Wednesday, March 28, 2012

Analisis Novel "Harimau! Harimau!" Karya Mochtar Lubis: Tinjauan Stilistika


PENDAHULUAN
Novel Harimau! Harimau! karya Moctar Lubis pada tahun 1975 mendapat penghargaan novel terbaik pada tahun 1975. Hal tersebut menunjukkan bahwa karya Muctar Lubis memiliki kekhasan dan ruh sastra yang begitu menonjol.

Struktur novel dengan segala sesuatu yang dikomunikasikan, menurut Fowler, 1977: 3 (dalam Ali Imron, 2009: 173), selalu dikontrol langsung oleh manipulasi bahasa pengarang. Demi efektivitas pengungkapan, bahasa sastra disiasati, dimanipulasi, dieksploitasi, dan diberdayakan sedemikian rupa melalui stilistika. 

Oleh karena itu, bahasa karya sastra memiliki kekhasan yang berbeda dengan karya nonsastra (Wellek dan Werren, dalam Ali Imron, 2009; 173), yakni penuh ambiguitas dan memiliki kategori-kategori yang tidak beraturan dan tidak rasional, asosiati, konotatif, dan mengacu pada teks lain atau karya sastra yang diciptakan sebelumnya.

Dalam karya sastra, style dipakai pengarang sebagai sarana retorika dengan mengeksploistasi, memanipulasi, dan memanfaatkan segenap potensi bahasa (Ali Imron, 2009:175). Retorika merupakan saranga kepuitisan yang berupa muslihat pikiran (Altenbernd & Lewis dalam Ali Imron. 2009: 175).

Kajian stilistika Harimau! Harimau! ini mengungkapkan gagasan pengarang yang ingin disampaikan kepada pembaca. Diharapkan hasil dari analisis ini dapat mengungkapkan kajian stilistika makna pada novel Harimau! Harimau!.
 
Rumusan Masalah 
  1. Bagaimana stilistika Novel Harimau! Harimau! karya Muctar Lubis sebagai sarana sastra yang difokuskan pada gaya kata (diksi), bahasa figuratif, idiomatik, dan citraan? 
  2. Bagaimana makna stilistika Novel Harimau! Harimau! dalam kaitannya dengan latar sosiohistoris pengarang?
Tujuan Penulisan
  1. Mendiskripsikan stilistika Novel Harimau! Harimau! yang difokuskan pada diksi, bahasa figuratif, idiomatik, dan citraan. 
  2. Mengungkapkan makna stilistika Novel Harimau! Harimau! dalam kaitannya dengan latar sosiohistoris pengarang.

PEMBAHASAN
A. Kajian Teoritis
1. Style dan Stilistika
Stilistika berasal dari bahasa Inggris stylisties yang berarti studi mengenai style ‘gaya bahasa’ atau ‘bahasa bergaya’. Kata style ( bahasa Inggris) berasal dari kata Latin stilus yang berarti alat (berujung tajam) yang dipakai untuk menulis di atas lempengan lilin (Shipley, 1979: 314: Leech & Short, 1984: 13). Kata stilus kemudian dieja menjadi stylus oleh penulis-penulis selanjutnya karena ada kesamaan makna dengan bahasa Yunani stulus (a pilor, bahasa Inggris) yang berarti alat tulis yang terbuat dari logam, kecil, dan berbentuk batang memiliki ujung yang tajam. Alat tersebut digunakan juga untuk menulis di atas kertas berlapis lilin (Scott, 1980: 280).

Chomsky menggunakan istilah deep structure (struktur batin) dan surface structure (struktur lahir) yang identik pula dengan isi dan bentuk dalam gaya (Ali Imron. 2008: 2). Struktur lahir adalah performansi kebahasaan dalam wujudnya yang konkret, dan itulah gaya bahasa. Adapun struktur batin merupakan gagasan yang ingin diungkapkan oleh pengarang melalui gaya bahasanya itu.

Goys Keraf (1991: 113) menyatakan bahwa gaya bahasa merupakan cara pengungkapan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian pengarang. Mengkaji gaya bahasa memungkinkan kita dapat menilai pribadi, karakter, dan kemampuan pengarang yang menggunakan bahasa itu. Senada dengan Keraf, Suryadi San (dalam Ali Imron. 2008: 2) berpendapat bahwa gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulisnya.

