Wednesday, March 14, 2012

Tetralogi Pulau Buru Karya Pramodya Ananta Toer



A. Roman Sebagai Dokumen Sosial
Penyebutan roman sebagai dokumen sosial menimbulkan masalah yang menyangkut hubungan antara penulisan sejarah dan sastra secara umum. Keterpautan penulisan sejarah dan roman sebagai karya sastra adalah sama-sama merekam realitas. Disadari atau tidak diantara keduanya juga terdapat perbedaan yang jelas. Roman sebagai dokumen sosial mempunyai konsekuensi yang penting dalam pemakaian karya sastra dan karya sejarah. Adakalanya roman disebut sebagai dokumen sosial dan walaupun dari segi tertentu ada benarnya, hal itu tidak berarti bahwa roman manapun dapat dipergunakan langsung sebagai dokumen. Justru dalam tiap karya sastra ada keterpaduaan antara kenyataan dan khayalan. Orang harus sangat hati-hati dalam upaya mengambil data faktual yang terdapat dalam roman.

Roman memang dapat disebut sebagai dokumen sosial dan sering kali jauh lebih baik daripada tulisan-tulisan sosial mana pun, roman dapat menghayati eksistensi manusia dengan segala permasalahannya. Salah satu jenis roman yang dapat dikategorikan sebagai dokumen sosial adalah roman sejarah. Roman sejarah merupakan karangan prosa yang melukiskan perbuatan pelakunya menurut watak dan isi jiwa masing-masing yang disusun berdasarkan fakta sejarah (Depdiknas, 2005:961). Roman sejarah merupakan pelengkap dari realitas aktual. Sedangkan realitas aktual adalah realitas yang secara umum dilekatkan pada penulisan sejarah yang bersifat sistematis dan analitis, penulisan sejarah seperti ini biasanya tidak pernah dapat melukiskan secara keseluruhan dan hanya merupakan potongan-potongan realitas aktual. Kuntowijoyo dalam Humaniora (Februari 2004) menyatakan bahwa”manusia tidak hidup dengan realitas aktual saja”. Roman sebagai perekam realitas mempunyai kualitas kembar:disatu pihak mengungkapkan realitas historis, di lain pihak mempunyai kekuatan magis dari imajinasi. Sebagai pelengkap daripada realitas aktual, roman bagian dari bentuk sastra melengkapi keterpotong-potongan realitas itu dengan realitas simbolis. Roman sejarah memperluas interpretasi pengkisahan / penceritaan sebuah peristiwa sejarah atau tokoh.

B. Kondisi Kamp Konsentrasi Pulau Buru
Roman tetralogi Pulau Buru maksudnya adalah roman sejarah yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer yang terdiri dari empat rangkaian (empat jilid yaitu Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) dan ditulis pada saat ia dalam pembuangan (penahanan) di pulau Buru, pulau yang masih merupakan bagian wilayah administratif Propinsi Maluku sekarang. Roman tetralogi pulau Buru diterbitkan pada tahun delapan puluhan. Satu tahun setelah pembebasan  Pramoedya Ananta Toer dari Kamp konsentrasi Tefaat-Pulau Buru. Penjelasan tentang kondisi kamp konsentrasi ini menurut Pramoedya bahwa seharusnya kamp dibangun dengan spesifikasi khusus, seperti harus menggunakan pondasi beton dan balok-balok kayu yang kuat. Tapi kenyataannya sangat berbeda. Dinding dan atap barak kami terbuat dari daun-daunan.Jadi aannemer-nya (pemborongnya) korup. Seluruh area dipagari dengan kawat besi. Dan seluruh tahanan harus bekerja diladang atau disawah (Andre Vltchek, 2006: 35).

Kemudian yang menjadi tahanan di Pulau Buru merupakan orang-orang yang berasal dari berbagai lapisan masyarakat. Pramoedya merupakan bagian dari kelompok pertama yang dikirim ke Pulau Buru dan kelompok ini terdiri dari sekitar 500 orang tahanan. Pada saat itu ( tahun 1969) Kamp di Pulau Buru merupakan kamp yang masih sangat kecil dan belum ada jalan dibagian Utara Pulau Buru, hanya beberapa jalan dibagian Selatan. Jadi tahanan kelompok pertama inilah yang harus membangun jalan. Tahanan membangun jalan sepanjang 170 Kilometer. Setelah itu datang tahanan-tahanan lain, dan jumlahnya mencapai 14.000 orang (Andre Vltchek, 2006: 35).

Para tahanan dimasa itu diwajibkan bekerja keras seperti menggali saluran air, membuat saluran irigasi, membangun jalan, dan bekerja disawah. Selain kewajiban bekerja keras para tahanan juga mendapat perlakuan yang tidak manusiawi seperti disiksa bahkan dibunuh. Mungkin karena dimonitor oleh dunia internasional, Pram menyatakan (dalam Andre Vltchek,2006:36)”saya sendiri praktis tidak disiksa”. Sedangkan untuk tahanan lain, ada semacam gubuk khusus, dinamakan jigo kecil, untuk penyiksaan dan pembunuhan. Tempatnya jauh dari tempat Pramoedya ditempatkan. Pram tinggal dekat ketengah Pulau, sedangkan jigo kecil itu dekat dengan pelabuhan. Suatu kali Pram melihat tahanan politik disuruh lari dan dikejar oleh gerobak kuda. Kalau dia tidak mampu lari lagi,maka akan dilindas oleh gerobak kuda itu.Disiksa di kamp adalah hal yang normal ( Andre Vltchek, 2006:36 ).

