A. Roman Sebagai Dokumen Sosial
Penyebutan roman sebagai dokumen sosial menimbulkan masalah yang
menyangkut hubungan antara penulisan sejarah dan sastra secara umum.
Keterpautan penulisan sejarah dan roman sebagai karya sastra adalah
sama-sama merekam realitas. Disadari atau tidak diantara keduanya juga
terdapat perbedaan yang jelas. Roman sebagai dokumen sosial mempunyai
konsekuensi yang penting dalam pemakaian karya sastra dan karya sejarah.
Adakalanya roman disebut sebagai dokumen sosial dan walaupun dari segi
tertentu ada benarnya, hal itu tidak berarti bahwa roman manapun dapat
dipergunakan langsung sebagai dokumen. Justru dalam tiap karya sastra
ada keterpaduaan antara kenyataan dan khayalan. Orang harus sangat
hati-hati dalam upaya mengambil data faktual yang terdapat dalam roman.
Roman memang dapat disebut sebagai dokumen sosial dan sering kali
jauh lebih baik daripada tulisan-tulisan sosial mana pun, roman dapat
menghayati eksistensi manusia dengan segala permasalahannya. Salah satu
jenis roman yang dapat dikategorikan sebagai dokumen sosial adalah roman
sejarah. Roman sejarah merupakan karangan prosa yang melukiskan
perbuatan pelakunya menurut watak dan isi jiwa masing-masing yang
disusun berdasarkan fakta sejarah (Depdiknas, 2005:961). Roman sejarah
merupakan pelengkap dari realitas aktual. Sedangkan realitas aktual
adalah realitas yang secara umum dilekatkan pada penulisan sejarah yang
bersifat sistematis dan analitis, penulisan sejarah seperti ini biasanya
tidak pernah dapat melukiskan secara keseluruhan dan hanya merupakan
potongan-potongan realitas aktual. Kuntowijoyo dalam Humaniora (Februari
2004) menyatakan bahwa”manusia tidak hidup dengan realitas aktual
saja”. Roman sebagai perekam realitas mempunyai kualitas kembar:disatu
pihak mengungkapkan realitas historis, di lain pihak mempunyai kekuatan
magis dari imajinasi. Sebagai pelengkap daripada realitas aktual, roman
bagian dari bentuk sastra melengkapi keterpotong-potongan realitas itu
dengan realitas simbolis. Roman sejarah memperluas interpretasi
pengkisahan / penceritaan sebuah peristiwa sejarah atau tokoh.
B. Kondisi Kamp Konsentrasi Pulau Buru
Roman tetralogi Pulau Buru maksudnya adalah roman sejarah yang
ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer yang terdiri dari empat rangkaian
(empat jilid yaitu Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca)
dan ditulis pada saat ia dalam pembuangan (penahanan) di pulau Buru,
pulau yang masih merupakan bagian wilayah administratif Propinsi Maluku
sekarang. Roman tetralogi pulau Buru diterbitkan pada tahun delapan
puluhan. Satu tahun setelah pembebasan Pramoedya Ananta Toer dari Kamp
konsentrasi Tefaat-Pulau Buru. Penjelasan tentang kondisi kamp
konsentrasi ini menurut Pramoedya bahwa seharusnya kamp dibangun dengan
spesifikasi khusus, seperti harus menggunakan pondasi beton dan
balok-balok kayu yang kuat. Tapi kenyataannya sangat berbeda. Dinding
dan atap barak kami terbuat dari daun-daunan.Jadi aannemer-nya
(pemborongnya) korup. Seluruh area dipagari dengan kawat besi. Dan
seluruh tahanan harus bekerja diladang atau disawah (Andre Vltchek,
2006: 35).
Kemudian yang menjadi tahanan di Pulau Buru merupakan orang-orang
yang berasal dari berbagai lapisan masyarakat. Pramoedya merupakan
bagian dari kelompok pertama yang dikirim ke Pulau Buru dan kelompok ini
terdiri dari sekitar 500 orang tahanan. Pada saat itu ( tahun 1969)
Kamp di Pulau Buru merupakan kamp yang masih sangat kecil dan belum ada
jalan dibagian Utara Pulau Buru, hanya beberapa jalan dibagian Selatan.
Jadi tahanan kelompok pertama inilah yang harus membangun jalan. Tahanan
membangun jalan sepanjang 170 Kilometer. Setelah itu datang
tahanan-tahanan lain, dan jumlahnya mencapai 14.000 orang (Andre
Vltchek, 2006: 35).
Para tahanan dimasa itu diwajibkan bekerja keras seperti menggali
saluran air, membuat saluran irigasi, membangun jalan, dan bekerja
disawah. Selain kewajiban bekerja keras para tahanan juga mendapat
perlakuan yang tidak manusiawi seperti disiksa bahkan dibunuh. Mungkin
karena dimonitor oleh dunia internasional, Pram menyatakan (dalam Andre
Vltchek,2006:36)”saya sendiri praktis tidak disiksa”. Sedangkan untuk
tahanan lain, ada semacam gubuk khusus, dinamakan jigo kecil, untuk penyiksaan dan pembunuhan. Tempatnya jauh dari tempat Pramoedya ditempatkan. Pram tinggal dekat ketengah Pulau, sedangkan jigo kecil
itu dekat dengan pelabuhan. Suatu kali Pram melihat tahanan politik
disuruh lari dan dikejar oleh gerobak kuda. Kalau dia tidak mampu lari
lagi,maka akan dilindas oleh gerobak kuda itu.Disiksa di kamp adalah hal
yang normal ( Andre Vltchek, 2006:36 ).