Adapun stilistika (stylisties) adalah ilmu yang meneliti penggunaan bahasa dan gaya bahasa di dalam karya sastra (Soediro Satoto. 1995:36; Abrams, 1997: 165-167 dalam Ali Imron. 2008: 3). Dapat dikatakan bahwa stilistika adalah proses menganilisis karya sastra dengan mengkaji unsure-unsur bahasa sebagai medium karya sastra yang digunakan sastrawan, sehingga terlihat bagaimana perlakuan sastrawan terhadap bahasa dalam rangka menuangkan gagasannya (subject matter). Oleh sebab itu, semua proses yang berhubungan dengan analisis bahasa karya sastra dikerahkan untuk mengungkapkan aspek kebahasaan dalam karya sastra tersebut. amSeperti diksi, penggunaan bahasa kias atau figurative, struktur kalaimat, bentuk-bentuk wacana dan sarana retorika yang lain (lihat Cunddon, 1979: 647-648).

2. Teori Semiotik
Semiotik merupakan ilmu tentang tanda atau ilmu yang mempelajari system-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut memiliki arti. Dalam pengertian ini ada dua konsep yang saling berkaitan yang dikemukakan oleh Saussure yakni “penanda” dan “petanda”. Penanda adalah aspek formal atau bunyi atau coretan pada tanda yang bermakna itu, yakni apa yang dikatakan atau yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah aspek konseptual, yakni gambaran mental, pikiran atau konsep dari bahasa. kedua aspek itu, formal dan konseptual, memang dwitunggal, tetapi keduanya mandiri terhadap bunyi nyata dan benda atau fenomena dalam kenyataan.

Tegasnya, untuk menemukan “petanda” atau yang ditandai oleh “penanda” tidak hanya ditentukan oleh “penanda” itu saja, tetapi ditentukan pula oleh pembaca yang berpijak pada atau diarahkan oleh “penanda”. Oleh karena itu, dasar pemahaman stilistika karya sastra yang merupakan gejala semiotic adalah pandangan bahwa fenomena bahasa sastra merupakan suatu dialektika antara teks dengan pembacanya dan antara teks degnan konteks penciptaannya, (Riffaterre dalam Ali Imron, 2009: 92).

Ahli Semiotik Sander Peirce memusatkan perhatian pada fungsi tanda-tanda pada umumnya dengan memberikan tempat yang penting pada tanda-tanda linguistic, namun bukanlah tempat yang utama. Yang berlaku pada tanda pada umumnya berlku pula pada tanda-tanda linguistik, dan bukan sebaliknya. Peirce (dalam Ali Imron, 2009: 91) membedakan tiga kelompok tanda. Ketiga tanda itu yakni: (1) Ikon (icon adalah suatu tanda yang menggunakan kesamaan dengan apa yang dimaksudkannya, (2) Indeks (indek) adalah suatu tanda yang mempunyai kaitan kausal dengan apa yang diwakilinya, (3) simbol adalah hubungan anatara hal/sesuatu (item) penanda dengan item yang ditandainya yang sudah menjadi konvensi masyarakat.

B. Latar Sosiohistoris Moctar Lubis
Sebelum mengkaji Novel Harimau! Harimau! karya Moctar Lubis, terlebih dahulu dipaparkan latar sosiohistoris dari Moctar Lubis. Hal itu dimaksudkan agar dapat menjadi referensi bagi penelitian, sehingga lebih mudah mengungkapkan makna yang terkandung dalam novel tersebut. Dengan terungkapnya makna yang terdapat pada novel Harimau! Harimau! tersebut, maka tujuan Moctar Lubis sebagai sastrawan dapat tercapai.

Mochtar Lubis dilahirkan 7 Maret 1922 di Padang. Sejak zaman Jepang ia telah aklif dalam lapangan penerangan. Ia turut mendirikan Kantor Berita Antara, kemudian mendirikan dan memimpin harian Indonesia Raya yang lelah dilarang terbit. Ia mendirikan majalah sastra e bersama-sama kawan-kawannya. Pada waktu pemerintahan rezim Sukarno, ia dijebloskan ke dalam hampir sembilan tahun lamanya dan baru dibebaskan pada tahun 1966.

