Sunday, October 14, 2012

Folklor Umbul Pelem dan Umbul Manten di Klaten dan Fungsinya Bagi Masyarakat Pemiliknya


Download makalah: Folklor Umbul Pelem dan Umbul Manten di Klaten dan Fungsinya Bagi Masyarakat Pemiliknya (pdf)
DOWNLOAD
------------------------------



Bab I
Pendahuluan

A. Latar Belakang

Kebudayaan pada hakikatnya merupakan wujud dari upaya manusia dalam menanggapi lingkungan secara aktif. Kemampuan manusia dalam menanggapi lingkungannya secara aktif dimungkinkan karena adanya kemampuan dan kebersihan manusia dalam menggunakan lambang-lambang yang diberi makna dan arti secara sistematis, sehingga memungkinkan untuk digunakan sebagai sarana komunikasi dan interaksi secara efektif. Hal ini menunjukkan bahwa kebudayaan bersifat dinamis, dimana kebudayaan akan berkembang selama masyarakat pendukungnya masih ada dalam mengembangkan kebudayaan.

Berbagai kebudayaan yang ada di Indonesia menimbulkan suku bangsa yang memiliki keanekaragaman budaya yang masing-masing memiliki kekhasan tersendiri. Dari keanekaragaman tersebut melahirkan suatu kehidupan sastra yang unik. Dari sinilah timbul bahwa pengkajian terhadap sastra merupakan kajian yang cukup menarik. Dengan memperhatikan segi media yang digunakan, sastra yang tersebar menggunakan media lisan yang penyebarannya pada umumnya melalui tutur kata, itulah sebabnya ada yang menyebutkan sebagai tradisi lisan (oral tradition).

Hal tersebut di atas menyiratkan bahwa kebudayaan sebagai hasil kreatifitas manusia, hasil aktifitasnya maupun hasil karya manusia, di dalamnya terkandung juga nilai-nilai atau ide dari manusia. Segala gagasan dan angan angan, keinginan atau pun cita-cita manusia terefleksi ke dalam hasil karya mereka yang disebut dengan kebudayaan.

Nilai-nilai atau ide yang terdapat di dalam suatu kebudayaan, terbentuk secara sangat manusiawi dan pribadi sifatnya. Oleh karena itu, setiap benda budaya menandai nilai tertentu, menunjukkan maksud serta gagasan penciptanya. Kebudayaan yang sangat kompleks tersebut terkandung unsur-unsur universal yang ada di dunia ini. Unsur-unsur kebudayaan tersebut selanjutnya dikelompokkan menjadi tujuh unsur kebudayaan yang disebut sebagai isi pokok dari kebudayaan di dunia.

Unsur-unsur kebudayaan yang universal tersebut selanjutnya diambil menjadi tujuh unsur kebudayaan yang dapat disebut sebagai isi pokok dari setiap kebudayaan di dunia (Koentjaraningrat, 1990: 203) yakni bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi, kesenian. Di antara sekian banyak bagian kebudayaan tersebut merupakan bagian dari folklor.

Folklor sebagai bagian dari kebudayaan seperti bagian kebudayaan yang lainnya, di dalamya juga terkandung nilai-nilai budaya serta gagasan-gagasan masyarakat. Lewat folklor dapat dipelajari segala aspek kehidupan masyarakat segala keinginan mereka yang terefleksikan secara implisit maupun eksplisit di dalam suatu folklor.

Folklor sebagai suatu disiplin atau cabang ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, di Indonesia belum lama dikembangkan orang (Danandjaja, 1991: 1). Folklor dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya, yaitu: folklor lisan, folklor sebagaian lisan, dan folklor bukan lisan (Brunvand, dalam Danandjaya, 1991: 21 ). Adapun folklor lisan juga masih dibagi dalam beberapa kelompok, di antaranya adalah cerita prosa rakyat.


Sebagai sebuah jenis sastra yang hidup dalam tradisi lisan, cerita prosa rakyat tiada terunut lagi akan siapa nama pengarangnya (anonim). Hal ini menjadi salah satu dari ciri-ciri pengenal folklor. Yang ada hanya bahwa cerita prosa rakyat lahir dari suatu masyarakat tradisional yang masih memegang teguh tradisi lisannya. Cerita tersebut berkembang, menjadi besar, dan menghilang di dalam masyarakat pemiliknya. Hubungan di antara ke duanya, cerita rakyat dan pemiliknya, bukan merupakan sesuatu yang dicari-cari atau hanya mengada-ada saja, sebab, sudah jelas bahwa cerita prosa rakyat itu menampilkan gambaran kehidupan sebagai produk sosialnya.

Salah satu bentuk cerita rakyat yang menarik untuk diteliti adalah cerita rakyat yang berkenaan dengan asal-usul penamaan suatu tempat. Cerita rakyat tersebut apabila dikelompokkan, termasuk pada genre cerita rakyat legenda setempat (local legends). Penamaan suatu tempat tidak muncul begitu saja, tetapi berkaitan dengan berbagai hal yang pada intinya menyangkut kebudayaan suatu masyarakat. Cerita rakyat tidak sekedar hidup dan tersebar dalam masayarakat, namun juga memiliki arti penting dan fungsi-fungsi tertentu bagi kolektif pemiliknya.


Pengkajian terhadap cerita rakyat bisa dijadikan sarana yang tepat untuk penamaan nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat yang sekarang ini sudah banyak dilupakan, selain untuk perkembangan sastra lisan itu sendiri. Usaha untuk menggali, memperkenalkan, menghidupi dan mengembangkan budaya tradisional yang bernilai positif itu sangat perlu dan tidak hanya untuk tradisi itu sendiri, tetapi lebih luas juga berguna dalam menunjang pembangunan nasional.

Cerita rakyat Umbul Manten adalah salah satu dari bentuk cerita rakyat. Dengan memperhatikan beberapa hal di atas, timbul ketertarikan penulis untuk mengetahui secara mendalam mengenai cerita rakyat yang berkaitan dengan asal usul Umbul Manten dan nilai budaya yang terdapat dalam cerita rakyat Umbul Manten. Atas dasar itulah penulis melakukan penelitian terhadap cerita rakyat di Kecamatan Tulung, Kabupaten Klaten dengan judul: “Asal Usul Terjadinya Umbul Manten dan Umbul Pelem”

B. Perumusan Masalah
Dalam penelitian ini ada dua masalah yang perlu dibahas.

  1. Bagaimanakah cerita rakyat Umbul Manten dan Umbul Pelem?
  2. Fungsi apa sajakah yang terkandung dalam cerita rakyat Umbul Menten dan Umbul Pelem? 

C. Tujuan Penelitian
Ada dua tujuan dari penelitian ini.
  1. Mendiskripsikan cerita rakyat Umbul Manten dan Umbul Pelem.
  2. Menyajikan fungsi yang terkandung dalam cerita rakyat Umbul Manten dan Umbul Pelem. 
D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan penelitian di atas, manfaat yang dapat diambil sebagai berikut.
1. Bagi Penulis
Bagi penulis, penelitian ini dapat menambah khazanah keilmuan terutama dalam bidang sastra lisan, dan dapat mempelajari kebudayaan yang belum terungkap sebelumnya.

2. Bagi Bidang Kesusastraan
Penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi penelitian sastra lisan dan kesusastraan Indonesia.

3. Bagi Pendidikan
Penelitian dapat digunakan sebagai pengetahuan yang perlu dilestarikan, dan dapat menambah pengetahuan sastra lisan bagi guru dan murid, khususnya materi pengajaran bahasa dan sastra.

E. Sistematika Penelitian
Bab I Pendahuluan berisi latar belakang masalah, pembatasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II Landasan teori yang mencakup tinjuan pustaka dan landasan teori yang diperlukan dalam analisis objek penelitian. Bab III Metode penelitian berisi jenis penelitian, objek penelitian, data dan sumber data, teknik penyediaan data, taknik analisis data, dan penyajian hasil analisis. Bab IV Merupakan penyajian tentang lingkungan masayarakat. Dalam hal ini diuraikan mengenai kondisi geografis dan sistem sosial budaya. Bab V Penutup berisi tentang simpulan dan saran.

 
Bab II 
Landasan Teori 
A. Tinjauan Pustaka 
Untuk mengetahui keaslian keontetikan penelitian perlu tinjauan pustaka. 