Supaya tahanan politik bisa hidup, tahanan politik harus mencari
sendiri untuk makan. Banyak tahanan yang mati karena kelaparan atau
karena dibunuh. Cerita tentang tindakan tidak manusiawi yang dilakukan
oleh para petugas (dalam hal ini militer) Pram menyatakan (dalam Andre
Vltchek, 2006:37-38) bahwa:
“Salah seorang teman tahanan beternak ayam ,tapi dia selalu saja
kehilangan seekor ayam setiap hari. Teman saya merasa jengkel sekali.
Karena ingin tahu siapa yang mencuri ayamnya,suatu malam dia
mengosongkan kandangnya dan menyembunyikan ayamnya. Dia menaruh tai
kerbau didalam kandang.Yang dia tidak tahu adalah bahwa yang mencuri
adalah tentara penjaga. Jadi ketika mereka mencoba mencuri lagi, mereka
hanya mendapatkan tai kerbau. Keesokan paginya kami semua dipanggil dan
disuruh berdiri berjajar, dan ditanya kandang siapa. Sewaktu mereka
menemukan kandang itu milik siapa, dia langsung dipukuli di depan kami
semua. Malah dituduh penipu.
Satu contoh lain: salah seorang rekan tahanan di Pulau Buru
memelihara ikan di tebat. Dia sering kali kehilangan ikan-ikannya, dan
akhirnya dia mencoba mengintip siapa yang mencuri, dan ternyata militer
yang mencuri. Sewaktu mereka tahu bahwa rekan saya ini mengintip mereka
dalam menjalankan aksi pencurian ikannya, mereka menembaknya langsung di
tempat. Dia mati seketika.
Kemudian, seorang teman tahanan juga menyimpan sesobek kertas koran
berkas bungkus. Kami tidak diperbolehkan membaca sama sekali, dan ketika
tentara mendapatkan bahwa dia menyimpan sepotong koran bekas, mereka
mengikat dan menggantungnya. Dua hari kemudian kami menemukan mayatnya
mengapung di sungai.
Beberapa teman lain sedang bekerja di sawah. Mereka istirahat makan
siang di gubuk,dan di gubuk itu disimpan pupuk, warnanya putih. Kemudian
militer datang dan mereka melihat pupuk itu di dalam gubuk, mereka
pikir itu gula. Seorang tentara mencicipi pupuk itu dan langsung
disemburkan. Semua yang berada di dalam gubuk langsung disiksa tanpa
ampun. Sekali lagi, tentara menuduh mereka menipu.
Suatu ketika saya hampir saja ditembak,tapi seorang teman memukul
senapan penjaga yang akan menembak saya. Mau tahu alasannya mengapa
mereka mau menembak saya ? Ketika kami dikirim ke Buru, setiap tahanan
hanya di perbolehkan membawa dua stel pakaian. Dan karena kami harus
bekerja di ladang atau sawah setiap hari, tentu saja pakaian saya lama
-kelamaan rusak, tidak bisa dipakai lagi. Dan karena pada malam hari di
gubuk terasa dingin sekali, maka saya harus punya paling tidak satu set
pakaian untuk tidur. Jadi untuk keladang saya memakai cangcut
karung plastik. Ketika militer melihat saya, mereka bilang saya menghina
kebudayaan Timur dengan memakai pakain itu. Benar-benar mereka akan
menembak saya hanya karena pakaian yang saya pakai pada waktu itu”.
Dalam kondisi lingkungan kamp konsentrasi yang demikian Pram menulis
roman Tetralogi Pulau Buru. Pram diperbolehkan menulis kembali karena
ada tekanan dari dunia internasional. Setelah empat tahun menjalani
hidup tanpa boleh membaca secarik kertas atau menulis satu kata pun.
Suatu hari di tahun 1973, Jenderal Soemitro, Pangkopkamtib waktu
itu,datang menemui Pram atas perintah Soeharto. Soemitro mengatakan
bahwa mulai saat itu Pram boleh menulis kembali. Pram harus mencari
sendiri kertasnya, dan dia dapatkan terutama dari gereja katolik.
Berdasarkan pengalamannya sebagai tahanan politik, Pram mengetahui
persis bahwa pihak pemerintah akan merampas apa yang dia tulis. Itulah
sebabnya Pram mengetik naskah dalam beberapa copy. Satu copy roman Tetralogi dia sebarkan di antara teman-teman tahanan sehingga para tahanan bisa membaca dan mengingatnya. Satu copy
lagi ia berikan ke gereja, yang kemudian menyelundupkannya keluar Pulau
Buru dan kemudian mengirimkannya ke Eropa, Amerika Serikat, atau
Australia. Pada akhirnya apa yang telah dikhawatirkan Pram terjadi,
mereka para petugas merampas semua naskah Pram pada saat dia
meninggalkan Pulau Buru, termasuk surat pribadi dari Presiden Soeharto
kepadanya.
Pada tahun 1979 rezim Soeharto akhirnya memutuskan untuk membubarkan kamp konsentrasi Pulau Buru.
C. Sumber Sejarah Penulisan Roman Tetralogi Pulau Buru
Sumber sejarah seringkali disebut juga data sejarah. Perkataan data merupakan jamak dari kata tunggal datum
(bahasa latin) yang berarti pemberitaan (Kuntowijoyo, 1995:94). Data
sejarah itu sendiri berarti bahan sejarah yang memerlukan pengolahan,
penyeleksian, dan pengkategorian (Dudung Abdurrahman, 1999: 30).