Selain sebagai wartawan ia dikenal sebagai sastrawan. Cerita-cerita pendeknya dikumpulkan dalam buku Si Jamal (1950) dan Perempuan (1956). Sedangkan romannya yang telah terbit: Tidak Ada Esok (1950), Jalan Tak Ada Ujung (1952) yang mendapat hadiah sastra dari BMKN, Senja di Jakarta yang mula-mula terbit dalam bahasa Inggris dengan judul Twilight in Jakarta (1963) dan terbit dalam bahasa Melayu tahun 1964. 
Romannya yang mendapat sambutan luas dengan judul Harimau! Harimau! (Pustaka Jaya 1975) telah mendapat hadiah dari Yayasan Buku Utama sebagai buku terbaik tahun 1975. Sedangkan Maut dan Cinta (Pustaka Jaya 1971) mendapat hadiah Yayasan Jaya Raya. Kadang-kadang ia pun menulis esai dengan nama samaran Savitri dan juga menterjemahkan beberapa karya sastra asing seperti Tiga Cerita dari Negeri Dollar (1950), Kisah-kisah dari Eropa (1952). Pada tahun 1950 ia mendapat hadiah alas laporannya tentang Perang Korea dan tahun 1966 mendapat hadiah Magsaysay untuk karya-karya jurnalistiknya.

C. Stilistika Novel Harimau! Harimau! dan Pemaknaannya
1. Gaya Kata (Diksi)
Pada Novel Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis pengunaan katanya sangat bervariasi dan unik. Sebagian besar bahasa yang digunakan pada novel ini adalah bahasa Padang, sesuai dengan tanah kelahiran Moctar Lubis. Keunikan kata pada novel Harimau! Harimau! yang paling mendasar, dapat dilihat dari judulnya sendiri “Harimau! Harimau!” yang sengaja dibuat berulang tanpa tanda (-) yang biasa digunakan pada tata bahasa yang benar, karena dalam karya sastra, sastrawan memiliki kebebasan untuk berbahasa. 
Hal itu juga sangat unik, karena dapat menggugah ketertariakn pembaca dengan novel ini. tidak hany itu saja, dalam novel ini, dari nama tokoh-tokohnya, Wak Katok, Wak Hitam, Buyung, Sunip, Talib, dll. Pembaca yang luar Daerah Padang, mungkin lucu mendengar nama-nama tersebut, tidak terbiasa dan aneh. Sedikit mengulas, novel ini juga mengambarkan karakteristik pemain yang berbeda satu dengan lainnya. Di mana masing-masing memiliki ciri khasnya.

Pada novel ini, tidak hanya memiliki bahasa yang mencirikan daerah Padang, akan tetapi bahasa fulgar khas sastra juga ditonjolkan, misal:

  • “Matanya tak putus-putusnya mengikuti gerak-gerik Siti Rubiyah. Perempuan muda itu yang menyangka dirinya seorang diri di pinggir sungai dengan tenang membuka pakaiannya. Dia membuka kebaya tuanya dan meletakkan diatas batu besar. Dia tidak memakai kutang.”
Pemilihan kata kutang oleh Muctar Lubis dalam Novel Harimau! Harimau! ini, memang terkesan vulgar. Di mana dunia sastra tidak lepas dengan ciri khas pengarangnya. Setiap pengarang memiliki kebebasan untuk berbahasa, itulah yang dimanfaatkan semua pengarang untuk mengekspresikan apa yang memang menjadi ide mereka. Dalam hal ini, mungkin Muctar Lubis ingin lebih membangkitkan biharahi dari pembaca, sehingga kesannya mereka bagaimana keaadaan Siti Rubiyang istri muda Wak Hitam ketika mandi di sungai.

Kata-kata yang terdapat pada novel ini, lebih banyak menggunakan pemilihan kata yang unik, misal:

  • “Aduh, beginilah kalau sudah tua dan sakit-sakit, tak ada lagi yang mengurus awak," (hal. 46) 
  • "Bini yang tua dan bini yang muda, sama saja, tak hendak mengurus kita dengan benar." (hal. 47)
Dalam hal ini, awak yang berarti saya, kata itu memiliki kekhasan tersendiri dibanding dengan menggunakan kata yang biasa dipakai, seperti saya atau aku. Sedangkan ‘tak hendak mengurus kita dengan benar’, hal itu berarti ‘tidak mengurus saya dengan benar’. Penggunaan kata ‘tak hendak’ dan ‘kita’ diaman ‘kita’ itu sebenarnya menunjukkan objek tunggal ‘aku (Wak Hitam)’ itu juga lebih terkesan unik dan menarik dibaca.

2. Bahasa Figuratif
Bahasa yang unik dan khas dari setiap pengarang akan terlihat ketika kita membaca karya-karya mereka, salah satunya karya Muctar Lubis. Bahasa figuratif pada novel Harimau! Harimau! itu sendiri sangat dominan, meliputi pemajasan dan idiomatic. Dengan pemanfaatan bahasa yang khas dan figurative, kesannya tidak membosankan dan ada tulisan yang memang harus dicerna oleh pembaca untuk menerjemahkan apa itu makna dari kalimat yang diungkapkan oleh novelis.

