Dalam novel ini dikishkan tokoh-tokoh yang hidup di desa kecil Karangsoga, yang
kebanyakan penduduknya bekerja sebagai penderes nira kelapa untuk dibuat
gula merah. Karena nafkah utama berasal dari penderesan nira dan
pembuatan gula kelapa saja, maka mayoritas penduduknya hidup dalam
kemiskinan.
Pasangan Darsa dan Lasi (Lasiyah) menjadi tokoh utama dalam
novel ini. Darsa yang penderes, beristerikan Lasi yang cantik dan
berkulit putih, yang mempunyai nilai fisik di atas rata-rata
isteri-isteri para penyadap lain.
Ternyata Lasi merupakan keturunan campuran antara mbok Wiryaji dengan seorang tentara Jepang yang setelah pernikahannya, tidak pernah kembali ke desa dan hilang tidak tentu rimbanya – kabarnya ditahan Belanda.
Kemiskinan penduduk digambarkan dengan sangat menyentuh oleh Tohari. Pemahaman kondisi sosial masyarakat miskin, yang erat kaitannya dengan struktur perdagangan gula yang tidak pernah adil, digambarkan dengan sangat rinci. Kekuatan lain dari novel-novelnya adalah pemaparan yang sangat artikulatif tentang alam pedesaan.
Ternyata Lasi merupakan keturunan campuran antara mbok Wiryaji dengan seorang tentara Jepang yang setelah pernikahannya, tidak pernah kembali ke desa dan hilang tidak tentu rimbanya – kabarnya ditahan Belanda.
Kemiskinan penduduk digambarkan dengan sangat menyentuh oleh Tohari. Pemahaman kondisi sosial masyarakat miskin, yang erat kaitannya dengan struktur perdagangan gula yang tidak pernah adil, digambarkan dengan sangat rinci. Kekuatan lain dari novel-novelnya adalah pemaparan yang sangat artikulatif tentang alam pedesaan.
Pembaca seolah dibawa ke alam
pedesaan hingga dapat merasakan angin sejuk pagi hari yang semilir,
menyaksikan burung jalak yang memberi makan anak-anaknya,
kelentang-kelentung bunyi pongkor (bambu untuk menadah getah nira),
ataupun gemericik sungai Kalirong yang jernih yang airnya mengalir lewat
batu-batu berlumut.
Pemahaman
tentang masalah sumberdaya alam juga sangat dalam, misalnya tentang
perusakan hutan tutupan oleh penduduk setempat karena faktor kemiskinan
mereka. Tidak ada alternatif untuk memperoleh keuntungan sedikit lebih,
dengan ‘mencuri’ kayu sebagai bahan bakar membuat tengguli, bahan gula
merah.
Musibah yang sering terjadi di kalangan para penderes nira adalah jatuh dari pohon kelapa. Demikian juga nasib Darsa. Karena jatuh, yang dalam kebiasaan masyarakat disebut sebagai “kodok melompat” (pantang untuk menyebut jatuh dari pohon kelapa – sebagai pengingkaran rasa takut komunal), Darsa sempat menderita kelainan di sekitar alat reproduksinya, lemah pucuk.
Dia pun, karena miskin, hanya dirawat oleh seorang dukun bayi, Bunek. Lasi dengan setia tetap menemani suaminya meski dalam kondisi lemah dan selalu ngompol. Lama kelamaan, karena pengobatan intensif yang dilakukan Bunek terutama pada sekitar selangkangan Darsa, diapun bisa pulih kembali.
Musibah yang sering terjadi di kalangan para penderes nira adalah jatuh dari pohon kelapa. Demikian juga nasib Darsa. Karena jatuh, yang dalam kebiasaan masyarakat disebut sebagai “kodok melompat” (pantang untuk menyebut jatuh dari pohon kelapa – sebagai pengingkaran rasa takut komunal), Darsa sempat menderita kelainan di sekitar alat reproduksinya, lemah pucuk.
Dia pun, karena miskin, hanya dirawat oleh seorang dukun bayi, Bunek. Lasi dengan setia tetap menemani suaminya meski dalam kondisi lemah dan selalu ngompol. Lama kelamaan, karena pengobatan intensif yang dilakukan Bunek terutama pada sekitar selangkangan Darsa, diapun bisa pulih kembali.
Pada
malam “kebangkitan kembali” si Darsa, Bunek minta agar dicobakan pada
Sipah, perawan tua anak Bunek sendiri. Meski mengalami kebimbangan luar
biasa karena pergulatan seru antara nilai-nilai kesetiaan, norma sosial,
nafsu berahi, serta utang budi, akhirnya (dalam keputusan yang lebih
banyak impulsif) Darsapun memenuhi permintaan Bunek. Sipah pada akhirnya
minta untuk dikawin. Pengkhianatan Darsa membuat jagat kecil Lasi
bergoncang dengan hebat. Dia lalu nekat minggat dari desanya dengan
menumpang truk pengangkut gula, menuju Jakarta.