Supaya tahanan politik bisa hidup, tahanan politik harus mencari sendiri untuk makan. Banyak tahanan yang mati karena kelaparan atau karena dibunuh. Cerita tentang tindakan tidak manusiawi yang dilakukan oleh para petugas (dalam hal ini militer) Pram menyatakan (dalam Andre Vltchek, 2006:37-38) bahwa:
 “Salah seorang teman tahanan beternak ayam ,tapi dia selalu saja kehilangan seekor ayam setiap hari. Teman saya merasa jengkel sekali. Karena ingin tahu siapa yang mencuri ayamnya,suatu malam dia mengosongkan kandangnya dan menyembunyikan ayamnya. Dia menaruh tai kerbau didalam kandang.Yang dia tidak tahu adalah bahwa yang mencuri adalah tentara penjaga. Jadi ketika mereka mencoba mencuri lagi, mereka hanya mendapatkan tai kerbau. Keesokan paginya kami semua dipanggil dan disuruh berdiri berjajar, dan ditanya kandang siapa. Sewaktu mereka menemukan kandang itu milik siapa, dia langsung dipukuli di depan kami semua. Malah dituduh penipu.

Satu contoh lain: salah seorang rekan tahanan di Pulau Buru memelihara ikan di tebat. Dia sering kali kehilangan ikan-ikannya, dan akhirnya dia mencoba mengintip siapa yang mencuri, dan ternyata militer yang mencuri. Sewaktu mereka tahu bahwa rekan saya ini mengintip mereka dalam menjalankan aksi pencurian ikannya, mereka menembaknya langsung di tempat. Dia mati seketika.

Kemudian, seorang teman tahanan juga menyimpan sesobek kertas koran berkas bungkus. Kami tidak diperbolehkan membaca sama sekali, dan ketika tentara mendapatkan bahwa dia menyimpan sepotong koran bekas, mereka mengikat dan menggantungnya. Dua hari kemudian kami menemukan mayatnya mengapung di sungai.

Beberapa teman lain sedang bekerja di sawah. Mereka istirahat makan siang di gubuk,dan di gubuk itu disimpan pupuk, warnanya putih. Kemudian militer datang dan mereka melihat pupuk itu di dalam gubuk, mereka pikir itu gula. Seorang tentara mencicipi pupuk itu dan langsung disemburkan. Semua yang berada di dalam gubuk langsung disiksa tanpa ampun. Sekali lagi, tentara menuduh mereka menipu.

Suatu ketika saya hampir saja ditembak,tapi seorang teman memukul senapan penjaga yang akan menembak saya. Mau tahu alasannya mengapa mereka mau menembak saya ? Ketika kami dikirim ke Buru, setiap tahanan hanya di perbolehkan membawa dua stel pakaian. Dan karena kami harus bekerja di ladang atau sawah setiap hari, tentu saja pakaian saya lama -kelamaan  rusak, tidak bisa dipakai lagi. Dan karena pada malam hari di gubuk terasa dingin sekali, maka saya harus punya paling tidak satu set pakaian untuk tidur. Jadi untuk keladang saya memakai cangcut karung plastik. Ketika militer melihat saya, mereka bilang saya menghina kebudayaan Timur dengan memakai pakain itu. Benar-benar mereka akan menembak saya hanya karena pakaian yang saya pakai pada waktu itu”.

Dalam kondisi lingkungan kamp konsentrasi yang demikian Pram menulis roman Tetralogi Pulau Buru. Pram diperbolehkan menulis kembali karena ada tekanan dari dunia internasional. Setelah empat tahun menjalani hidup tanpa boleh membaca secarik kertas atau menulis satu kata pun. Suatu hari di tahun 1973, Jenderal Soemitro, Pangkopkamtib waktu itu,datang menemui Pram atas perintah Soeharto. Soemitro mengatakan bahwa mulai saat itu Pram boleh menulis kembali. Pram harus mencari sendiri kertasnya, dan dia dapatkan terutama dari gereja katolik. Berdasarkan pengalamannya sebagai tahanan politik, Pram mengetahui persis bahwa pihak pemerintah akan merampas apa yang dia tulis. Itulah sebabnya Pram mengetik naskah dalam beberapa copy. Satu copy roman Tetralogi dia sebarkan di antara teman-teman tahanan sehingga para tahanan bisa membaca dan mengingatnya. Satu copy lagi ia berikan ke gereja, yang kemudian menyelundupkannya keluar Pulau Buru dan kemudian mengirimkannya ke Eropa, Amerika Serikat, atau Australia. Pada akhirnya apa yang telah dikhawatirkan Pram terjadi, mereka para petugas merampas semua naskah Pram pada saat dia meninggalkan Pulau Buru, termasuk surat pribadi dari Presiden Soeharto kepadanya.

Pada tahun 1979 rezim Soeharto akhirnya memutuskan untuk membubarkan kamp konsentrasi Pulau Buru.