Contoh bahasa figuratif yang terdapat pada novel Harimau! Harimau!:
  • "Kalau di kampung ada burung gagak terbang melintasi rumah, dan di rumah itu ada orang sakit, maka artinya si sakit akan mati," kata Talib. 
  • “Setiap orang wajib melawan kezaliman di mana pun juga kezaliman itu berada. Salahlah bagi orang memencilkan diri, dan pura-pura menutup mata terhadap kezaliman yang menimpa diri orang lain ... besar kecil kezaliman, atau ada dan tak adanya kezaliman tidak boleh diukur dengan jauhnya terjadi dari diri seseorang. Manusia di mana juga di dunia harus mencintai manusia, dan untuk menjadi manusia haruslah orang terlebih dahulu membunuh harimau di dalam dirinya. Dia kini mengerti benar apa yang dimaksud oleh Pak Haji dengan kata-katanya - bunuhlah dahulu harimau dalam dirimu ....” (hal 181)
  • “Hutan Raya terhampar di seluruh pulau, dari tepi pantai tempat ombak-ombak samudera yang terentang hingga ke Kutub Selatan menghempaskan diri setelah perjalanan yang amat jauhnya hingga ke puncak-puncak gunung yang menjulang tinggi dan setiap hari diselimuti awan tebal. Hutan raya berubah-ubah wajahnya. Yang dekat pantai merupakan hutan-hutan kayu bakau, dan semakin jauh ke darat dan semakin tinggi letaknya, berubah pula kayu-kayu dan tanaman di dalamnya, hingga tiba pada pohon-pohon besar dan tinggi, sepanjang masa ditutup lumut, yang merupakan renda-renda terurai dari cabang dan dahan.” (hal.3)
  • “Sebagian terbesar bagian hutan raya tak pernah dijejak manusia dan di dalam hutan raya hidup bernapas dengan kuatnya. Berbagai margasatwa dan serangga penghuninya mempertahankan hidup di dalamnya. Demikian pula tanaman dan bunga-bunga anggrek, yang banyak merupakan mahkota di puncak-puncak pohon tinggi.” (hal.3)
  • “Di tengah hutan yang demikian sebuah anak sungai kecil, dengan airnya yang sejuk dan bersih mengalir, menccraeah, menyanyi-nyanyi dan berbisik-bisik, dan akan inginlah orang tinggal di sana selama-lamanya.” (Hal 4)
  • “Buyung tak tahu apa perasaan Zaitun yang sebenarnya terhadap dirinya. Kadang-kadang Zaitun baik sekali. Jika dia disuruh ibunya ke rumah Buyung membawa kiriman masakan, dan kebetulan Buyung ada di rumah, maka terkadang dia baik dan manis sekali pada Buyung dan akan tersenyum manis pula dan dia kelihatan amat cantiknya, dan menyapa Buyung dengan "kakak" padahal. Buyung hanya setahun saja lebih tua. Jika Zaitun demikian, maka Buyung merasa hatinya seakan terlonjak, terlambaung ke langit yang ketujuh, dan kakinya serasa tak berpijak lagi di lantai, dan sekelilingnya terasa olehnya terang benderang, penuh bunyi suling dan orang menyanyi.” (hal 11)
  • “Buyung juga cemburu melihat Sanip yang dengan mudah menganggap segala apa yang terjadi seperti soal yang ringan. Kalau umpamanya mereka sedang menempuh hutan, dan turun hujan yang lebat, hingga jalan menjadi licin dan badan mereka basah kuyup, maka Sanip dengan gembira akan berseru "... jangan susah hati, habis hujan datanglah terang!" (hal 18)
Tuturan idiometitik, majas, dan peribahasa cukup menghiasi kalimat demi kalimat dalam novel tersebut. Hal ini dapat dilihat pada contoh di atas yang diambil dari kutipan isi novel Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis.

3. Citraan
Citraan dalam Harimau! Harimau! ini meliputi tujuh jenis citraan. Dari ketujuh jenis citraan dalam Harimau! Harimau!, citraan visual yang paling mendominasi dari seluruh isi novel. Disusul citraan intelektual, citraan gerak, citraan pendengaran, dan citraan perabaan. Adapun citraan penciuman dan pencecapan kurang banyak digunakan.