Berdasarkan bahan, jenis sumber sejarah yang dominan digunakan Pramoedya
dalam penulisan roman Tetralogi Pulau Buru adalah sumber tertulis yaitu
surat kabar-surat kabar yang terbit diakhir abad 19 dan awal abad 20.
Pram menyatakan (dalam Andre Vltchek, 2006: 74) bahwa:
“Sebelum saya ke Buru saya sudah punya konsep untuk “Tetralogi” dan
sudah berniat menulis. Kertas kerja serial novel ini sangat luas.
Sebagian dikerjakan oleh mahasiswa saya. Ceritanya begini: Suatu hari
datang seorang profesor dari Universitas Leiden menemui saya dan meminta
saya untuk mengajar di Universitas Res Publica.Saya jawab: ”Bagaimana
saya bisa mengajar di universitas kalau SMP saja saya tidak tamat?!.
Tapi dia memaksa saya terus dan akhirnya saya terima juga. Ketika di
depan kelas, saya tidak tahu harus bagaimana mengajar mereka. Akhirnya
saya punya ide. Saya minta mahasiswa-mahasiswa saya untuk mempelajari
surat kabar dimulai dari awal abad dan buat kertas kerja untuk setiap
era di dalam sejarah. Naskah kerja inilah yang memberikan ide untuk
konsep serial novel saya”Tetralogi Buru”. Dengan menggunakan kertas
kerja mahasiswa saya tersebut saya juga bisa menulis buku Sang Pemula. Dengan konsep di kepala dan kertas kerja mahasiswa tersebut semuanya menjadi mudah,tinggal duduk di depan mesin tik saja”.
Sumber-sumber induk yang dipakai adalah surat kabar terbitan-terbitan
pokok R.M.Tirto Adhi Soerjo, yang sebagian terbesar sudah dalam keadaan
tidak utuh, bahkan ada yang berupa sisa belaka yang compang-camping (
Pramoedya, 2003:10 ).
Adapun terbitan-terbitan itu adalah:.1) Pemberita Betawi
(harian) Th.XVII, 1901, dan XVIII, 1902, dimana ia ( Tirto Adhi Soerjo)
menjadi redaktur, kemudian redaktur kepala dan penanggung jawab, milik
Firma Albrecht & Co Betawi, 2) Soenda Berita (mingguan) milik Tirto Adhi Soerjo pribadi, terbit di Cianjur kemudian Weltevreden, Betawi, 3) Medan Prijaji (Mingguan), milik NV Medan Prijaji dimana Tirto Adhi Soerjo menjabat sebagai redaktur kepala, penanggung jawab dan direktur,4) Soeloeh Keadilan
(bulanan), milik NV.Medan Prijaji dengan R.M.Tirto Adhi Soerjo sebagai
direktur, 5) Poetri Hindia, milik NV Medan Prijaji dengan R. M. Tirto
Adhi Soerjo sebagai direktur, 6) Sarotomo, sebagai organ Serikat Dagang Islam, 7) De Maleische Pers, 8) Pewarta S. S, 9) Sri Pasoendan,10) Soeara B.O.W, 11) Soeara Pegadaian
dan lain sebagainya (Pramoedya, 2003:11). Surat-surat kabar tersebut
didapatkan dari koleksi Perpustakaan Nasional dan Perpustakaan Idayu,
dua-duanya di Jakarta. Selain daripada surat kabar, Pram juga
menggunakan sumber tertulis lainnya seperti buku, dokumen pemerintah
yang berkaitan dengan masalah yang dideskripsikan dalam Tetralogi Pulau
Buru. Pram tidak hanya menggunakan sumber tertulis, dia juga memakai
sumber tidak tertulis yaitu dengan wawancara. Wawancara ini dilakukan
pada bulan Juli 1962 dengan R.Djojopranoto sebagai nara sumbernya.
R.Djojopranoto adalah seorang lulusan STOVIA,dari generasi yang lebih
muda dari R.M.Tirto Adhi Soerjo. Semasa wawancara R.Djojopranoto adalah
seorang guru bahasa Inggris, Prancis, Jerman, dan Rusia. R.Djojopranoto
adalah anggota Dewan Pimpinan C-SI tahun1916. Tidak jelas C-SI Surabaya
dibawah Tjokroaminoto atau C-SI Batavia atau C-SI tandingan dibawah
Samanhoedi-Goenawan ( Pramoedya, 2003:100).
D. Penulisan Sejarah Dalam Roman Tetralogi Pulau Buru
Roman Tetralogi Pulau Buru ditulis setelah Pram semakin sadar bahwa manusia harus mengetahui sejarahnya (the people must know their history).
Roman tetralogi ini menggambarkan tentang Minke, seorang sosok anak
bangsa di tengah perubahan zaman untuk bangsanya. Minke merupakan
prototip dari R.M.Tirto Adhi Soerjo. Riwayatnya terjadi di awal abad 20,
suatu fase awal kebangkitan nasional. Minke menjadi simbol bagaimana
bangsa Indonesia yang tenggelam dalam kegelapan, mulai memandang cahaya
kebangkitannya. Sang tokoh juga merupakan streotip para aktivis
pergerakan ketika itu yaitu seorang anak priyayi mendapat kesempatan
menempuh pendidikan gaya Eropa (Barat). Roman ini merupakan tulisan
yang sarat dengan penyadaran sejarah, yang terutama mengembangkan
karakter-karakter manusia Hindia Belanda pada masanya. Mereka terdiri
dari orang Belanda, Indo, aktivis dari Cina (juga ada semacam germo),
seniman Perancis, pelacur Jepang, orang buangan dari Maluku dan
tokoh-tokoh pribumi,yang begitu kaya warna. Mereka hidup dan berjuang
ditempat yang sama, memperebutkan tempat yang sama, atas dasar
kepentingan mereka masing-masing.