Penelitian Anik Budi Listyowati (2000) yang berjudul “Legenda Pangeran Samudra Gunung Kemukus Fungsi bagi masyarakat pemiliknya, sebuah Tinjauan Pragmatik.” Hasil yang berdasarkan analisis pragmatik adalah bahwa tanggapan masyarakat terhadap legenda ini ada yang bersifat pasif dan aktif. Tanggapan pasif adalah masyarakat membiarkan anggapan bahwa lokasi tersebut merupakan tempat mencari pasugihan. Adapun tanggapan aktif adalah mereka yang mengelak dan mambantah mengenai tanggapan bahwa tempat tersebut untuk menacari pasugihan. Berdasarkan analisis fungsinya adalah legenda tersebut berpengaruh bagi kehidupan masyarakat, baik positif/ negatif. Pengaruh positifnya adalah mereka percaya bahwa makam tersebut sacral, tapi masyarakatnya berpegang teguh pada ajaran agama dan tidak melakukan syirik. Pengaruh nagatifnya, mereka beranggapan bahwa tempet tersebut identik dengan tempat pasugihan.

Penelitian Wildan dkk (1998) yang berjudul “Struktur Lisan Tamiang”. Hasil penelitian  mengungkapkan bahwa sastra lisan (prosa) Tamiang dapat dikelompokkan atas beberapa ragam dan jenis cerita rakyat, yakni sage, mite, humor, religius, fable, dan epik. Penelitian tersebut menemukan fakta bahwa sastra lisan masyarakat Tamiang yang merupakan salah satu subetnik. Suku Aceh memiliki tradisi sastra lisan yang berkedudukan sebgai sarana komunikasi antar anggota masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat diketahui latar sosial masyarakat Tamiang. Dalam sastra lisan Tamiang terkandung nilai adat, nilai agama, nilai moral, nilai kepahlawanan, nilai sosial, dll.

Penelitian Dudung Adriyano (2005) dengan judul “Cerita Rakyat Kabupaten Sukoharjo (suatu kajian struktur dan nilai edukatif).” Penelitian tersebut berkesimpulan bahwa daerah sukoharjo terdapat banyak sastra lisan atau cerita rakyat. Beberapa cerita rakyat yang terkumpul antara lain (1) cerita rakyat “Ki Ageng Banyubiru”, (2) cerita rakyat “Ki Ageng Balok”, (3) cerita rakyat “Ki Ageng Sutowijoyo”, (4) cerita rakyat “Pasanggrahan Langen Harjo.” Penelitian ini juga melakukan analisis struktur dan nilai budaya terhadap lima cerita rakyat Sukoharjo. Analasis struktur cerita rakyat Kabupaten Sukoharjo terkandung nilai pendidikan yang meliputi pendidikan moral, pendidikan adapt (tradisi) pendidikan Agama (religi), sejarah sejarah (history) dan pendidikan kepahlawan. Persamaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah sama-sama mengkaji tentang folklor lisan dan perbedaannya adalah penelitian ini difokuskan pada bagaimanakah asal-usul cerita rakyat “Umbul Manten dan Umbul Pelem”

B. Landasan Teori
1. Hakikat Folklor
Secara etimologis kata folklor berasal dari bahasa Inggris folklore, kata dasarnya folk dan lore (Danandjaja, 2005: 1). Folklor menurut Alan Dundes adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Ciri-ciri pengenal itu, antara lain, dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata yang sama, bahasa yang sama, bentuk rambut yang sama, dll.

Danandjaja menyimpulkan bahwa folk adalah sinonim dengan kolektif yang juga memiliki ciri-ciri pengenal fisik atau kebudayaan yang sama, serta mempunyai kesadaran kepribadian sebagai kesatuan masyarakat, dan yang dimaksud lor adalah tradisi folk, yaitu sebagian kebudayaannya yang diwariskan secara turun-temurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau pembantu pengingat.

Foklor menurut Dananjaja, tidak lain adalah sebagian kebudayaan suatu kolektof yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisoanal dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (Danandjaja, 2005: 2).

2. Bentuk Folklor
Folklor jika diperhatikan dari segi bentuknya, ternyata ada dua, yaitu bentuk lisan dan sebagian lisan (Danandjaja, 2005).
Bentuk folklor lisan antar lain:

  1. Bahasa rakyat, yakni bentuk folklore Indonesia yang termasuk dalam kelompok bahasa rakyat, adalah logat atau dialek bahasa-bahasa Nusantara.
  2. Ungkapan tradisonal yakni yang termasuk dalam bentu folklore semacam ini adalah peribahasa (peribahasa yang sesungguhnya, peribahasa tidak lengap kalimatnya, peribahasa perumpamaan) dan ungkapan (ungkapan-ungkapan yang mirip peribahasa).
  3. Pertanyaan tradisional yakni yang lebih dikenal sebagai teka-teki merupakan pertanyaan yang bersifat tradisonal dan mempunyai jawaban yang tradisional pula.
  4. Sajak dan puisi rakyat yakni follor lisan yang memiliki kekhususan, kalimatnya tidak berbentuk bebas, tapi terikat. Sajak dan puisi rakyat merupakan kesusastraan yang sudah tertentu betuknya, baik dari segi jumlah larik maupun persajakan yang mengekhiri setiap lariknya. Yang termasuk ke dalam jenis ini adalah parikan, rarakitan, wawangian, dll.

Nyanyian rakyat yang menurut Jan Harold Bruvand (dalam Dananjaja, 2005: 141) adalah salah satu genre atau bentuk folklore yang terdiri atas kata-kata dan lagu, yang beredar secara lisan di antara anggota kolektif tertentu, berbentuk tradisional serta banyak mempunyai varian.

Ada juga bentuk folklore yang sebagaian lisan terdiri atas dua macam, yaitu (1) kepercayaan rakyat, yang seringkali juga disebut takhyul adalah kepercayaan yang oleh orang berpindidikan barat dianggap sederhana bahkan pander, tidak berdasrkan logika, sehingga secara ilmiah tidak dapat dipertanggungjawakan kebenarannya (Danandjaja, 2005: 153); dan (2) permainan rakyat dianggap tergolong ke dalam folklore karena memperohnya melalui warisan lisan, terutama berlaku pada permainan rakyat kanak-kanak karena permainan ini disebarkan hampir murni melalui tradisi lisan dan banyak di antaranya disebarluaskan tanpa bantuan orang dewasa, seperti orang tua mereka atau guru sekolah mereka (Danandjaja, 2005: 171).

3. Ciri Pengenal Foklor
Folklor memiliki sembilan ciri pengenal utama. Ciri pengenal folklore ini dapat dijadikan pembeda folklor dari kebudayaan lainnya (Danandjaja, 2005: 3-4). Kesembilan ciri pengenal itu sebagai berikut.

  1. Penyebaran dan pewarisnya biasanya dilakukan secara lisan yakni saat itu penyebaran folklor bisa terjadi dengan bantuan mesin cetak dan elektronik;
  2. Bersifat tradisional, disebarkan dalam bentuk relative tetap (standar);
  3. Folklore eksi dalam versi-versi bahkan dalam varian-varian yang berbeda lantaran tersebar secara lisan dari mulut ke mulut;
  4. Bersifat anonim, nama pencipatanya sudah tidak diketahui orang lagi;
  5. Folklore biasanya memiliki bentuk berumus atau berpola memiliki formula tertentu dan mamanfaatkan bentuk bahasa klise;
  6. Folklore mempunyai fungsi dalam kehidupan bersama suatu kolektif (alat pendidikan, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan yang terpendan);
  7. Folklore bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum (ciri ini berlaku baik bagi folklore lisan maupun folklore sebagaian lisan);
  8. Menjadi milik bersama dari kolektif tertentu, hal ini disebabkan oleh pencipta pertama sudah tidak diketahui lagi;
  9. Folklore pada umumnya bersifat polos dan lugu sehingga seringkali kelihatannya kasar, terlalu spontan; hal demikian itu dapat dimengerti apabila mengingat bahwa banyak folkor merupakan proyeksi emosi menusia-manusia yang paling jujur manifestasinya.