Di bawah ini diberikan kutipan novel Harimau! Harimau! yang memiliki keunikan dalam pencitraannya:
  • “Di bahagian atas hutan raya hidup siamang, beruk dan sebangsanya dan burung-burung; dan di bawah, di atas tanah, hidup harimau kumbang, gajah dan beruang; di sepanjang sungai tapir, badak, ular, buaya, rusa, kancil dan ratusan makhluk lain. Dan di dalam tanah serangga berkembang biak.” (hal. 3) 
  • “Tetapi pula ada bahagian yang indah dan amat menarik hati, tak ubahnya seakan hutan dalam cerita tentang dunia peri dan bidadari, hutan-hutan kecil yang dialasi oleh rumput hijau yang rata, yang seakan selalu dipelihara dan dibersihkan, dikelilingi oleh pohon-pohon cemara yang tinggi dan langsing semampai dan yang menyebarkan wangi minyak cemara ke seluruh hutan. Wak Katok menahan napasnya melihat badan Siti Ruhiyah yang terbuka dengan tiba-tiba, menyala kuning langsat ditimpa matahari. Buah dadanya tak besar, akan tetapi bagus bentuknya. Kemudian Siti Rubiyah membuka kainnya. Dia tak memakai celana dalam. Dan menyusun kainnya di atas kebayanya di atas batu. Sebentar dia berdiri telanjang bulat di sungai di atas batu, seluruh tubuhnya dicium oleh sinar matahari.” (hal 39)
  • “Kamar terasa seakan sesak, udara dalam kamar berat dan panas dengan bau badan Wak Hitam yang sakit, dan dia seakan merasa tak dapat bernapas di dalamnya.” (hal 47)
  • “Setiap orang wajib melawan kezaliman di mana pun juga kezaliman itu berada. Salahlah bagi orang memencilkan diri, dan pura-pura menutup mata terhadap kezaliman yang menimpa diri orang lain ... besar kecil kezaliman, atau ada dan tak adanya kezaliman tidak boleh diukur dengan jauhnya terjadi dari diri seseorang. Manusia di mana juga di dunia harus mencintai manusia, dan untuk menjadi manusia haruslah orang terlebih dahulu membunuh harimau di dalam dirinya. Dia kini mengerti benar apa yang dimaksud oleh Pak Haji dengan kata-katanya - bunuhlah dahulu harimau dalam dirimu ....” ( hal 181)
  • “Untuk membina kemanusiaan perlulah mencinta, orang sendiri tak dapat hidup sebagai manusia... ya, dia akan mencintai manusia, dia akan mulai mencintai Zaitun ... dia akan belajar dan berusaha jadi manusia yang hidup dengan manusia lain .... Buyung merasa sesuatu yang segar memasuki dirinya, seakan sebuah beban berat yang selama ini menimpa kepala dan seluruh dirinya telah terangkat. Alangkah enaknya merasa jadi manusia kembali, lepas dari ikatan takhyul, ikatan mantera dan ikatan jimat yang palsu.” ( hal.181)
Di bagian akhir novel ini, menyimpulkan seluruh kesimpulan dari kejadian yang dialami oleh pencari kayu damar, yang terdiri dari Wak Katok, Pak Haji, Sunip, Buyung, dll. Di mana dalam perjalanan ke hutan tersebut harus mengorbankan orang-orang yang berada dalam rombongan tersebut. Dengan situasi yang mistis dan penuh dengan teka-teki. Jadi, pada bagian akhir, citraan intelektual yang paling mendominasi di antara citraan lainnya.


SIMPULAN
Stilistika Harimau! Harimau! merupakan sarang ekspresi pengarangnya dalam mengungkapkan apa yang menjadi karyanya pada saat itu. Hasil dari novel ini merupakan cerminan ciri khas, gaya dari Muctar Lubis sebagai sastrawan dari Padang yang pernah menjadi tahanan politik.

Dalam novel tersebut banyak mengandung unsur stilistika “style”, antara lain: pemajasan, citraan, dan idiometik. Hal itu merupakan manipulasi bahasa yang dapat menambah rasa pada suatu karya sastra. Pada novel ini mengajarakan pada kita akan pentingnya kesetiakawanan, himbauan agar tidak percaya dengan hal yang mistis, dan masih banyak lagi makna yang ada, meski bahasa dalam novel ini terasa fulgar.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Ma’ruf, Ali Imron. 2009. Stilistika Teori, Metode, dan Aplikasi Pengkajian Estetika Bahasa. Surakarta: CakraBooks.

Al-Ma’ruf, Ali Imron. 2008. Stilistika Sebuah Pengantar. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.

http://kangzusi.com/. "Novel Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis".

No comments:

Post a Comment