kolonial Belanda) dengan Herman Mellema. Ontosoroh kalah dalam proses peradilan. Dia wajib memberikan semua harta benda kepada Maurits Mellema. Ontosoroh memang dinikahi Herman Mellema yang memiliki pabrik pengolahan susu sapi. Namun harta benda di pabrik itu sebenarnya adalah hasil jerih payah Ontosoroh dan Annelies. Herman dan Robert Mellema tak banyak ikut campur. Bapak-anak itu terjebak di rumah pelacuran milik Babah Ah Tjong. Dan setiap saat Ontosoroh ditagih Ah Tjong untuk membayar "peluh" yang ditumpahkan kedua lelaki itu.


BM
seolah menjadi cermin tentang sikap masyarakat dan negara terhadap hukum perkawinan maupun hukum waris seperti saat ini. Tapi bukan lagi vis a vis kolonial Belanda versus pribumi, tapi pribumi melawan bangsanya sendiri. Rupanya, negara telah ikut campur dalam urusan perkawinan maupun hak waris. Bukan lagi dalam term antiras pribumi nusantara, tapi lebih pada upaya politisasi legal formal perkawinan dan hak waris.

------------------------------------------------------------------------------------
Sumber:  http://tetralogi.multiply.com

No comments:

Post a Comment