Dalam Roman Tetralogi Pulau Buru dapat ditemukan nama tokoh-tokoh
yang mudah dilacak dari data sejarah. Adakalanya dengan nama sebenarnya,
adakalanya nama samaran yang mudah dikenal kembali: misalnya J.B.Van
Heutsz yang dalam sejarah pers Hindia mengubah sensor preventif menjadi
represif, menjabat gubernur jendral di Hindia Belanda pada periode
1904-1909, A.W.F.Idenburg merupakan gubernur jendral yang mendapat
sebutan ‘tangan besi’, menjabat sebagai pengganti Van Heutsz yaitu pada
periode 1909-1916, pengarang Marie van Zegelen, tokoh sosialis dan tokoh
progresif Belanda Ir.H.H.Van Kol yang hidup dalam periode politik
ethiek kolonial dalam roman ini bernama Kollewijn, atau Kartini dan
surat-suratnya yang diterbitkan oleh tuan Abendanon dengan judul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang) yang dalam roman ini disebut De Zonnige Toekomst (Masa Depan Yang Bersinar Terang). Dalam Roman ini juga kita dapat temukan Boedi Oetomo
dan dua pendirinya, dokter Jawa Wahidin Soediro husodo dan Soetomo.
Hadji Samadi dalam roman ini mewakili Samanhoedi, salah seorang pemimpin
awal Sarekat Islam. Douwager didentikkan dengan E.F.E.Douwes Dekker, pendiri Indische Partij
yang kemudian terkenal dengan nama Setia Budi, sedangkan Marko mewakili
tokoh Mas Marco Kartodikromo, aktivis politik kiri dan pengarang
berbagai roman. Bahkan roman Hikayat Siti Aini dengan
pengarangnya Hadji Moeloek, yang memang tidak terdapat dalam buku-buku
sejarah sastra Melayu/ Indonesia, ternyata bukan hasil
imajinasi,melainkan penyamaran yang mudah terbongkar dari roman Hikayat Siti Mariah,karangan penulis abad kesembilan belas Hadji Mukti.
Minke sebagai pemuda lugu berkembang menjadi seorang nasionalis yang
berbahaya bagi pemerintah kolonial Belanda. Minke merupakan gambaran
semangat bangsanya sendiri yang tengah berjuang meninggalkan keluguan-nya,menuju
pendewasaan diri sebagai bangsa yang hendak merdeka dan berdaulat.
Bangsa Eropa (Barat) yang semula dipuja oleh Minke karena ketinggian
peradaban dengan ilmu pengetahuannya menjadi kecil dan hina karena
buruknya moral mereka. Moral buruk mereka berwujud kedalam sistem
kolonialisme yang mereka jalankan.
E. Tokoh Minke Atau R.M.Tirto Adhi Soerjo
Dalam roman Tetralogi Pulau Buru, tokoh Minke adalah tokoh
utama.Minke adalah anak priyayi tinggi.Pada masa itu berlangsung,menjadi
anggota bangsawan semacam itu memberi hak istimewa kepada orang di
tanah jajahan, asal ia bersedia menyesuaikan diri dengan tuntutan
rangkap sistem itu: pertama, bertingkah laku sesuai dengan norma-norma
kebudayaan priyayi dan kedua, tunduk pada kemauan penguasa kolonial
yang memanfaatkan golongan priyayi Jawa untuk mempertahankan kekuasaan
dan kewibawaannya dengan kekuatan fisik yang minimal. Atas dasar itu
anak priyayi berhak masuk sekolah yang terbaik yang disediakan di
wilayah koloni, dan ditanggung mendapat karier yang terhormat dalam
jajaran pemerintahan.
Sebagai seorang bangsawan yang berkali-kali berhadapan dengan kekuasaan kolonial, dan dengan sadar menggunakan hak istimewanya (forum privillegiatium)
sebagai perisai terhadap hukum siksa, sedang pers di tangan menjadi
senjata ampuh dalam mengembangkan cita-citanya memajukan negeri.
Adapun kasta bangsawan-priyayi merupakan golongan atas masyarakat
yang konsumtif, tidak produktif, dan lebih lagi tidak kreatif. Hampir
tanpa pengecualian. Ia kenal watak dan impian kasta ini yaitu pangkat
dan kehormatan yang dapat diinderai: bintang, payung, selempang, pita,
gelar. Dan gelar yang diimpikan adalah Pangeran, Arya, Adipati, Tumenggung,
syukur kalau dapat seluruhnya. Dan karunia langsung dari penjajahnya
sendiri pula. Sedang pangkat yang paling digairahi adalah bupati
(pangkat tertinggi di luar daerah kerajaan yang dicapai oleh pribumi).
Apabila raja Pribumi yang memerintah sendiri kerajaannya sama derajatnya
dengan Jendral mayor dalam ketentaraan Hindia Belanda, maka bupati
dengan gelar Tumenggung setaraf dengan Letnan Kolonel (Pramoedya,2003:32). Status kebangsawanannya sejak semula memang diperlukannya.
