Wednesday, March 14, 2012

Resensi Novel "Rumah Kaca" Karya Pramodya Ananta Toer

Dalam pengasingannya di Pulau Buru, Pramoedya Ananta-Toer menulis roman empat jilid atau tetralogi. Masing-masing berjudul Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Tetralogi ini mengambil latar belakang masa awal munculnya organisasi-organisai modern di Indonesia, tepatnya masa tahun 1898-1918.

Tiga buku pertama tetralogi ini menjadikan Minke sebagai tokoh utama. Minke adalah representasi tokoh pers pada masa awal kebangkitan nasional, yaitu R. M. Tirto Adi Suryo. Ketiga buku pertama ini mengisahkan sepak terjang Minke dalam perjuangannya melawan kolonialisme melalui media cetak dan pergerakan nasional.

Pada buku keempat, yaitu Rumah Kaca, terjadi perubahan tokoh utama dari Minke ke Pangemanann. Tokoh Pangemanann ini baru muncul pada bagian akhir buku ketiga. Ia adalah 'musuh besar' Minke.

Buku keempat ini, secara garis besar, berkisah tentang usaha Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda dalam memonitor gerakan rakyat Indonesia. Pangemanann sendiri adalah seorang Indonesia yang bekeerja untuk Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda.


Siapa Pangemanann?
Jacques Pangemanann adalah seorang Menado yang diangkat anak oleh seorang apoteker berkebangsaan Perancis. Ia sempat kuliah di Sorbone selama dua tahun, dan kemudian menempuh Pendidikan Kepolisian. Ia datang ke Indonesia dengan pangkat Inspektur Polisi Tingkat-I, sebuah pangkat tertinggi untuk seorang pribumi. Oleh karena prestasi kerjanya, pangkatnya cepat meningkat menjadi Komisaris. Setelah beberapa tahun bekerja di lapangan, ia dipindahtugaskan untuk bekerja 'di belakang meja', di Kantor Algemeene Secretarie. Ia bertugas mengawasi dan mengendalikan organisasi-organisasi pribumi yang bermunculan saat itu. Tugas inilah yang membawanya kepada pertemuan dengan Minke, tokoh utama dalam tiga buku sebelumnya. Buku keempat ini dipenuhi oleh pergulatan Pangemanann dalam urusannya dengan Minke.

Pergulatan dan Kejatuhan Pangemanann
Pergulatan Pangemanann dimulai ketika ia menjabat sebagai Ajung Komisaris. Ia sendiri menyadari bahwa ia "makin jauh dari jalan yang dikehendaki oleh Tuhan" (hlm. 74). Pergulatan makin hebat dialaminya ketika ia harus berurusan dengan Minke. Di satu sisi, ia bekerja dan menjadi hamba Gubermen demi nafkah dan kesenangan-kesenangan hidup. Di sisi lain, ia harus mengendalikan kegiatan Minke, yang diakuinya sebagai seorang yang sangat dihormatinya.

"Nuraniku tergoncang. Apa yang harus kulakukan terhadap dia? Dia bukan penjahat, bukan pemberontak...Dia hanya terlalu mencintai bangsa tanah airnya Hindia..." (hlm. 7). Itulah gambaran awal pergulatan batinnya. Pergulatan batin itu terus menerus terjadi dan mewarnai seluruh buku ini. Dua kekuatan yang tarik-menarik, antara melaksanakan tugas dan menuruti nurani, terus menyertai kisah hidup Pangemanann.

Pangemanann senantiasa sadar akan dua kekuatan itu. Namun ternyata, tetap harus ada satu kekuatan yang menang atas kekuatan lain. Sayangnya, Pangemanann lebih memilih untuk melawan nuraninya. Ia lebih mementingkan pekerjaan dan nama baiknya daripada hal-hal yang lain, bahkan termasuk keluarganya. "Madame Pangemanann pergi, aku pun tak merasa kehilangan. Anak-anak pergi, aku pun tak merasa kehilangan. Mengapa aku akan merasa kehilangan kalau jabatanku punah dan kehormatanku di depan umum rusak?" (hlm. 368). "Demi karierku, Minke, pimpinan Redaksi Medan harus disingkirkan. Dan demi nama baikku pula Suurhof juga harus dipunahkan." (hlm. 39).

Demikianlah akhirnya Pangemanann memutuskan pilihannya. Dia pun harus menanggung penyesalan dan gugatan nurani sepanjang sisa hidupnya.

Sebuah Persoalan yang Masih Relevan
Setiap pembaca pasti akan merasa dan dan menemukan aroma pergulatan batin dalam seluruh isi buku ini. Bahkan, pembaca dapat terbawa masuk dalam pribadi tokoh utama, yaitu Pangemanann. Pergulatan batin Pangemanann adalah pergulatan manusia pada umumnya, dari zaman mana pun. Pergulatan anatara menuruti atau melawan nurani senantiasa mewarnai perjalanan hidup manusia.

Pramoedya dengan bahasa yang indah dan melalui sebuah fiksi sejarah, sungguh mengajak setiap pembaca untuk merenung, merefleksikan hidupnya, dan menghakimi diri sendiri. Sebuah karya sastra yang sayang untuk dilewatkan.

---------------------------------------------------------------------------
Sumber: http://resensibukufpkm.multiply.com

No comments:

Post a Comment