C. Sumber Sejarah Penulisan Roman Tetralogi Pulau Buru
Sumber sejarah seringkali disebut juga data sejarah. Perkataan data merupakan jamak dari kata tunggal datum (bahasa latin) yang berarti pemberitaan (Kuntowijoyo, 1995:94). Data sejarah itu sendiri berarti bahan sejarah yang memerlukan pengolahan, penyeleksian, dan pengkategorian (Dudung Abdurrahman, 1999: 30). Berdasarkan bahan, jenis sumber sejarah yang dominan digunakan Pramoedya dalam penulisan roman Tetralogi Pulau Buru adalah sumber tertulis yaitu surat kabar-surat kabar yang terbit diakhir abad 19 dan awal abad 20. Pram menyatakan (dalam Andre Vltchek, 2006: 74) bahwa:

“Sebelum saya  ke Buru saya sudah punya konsep untuk “Tetralogi” dan sudah berniat menulis. Kertas kerja serial novel ini sangat luas. Sebagian dikerjakan oleh mahasiswa saya. Ceritanya begini: Suatu hari datang seorang profesor dari Universitas Leiden menemui saya dan meminta saya untuk mengajar di Universitas Res Publica.Saya jawab: ”Bagaimana saya bisa mengajar di universitas kalau SMP saja saya tidak tamat?!. Tapi dia memaksa saya terus dan akhirnya saya terima juga. Ketika di depan kelas, saya tidak tahu harus bagaimana mengajar mereka. Akhirnya saya punya ide. Saya minta mahasiswa-mahasiswa saya untuk mempelajari surat kabar dimulai dari awal abad dan buat kertas kerja untuk setiap era di dalam sejarah. Naskah kerja inilah yang memberikan ide untuk konsep serial novel saya”Tetralogi Buru”. Dengan menggunakan kertas kerja mahasiswa saya tersebut saya juga bisa menulis buku Sang Pemula. Dengan konsep di kepala dan kertas kerja mahasiswa tersebut semuanya menjadi mudah,tinggal duduk di depan mesin tik saja”.

Sumber-sumber induk yang dipakai adalah surat kabar terbitan-terbitan pokok R.M.Tirto Adhi Soerjo, yang sebagian terbesar sudah dalam keadaan tidak utuh, bahkan ada yang berupa sisa belaka yang compang-camping ( Pramoedya, 2003:10 ).

Adapun terbitan-terbitan itu adalah:.1) Pemberita Betawi (harian) Th.XVII,  1901, dan XVIII, 1902, dimana ia ( Tirto Adhi Soerjo) menjadi redaktur, kemudian redaktur kepala dan penanggung jawab, milik Firma Albrecht & Co Betawi, 2) Soenda Berita (mingguan) milik Tirto Adhi Soerjo pribadi, terbit di Cianjur kemudian Weltevreden, Betawi, 3) Medan Prijaji (Mingguan), milik NV Medan Prijaji dimana Tirto Adhi Soerjo menjabat sebagai redaktur kepala, penanggung jawab dan direktur,4) Soeloeh Keadilan (bulanan), milik NV.Medan Prijaji dengan R.M.Tirto Adhi Soerjo sebagai direktur, 5) Poetri Hindia, milik NV Medan Prijaji dengan R. M. Tirto Adhi Soerjo sebagai direktur, 6) Sarotomo, sebagai organ Serikat Dagang Islam, 7) De Maleische Pers, 8) Pewarta S. S, 9) Sri Pasoendan,10) Soeara B.O.W, 11) Soeara Pegadaian dan lain sebagainya (Pramoedya, 2003:11). Surat-surat kabar tersebut didapatkan dari koleksi Perpustakaan Nasional dan Perpustakaan Idayu, dua-duanya di Jakarta. Selain daripada surat kabar, Pram juga menggunakan sumber tertulis lainnya seperti buku, dokumen pemerintah yang berkaitan dengan masalah yang dideskripsikan dalam Tetralogi Pulau Buru. Pram tidak hanya menggunakan sumber tertulis, dia juga memakai sumber tidak tertulis yaitu dengan wawancara. Wawancara ini dilakukan pada bulan Juli 1962 dengan R.Djojopranoto sebagai nara sumbernya. R.Djojopranoto adalah seorang lulusan STOVIA,dari generasi yang lebih muda dari R.M.Tirto Adhi Soerjo. Semasa wawancara R.Djojopranoto adalah seorang guru bahasa Inggris, Prancis, Jerman, dan Rusia. R.Djojopranoto adalah anggota Dewan Pimpinan C-SI tahun1916. Tidak jelas C-SI  Surabaya dibawah Tjokroaminoto atau C-SI Batavia atau C-SI tandingan dibawah Samanhoedi-Goenawan ( Pramoedya, 2003:100).

D. Penulisan Sejarah Dalam Roman Tetralogi Pulau Buru
Roman Tetralogi Pulau Buru ditulis setelah Pram semakin sadar bahwa manusia harus mengetahui sejarahnya (the people must know their history). Roman tetralogi ini menggambarkan tentang Minke, seorang sosok anak bangsa di tengah perubahan zaman untuk bangsanya. Minke merupakan prototip dari R.M.Tirto Adhi Soerjo. Riwayatnya terjadi di awal abad 20, suatu fase awal kebangkitan nasional.  Minke menjadi simbol bagaimana bangsa Indonesia yang tenggelam dalam kegelapan, mulai memandang cahaya kebangkitannya. Sang tokoh juga merupakan streotip para aktivis pergerakan ketika itu yaitu seorang anak priyayi mendapat kesempatan menempuh pendidikan gaya Eropa (Barat). Roman ini  merupakan tulisan yang sarat dengan penyadaran sejarah, yang terutama mengembangkan karakter-karakter manusia Hindia Belanda pada masanya. Mereka terdiri dari orang Belanda, Indo, aktivis dari Cina (juga ada semacam germo), seniman Perancis, pelacur Jepang, orang buangan dari Maluku dan tokoh-tokoh pribumi,yang begitu kaya warna. Mereka hidup dan berjuang ditempat yang sama, memperebutkan tempat yang sama, atas dasar kepentingan mereka masing-masing.