Berdasarkan ciri-ciri cerita rakyat yang telah disebutkan di atas, menurut Bascom (dalam Danandjaja 2005: 50) cerita rakyat dapat dibagi dalam tiga golongan besar, yaitu: mite (myth), legenda (legend), dan dongeng (folktale)


a. Mite (myth)
Mite adalah cerita rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Ditokohi oleh para dewa atau mahluk setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain atau di dunia yang bukan seperti yang kita kenal sekarang dan terjadi pada masa lampau.

b. Legenda (legend)
Seperti halnya dengan mite, legenda adalah cerita rakyat, yang dianggap suci oleh yang empunya cerita sebagai suatu kejadian yang sungguh-sungguh pernah terjadi. Berbeda dengan mite, legenda bersifat sekuler (keduniawian), terjadinya pada masa yang belum begitu lampau, dan bertempat di dunia seperti yang kita kenal sekarang ini.


Legenda seringkali dipandang sebagai “sejarah” kolektif (folk history), walaupun “sejarah” itu karena tidak tertulis telah mengalami distorsi, sehingga seringkali dapat jauh berbeda dengan kisah aslinya. Legenda biasanya bersifat migratoris, yakni dapat berpindah–pindah, sehingga dikenal luas di daerah-daerah yang berbeda.

Menurut Dundes (dalam Danandjaja 2005: 67) ada kemungkinan besar bahwa jumlah legenda disetiap kebudayaan jauh lebih banyak daripada mite atau dongeng. Hal ini disebabkan jika mite hanya mempunyai sejumlah tipe dasar yang terbatas, seperti penciptaan dunia dan asal mula terjadinya kematian. Namun legenda mempunyai sejumlah tipe dasar yang tidak terbatas, terutama legenda setempat, yang jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan legenda yang dapat mengembara dari satu daerah ke daerah lain.

Brunvand (dalam Danandjaja 2005: 67) menggolongkan legenda menjadi empat kelompok, yaitu:

  • Legenda keagamaan (religious legends), yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah legenda orang-orang suci (saints) Nasrani. Legenda orang saleh yang ada di Jawa adalah mengenai para wali agama Islam, yakni para penyebar agama (proselytizers) Islam pada masa awal perkembangan agama Islam di Jawa.
  • Legenda alam gaib. Legenda semacam ini biasanya berbentuk kisah yang dianggap benar–benar terjadi dan pernah dialami oleh seseorang. Fungsi legenda semacam ini adalah untuk meneguhkan kebenaran “takhayul” atau kepercayaan rakyat. Kategori legenda alam gaib adalah cerita-cerita pengalaman seseorang dengan makhluk-makhluk gaib, hantu-hantu, siluman, gejala–gejala alam yang gaib, dan sebagainya.
  • Legenda perseorangan  adalah cerita mengenai toko-tokoh tertentu, yang dianggap oleh yang empunya cerita benar-benar pernah terjadi. Suatu jenis legenda perseorangan adalah mengenai perompak-perompak semacam Robin Hood, yang merampok penguasa korup atau orang kaya untuk didermakan kepada rakyat miskin.
  • Legenda setempat. Yang termasuk ke dalam golongan legenda ini adalah cerita yang berhubungan dengan suatu tempat, nama tempat dan bentuk topografi, yakni bentuk permukaan suatu daerah, apakah berbukit–bukit, berjurang, dan sebagainya.
Jadi, dapat dikatakan bahwa legenda hampir sama dengan mite yaitu sebuah cerita yang memiliki bentuk atau wujud sehingga dapat dipercaya keberadaannya. Contoh yang mendukung bahwa legenda itu dapat dipercaya misalnya ada legenda keagamaan mengenai para wali agama Islam, legenda alam gaib yang berupa “takhayul” serta legenda setempat yang mengisahkan asal-usul tempat.
 
c. Dongeng (folktal)
Legenda adalah sejarah kolektif (folk histor), maka dongeng adalah cerita pendek kolektif kesusastraan lisan. Selanjutnya dongeng adalah cerita rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi. Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan, walaupun banyak juga yang melukiskan kebenaran, berisikan pelajaran (moral), atau bahkan sindiran. Dalam pikiran orang, dongeng sering dianggap sebagai cerita mengenai peri.

Dongeng biasanya mempunyai kalimat pembukaan dan penutup yang bersifat klise. Seperti halnya mite dan legenda, dongeng juga mempunyai unsur-unsur cerita yang terdapat di daerah-daerah lain yang letaknya berjauhan.

Aarne dan Thompson (dalam Dananjaya 2005: 86) telah membagi jenis-jenis dongeng ke dalam empat golongan besar, yakni:

  • Dongeng binatang (animal tales)  adalah dongeng yang ditokohi binatang peliharaan dan binatang liar, seperti binatang menyusui, burung, binatang melata (reptilia), ikan dan serangga. Binatang-binatang itu dalam cerita jenis ini dapat berbicara dan berakal budi seperti manusia.
  • Dongeng biasa (Ordinary folktales) adalah jenis dongeng yang ditokohi manusia dan biasanya adalah kisah suka duka seseorang.
  • Lelucon dan anekdot (jokes and anecdotes)  adalah dongeng-dongeng yang dapat menimbulkan rasa mengelikan hati, sehingga menimbulkan ketawa bagi yang mendengarnya maupun yang menceritakannya.
  • Dongeng berumus (formula tales) adalah dongeng-dongeng yang oleh Aarne dan Thompson disebut formula tales dan strukturnya terdiri dari pengulangan. Dongeng-dongeng berumus mempunyai beberapa sub bentuk, yakni: a) dongeng bertimbun banyak (cumulative tales), b) dongeng untuk mempermainkan orang (cacth tales), dan c) dongeng yang tidak mempunyai akhir (Endless tales).

4. Fungsi Folklor atau Mitos
Mitos di samping memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang atau masyarakat, juga memiliki fungsi bagi masyarakat pendukungnya. Karena mitos merupakan bagian daari cerita rakyat yang di dalamnya mengandung nilai-nilai, norma-norma, dan arahan tertentu yang memberi pedoman bagi kehidupan manusia.

Menurut Van Peursen (1976), fungsi mitos dibagi menjadi tiga.
Fungsi pertama ialah menyadarkan manusia bahwa ada kekuatan-kekuatan ajaib. Mitos itu tidak memberikan bahan informasi mengenai kekuatan-kekuatan itu, tetapi membantu manusia agar dia dapat menghayati daya-daya itu sebagai suatu kekuatan yang mempengaruhi dan menguasai alam dan kehidupan sukunya.

Fungsi kedua bertalian erat dengan fungsinya yang pertama: mitos memberikan jaminan bagi masa kini. Banyak ahli telah menerangkan fungsi itu dengan banyak contoh. Pada musim semi misalnya bila ladang-ladang mulai digarap, diceritakan dongeng, tetapi itu juga dapat diperagakan, misalnya dalam sebuah tarian, baagimana pada jaman purbakala para dewa juga menggarap sawahnya dan memperoleh hasil yang berlimpah-limpah. Demikian misalnya di beberapa daerah di Indonesia, pada musim sawah-sawah ditanami, dinyanyikan, siang dan malam, cerita-cerita yang bertalian dengan tema kesuburan. Ini tidak dilakukan untuk mempersingkat waktu, melainkan untuk menjamin kesuburan bibit dengan menceritakan mitos-mitos itu.

Fungsi ketiga, yang mirip dengan fungsi ilmu pengetahuan dan filsafat dalam alam pikiran modern yaitu bahwa mitos itu memberikan pengetahuan tentang dunia. Lewat mitos, manusia primitif memperoleh keterangan-keterangan.

 
BAB III 
Metode Penelitian 
A. Pendekatan Penelitian 
Penelitian ini menerapkan metode kualitatif. Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 1989: 3) mendefinisikan metode penelitian sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara utuh.

B. Objek Penelitian
Objek penelitian dalam penelitian ini adalah asal usul Umbul Pelem dan Umbul Manten desa Sidowayah, Janti, Kecamatan Polanharjo, Klaten.

C. Data dan Sumber Data
1. Data
Data adalah sebuah informasi atau bahan yang disediakan ala yang harus dicari dan dikumpulkan oleh pengkaji untuk memberikan jawaban terhadap masalah yang dikaji (Subroto dalam Imron, 2003: 112). Adapun data dalam penelitian ini adalah data yang berwujud informasi tentang cerita rakyat Umbul Pelem dan Umbul Manten di Desa Sidowayah, Janti, Kecamatan Polanharjo, Klaten.