Cerita lalu banyak membedah batin Lasi. Sebagai perempuan desa yang cantik yang telah terbiasa hidup dengan segala kemiskinannya selama dua puluh empat tahun, secara tiba-tiba dihadapkan dengan norma-norma kehidupan kota besar yang amat sangat asing baginya.
Dia yang ditampung sementara oleh ibu Koneng, pengelola warung tempat para sopir truk mampir yang juga menjadi tempat berpangkalnya para perempuan “pacar” para sopir truk, menyaksikan nilai-nilai sosial yang teramat sulit dipahami oleh seorang perempuan desa yang sederhana dengan tingkat pendidikan yang rendah. Misalnya, keintiman lelaki dan perempuan yang selama ini dipahami sebagai perilaku yang didasari oleh percikan jiwa dan cinta, di warung itu bisa terjadi dengan begitu gampang, oleh siapa saja, dengan dasar beberapa lembar uang kertas.
Singkat cerita, Lasi, yang mempunyai kelebihan bentuk tubuh dan wajah yang indah, menjadi “barang dagangan baru” yang langka dan sangat berharga bagi ibu Koneng, yang lalu diserahkan ke Ibu Lanting, mucikari tingkat tinggi yang melayani para pejabat, dengan imbalan sebentuk cincin berlian.
Cerita lalu banyak membedah batin Lasi. Sebagai perempuan desa yang cantik yang telah terbiasa hidup dengan segala kemiskinannya selama dua puluh empat tahun, secara tiba-tiba dihadapkan dengan norma-norma kehidupan kota besar yang amat sangat asing baginya.
Dia yang ditampung sementara oleh ibu Koneng, pengelola warung tempat para sopir truk mampir yang juga menjadi tempat berpangkalnya para perempuan “pacar” para sopir truk, menyaksikan nilai-nilai sosial yang teramat sulit dipahami oleh seorang perempuan desa yang sederhana dengan tingkat pendidikan yang rendah. Misalnya, keintiman lelaki dan perempuan yang selama ini dipahami sebagai perilaku yang didasari oleh percikan jiwa dan cinta, di warung itu bisa terjadi dengan begitu gampang, oleh siapa saja, dengan dasar beberapa lembar uang kertas.
Singkat cerita, Lasi, yang mempunyai kelebihan bentuk tubuh dan wajah yang indah, menjadi “barang dagangan baru” yang langka dan sangat berharga bagi ibu Koneng, yang lalu diserahkan ke Ibu Lanting, mucikari tingkat tinggi yang melayani para pejabat, dengan imbalan sebentuk cincin berlian.
Para
pejabat pemerintah saat itu diceritakan mempunyai kebiasaan mencari
“pacar” atau isteri kesekian yang mempunyai wajah mirip orang Jepang.
Ini akibat dari perilaku latah birokrat karena Pemimpin Besar-nya
memasukkan seorang geisha ke istana dan akhirnya menjadi ibu negara.
Klop sudah, dengan Lasi. Dia yang mempunyai wajah seorang perempuan
Jepang, menjadi incaran para pejabat. Diapun lalu ditukar dengan sebuah
mobil Mercedes dan beberapa puluh juta rupiah oleh ibu Lanting kepada
Pak Handarbeni, seorang overste purnawira yang menjadi pejabat, berumur
hampir enampuluh lima tahun, gemuk, dan sudah mempunyai dua isteri.
Lasi-pun menjadi seekor bekisar yang menjadi pajangan di rumahnya yang
baru dan mewah di Slipi. Bekisar adalah peranakan ayam hutan dan ayam
kampung yang mempunyai keindahan bentuk, bulu, dan kokoknya. Biasanya
jenis ayam ini untuk hiasan dalam kandang indah oleh para orang kaya.
Lasi, yang akhirnya dikawini Pak Handarbeni (perkawinan main-main menurut istilah Lasi), menikmati segala kemewahan materi yang tidak pernah terbayangkan oleh bekas seorang isteri penderes nira dari desa Karangsoga. Namun di balik segala kemewahan materi, penderitaan batin Lasipun amat berat.
Lasi, yang akhirnya dikawini Pak Handarbeni (perkawinan main-main menurut istilah Lasi), menikmati segala kemewahan materi yang tidak pernah terbayangkan oleh bekas seorang isteri penderes nira dari desa Karangsoga. Namun di balik segala kemewahan materi, penderitaan batin Lasipun amat berat.
Dia merindukan desanya, emaknya, dan Kanjat, teman
sepermainannya waktu sekolah yang sekarang sudah menjadi mahasiswa dan
hampir lulus. Pertemuan-pertemuan dengan tokoh-tokoh lama dalam hidupnya
membuat Lasi makin linglung karena berdiri di antara dua nilai
kehidupan yang dipisahkan oleh jurang yang teramat dalam.
No comments:
Post a Comment