Dalam Roman Tetralogi Pulau Buru dapat ditemukan nama tokoh-tokoh yang mudah dilacak dari data sejarah. Adakalanya dengan nama sebenarnya, adakalanya nama samaran yang mudah dikenal kembali: misalnya J.B.Van Heutsz yang dalam sejarah pers Hindia mengubah sensor preventif menjadi represif, menjabat gubernur jendral di Hindia Belanda pada periode 1904-1909, A.W.F.Idenburg merupakan gubernur jendral yang mendapat sebutan ‘tangan besi’, menjabat sebagai pengganti Van Heutsz yaitu pada periode 1909-1916, pengarang Marie van Zegelen, tokoh sosialis dan tokoh progresif Belanda Ir.H.H.Van Kol yang hidup dalam periode politik ethiek kolonial dalam roman ini bernama Kollewijn, atau Kartini dan surat-suratnya yang diterbitkan oleh tuan Abendanon dengan judul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang) yang dalam roman ini disebut De Zonnige Toekomst (Masa Depan Yang Bersinar Terang). Dalam Roman ini juga kita dapat temukan Boedi Oetomo dan dua pendirinya, dokter Jawa Wahidin Soediro husodo dan Soetomo. Hadji Samadi dalam roman ini mewakili Samanhoedi, salah seorang pemimpin awal Sarekat Islam. Douwager didentikkan dengan E.F.E.Douwes Dekker, pendiri Indische Partij yang kemudian terkenal dengan nama Setia Budi, sedangkan Marko mewakili tokoh Mas Marco Kartodikromo, aktivis politik kiri dan pengarang berbagai roman. Bahkan roman Hikayat Siti Aini dengan pengarangnya Hadji Moeloek, yang memang tidak terdapat dalam buku-buku sejarah sastra Melayu/ Indonesia, ternyata bukan hasil imajinasi,melainkan penyamaran yang mudah terbongkar dari roman Hikayat Siti Mariah,karangan penulis abad kesembilan belas Hadji Mukti.

Minke sebagai pemuda lugu berkembang menjadi seorang nasionalis yang berbahaya bagi pemerintah kolonial Belanda. Minke merupakan gambaran semangat bangsanya sendiri yang tengah berjuang meninggalkan keluguan-nya,menuju pendewasaan diri sebagai bangsa yang hendak merdeka dan berdaulat. Bangsa Eropa (Barat) yang semula dipuja oleh Minke karena ketinggian peradaban dengan ilmu pengetahuannya menjadi kecil dan hina karena buruknya moral mereka. Moral buruk mereka berwujud kedalam sistem kolonialisme  yang mereka jalankan.

E. Tokoh Minke Atau  R.M.Tirto Adhi Soerjo
Dalam roman Tetralogi Pulau Buru, tokoh Minke adalah tokoh utama.Minke adalah anak priyayi tinggi.Pada masa itu berlangsung,menjadi anggota bangsawan semacam itu memberi hak istimewa kepada orang di tanah jajahan, asal ia bersedia menyesuaikan diri dengan tuntutan rangkap sistem itu: pertama, bertingkah laku sesuai dengan norma-norma kebudayaan  priyayi dan kedua, tunduk pada kemauan penguasa kolonial yang memanfaatkan golongan priyayi Jawa untuk mempertahankan kekuasaan dan kewibawaannya dengan kekuatan fisik yang minimal. Atas dasar itu anak priyayi berhak masuk sekolah yang terbaik yang disediakan di wilayah koloni, dan ditanggung mendapat karier yang terhormat dalam jajaran pemerintahan.

Sebagai seorang bangsawan yang berkali-kali berhadapan dengan kekuasaan kolonial, dan dengan sadar menggunakan hak istimewanya (forum privillegiatium) sebagai perisai terhadap hukum siksa, sedang pers di tangan menjadi senjata ampuh dalam mengembangkan cita-citanya memajukan negeri.

Adapun kasta bangsawan-priyayi merupakan golongan atas masyarakat yang konsumtif, tidak produktif, dan lebih lagi tidak kreatif. Hampir tanpa pengecualian. Ia kenal watak dan impian kasta ini yaitu pangkat dan kehormatan yang dapat diinderai: bintang, payung, selempang, pita, gelar. Dan gelar yang diimpikan adalah Pangeran, Arya, Adipati, Tumenggung, syukur kalau dapat seluruhnya. Dan karunia langsung dari penjajahnya sendiri pula. Sedang pangkat yang paling digairahi adalah bupati (pangkat tertinggi di luar daerah kerajaan yang dicapai oleh pribumi). Apabila raja Pribumi yang memerintah sendiri kerajaannya sama derajatnya dengan Jendral mayor dalam ketentaraan Hindia Belanda, maka bupati dengan gelar Tumenggung setaraf dengan Letnan Kolonel (Pramoedya,2003:32). Status kebangsawanannya sejak semula memang diperlukannya.