Kepandaian dan kesukaannya bicara,kecurigaan dan ketidaksenangannya
pada ketidakadilan,berasal dari manapun terutama dari aparat
kolonial,membuat ia tersisih dari saudara-saudaranya yang jadi aparat
kolonial.
Sepanjang dapat diketahui tidak banyak yang dapat dihimpun tentang
masa kecilnya. Seakan ia langsung menjadi dewasa. Memang diketahui,
bahwa ia menyelesaikan sekolah dasarnya di Bojonegoro, Madiun, dan
Rembang; di Bojonegoro ikut dengan neneknya, di Madiun dengan saudara
sepupunya, di Rembang dengan abangnya. Juga kakak-wanita yang
dicintainya harus berpisah dengannya; ia dikirim ke Bojonegoro, dan
kakaknya ke Rembang.
Minke lahir tahun 1880,angka tahun ini disimpulkan dalam Bumi Manusia (1980;65) bahwa:
“Dan semua teman sekolah tahu ada juga seorang wanita pribumi yang
hebat,seorang dara, setahun lebih tua daripadaku. Ia puteri Bupati
J.-wanita pribumi pertama yang menulis dalam Belanda, diumumkan oleh
majalah keilmuan di Betawi. Waktu tulisannya yang pertama diumumkan ia
berumur 17 tahun.Menulis tidak dalam bahasa sendiri!. Setengah dari
teman-temanku menyangkal kebenaran berita itu. Mana bisa ada
pribumi,dara pula, hanya lulusan E.L.S., bisa menulis, menyatakan
pikiran secara Eropa, apalagi yang dimuat di majalah keilmuan?”
Setelah ditelaah, ternyata wanita yang dimaksud dalam kalimat diatas
adalah Raden Ajeng Kartini, puteri Bupati Jepara yang lahir pada tahun
1879.R.M.Tirto Adhi Soerjo lahir di Blora pada tahun 1880. Ayahnya,
R.Ng.Hadji Mohammad Chan Tirtodhipoero, seorang pegawai Kantor Pajak
(Pramoedya, 2003: 29). Mungkin sudah mulai kecil ia telah kehilangan
orangtuanya. Setelah tamat sekolah dasar Belanda (yang pada tahun1902
diubah namanya jadi Europeesche Lagere School atau ELS),
Djokomono, demikian nama kecil dari R.M.Tirto Adhi Soerjo, langsung
masuk sekolah dokter STOVIA. Ia tinggalkan Rembang dan pindah ke Betawi.
Waktu itu ia berumur sekitar 13 atau 14 tahun. Dalam Jejak Langkah
(1985:1) disebutkan bahwa: ”Selamat tinggal semua yang telah terlewati.
Pengalaman-pengalaman masa silam ,kau pun tak terkecuali, Selamat
tinggal.Memasuki alam Betawi-memasuki abad dua puluh.Juga kau, sembilan
belas! selamat tinggal”.
STOVIA pada waktu itu sudah beberapa kali mengalami perombakan. Pada
awalnya lama sekolah hanya dua tahun. Pada tahun 1864 menjadi tiga
tahun. Pada tahun 1875 menjadi tujuh tahun dengan dua tahun kelas
persiapan. Waktu masuk ia (Minke atau R.M.Tirto Adhi Soerjo ) masuk masa
persiapan sudah diperpanjang lagi menjadi tiga tahun.Pada saat ia
mengikuti pelajaran di STOVIA, pelajaran semata-mata diberikan dalam
bahasa Belanda.
Dua di antara kebanggaan menjadi siswa sekolah ini adalah: 1.siswa tidak disebut leerling (siswa atau pelajar),tetapi menggunakan kata Perancis eleve.Dapat
dipahami mengapa harus dipilihkan kata Perancis tersebut. Soalnya
sekolah dokter di mana pun adalah sekolah tinggi. Di Hindia Belanda
tidak,lebih tepat merupakan sekolah menengah kejuruan. Para siswa bukan student (mahasiswa), juga bukan leerling, setidak-tidaknya berada di tengah-tengahnya. 2. Pet
berlencana yang bergambar tongkat berlibat ular berwarna kuning terapit
rangkaian bunga. Dan karena pada waktu itu masih ada ketentuan harus
menggunakan pakaian daerahnya masing-masing,maka para eleve dari Jawa pet dipakai diatas destar( Pramoedya, 2003: 41)
Menurut tradisi STOVIA, apabila mujur, eleve baru mendapat undangan untuk menghadiri pesta lulus siswa lama di rumahnya. Hanya eleve senior diperkenankan memberikan pidato sambutan dalam bahasa Belanda. Eleve
junior menterjemahkan dalam bahasa Melayu, diikuti dalam bahasa Sunda
dan Jawa. Junior dengan angka delapan dalam bahasa Belanda boleh
memberikan pidato sambutan dalam bahasa Belanda. Bahasa Belanda
sungguh-sungguh dimuliakan.
Minke tidak melewatkan semua kesenangan. Ia seorang Raden Mas, yang
pada masanya menduduki tingkat atas kebangsawanan yang diindahkan orang.
Jarang seorang Raden Mas mau melanjutkan pelajaran ke sekolah dokter.
Bahkan dapat dikatakan keluarbiasaan. Golongan bangsawan atas biasanya
melanjutkan sekolah untuk calon pegawai negeri. Mudah dipahami:dokter
adalah pekerjaan pengabdian, pegawai negeri pekerjaan memerintah.