2. Sumber Data
Sumber data merupakan bagian yang sangat penring bagi peneliti, karena ketepatan memilih dan menentukan jenis, sumber data akan menentukan ketepatan dan kekayaan data atau informasi yang diperoleh (Sutopo, 2002: 49). Adapun dalam penelitian ini sumber data yang digunakan dapat berupa manusia, peristiwa dan tingkah laku, dokumen atau arsip-arsip benda lain.

Sumber data dalam penelitian ini adalah sumber data primer, sedangkan data sekunder belum diketemukan. Data primer adalah data yang langsung dukumpulkan dari sumber pertama. Adapun sumber data primer dalam penelitian ini penduduk asli sekitar Umbul Pelem dan Umbul Manten.

D. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik observasi, wawancara dan dokumentesi, penjelasannya sebagai berikut. Teknik Observasi Menurut Sutopo (2002: 64), observasi adalah suatu teknik yang digunakan untuk menggali data dari sumber data yang berupa peristiwa, tempat atau lokasi dan benda serta rekaman gambar tertentu.

Teknik Wawancara Metode wawancara adalah metode pengumpulan data dengan cara menanyakan sesuatu kepada seseorang responden, caranya adalah bercakap-cakap secara tatap muka (Aminuddin, 1990: 103).

Bentuk wawancara ada beberapa macam, namun untuk penelitian folklore umumnya ada dua macam, yaitu wawancara terarah dan wawancara tidak terarah. Wawancara tidak terarah adalah wawancara yang bersifat bebas, santai, dan memberi informasi kesempatan sebesar-besarnya untuk memberikan keterangan yang ditanyakan (Danandjaja: 1991: 195).

E. Teknik Dokumentasi
Penelitian akan lebih mudah dan bertahan lama jika diadakan perekaman, baik itu dalam bentuk foto, buku, maupun perekam suara (Badudu dalam Puspitasi, 2007). Semua itu adalah dokumen, sedangkan dokumentasi adalah kegiatan yang menyangkut dokumen. Dokumentasi yang dikumpulkan harus utuh dan mutakhir. Adapun dokumentasi dalam penelitian ini adalah wujud dokumentasi tulisan wawancara dengan warga dan foto-foto.

F. Teknik Analisis Data
Milles dan Huberman (dalam Sutopo, 2002:74) menyatakan bahwa terdapat dua model pokok dalam melaksanakan analisis di dalam penelitian kualitatif, yaitu (1) model analisis jalinan atau mengalir dan (2) model analisis interaktif. Dari dua model dalam melaksanakan analisis di dalam penelitian kulalitatif tersebut peneliti menggunakan model kedua, yaitu model analisis interaktif.

Dalam model analisis interaktif terdiri dari empat kemampuan analisis yaiutu, reduksi data, sajian data, pengumpulan data, dan penarikan kesimpulan, aktivitasnya dilakukan dalam bentuk interaktif dengan proses pengumpulan data sebagai proses siklus. Langkah-langkah dalam penelitian ini dapat dipaparkan sebagai berikut.
  1. Pengumpulan data, yaitu pengumpulan data di lokasi studi dengan melakukan observasi, wawancara mendalam, dan mencatat dokumen menentukan strategi pengumpulan data yang dipandang tepat dan menentukan fokus serta pendalaman data pada proses pengumpulan data berikut (Sutopo, 1996:89).
  2. Reduksi data, yaitu sebagai proses seleksi pemfokusan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang ada dalam lapangan langsung dan diteruskan pada pengumpulan data (Sutopo, 1996:87).
  3. Sajian data yaitu, suatu rakitan organisasi informasi yang memungkinkan kesimpulan penelitian dilakukan.
  4. Penarikan kesimpulan, sejak awal pengumpulan data peneliti harus mengamati dan tanggap terhadap hal-hal yang ditemui dilapangan (dengan meyusun pola-pola asahan dan sebab akibat (Sutopo, 1996: 87).
Dalam penelitian ini, yang pertama kali dilakukan adalah mengumpulkan data yang dilakukan dengan observasi, wawancara, dan dokumen. Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan langsung mengenai tempat dan lokasi cerita rakyat Umbul Pelem dan Umbul Manten dan dilanjutkan dengan penarikan informasi secara mendalam dan langsung dari masyarakat yang menjadi narasumber dalam penelitian ini.

Pengumpulan data dari hasil wawancara dalam wujud dokumentasi, adapun dokumentasi dalam penelitian ini adalah hasil wawancara dengan masyarakat sekitar lokasi Umbul Pelem dan Umbul Manten serta berupa foto-foto.

Kedua, dalam penelitian ini reduksi data dilakukan dengan meyempurnakan data kasar untuk diolah kembalil sehingga mempunyai arti berdasarkan topik peelitian yang diterapkan pada sekelompok kata yang telah dicari hubungannya.

Ketiga, dalam sajian data ini telah dikumpulkan dan diuraikan dalam bentuk laporan penelitian. Keempat, setelah data-data terkumpul, kemudian diambil kesimpulan dari cerita rakyat asal usul Umbul Pelem dan Umbul Manten di Desa Janti, Kecamatan Polanharjo, Klaten.

 
BAB IV
Hasil dan Pembahasan
 A. Deskripsi Wilayah Lokasi
Umbul Pelem dan Umbul Manten terlatak di wilayah tulung, janti, polanharjo. Umbul Pelem dan Umbul Manten masih masuk daerah wisata Janti yang terkenal dengan daerah pemancingan. Hampir disetiap rumah memiliki tempat pemancingan sekaligus rekeasri atau wisata kuliner keluarga. Umbul Pelem dan Umbul Pelem Sendiri terletak di tepi jalan perbatasan yang menghubungkan dua kabupaten, yaitu kabupaen Klaten dan kabupaten Boyolali.

Dengan akses jalan yang lancar dan mudah dijangkau, lokasi Umbul Pelem dan Umbul Manten sangat mudah ditemukan. Lokasi Umbul Pelem dan Umbul Manten apabila dari jalan Solo-Jogja, setelah pasar Tegalgondo sebelah kanan jalan, bila dari timur (Solo) ada papan petunjuk arah ke objek wisata pemancingan Janti. Dengan mengikuti jalan yang lurus dan ketika sampai di pertigaan di mana ada petunjuk obyek wisata Janti belok ke kiri, ambil jalan yang lurus.

Penduduk sekitar rata-rata adalah pedagang, karena terletak di jalan yang menghubungkan ke objek wisata janti dan pemandiang umum cokro. Di daerah tersebut juga didirikan pengolahan air mineral yang diambil langsung dari mata air cokro, sehingga banyak pula warga yang menjadi pegawai di pabrik yang bergerak dalam pengolahan air mineral tersebut. Batas utara adalah kabupaten Boyolali, sebelah selatan adalah daerah wisata Janti, sebelah timur adalah daerah Tegalgondo dan sebelah timur adalah desa tulung.

B. Hasil Penelitian Cerita Rakyat Umbul Pelem dan Umbul Manten 
1. Umbul Pelem
Disebut Umbul Pelem konon dahulu lokasi tersebut tumbuh sebuah pohon pelem (mangga) yang besar di sekitar umbul. Namun, setalah sekian lama pohon pelem tersebut kini sudah tidak ada, yang ada hanya sebuah pohon beringin yang sangat besar, sehingga membuat lokasi sekitar umbul menjadi teduh.

Umbul pelem dipercaya orang yang mempunyai kedududukan jika melakukan kungkum (berendam) supaya mudah untuk naik pangkat, hal ini terbukti banyak ditemukannya sajen (syarat) yang berupa kembang setaman (bunga yang berwarna-warni yang biasa digunakan untuk ritual dalam masyarakat jawa), terutama pada hari-hari tertentu, terutama pada hari jumat kliwon.

2. Umbul Manten
Ada cerita rakyat yang beredar di masyarakat mengenai asal muasal umbul ini. Konon dahulu ada sepasang pengantin baru. Pengantin ini diberi wejangan oleh kedua orang tuanya, “kalo pengantin baru itu, dilarang keluar rumah bersama-sama menjelang senja (maghrib) sebelum 40 hari”.