Kepandaian dan kesukaannya bicara,kecurigaan dan ketidaksenangannya pada ketidakadilan,berasal dari manapun terutama dari aparat kolonial,membuat ia tersisih dari saudara-saudaranya yang jadi aparat kolonial.

Sepanjang dapat diketahui tidak banyak yang dapat dihimpun tentang masa kecilnya. Seakan ia langsung menjadi dewasa. Memang diketahui, bahwa ia menyelesaikan sekolah dasarnya di Bojonegoro, Madiun, dan Rembang; di Bojonegoro ikut dengan neneknya, di Madiun dengan saudara sepupunya, di Rembang dengan abangnya. Juga kakak-wanita yang dicintainya harus berpisah dengannya; ia dikirim ke Bojonegoro, dan kakaknya ke Rembang.

Minke lahir  tahun 1880,angka tahun ini disimpulkan dalam Bumi Manusia (1980;65) bahwa:
“Dan semua teman sekolah tahu ada juga seorang wanita pribumi yang hebat,seorang dara, setahun lebih tua daripadaku. Ia puteri Bupati J.-wanita pribumi pertama yang menulis dalam Belanda, diumumkan oleh majalah keilmuan di Betawi. Waktu tulisannya yang pertama diumumkan  ia berumur 17 tahun.Menulis tidak dalam bahasa sendiri!. Setengah dari teman-temanku menyangkal kebenaran berita itu. Mana bisa ada pribumi,dara pula, hanya lulusan E.L.S., bisa menulis, menyatakan pikiran secara Eropa, apalagi yang dimuat di majalah keilmuan?”

Setelah ditelaah, ternyata wanita yang dimaksud dalam kalimat diatas adalah Raden Ajeng Kartini, puteri Bupati Jepara yang lahir pada tahun 1879.R.M.Tirto Adhi Soerjo lahir di Blora pada tahun 1880. Ayahnya, R.Ng.Hadji Mohammad Chan Tirtodhipoero, seorang pegawai Kantor Pajak (Pramoedya, 2003: 29). Mungkin sudah mulai kecil ia telah kehilangan orangtuanya. Setelah tamat sekolah dasar Belanda (yang pada tahun1902 diubah namanya jadi Europeesche Lagere School atau ELS), Djokomono, demikian nama kecil dari R.M.Tirto Adhi Soerjo, langsung masuk sekolah dokter STOVIA. Ia tinggalkan Rembang dan pindah ke Betawi. Waktu itu ia berumur sekitar 13 atau 14 tahun. Dalam Jejak Langkah (1985:1) disebutkan bahwa: ”Selamat tinggal semua yang telah terlewati. Pengalaman-pengalaman masa silam ,kau pun tak terkecuali, Selamat tinggal.Memasuki alam Betawi-memasuki abad dua puluh.Juga kau, sembilan belas! selamat tinggal”.

STOVIA pada waktu itu sudah beberapa kali mengalami perombakan. Pada awalnya lama sekolah hanya dua tahun. Pada tahun 1864 menjadi tiga tahun. Pada tahun 1875 menjadi tujuh tahun dengan dua tahun kelas persiapan. Waktu masuk ia (Minke atau R.M.Tirto Adhi Soerjo ) masuk masa persiapan sudah diperpanjang lagi menjadi tiga tahun.Pada saat ia mengikuti pelajaran di STOVIA, pelajaran semata-mata diberikan dalam bahasa Belanda.

Dua di antara kebanggaan menjadi siswa sekolah ini adalah: 1.siswa tidak disebut leerling (siswa atau pelajar),tetapi menggunakan kata Perancis eleve.Dapat dipahami mengapa harus dipilihkan kata Perancis tersebut. Soalnya sekolah dokter di mana pun adalah sekolah tinggi. Di Hindia Belanda tidak,lebih tepat merupakan sekolah menengah kejuruan. Para siswa bukan student (mahasiswa), juga bukan leerling, setidak-tidaknya berada di tengah-tengahnya. 2. Pet berlencana yang bergambar tongkat berlibat ular berwarna kuning terapit rangkaian bunga. Dan karena pada waktu itu masih ada ketentuan harus menggunakan pakaian daerahnya masing-masing,maka para eleve dari Jawa pet dipakai diatas destar( Pramoedya, 2003: 41)

Menurut tradisi STOVIA, apabila mujur, eleve baru mendapat undangan untuk menghadiri pesta lulus siswa lama di rumahnya. Hanya eleve senior diperkenankan memberikan pidato sambutan dalam bahasa Belanda. Eleve junior menterjemahkan dalam bahasa Melayu, diikuti dalam bahasa Sunda dan Jawa. Junior dengan angka delapan dalam bahasa Belanda boleh memberikan pidato sambutan dalam bahasa Belanda. Bahasa Belanda sungguh-sungguh dimuliakan.

Minke tidak melewatkan semua kesenangan. Ia seorang Raden Mas, yang pada masanya menduduki tingkat atas kebangsawanan yang diindahkan orang. Jarang seorang Raden Mas mau melanjutkan pelajaran ke sekolah dokter. Bahkan dapat dikatakan keluarbiasaan. Golongan bangsawan atas biasanya melanjutkan sekolah untuk calon pegawai negeri. Mudah dipahami:dokter adalah pekerjaan pengabdian, pegawai negeri pekerjaan memerintah.