Di Betawi Minke terlepas bebas dari semua ikatan dan aturan ketat
keluarga ningrat-priyayi. Ia langsung meleburkan diri dalam pergaulan
dengan seluruh lapisan masyarakat. Hal ini dapat diketahui dari cepatnya
ia menyerap dialek Melayu-Betawi, dan langsung menggunakannya dalam
tulisan. Dalam tahun 1894-1895, masih dalam kelas persiapan, atau dalam
usia 14-15 tahun ia sudah mengirimkan berbagai tulisan ke sejumlah surat
kabar terbitan Betawi.
Ketertarikan Minke pada jurnalisme telah dimulai sejak dini, ketika awal belajar di School tot Opleiding van Inlandsche Artsen
atau STOVIA, tempat ia menuntut ilmu untuk menjadi dokter Jawa walau
akhirnya tidak lulus. Menurut Tirto Adhi Soerjo (dalam Ahmat
Adam,2003:185) bahwa :
“Ia sendiri berminat menulis untuk surat kabar daripada kuliah dan
belajar.Mula-mula ia menyelesaikan pendidikannya di sekolah Belanda di
Bojonegoro, Madiun,dan Rembang, Ia belajar selama enam tahun di STOVIA,
sampai tahun keempat studinya, namun tak pernah menempuh ujian akhir. Ia
tidak bekerja cukup keras sehingga gagal dalam suatu ujian”.
Dalam Jejak Langkah (1985:43) disebutkan”Sekolah Dokter
bukan tempat untukku”.Pada awalnya datang tuntutan bahwa sebagai anak
priyayi Jawa, ia harus berpakaian sesuai dengan itu. Khususnya syarat
bahwa ia harus bertelanjang kaki di alaminya sebagai hinaan sengit: dia,
cendekiawan modern, yang berkat pendidikannya membebaskan diri dari
belenggu tradisi feodal, oleh penguasa kolonial di kungkung lagi
kedalamnya. Juga disiplin ketat yang harus dipatuhi oleh para murid
menjengkelkannya.
Minke adalah bangsawan Jawa pertama yang dengan sadar memasuki dunia
perniagaan dengan jurnalistik sebagai sarana. Tiga kali ia ia pernah
mendapat tawaran untuk bekerja pada negeri dan ditolaknya. Pertama dari
bekas Asisten Residen Wolff van Westerroode untuk jadi pegawai dinas
pemberantasan lintah darat, jabatan yang kemudian diterima oleh
abangnya, R.M.Said. Kedua dari Asisten Residen Bandung untuk menjadi
pegawai Kantor Pajak. Ketiga untuk menjadi anggota Adat Commissie di
Nederland. Sebagai pelopor kewiraswastaan pada segi lain ia
terang-terangan menolak kecenderungan umum untuk menjadi pegawai negeri
dengan kehormatan semu.
Tirto mengawali karier jurnalisnya sebagai koresponden Hindia Ollanda
pada tahun 1894 tanpa gaji dan hanya dibayar dengan edisi gratis surat
kabar itu. Kecakapannya sebagai editor pribumi mulai mapan ketika ia
menjadi pimpinan redaksi Pemberita Betawi pada April 1902, ketika pada waktu yang sama ia juga bekerja sebagai asisten F.Wiggers, editor harian Warna Sari ,yaitu sebuah harian yang di usahakan L.Weber di Bogor dan pertama terbit pada 1 Oktober 1901 (Ahmat Adam,2003;186)
Di Pemberita Betawi hanya bertahan sekitar setahun sampai ia
mengundurkan diri pada April 1903 dengan alasan kesehatan yang
buruk.Tetapi tak lama setelah itu,keinginan memulai sebuah penerbitan
milik sendiri mendorong Tirto menerbitkan Soenda Berita pada 17 Agustus 1903.Mingguan berharga langganan 7,5 gulden per tahun atau 4 gulden per enam bulan ini dicetak oleh G. Kolff & Co
.di Batavia, dan terdiri dari dua puluh empat halaman, empat belas
halaman diantaranya iklan.Berbagai tulisan mengenai perdagangan,
pertanian, dan hukum dalam Soenda Berita jelas merefleksikan keinginan sang editor merangsang pembacanya agar berjuang bagi kemajuan dengan cara belajar. Soenda Berita,
penerbitan pertama yang dimiliki, diedit, dan dikelola oleh orang
pribumi ini, hanya bisa bertahan selama dua tahun, karena Tirto dipaksa
pergi ke Maluku pada akhir 1904. Sebelumnya, pada tahun itu juga, Tirto
terjerat sebuah tuntutan hukum mengkhianati kepercayaan. Ia akhirnya
tinggal selama setengah tahun di Maluku, sebagai hukuman buang yang
dikenakan kepadanya oleh pengadilan (Ahmat Adam,2003:186)
Ketika berada di Maluku, mungkin pada tahun 1905, Tirto Adhi Soerjo
menjadi akrab dengan Sultan Bacan, Muhammad Sidik Syah, sehingga
diperkenankan menyunting putri penguasa Bacan itu yang bernama Radja
Fatimah.