Pasangan pengantin tersebut bertanya “mengapa mereka dilarang keluar rumah menjelang senja sebelum 40 hari”. Dijawab oleh orang tua tersebut, “kalian ndak perlu membantah. turuti saja dan kalian akan selamat”, dengan nada sedikit marah karena nasehatnya dibantah.

Pengantin tersebut suatu hari sebelum 40 hari keluar rumah bersama-sama. Saat itu menjelang senja. Sang suami berjalan mendahului istrinya. Setelah berjalan lama, sang suami menengok ke belakang dan menemukan istrinya menjauh kemudian lenyap. Begitu juga dengan sang istri, ketika dia mengejar sang suami ternyata suaminya semakin jauh dan akhirnya lenyap.

Letak kedua umbul inilah disinyalir sebagai lokasi di mana kedua suami istri itu lenyap. Ada juga masyarakat yang percaya jika pasangan suami istri yang lama tidak mempunyai keturunun dan ingin mendapatkan keturunan harus berendam semalaman di umbul Manten.

Air di umbul Manten juga sering digunakan untuk siraman pada pernikahan adat jawa, orang yang sering mengambil air di Umbul Manten ini terutama orang dari kawasan solo dan jogja sedangkan oaring sekitar hanya memanfaatkan air tersebut untuk mandi dan pengairan di sawah-sawah.

B. Fungsi Folklor Umbul Pelem dan Umbul Manten Bagi Masyarakat Pemiliknya 
Boscom (dalam Danandjaja, 1991: 19), mengemukakan bahwa fungsi folklore terutama lisan ada empat:
  1. sebagai sistem proyeksi, yakni sebagai alat penceminan angan-angan suatu kolektif,
  2. sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan,
  3. sebagai alat pendidik anak,
  4. sebagai alat pemaksa dan agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya. 
Cerita rakyat atau juga diebut mitos yang hidup dalam suatu masyarakat memberikan manfaat atau fungsi bagi masyarakat tersebut. Fungsi cerita rakyat bagi masyarakat ada tiga macam, yaitu meyadarkan manusia bahwa ada kekuatan ghaib, memberikan jaminan masa kini, dan memberikan pengetahuan pada dunia.

1. Menyadarkan Manusia Bahwa Ada Kekuatan Ghaib
Cerita rakyat tidak memberikan bahan informasi tentang kekuatan-kekuatan itu, namun membantu manusia agar dapat menghayati daya-daya itu sebagai kekuatan yang mempengaruhi dan mengatasi alam dan kehidupan sekitarnya.

Dalam cerita rakyat Umbul Pelem mengadung makna bahwa kekuatan ghaib yang dimaksud adalah Allah SWT, yang memberikan pengaruh sugesti kekuatan agar manusia mau berusaha, dengan melakukan ikhtiar atau lelekon dalam mencari kedudukan harus berjuang, sabar, dan selalu taat beribadah dan beriktiar, tahan uji dan tahan banting terhadap semua permasalahan. Pada cerita Umbul Manten, fungsi ini menganggap bahwa apapun usaha manusia di dunia ini dalam kehidupannya, Allah-lah yang menentukan segalanya.

2. Memberikan Jaminan Masa Kini
Dalam cerita umbul Pelem dapat diambil hikmah bahwa masyarakat mempercayai dengan melakukan usaha atau ikhtiar hasil yang akan dicapai dapat maksimal.

3. Memberikan Pengetahuan pada Dunia
Fungsi ini memberikan ilmu pengetahuan dan fisafat dalam alam pikiran mereka, misalnya cerita-cerita terjadinya langit dan bumi. Bagi masyarakat yang mempercayai mitos, mitos berarti sesuatu yang benar dan menjadi milik mereka yang berharga, karena merupakan sesuatu yang suci, bermakna dan menjadi contoh bagi kehidupan manusia. Itulah sebebnya mitos dianggap petuah bagi masyarakat.

Dalam cerita rakyat umbul pelem, dapat diambil petuahnya bahwa suatu derajat yang tinggi haruslah diberengi dengan usaha yang tekun dan rajin pula. Sedang dalam cerita umbul Manten dapat diambil petuahnya bahwa pertama jangan membantah nasehat orang tua.

Kedua, sepasang suami istri hendaknya selama masa-masa awal menikah (40 hari pertama) harus menata rumah tangganya dengan baik terlebih dulu. Dilarang keluar rumah bersama-sama dimaksudkan agar ada salah satu di antara mereka yang tetap berada di rumah untuk menjaga rumah tersebut. Ketiga, sepasang suami istri hendaknya selalu berjalan beriringan, baik dalam suka maupun duka.

Nilai Budaya dalam Cerita Rakyat Sistem nilai budaya merupakan tingkat yang peling tinggi dan paling abstrak dari adapt istiadat. Hal itu disebabkan karena nilai-nilai budaya itu merupakan konsep-konsep mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup, sehingga dapat berfungi sebagai sesuatu pedoman yang memberikan arah dan orientai kepada kehidupan para warga masyarakat (Koentjaraningrat, 1990: 190).

Nilai-nilai budaya yang terkandung dalam cerita umbul pelem dan umbul manten. Nilai keagamaan, dalam cerita rakyat umbul pelem dan umbul manten dapat dipetik hikmah bahwa Tuhan YME yang menentukan segala sesuatu bagi umatnya. Supaya selalu taat beribadah, menjalankan segala perintahNYA dan menjahui segala larangan-Nya.

Nilai sosial dari cerita rakyat umbul pelem dan umbul menten adalah, agar kita selalu berusaha dengan baik dalam menjalni kehidupan ini dan selalu berbakti kepada kedua orang tua, selalu menghormati orang tua, mentaati nasihatnya, jangan suka membantah kepada orang tua, menjaga kehormatan keluarga, dan saling menyayangi antar suami dan istri baik suka maupun duka.

 
BAB V Simpulan dan Saran
Penelitian cerita rakyat asal-usul umbul pelem dan umbul manten ini dilakukan di desa Sidowayah, Janti, kecamatan Polanharjo, kabupaten Klaten. Dalam cerita rakyat umbul pelem dan umbul pelem mengandung sebuah filsafat supaya kita selalu berusaha berikhtiar dalam melakukan suatu pekerjaan dengan selalu mendekatkan diri kepada Tuhan.

Pesan moral pada folklor Umbul Manten yaitu jangan pernah membantah nasehat orang tua, bagi sepasang suami istri hendaknya selama masa-masa awal menikah (40 hari pertama) harus menata rumah tangganya dengan baik terlebih dulu. Dilarang keluar rumah bersama-sama dimaksudkan agar ada salah satu di antara mereka yang tetap berada di rumah untuk menjaga rumah tersebut. Ketiga, sepasang suami istri hendaknya selalu berjalan beriringan, baik dalam suka maupun duka.

Penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah ilmu, terutama dalam bidang sastra dan bahasa, khususnya ilmu pengetahuan bahasa Indonesia. Hal ini mennandakan bahwa masih banyak cerita rakyat yang ada di daerah-daerah yang belum tergali dengan maksimal. Dengan adanya penelitian ini diharapkan pada peneliti folklore pemula dapat menambah wawasan tentang cerita rakyat yang ada didaerah-daerah.

Cerita rakyat umbul pelem dan umbul pelem memberikan manfaat atau fungsi bagi masyarakat sekitarnya. Fungsi pertama, yaitu menyadarkan manusia bahwa ada kekuatan ghaib. Cerita rakyat tidak memberikan bahan informasi tentang kekuatan-kekuatan itu, namun membantu manusia agar dapat menghayati daya-daya itu sebagai kekuatan yang mempengaruhi dan mengatasi alam dan kehidupan sekitarnya.

Dalam cerita rakyat Umbul Pelem mengadung makna bahwa kekuatan ghaib yang dimaksud adalah ALLAH SWT, yang memberikan pengaruh sugesti kekuatan agar manusia mau berusaha, dengan melakukan ikhtiar atau lelekon dalam mencari kedudukan harus berjuang, sabar, dan selalu taat beribadah dan beriktiar, tahan uji dan tahan banting terhadap semua permasalahan.Sedang Umbul Manten, fungsi ini menganggap bahwa apapun usaha manusia di dunia ini dalam kehidupannya, Allah-lah yang menentukan segalanya.