Di Betawi Minke terlepas bebas dari semua ikatan dan aturan ketat keluarga ningrat-priyayi. Ia langsung meleburkan diri dalam pergaulan dengan seluruh lapisan masyarakat. Hal ini dapat diketahui dari cepatnya ia menyerap dialek Melayu-Betawi, dan langsung menggunakannya dalam tulisan. Dalam tahun 1894-1895, masih dalam kelas persiapan, atau dalam usia 14-15 tahun ia sudah mengirimkan berbagai tulisan ke sejumlah surat kabar terbitan Betawi.

Ketertarikan Minke pada jurnalisme telah dimulai sejak dini, ketika awal belajar di School tot Opleiding van Inlandsche Artsen atau STOVIA, tempat ia menuntut ilmu untuk menjadi dokter Jawa walau akhirnya tidak lulus. Menurut Tirto Adhi Soerjo (dalam Ahmat Adam,2003:185) bahwa :

“Ia sendiri berminat menulis untuk surat kabar daripada kuliah dan belajar.Mula-mula ia menyelesaikan pendidikannya di sekolah Belanda di Bojonegoro, Madiun,dan Rembang, Ia belajar selama enam tahun di STOVIA, sampai tahun keempat studinya, namun tak pernah menempuh ujian akhir. Ia tidak bekerja cukup keras sehingga gagal dalam suatu ujian”.

Dalam Jejak Langkah (1985:43) disebutkan”Sekolah Dokter bukan tempat untukku”.Pada awalnya datang tuntutan bahwa sebagai anak priyayi Jawa, ia harus berpakaian sesuai dengan itu. Khususnya syarat bahwa ia harus bertelanjang kaki di alaminya sebagai hinaan sengit: dia, cendekiawan modern, yang berkat pendidikannya membebaskan diri dari belenggu tradisi feodal, oleh penguasa kolonial di kungkung lagi kedalamnya. Juga disiplin ketat yang harus dipatuhi oleh para murid menjengkelkannya.

Minke adalah bangsawan Jawa pertama yang dengan sadar memasuki dunia perniagaan dengan jurnalistik sebagai sarana. Tiga kali ia ia pernah mendapat tawaran untuk bekerja pada negeri dan ditolaknya. Pertama dari bekas Asisten Residen Wolff van Westerroode untuk jadi pegawai dinas pemberantasan lintah darat, jabatan yang kemudian diterima oleh abangnya, R.M.Said. Kedua dari Asisten Residen Bandung untuk menjadi pegawai Kantor Pajak. Ketiga untuk menjadi anggota Adat Commissie di Nederland. Sebagai pelopor kewiraswastaan pada segi lain ia terang-terangan menolak kecenderungan umum untuk menjadi pegawai negeri dengan kehormatan semu.

Tirto mengawali karier jurnalisnya sebagai koresponden Hindia Ollanda pada tahun 1894 tanpa gaji dan hanya dibayar dengan edisi gratis surat kabar itu. Kecakapannya sebagai editor pribumi mulai mapan ketika ia menjadi pimpinan redaksi Pemberita Betawi pada April 1902, ketika pada waktu yang sama ia juga bekerja sebagai asisten F.Wiggers, editor harian Warna Sari ,yaitu sebuah harian yang di usahakan L.Weber di Bogor dan pertama terbit pada 1 Oktober 1901 (Ahmat Adam,2003;186)

Di Pemberita Betawi hanya bertahan sekitar setahun sampai ia mengundurkan diri pada April 1903 dengan alasan kesehatan yang buruk.Tetapi tak lama setelah itu,keinginan memulai sebuah penerbitan milik sendiri mendorong Tirto menerbitkan Soenda Berita pada 17 Agustus 1903.Mingguan berharga langganan 7,5 gulden per tahun atau 4 gulden per enam bulan ini dicetak oleh G. Kolff & Co .di Batavia, dan terdiri dari dua puluh empat halaman, empat belas halaman diantaranya iklan.Berbagai tulisan mengenai perdagangan, pertanian, dan hukum dalam Soenda Berita jelas merefleksikan keinginan sang editor merangsang pembacanya agar berjuang bagi kemajuan dengan cara belajar. Soenda Berita, penerbitan pertama  yang dimiliki,  diedit, dan dikelola oleh orang pribumi ini, hanya bisa bertahan selama dua tahun, karena Tirto dipaksa pergi ke Maluku pada akhir 1904. Sebelumnya, pada tahun itu juga, Tirto terjerat sebuah tuntutan hukum mengkhianati kepercayaan. Ia akhirnya tinggal selama setengah tahun di Maluku, sebagai hukuman buang yang dikenakan kepadanya oleh pengadilan (Ahmat Adam,2003:186)

Ketika berada di Maluku, mungkin pada tahun 1905, Tirto Adhi Soerjo menjadi akrab dengan Sultan Bacan, Muhammad Sidik Syah, sehingga diperkenankan menyunting putri penguasa Bacan itu yang bernama Radja Fatimah.