Pada akhir Februari atau awal Maret Tirto Adhi Soerjo mengawali
perjalanannya di Pulau Jawa, dengan ditemani isrinya.Sepanjang
perjalanan itu, ia didekati oleh beberapa tokoh priyayi yang ingin agar
kesengsaraan dan kesejahteraan kaum pribumi diberi perhatian. Setiba di
Batavia pada sekitar minggu pertama Juni, Tirto membicarakan soal ini
dengan Raden Mas Prawiradiningrat, ketua jaksa dan beberapa commandant
wilayah Tanah Abang, Mangga Besar, dan Penjaringan.Pembicaraan itu
menghasilkan komitmen sementara bagi pembentukan sebuah perhimpunan
priyayi yang akan diberi nama Sarekat Priyayi.Permintaan
dukungan dari berbagai komunitas priyayi langsung diedarkan keseluruh
Jawa dengan tujuan utama mendirikan sebuah kantor layanan beasiswa untuk
biaya pendidikan putra-putri priyayi. Untuk membiayai kantor tersebut,
panitia persiapan memutuskan dana akan diambil dari iuran dan sumbangan
para anggota,sumbangan khalayak, penghasilan dari taman kanak-kanak dan
kursus bahasa Belanda yang didirikan, serta penghasilan dari penjualan.
Gerakan membentuk Sarekat Priyayi benar-benar penting. Ini menandai
dimulai upaya mendirikan organisasi pribumi modern di bawah pimpinan
terpelajar bangsa Indonesia. Seperti Tiong Hoa Hwee Koan yang didirikan pada tahun 1900 dan Boedi Oetomo pada tahun 1908, pendidikan menjadi perhatian utama Sarekat Prijaji; dan seperti pemimpin kedua organisasi itu, penggagas Sarekat Prijaji juga ingin memiliki sebuah corong politik.
Keinginan menerbitkan sebuah surat kabar akhirnya terwujud ketika
salah seorang anggota Sarekat Prijaji, Raden Mas Temenggoeng Pandji
Arjodinoto, ketua jaksa di Cirebon, menyumbang 1.000 gulden untuk modal
awal, mingguan Medan Prijaji pun muncul dengan Tirto Adhi Soerjo sebagai editor dan pengelolanya.
Medan Prijaji adalah surat kabar mingguan pertama di Jawa
yang mengambil peran sebagai corong kaum terpelajar pribumi dan forum
bagi pembaca pribumi untuk mengekspresikan pandangan mereka serta
mendiskusikan berbagi isu menyangkut kesejahteraan pribumi, terutama
soal pendidikan bagi kaum pribumi dan soal-soal sosial politik seperti
kritik terhadap priyayi korup dan pejabat pemerintah yang
menyalahggunakan kekuasaan dan mengeksploitasi orang kecil. Kritik
terang-terangan Tirto Adhi Soerjo kepada pejabat Belanda dan pribumi,
serta sentimen nasionalistisnya yang mencolok jelas menunjukkan
orientasi politik mingguan ini. Selain membela kepentingan kaum pribumi
melawan eksploitasi dan ketidakadilan penguasa pribumi dan pejabat
pemerintah yang korup, Medan Prijaji juga sangat keras
mengkritik sistem kolonial Belanda. Itu tampak pada tuntutan hukum yang
segera dikenakan penguasa pada pimpinan redaksinya, Tirto Adhi Soerjo,
yang lebih dari sekali dituduh melanggar UU Pers kolonial yang melarang
mengkritik terhadap pejabat pemerintah dan kalangan priyayi senior.
Segera setelah meluncurkan Medan Prijaji, Tirto Adhi Soerjo menerbitkan Soeloeh Keadilan pada April 1907. Tidak lama setelah Soeloeh Keadilan beredar,
Tirto Adhi Soerjo meminta bantuan Haji Mohammad Arsad untuk mengelola
penerbitan ini, kurangnya sumber-sumber finansial mendorong dia
mendekati Haji Mohammad Arsad. Ketika memulai penerbitan Soleloeh Keadilan, Tirto memang berhasil meraih dukungan dana dari beberapa priyayi yang dermawan.
Tirto juga ingin menerbitkan sebuah jurnal perempuan, karena percaya
kebangkitan elite pribumi tidak bisa hanya dibatasi hanya pada kaum pria
terpelajar. Ia adalah juga salah seorang motor gerakan emansipasi.
Peseru untuk berdirinya perhimpunan wanita. Kaum perempuan Indonesia,
walau yang melek huruf pada masa itu masih sedikit.juga harus menjadi
sasaran.Karena itu Tirto meluncurkan Poetri Hindia pada tahun1908.Ahmat Adam (2003:191)menyatakan bahwa:
“Tirto menulis karangan berjudul Kemadjoean Perempoean Boemipoetra.Dalam
karangan ini Tirto menyebut nama Raden Ajoe Lasminingrat, dari
Pasundan, istri Kajeng Adipati Garut.Menurut Tirto, setahu dia, wanita
ini, wanita pertama yang berkecimpung dalam kegiatan sastra. Ia telah
mengarang dua buku dalam Sunda. Tirto mengenal dua wanita lain yang
mengikuti jejak langkah Raden Ajoe Lasminingrat, tetapi, kedua wanita
itu bersaudara itu, Raden Adjeng Kartini dan Raden Adjeng Rukmini, putri
Jepara, tidak menulis dalam bahasa ibu mereka sendiri, melainkan dalam
bahasa Belanda di berbagai berkala bulanan di negeri Belanda.Maka
pengetahuan kedua putri raja ini tidak menyemaikan bibit yang bermanfaat
bagi saudara-saudara mereka di Hindia Belanda, karena mereka masih
terlalu muda dan kurang matang dalam kesadaran mereka untuk menyebarkan
pengetahuan di kalangan kita, orang-orang pribumi. Dalam karangan yang
sama, Tirto menyatakan keinginannya memulai majalah wanita,karena tidak
ada majalah atau surat kabar yang cocok bagi mereka. Nama wanita-wanita
lain yang disebut Tirto sebagai memberikan sumbangan karangan kepada
pers bahasa Melayu ialah nyonya Retnaningsih dan Retnaningrum”.