Fungsi kedua, memberikan jaminan masa kini, misalnya diceritakan deongeng sebagaimana pada zaman pdahulu, para dewa juga mualuai menggarap sawahnya dan memperoleh hasil yang melimpah. Dalam cerita umbul Pelem dapat diambil hikmah bahwa masyarakat mempercayai dengan melakukan usaha atau ikhtiar hasil yang akan dicapai dapat maksimal. Fungsi yang terakhir, memberikan pengetahuan pada dunia, artinya fungsi ini adalah memberikan ilmu pengetahuan dan fisafat dalam alam pikiran mereka, misalnya cerita-cerita terjadinya langit dan bumi.

 
DAFTAR PUSTAKA
  • Adriyono, Dudung 2005. "Cerita Rakyat Kabupaten Sukoharjo" dalam Program Pasca Sarjana, Surakarta: Program Pasca Sarjana Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret Surakarta.
  • Aminuddin, 1990. Pengembangan Penelitian Kualitatif Dalam Bidang Bahasa dan Sastra. Malang: Asah Asih Asuh.
  • Damono, Sapardi Djoko. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Gramedia.
  • Danandjaja. 1991. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dll. Jakarta: Grafiti.
  • Imron, Ali. 2003. “Metode Pengkajian Sastra: Teori dan Aplikasi”. Makalah pada Diklat Pengkajian Sastra dan Pengajaran: Perspektif KBK. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.
  • Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Mentalis dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
  • ______________. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Bhineka Cipta.
  • Listyowati, Anik Budi. 2000. “Legenda Pangeran Samudra Gunung Kemukus Fungsi Bagi Masyarakat Pemiliknya: Sebuah Kajian Pragmatik”. Skripsi. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.
  • Moleong, Lexy. 1989. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Karya.
  • ___________. 2002. Penelitian Kualitatif. Surakarta. Sebelas Maret University Press.
  • Suryani, Nine Dwi. 2005. “Cerita Rakyat Berkenaan dengan Asal-Usul Situ Begendit di Kecamatan Banyuresmi Kabupaten Garut”. Skripsi. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.
  • Wildan, dkk. 1980. Stuktur Sastra Lisan Tamiang. Jakarta: Pusat Bahasa.


Sinopsis Cerita Rakyat Umbul Pelem dan Umbul Manten di Klaten
Umbul Pelem
Disebut Umbul Pelem konon dahulu lokasi tersebut tumbuh sebuah pohon pelem (mangga) yang besar di sekitar umbul. Namun, setalah sekian lama pohon pelem tersebut kini sudah tidak ada, yang ada hanya sebuah pohon beringin yang sangat besar, sehingga membuat lokasi sekitar umbul menjadi teduh.

Umbul pelem dipercaya orang yang mempunyai kedududukan jika melakukan kungkum (berendam) supaya mudah untuk naik pangkat, hal ini terbukti banyak ditemukannya sajen (syarat) yang berupa kembang setaman (bunga yang berwarna-warni yang biasa digunakan untuk ritual dalam masyarakat jawa), terutama pada hari-hari tertentu, terutama pada hari jumat kliwon.

Umbul Menten
Ada cerita rakyat yang beredar di masyarakat mengenai asal muasal umbul ini. Konon dahulu ada sepasang pengantin baru. Pengantin ini diberi wejangan oleh kedua orang tuanya, “kalo pengantin baru itu, dilarang keluar rumah bersama-sama menjelang senja (maghrib) sebelum 40 hari”. Pasangan pengantin tersebut bertanya “mengapa mereka dilarang keluar rumah menjelang senja sebelum 40 hari”. Dijawab oleh orang tua tersebut, “kalian ndak perlu membantah. turuti saja dan kalian akan selamat”, dengan nada sedikit marah karena nasehatnya dibantah.

Pengantin tersebut suatu hari sebelum 40 hari keluar rumah bersama-sama. Saat itu menjelang senja. Sang suami berjalan mendahului istrinya. Setelah berjalan lama, sang suami menengok ke belakang dan menemukan istrinya menjauh kemudian lenyap. Begitu juga dengan sang istri, ketika dia mengejar sang suami ternyata suaminya semakin jauh dan akhirnya lenyap. Letak kedua umbul inilah disinyalir sebagai lokasi di mana kedua suami istri itu lenyap.

Ada juga masyarakat yang percaya jika pasangan suami istri yang lama tidak mempunyai keturunun dan ingin mendapatkan keturunan harus berendam semalaman di umbul Manten. Air di umbul Manten juga sering digunakan untuk siraman pada pernikahan adat jawa, orang yang sering mengambil air di Umbul Manten ini terutama orang dari kawasan solo dan jogja sedangkan oaring sekitar hanya memanfaatkan air tersebut untuk mandi dan pengairan di sawah-sawah.

------------------------------------------------------------------
Download makalah: Folklor Umbul Pelem dan Umbul Manten di Klaten dan Fungsinya Bagi Masyarakat Pemiliknya (pdf)

Hakikat Folklor, Bentuk Folklor, Ciri Pengenal Foklor, dan Fungsi Folklor



1. Hakikat Folklor
Secara etimologis kata folklor berasal dari bahasa Inggris folklore, kata dasarnya folk dan lore (Danandjaja, 2005: 1). Folklor menurut Alan Dundes adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Ciri-ciri pengenal itu, antara lain, dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata yang sama, bahasa yang sama, bentuk rambut yang sama, dll.

Dananjaja menyimpulkan bahwa folk adalah sinonim dengan kolektif yang juga memiliki ciri-ciri pengenal fisik atau kebudayaan yang sama, serta mempunyai kesadaran kepribadian sebagai kesatuan masyarakat, dan yang dimaksud lor adalah tradisi folk, yaitu sebagian kebudayaannya yang diwariskan secara turun-temurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau pembantu pengingat.

Foklor menurut Dananjaja, tidak lain adalah sebagian kebudayaan suatu kolektof yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisoanal dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (Danandjaja, 2005: 2).

2. Bentuk Folklor
Folklor jika diperhatikan dari segi bentuknya, ternyata ada dua, yaitu bentuk lisan dan sebagian lisan (Danandjaja, 2005).
Bentuk folklor lisan antar lain:
  1. Bahasa rakyat, yakni bentuk folklore Indonesia yang termasuk dalam kelompok bahasa rakyat, adalah logat atau dialek bahasa-bahasa Nusantara.
  2. Ungkapan tradisonal yakni yang termasuk dalam bentu folklore semacam ini adalah peribahasa (peribahasa yang sesungguhnya, peribahasa tidak lengap kalimatnya, peribahasa perumpamaan) dan ungkapan (ungkapan-ungkapan yang mirip peribahasa).
  3. Pertanyaan tradisional yakni yang lebih dikenal sebagai teka-teki merupakan pertanyaan yang bersifat tradisonal dan mempunyai jawaban yang tradisional pula.
  4. Sajak dan puisi rakyat yakni follor lisan yang memiliki kekhususan, kalimatnya tidak berbentuk bebas, tapi terikat. Sajak dan puisi rakyat merupakan kesusastraan yang sudah tertentu betuknya, baik dari segi jumlah larik maupun persajakan yang mengekhiri setiap lariknya. Yang termasuk ke dalam jenis ini adalah parikan, rarakitan, wawangian, dll.

Nyanyian rakyat yang menurut Jan Harold Bruvand (dalam Dananjaja, 2005: 141) adalah salah satu genre atau bentuk folklore yang terdiri atas kata-kata dan lagu, yang beredar secara lisan di antara anggota kolektif tertentu, berbentuk tradisional serta banyak mempunyai varian.

Ada juga bentuk folklore yang sebagaian lisan terdiri atas dua macam, yaitu (1) kepercayaan rakyat, yang seringkali juga disebut takhyul adalah kepercayaan yang oleh orang berpindidikan barat dianggap sederhana bahkan pander, tidak berdasrkan logika, sehingga secara ilmiah tidak dapat dipertanggungjawakan kebenarannya (Danandjaja, 2005: 153); dan (2) permainan rakyat dianggap tergolong ke dalam folklore karena memperohnya melalui warisan lisan, terutama berlaku pada permainan rakyat kanak-kanak karena permainan ini disebarkan hampir murni melalui tradisi lisan dan banyak di antaranya disebarluaskan tanpa bantuan orang dewasa, seperti orang tua mereka atau guru sekolah mereka (Danandjaja, 2005: 171).