Pada akhir Februari atau awal Maret Tirto Adhi Soerjo mengawali perjalanannya di Pulau Jawa, dengan ditemani isrinya.Sepanjang perjalanan itu, ia didekati oleh beberapa tokoh priyayi yang ingin agar kesengsaraan dan kesejahteraan kaum pribumi diberi perhatian. Setiba di Batavia pada sekitar minggu pertama Juni, Tirto membicarakan soal ini dengan Raden Mas Prawiradiningrat, ketua jaksa dan beberapa commandant wilayah Tanah Abang, Mangga Besar, dan Penjaringan.Pembicaraan itu menghasilkan komitmen sementara bagi pembentukan sebuah perhimpunan priyayi yang akan diberi nama Sarekat Priyayi.Permintaan dukungan dari berbagai komunitas priyayi langsung diedarkan keseluruh Jawa dengan tujuan utama mendirikan sebuah kantor layanan beasiswa untuk biaya pendidikan putra-putri priyayi. Untuk membiayai kantor tersebut, panitia persiapan memutuskan dana akan diambil dari iuran dan sumbangan para anggota,sumbangan khalayak, penghasilan dari taman kanak-kanak dan kursus bahasa Belanda yang didirikan, serta penghasilan dari penjualan.

Gerakan membentuk Sarekat Priyayi benar-benar penting. Ini menandai dimulai upaya mendirikan organisasi pribumi modern di bawah pimpinan terpelajar bangsa Indonesia. Seperti Tiong Hoa Hwee Koan yang didirikan pada tahun 1900 dan Boedi Oetomo pada tahun 1908, pendidikan menjadi perhatian utama Sarekat Prijaji; dan seperti pemimpin kedua organisasi itu, penggagas  Sarekat Prijaji juga ingin memiliki sebuah corong politik.

Keinginan menerbitkan sebuah surat kabar akhirnya terwujud ketika salah seorang anggota Sarekat Prijaji, Raden Mas Temenggoeng Pandji Arjodinoto, ketua jaksa di Cirebon, menyumbang 1.000 gulden untuk modal awal, mingguan Medan Prijaji pun muncul dengan Tirto Adhi Soerjo sebagai editor dan pengelolanya.

Medan Prijaji adalah surat kabar mingguan pertama di Jawa yang mengambil peran sebagai corong kaum terpelajar pribumi dan forum bagi pembaca pribumi untuk mengekspresikan pandangan mereka serta mendiskusikan berbagi isu menyangkut kesejahteraan pribumi, terutama soal pendidikan bagi kaum pribumi dan soal-soal sosial politik seperti kritik terhadap priyayi korup dan pejabat pemerintah yang menyalahggunakan kekuasaan dan mengeksploitasi orang kecil. Kritik terang-terangan Tirto Adhi Soerjo kepada pejabat Belanda dan pribumi, serta sentimen nasionalistisnya yang mencolok jelas menunjukkan orientasi politik mingguan ini. Selain membela kepentingan kaum pribumi melawan eksploitasi dan ketidakadilan penguasa pribumi dan pejabat pemerintah yang korup, Medan Prijaji juga sangat keras mengkritik sistem kolonial Belanda. Itu tampak pada tuntutan hukum yang segera dikenakan penguasa pada pimpinan redaksinya, Tirto Adhi Soerjo, yang lebih dari sekali dituduh melanggar UU Pers kolonial yang melarang mengkritik terhadap pejabat pemerintah dan kalangan priyayi senior.

Segera setelah meluncurkan Medan Prijaji, Tirto Adhi Soerjo menerbitkan Soeloeh Keadilan pada April 1907. Tidak lama setelah Soeloeh Keadilan beredar, Tirto Adhi Soerjo meminta bantuan Haji Mohammad Arsad untuk mengelola penerbitan ini, kurangnya sumber-sumber finansial mendorong dia mendekati Haji Mohammad Arsad. Ketika memulai penerbitan Soleloeh Keadilan, Tirto memang berhasil meraih dukungan dana dari beberapa priyayi yang dermawan.

Tirto juga ingin menerbitkan sebuah jurnal perempuan, karena percaya kebangkitan elite pribumi tidak bisa hanya dibatasi hanya pada kaum pria terpelajar. Ia adalah juga salah seorang motor gerakan emansipasi. Peseru untuk berdirinya perhimpunan wanita. Kaum perempuan Indonesia, walau yang melek huruf pada masa itu masih sedikit.juga harus menjadi sasaran.Karena itu Tirto meluncurkan Poetri Hindia pada tahun1908.Ahmat Adam (2003:191)menyatakan bahwa:

“Tirto menulis karangan berjudul Kemadjoean Perempoean Boemipoetra.Dalam karangan ini Tirto menyebut nama Raden Ajoe Lasminingrat, dari Pasundan, istri Kajeng Adipati Garut.Menurut Tirto, setahu dia, wanita ini, wanita pertama yang berkecimpung dalam kegiatan sastra. Ia telah mengarang dua buku dalam Sunda. Tirto mengenal dua wanita lain yang mengikuti jejak langkah Raden Ajoe Lasminingrat, tetapi, kedua wanita itu bersaudara itu, Raden Adjeng Kartini dan Raden Adjeng Rukmini, putri Jepara, tidak menulis dalam bahasa ibu mereka sendiri, melainkan dalam bahasa Belanda di berbagai berkala bulanan di negeri Belanda.Maka pengetahuan kedua putri raja ini tidak menyemaikan bibit yang bermanfaat bagi saudara-saudara mereka di Hindia Belanda, karena mereka masih terlalu muda dan kurang matang dalam kesadaran mereka untuk menyebarkan pengetahuan di kalangan kita, orang-orang pribumi. Dalam karangan yang sama, Tirto menyatakan keinginannya  memulai majalah wanita,karena tidak ada majalah atau surat kabar yang cocok bagi mereka. Nama wanita-wanita lain yang disebut Tirto sebagai memberikan sumbangan karangan kepada pers bahasa Melayu ialah nyonya Retnaningsih dan Retnaningrum”.