Poetri Hindia terutama melayani kebutuhan para istri dan keluarga
priyayi tinggi, tetapi juga mempunyai beberapa pelanggan
Tionghoa.Artikel soal-soal rumah tangga seperti kebersihan, nasihat
mengenai anak, jahatnya kemewahan dan seni masakan Jawa memenuhi
halaman-halaman Poetri Hindia.
Tanggapan para pelanggan yang baik terhadap tiga berkala yang
diterbitkan Minke memberanikan dia mendirikan usaha bisnis yang didukung
oleh para priyayi kaya. Permohonannya untuk membentiuk sebuah
perusahaan dagang dikabulkan pemerintah .Kemudian diberi namaNaamlooze Vennootshap: Javaansvhe Boekhandel en Drukkerij en Handel in Schrijfbehoeften Medan Prijaji.
Pembentukan perusahaan Medan Prijaji sebagai sebuah perseroan terbatas
di Hindia Belanda menandai upaya serius pertama dari wiraswastawan
pribumi untuk meluaskan operasi penerbitan surat kabarnya denganmeminta
dukungan finansial dari para hartawan.
Sebagai pemimpin redaksi Medan Prijaji, Minke menyumbang sejumlah
artikel yang tajam dan menggugah, membongkar korupsi maupun berbagai
penyalahgunaan kekuasaan oleh para pejabat pemerintah..
Mas Marco Kartodikromo (dalam Pramoedya,2003:6) menyatakan bahwa:
”Raden Mas Tirto Hadi Soerjo,jang seorang bangsawan asali dan joega
bangsawan kafikiran, Boemipoetra yang pertama kali mendjabat Journalist;
boleh bilang toen T.A.S.indoek journalist Boemipoetra di ini tanah
Djawa, tadjam sekali beliau poenya penna, banjak pembesar-pembesar jang
kena critieknja djadi moentah darah dan sebagian besar soeka memperbaiki
kelakoeannja jang koerang senonoh”.
Tidak ada editor berkebangsaan Indonesia lainnya pada sejarah awal
pers berbahasa anak negeri ini yang sangat terus terang dan seberani
Minke. Ia tidak hanya mencerca pejabat pribumi, tetapi juga
mempermalukan orang Belanda yang hidup seperti binatang bersama
perempuan-perempuan pribumi, hingga menciptakan ras baru di
tengah-tengah bangsa Eropa yang berdarah murni. Ia juga berusaha
menjauhkan para pemuda priyayi dari keinginan menjadi priyayi birokrat.
Ia mengkritik karena lebih memilih bekerja sebagai penyalin dan juru
gambar dan mencemooh obsesi mereka mengejar peningkatan status dari
magang ke status priyayi agar bisa memperoleh hak mencantumkan huruf ”W”
pada kancing baju luar. Minke memandang rendah orang pribumi yang
mencoba menjadi orang Belanda atau separuh Belanda.
Ia menyerang kaum muda,menuduh mereka sebagai agen Belanda dan hanya
berpura-pura berupaya mengangkat harkat hidup kaum pribumi. Dengan
menuduh mereka telah menjadi kapiran(kafir), Minke mengecap mereka tidak
otentik secara budaya, bahkan pengkhianat budaya. Walau semula
menyambut hangat pembentukan Boedi Oetomo, ia menentang keras
ketika organisasi baru ini mengumumkan niatnya mensponsori sebuah
penerbitan pada tahun 1909 di bawah asuhan Douwes Dekker, editor Bataviaasch Niewsblad. Sebagai
seorang Indo,Douwes Dekker jelas tidak lebih mengerti urusan Jawa
daripada orang Jawa sendiri. Minke memandang rendah para
mahasiswa,seperti mereka yang di Sekolah Dokter Jawa yang menggagas
pembentukan Boedi Oetomo, Minke memandang generasi baru ini Cuma orang
kaya baru yang tergila-gila pada kebudayaan Barat.
Dalam Roman ini, kehidupan Minke dan lingkungan yang mengelilinginya
menggambarkan bagaimana perilaku-perilaku manusia yang ditindas dan
yang menindas,berlaku di Hindia Belanda (sebutan Indonesia ketika itu)
pada masa akhir abad 19 dan awal abad 20. Ketidakmanusiawian feodalisme
ditampilkan, hal ini dapat dicontohkan: ketika Minke, anak bupati yang
terpelajar pengetahuan Eropa, merasa terhina sekali waktu bertemu
ayahnya harus merangkak, berengsot seperti keong, dan menyembah seorang
raja kecil yang barangkali buta huruf pula. Kolonialisme pada saat itu
juga tidak manusiawi karena disamping sistem itu sendiri menindas dan
mengisap,ia membentuk karakter-karakter masyarakat pendendam akibat
pengania yaan dan penindasan yang dialami mereka.
Oleh:
Erond L. Damanik, M.Si
Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial
Lembaga Penelitian Universitas Negeri Medan
Erond L. Damanik, M.Si
Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial
Lembaga Penelitian Universitas Negeri Medan
Disarikan dari:
Skripsi mahasiswa atasnama : Arby Syafri Tanjung, alumni Jurusan Pendidikan Sejarah Unimed
Skripsi mahasiswa atasnama : Arby Syafri Tanjung, alumni Jurusan Pendidikan Sejarah Unimed
---------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber: http://pussisunimed.wordpress.com
No comments:
Post a Comment