3. Ciri Pengenal Foklor
Folklor memiliki sembilan ciri pengenal utama. Ciri pengenal folklore ini dapat dijadikan pembeda folklor dari kebudayaan lainnya (Danandjaja, 2005: 3-4). Kesembilan ciri pengenal itu sebagai berikut.

  1. Penyebaran dan pewarisnya biasanya dilakukan secara lisan yakni saat itu penyebaran folklor bisa terjadi dengan bantuan mesin cetak dan elektronik;
  2. Bersifat tradisional, disebarkan dalam bentuk relative tetap (standar);
  3. Folklore eksi dalam versi-versi bahkan dalam varian-varian yang berbeda lantaran tersebar secara lisan dari mulut ke mulut;
  4. Bersifat anonim, nama pencipatanya sudah tidak diketahui orang lagi;
  5. Folklore biasanya memiliki bentuk berumus atau berpola memiliki formula tertentu dan mamanfaatkan bentuk bahasa klise;
  6. Folklore mempunyai fungsi dalam kehidupan bersama suatu kolektif (alat pendidikan, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan yang terpendan);
  7. Folklore bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum (ciri ini berlaku baik bagi folklore lisan maupun folklore sebagaian lisan);
  8. Menjadi milik bersama dari kolektif tertentu, hal ini disebabkan oleh pencipta pertama sudah tidak diketahui lagi;
  9. Folklore pada umumnya bersifat polos dan lugu sehingga seringkali kelihatannya kasar, terlalu spontan; hal demikian itu dapat dimengerti apabila mengingat bahwa banyak folkor merupakan proyeksi emosi menusia-manusia yang paling jujur manifestasinya.

Berdasarkan ciri-ciri cerita rakyat yang telah disebutkan di atas, menurut Bascom (dalam Danandjaja 2005: 50) cerita rakyat dapat dibagi dalam tiga golongan besar, yaitu: mite (myth), legenda (legend), dan dongeng (folktale)


3.1 Mite (myth)
Mite adalah cerita rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Ditokohi oleh para dewa atau mahluk setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain atau di dunia yang bukan seperti yang kita kenal sekarang dan terjadi pada masa lampau.


3.2 Legenda (legend)
Seperti halnya dengan mite, legenda adalah cerita rakyat, yang dianggap suci oleh yang empunya cerita sebagai suatu kejadian yang sungguh-sungguh pernah terjadi. Berbeda dengan mite, legenda bersifat sekuler (keduniawian), terjadinya pada masa yang belum begitu lampau, dan bertempat di dunia seperti yang kita kenal sekarang ini. Legenda seringkali dipandang sebagai “sejarah” kolektif (folk history), walaupun “sejarah” itu karena tidak tertulis telah mengalami distorsi, sehingga seringkali dapat jauh berbeda dengan kisah aslinya. Legenda biasanya bersifat migratoris, yakni dapat berpindah–pindah, sehingga dikenal luas di daerah-daerah yang berbeda.

Menurut Dundes (dalam Danandjaja 2005: 67) ada kemungkinan besar bahwa jumlah legenda disetiap kebudayaan jauh lebih banyak daripada mite atau dongeng. Hal ini disebabkan jika mite hanya mempunyai sejumlah tipe dasar yang terbatas, seperti penciptaan dunia dan asal mula terjadinya kematian. Namun legenda mempunyai sejumlah tipe dasar yang tidak terbatas, terutama legenda setempat, yang jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan legenda yang dapat mengembara dari satu daerah ke daerah lain.

Brunvand (dalam Danandjaja 2005: 67) menggolongkan legenda menjadi empat kelompok, yaitu:

  1. Legenda keagamaan (religious legends), yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah legenda orang-orang suci (saints) Nasrani. Legenda orang saleh yang ada di Jawa adalah mengenai para wali agama Islam, yakni para penyebar agama (proselytizers) Islam pada masa awal perkembangan agama Islam di Jawa.
  2. Legenda alam gaib. Legenda semacam ini biasanya berbentuk kisah yang dianggap benar–benar terjadi dan pernah dialami oleh seseorang. Fungsi legenda semacam ini adalah untuk meneguhkan kebenaran “takhayul” atau kepercayaan rakyat. Kategori legenda alam gaib adalah cerita-cerita pengalaman seseorang dengan makhluk-makhluk gaib, hantu-hantu, siluman, gejala–gejala alam yang gaib, dan sebagainya.
  3. Legenda perseorangan adalah cerita mengenai toko-tokoh tertentu, yang dianggap oleh yang empunya cerita benar-benar pernah terjadi. Suatu jenis legenda perseorangan adalah mengenai perompak-perompak semacam Robin Hood, yang merampok penguasa korup atau orang kaya untuk didermakan kepada rakyat miskin.
  4. Legenda setempat. Yang termasuk ke dalam golongan legenda ini adalah cerita yang berhubungan dengan suatu tempat, nama tempat dan bentuk topografi, yakni bentuk permukaan suatu daerah, apakah berbukit–bukit, berjurang, dan sebagainya.
Jadi, dapat dikatakan bahwa legenda hampir sama dengan mite yaitu sebuah cerita yang memiliki bentuk atau wujud sehingga dapat dipercaya keberadaannya. Contoh yang mendukung bahwa legenda itu dapat dipercaya misalnya ada legenda keagamaan mengenai para wali agama Islam, legenda alam gaib yang berupa “takhayul” serta legenda setempat yang mengisahkan asal-usul tempat.
3.3 Dongeng (folktal)
Legenda adalah sejarah kolektif (folk histor), maka dongeng adalah cerita pendek kolektif kesusastraan lisan. Selanjutnya dongeng adalah cerita rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi. Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan, walaupun banyak juga yang melukiskan kebenaran, berisikan pelajaran (moral), atau bahkan sindiran. Dalam pikiran orang, dongeng sering dianggap sebagai cerita mengenai peri.

Dongeng biasanya mempunyai kalimat pembukaan dan penutup yang bersifat klise. Seperti halnya mite dan legenda, dongeng juga mempunyai unsur-unsur cerita yang terdapat di daerah-daerah lain yang letaknya berjauhan.

Aarne dan Thompson (dalam Dananjaya 2005: 86) telah membagi jenis-jenis dongeng ke dalam empat golongan besar, yakni:

  1. Dongeng binatang (animal tales) adalah dongeng yang ditokohi binatang peliharaan dan binatang liar, seperti binatang menyusui, burung, binatang melata (reptilia), ikan dan serangga. Binatang-binatang itu dalam cerita jenis ini dapat berbicara dan berakal budi seperti manusia.
  2. Dongeng biasa (Ordinary folktales) adalah jenis dongeng yang ditokohi manusia dan biasanya adalah kisah suka duka seseorang.
  3. Lelucon dan anekdot (jokes and anecdotes) adalah dongeng-dongeng yang dapat menimbulkan rasa mengelikan hati, sehingga menimbulkan ketawa bagi yang mendengarnya maupun yang menceritakannya.
  4. Dongeng berumus (formula tales) adalah dongeng-dongeng yang oleh Aarne dan Thompson disebut formula tales dan strukturnya terdiri dari pengulangan. Dongeng-dongeng berumus mempunyai beberapa sub bentuk, yakni: a) dongeng bertimbun banyak (cumulative tales), b) dongeng untuk mempermainkan orang (cacth tales), dan c) dongeng yang tidak mempunyai akhir (Endless tales).

4. Fungsi Folklor atau Mitos
Mitos di samping memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang atau masyarakat, juga memiliki fungsi bagi masyarakat pendukungnya. Karena mitos merupakan bagian daari cerita rakyat yang di dalamnya mengandung nilai-nilai, norma-norma, dan arahan tertentu yang memberi pedoman bagi kehidupan manusia.

Menurut Van Peursen (1976), fungsi mitos dibagi menjadi tiga. 

Fungsi pertama ialah menyadarkan manusia bahwa ada kekuatan-kekuatan ajaib. Mitos itu tidak memberikan bahan informasi mengenai kekuatan-kekuatan itu, tetapi membantu manusia agar dia dapat menghayati daya-daya itu sebagai suatu kekuatan yang mempengaruhi dan menguasai alam dan kehidupan sukunya.