Poetri Hindia terutama melayani kebutuhan para istri dan keluarga priyayi tinggi, tetapi juga mempunyai beberapa pelanggan Tionghoa.Artikel soal-soal rumah tangga seperti kebersihan, nasihat mengenai anak, jahatnya kemewahan dan seni masakan Jawa memenuhi halaman-halaman Poetri Hindia.

Tanggapan para pelanggan yang baik terhadap tiga berkala yang diterbitkan Minke memberanikan dia mendirikan usaha bisnis yang didukung oleh para priyayi kaya. Permohonannya untuk membentiuk sebuah perusahaan dagang dikabulkan pemerintah .Kemudian diberi namaNaamlooze Vennootshap: Javaansvhe Boekhandel en Drukkerij en Handel in Schrijfbehoeften Medan Prijaji. Pembentukan perusahaan Medan Prijaji sebagai sebuah perseroan terbatas di Hindia Belanda menandai upaya serius pertama dari wiraswastawan pribumi untuk meluaskan operasi penerbitan surat kabarnya denganmeminta dukungan finansial dari para hartawan.

Sebagai pemimpin redaksi Medan Prijaji, Minke menyumbang sejumlah artikel yang tajam dan menggugah, membongkar korupsi maupun berbagai penyalahgunaan kekuasaan oleh para pejabat pemerintah..

Mas Marco Kartodikromo (dalam Pramoedya,2003:6) menyatakan bahwa:
”Raden Mas Tirto Hadi Soerjo,jang seorang bangsawan asali dan joega bangsawan kafikiran, Boemipoetra yang pertama kali mendjabat Journalist; boleh bilang toen T.A.S.indoek journalist Boemipoetra di ini tanah Djawa, tadjam sekali beliau poenya penna, banjak pembesar-pembesar jang kena critieknja djadi moentah darah dan sebagian besar soeka memperbaiki kelakoeannja jang koerang senonoh”.

Tidak ada editor berkebangsaan Indonesia lainnya pada sejarah awal pers berbahasa anak negeri ini yang sangat terus terang dan seberani Minke. Ia tidak hanya mencerca pejabat pribumi, tetapi juga mempermalukan orang Belanda yang hidup seperti binatang bersama perempuan-perempuan pribumi, hingga menciptakan ras baru di tengah-tengah bangsa Eropa yang berdarah murni. Ia juga berusaha menjauhkan para pemuda priyayi dari keinginan menjadi priyayi birokrat. Ia mengkritik karena lebih memilih bekerja sebagai penyalin dan juru gambar dan mencemooh obsesi mereka mengejar peningkatan status dari magang ke status priyayi agar bisa memperoleh hak mencantumkan huruf ”W” pada kancing baju luar. Minke memandang rendah orang pribumi yang mencoba menjadi orang Belanda atau separuh Belanda.

Ia menyerang kaum muda,menuduh mereka sebagai agen Belanda dan hanya berpura-pura berupaya mengangkat harkat hidup kaum pribumi. Dengan menuduh mereka telah menjadi kapiran(kafir), Minke mengecap mereka tidak otentik secara budaya, bahkan pengkhianat budaya. Walau semula menyambut hangat pembentukan Boedi Oetomo, ia menentang keras ketika organisasi baru ini mengumumkan niatnya mensponsori sebuah penerbitan pada tahun 1909 di bawah asuhan Douwes Dekker, editor Bataviaasch Niewsblad. Sebagai seorang Indo,Douwes Dekker jelas tidak lebih mengerti urusan Jawa daripada orang Jawa sendiri. Minke memandang rendah para mahasiswa,seperti mereka yang di Sekolah Dokter Jawa yang menggagas pembentukan Boedi Oetomo, Minke memandang generasi baru ini Cuma orang kaya baru yang tergila-gila pada kebudayaan Barat.

Dalam Roman ini,  kehidupan Minke dan lingkungan yang mengelilinginya menggambarkan bagaimana perilaku-perilaku manusia yang ditindas dan yang menindas,berlaku di Hindia Belanda (sebutan Indonesia ketika itu) pada masa akhir abad 19 dan awal abad 20. Ketidakmanusiawian feodalisme ditampilkan, hal ini dapat dicontohkan: ketika Minke, anak bupati yang terpelajar pengetahuan Eropa, merasa terhina sekali waktu bertemu ayahnya harus merangkak, berengsot seperti keong, dan menyembah seorang raja kecil yang barangkali buta huruf pula. Kolonialisme pada saat itu juga tidak manusiawi karena disamping sistem itu sendiri menindas dan mengisap,ia membentuk karakter-karakter masyarakat pendendam akibat pengania yaan dan penindasan yang dialami mereka.


Oleh:
Erond L. Damanik, M.Si
Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial
Lembaga Penelitian Universitas Negeri Medan
Disarikan dari:
Skripsi mahasiswa atasnama : Arby Syafri Tanjung, alumni Jurusan Pendidikan Sejarah Unimed

---------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber:  http://pussisunimed.wordpress.com

No comments:

Post a Comment