Fungsi kedua bertalian erat dengan fungsinya yang pertama: mitos memberikan jaminan bagi masa kini. Banyak ahli telah menerangkan fungsi itu dengan banyak contoh. Pada musim semi misalnya bila ladang-ladang mulai digarap, diceritakan dongeng, tetapi itu juga dapat diperagakan, misalnya dalam sebuah tarian, baagimana pada jaman purbakala para dewa juga menggarap sawahnya dan memperoleh hasil yang berlimpah-limpah. Demikian misalnya di beberapa daerah di Indonesia, pada musim sawah-sawah ditanami, dinyanyikan, siang dan malam, cerita-cerita yang bertalian dengan tema kesuburan. Ini tidak dilakukan untuk mempersingkat waktu, melainkan untuk menjamin kesuburan bibit dengan menceritakan mitos-mitos itu.

Fungsi ketiga, yang mirip dengan fungsi ilmu pengetahuan dan filsafat dalam alam pikiran modern yaitu bahwa mitos itu memberikan pengetahuan tentang dunia. Lewat mitos, manusia primitif memperoleh keterangan-keterangan.


Referensi
Danandjaja. 2005. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng dan lain-lainnya. Jakarta: Graffiti

Peursen, Van. 1976. Strategi Kebudayaan (diterjemahkan oleh Dick Hartoko). Yogyakarta: Kanisius

Saturday, October 6, 2012

Filsafat Keindahan (Estetika), Stilistika, Retorika, Wacana, dan Bahasa

A. Pengantar
Bahasa merupakan media utama yang membedakan seni sastra dengan cabang-cabang seni yang lainnya, bahasa merupakan alat komunikasi. Fungsi bahasa adalah untuk memberikan acuan pada pengalaman-pengalaman pemakainya. Pada prinsipnya, seni sastra dapat dipandang dari dua segi kemungkinan: 
  1. Seni sastra dipandang sebagai bagian dari seni pada umumnya. Pendekatan yang dipakai femonologi atau ganzheit.
  2. Pada umumnya seni sastra dipandang sebagai bagian dari ilmu bahasa.

Metode pendekatan yang digunakan adalah metode struktural, atau struktural dinamik, yang lebih dikenal dengan istilah semiotika. Stilistika merupakan bidang linguistik yang mengemukakan teori dan metodologi pengkajian atau enganalisisan formal sebuah teks sastra, termasuk dalam pengertian extended.

B. Filsafat Keindahan (Estetika)
Estetika berasal dari kata Yunani ‘aesthesis’, berarti perasaan atau sensitivitas. Sekarang, estetika diartikan segala pemikiran filosofis tentang seni sehingga estetika juga disebut filsafat seni atau filsafat pendidikan. Estetika, etika, dan logika membentuk trilogi ilmu-ilmu normatif dalam filsafat.

Teks sastra dipandang sebagai alat estetika. Masalah-masalah di luar teks sastra (ekstrinsik) banyak diperhitungkan sebagai tolok ukur apakah sastra itu baik dan indah. Fungsi sastra di sini lebih ditekankan dari segi kegunaan dan kemanfaatannya (fungsi ‘utile’).

Sebagai bahan baku, bahasa dalam sastra merupakan objek kajian, yang memiliki nilai terminal. Masalah-masalah yang berada dalam teks (intrinsik) itulah yang menjadi objek utama dalam pengkajiannya. Fungsi sastra di sini lebih ditekankan dari segi kenikmatannya (fungsi ‘dulce’).

1. Periodisasi Estetika
a. Periode Platonis atau Dogmatis
Periode platonis atau dogmatis merupakan tahap pembentukan pertama. Periode ini berlangsung sejak Socrates (w 399 SM) hingga Baumgarten (1714-1762). Baumgarten yang pertama-tama memberi istilah Yunani ‘Aesthetika’; dalam bahasa inggris ‘Aesthetics’; diindonesiakan menjadi ‘Estetika’.

b. Periode Kritika
Periode kritika ini terbagi menjadi tiga tahap yaitu:

  1. Sebelum Emanuel Kant,
  2.  Zaman Emanuel Kant,
  3.  Sesudah Emanuel Kant.

c. Periode Positif Dewasa ini
Sejarah estetika menurut pembabakan Croce terbagi ke dalam tiga periode:

  1. Periode sebelum Kant.
  2. Periode Kant beserta para pengikutnya.
  3. Periode pisitif dewasa ini. Periode positif memiliki ciri sangat membenci metafisika.

Abad estetika dewasa ini secara sistematika dibedakan ke dalam:

  1. Estetika bawah (von oben), tidak akan dapat tersistematikan secara rapi tanpa mengabaikan beberapa keganjilan pikiran. Tokoh penting dalam periode estetika atas adalah Nietzsche. Karya-karyanya: Die geburt der Tragodie, Der Fall Wagner, Also Sprach Zarathustra, dan Unzeitgemaesse Betrachtungen.
  2. Estetika atas (von unten). Gustav Theodor Fechner (1807-1887) dari Jerman orang yang mengusulkan nama estetika induktif ‘von unten’ sebagai alternatif lain dari estetika metafisika lama ‘von oben’ untuk menentukan konsepsi yang tepat mengenai hakikat dari keindahan yang objektif.
  3. Estetika dari bawah ke atas (von unten nach oben). Aliran estetika dari bawah ke atas berupaya memadukan antara tuntutan-tuntutan pemikiran yang filosofis dengan keharusan metode penyelidikan secara positif dan terdapat dalam psikologis dan sosiologi muncullah nanti: ‘psiko-estetik’ dan ‘sosio-estetik’.

2. Objek Estetika

Yang menjadi objek utama secara langsung dari estetika adalah keindahan, baik keindahan alam maupun keindahan seni.

3. Metode dan Pendekatan Estetika
Metode dan pendekatan estetika di sini lebih ditekankan pada objek estetikanya yaitu karya sastra. Berdasarkan diagram model Abrams, metode dan pendekatan karya sastra dapat dirumuskan ke dalam empat model sebagai berikut:

  1. Pendekatan yang menitikberatkan pada karya sastra itu sendiri secara otonom atau mandiri. Pendekatan ini disebut pendekatan objektif.
  2. Pendekatan yang menitikberatkan pada diri sastrawan. Pendekatan demikian disebut pendekatan ekspresif.
  3. Pendekatan yang menitikberatkan pada pembaca atau publik. Pendekatan ini disebut pendekatan pragmatik.
  4. Pendekatan yang menitikberatkan pada alam semesta. Pendekatan ini disebut pendekatan mimetik.
C. Stilistika, Retorika, Wacana, Logika dan Bahasa
Stilistika (Stylistics) adalah ilmu yang meneliti penggunaan bahasa dan gaya bahasa di dalam karya sastra. Stilistika sebagai cabang ilmu sastra yang meneliti stail atau gaya, dibedakan ke dalam: stilistika deskriptif dan stilistika genetik.

Stilistika genetik atau individual (L. Spitzer) memandang stail, gaya (style) sebagai suatu ungkapan yang khas pribadi. Lewat analisis terinci (motif, pilihan kata) terhadap sebuah karya dapat dilacak visi batin seseorang pengarang, yaitu cara ia mengungkapkan sesuatu. Analisis ini agak mirip dengan psichoanalisis Sigmund Freud.

Stilistika deskriptif (Ch. Bally), mendekati (approach) gaya (style) sebagai keseluruhan daya ungkapan psikis yang terkandung dalam suatu bahasa, dan meneliti nilai-nilai ekspresif khusus yang terkandung dalam suatu bahasa, yaitu secara morfologis, sintaksis, semantis.

Panuti Sudjiman, Edito (1984: 80) memberi batasan wacana (discourse) adalah ungkapan pikiran yang beruntun, secara lisan atau tulisan, tentang suatu pokok.

Logika dan Bahasa
Kedudukan dan fungsi bertutur adalah:

  1. sebagai pembeda antara manusia dan binatang,
  2. menyangkut kegiatan sosial budaya, dan
  3.  berfungsi informatif.

Ada tiga komponen dalam proses berkegiatan tutur yaitu:

  1. penutur (komunikator),
  2. tutur atau topik tutur, 
  3. penanggap atau penerima tutur (komunikan).