Sunday, October 14, 2012

Hakikat Folklor, Bentuk Folklor, Ciri Pengenal Foklor, dan Fungsi Folklor



1. Hakikat Folklor
Secara etimologis kata folklor berasal dari bahasa Inggris folklore, kata dasarnya folk dan lore (Danandjaja, 2005: 1). Folklor menurut Alan Dundes adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Ciri-ciri pengenal itu, antara lain, dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata yang sama, bahasa yang sama, bentuk rambut yang sama, dll.

Dananjaja menyimpulkan bahwa folk adalah sinonim dengan kolektif yang juga memiliki ciri-ciri pengenal fisik atau kebudayaan yang sama, serta mempunyai kesadaran kepribadian sebagai kesatuan masyarakat, dan yang dimaksud lor adalah tradisi folk, yaitu sebagian kebudayaannya yang diwariskan secara turun-temurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau pembantu pengingat.

Foklor menurut Dananjaja, tidak lain adalah sebagian kebudayaan suatu kolektof yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisoanal dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (Danandjaja, 2005: 2).

2. Bentuk Folklor
Folklor jika diperhatikan dari segi bentuknya, ternyata ada dua, yaitu bentuk lisan dan sebagian lisan (Danandjaja, 2005).
Bentuk folklor lisan antar lain:
  1. Bahasa rakyat, yakni bentuk folklore Indonesia yang termasuk dalam kelompok bahasa rakyat, adalah logat atau dialek bahasa-bahasa Nusantara.
  2. Ungkapan tradisonal yakni yang termasuk dalam bentu folklore semacam ini adalah peribahasa (peribahasa yang sesungguhnya, peribahasa tidak lengap kalimatnya, peribahasa perumpamaan) dan ungkapan (ungkapan-ungkapan yang mirip peribahasa).
  3. Pertanyaan tradisional yakni yang lebih dikenal sebagai teka-teki merupakan pertanyaan yang bersifat tradisonal dan mempunyai jawaban yang tradisional pula.
  4. Sajak dan puisi rakyat yakni follor lisan yang memiliki kekhususan, kalimatnya tidak berbentuk bebas, tapi terikat. Sajak dan puisi rakyat merupakan kesusastraan yang sudah tertentu betuknya, baik dari segi jumlah larik maupun persajakan yang mengekhiri setiap lariknya. Yang termasuk ke dalam jenis ini adalah parikan, rarakitan, wawangian, dll.

Nyanyian rakyat yang menurut Jan Harold Bruvand (dalam Dananjaja, 2005: 141) adalah salah satu genre atau bentuk folklore yang terdiri atas kata-kata dan lagu, yang beredar secara lisan di antara anggota kolektif tertentu, berbentuk tradisional serta banyak mempunyai varian.

Ada juga bentuk folklore yang sebagaian lisan terdiri atas dua macam, yaitu (1) kepercayaan rakyat, yang seringkali juga disebut takhyul adalah kepercayaan yang oleh orang berpindidikan barat dianggap sederhana bahkan pander, tidak berdasrkan logika, sehingga secara ilmiah tidak dapat dipertanggungjawakan kebenarannya (Danandjaja, 2005: 153); dan (2) permainan rakyat dianggap tergolong ke dalam folklore karena memperohnya melalui warisan lisan, terutama berlaku pada permainan rakyat kanak-kanak karena permainan ini disebarkan hampir murni melalui tradisi lisan dan banyak di antaranya disebarluaskan tanpa bantuan orang dewasa, seperti orang tua mereka atau guru sekolah mereka (Danandjaja, 2005: 171).

3. Ciri Pengenal Foklor
Folklor memiliki sembilan ciri pengenal utama. Ciri pengenal folklore ini dapat dijadikan pembeda folklor dari kebudayaan lainnya (Danandjaja, 2005: 3-4). Kesembilan ciri pengenal itu sebagai berikut.

  1. Penyebaran dan pewarisnya biasanya dilakukan secara lisan yakni saat itu penyebaran folklor bisa terjadi dengan bantuan mesin cetak dan elektronik;
  2. Bersifat tradisional, disebarkan dalam bentuk relative tetap (standar);
  3. Folklore eksi dalam versi-versi bahkan dalam varian-varian yang berbeda lantaran tersebar secara lisan dari mulut ke mulut;
  4. Bersifat anonim, nama pencipatanya sudah tidak diketahui orang lagi;
  5. Folklore biasanya memiliki bentuk berumus atau berpola memiliki formula tertentu dan mamanfaatkan bentuk bahasa klise;
  6. Folklore mempunyai fungsi dalam kehidupan bersama suatu kolektif (alat pendidikan, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan yang terpendan);
  7. Folklore bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum (ciri ini berlaku baik bagi folklore lisan maupun folklore sebagaian lisan);
  8. Menjadi milik bersama dari kolektif tertentu, hal ini disebabkan oleh pencipta pertama sudah tidak diketahui lagi;
  9. Folklore pada umumnya bersifat polos dan lugu sehingga seringkali kelihatannya kasar, terlalu spontan; hal demikian itu dapat dimengerti apabila mengingat bahwa banyak folkor merupakan proyeksi emosi menusia-manusia yang paling jujur manifestasinya.

Berdasarkan ciri-ciri cerita rakyat yang telah disebutkan di atas, menurut Bascom (dalam Danandjaja 2005: 50) cerita rakyat dapat dibagi dalam tiga golongan besar, yaitu: mite (myth), legenda (legend), dan dongeng (folktale)


3.1 Mite (myth)
Mite adalah cerita rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Ditokohi oleh para dewa atau mahluk setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain atau di dunia yang bukan seperti yang kita kenal sekarang dan terjadi pada masa lampau.


3.2 Legenda (legend)
Seperti halnya dengan mite, legenda adalah cerita rakyat, yang dianggap suci oleh yang empunya cerita sebagai suatu kejadian yang sungguh-sungguh pernah terjadi. Berbeda dengan mite, legenda bersifat sekuler (keduniawian), terjadinya pada masa yang belum begitu lampau, dan bertempat di dunia seperti yang kita kenal sekarang ini. Legenda seringkali dipandang sebagai “sejarah” kolektif (folk history), walaupun “sejarah” itu karena tidak tertulis telah mengalami distorsi, sehingga seringkali dapat jauh berbeda dengan kisah aslinya. Legenda biasanya bersifat migratoris, yakni dapat berpindah–pindah, sehingga dikenal luas di daerah-daerah yang berbeda.

Menurut Dundes (dalam Danandjaja 2005: 67) ada kemungkinan besar bahwa jumlah legenda disetiap kebudayaan jauh lebih banyak daripada mite atau dongeng. Hal ini disebabkan jika mite hanya mempunyai sejumlah tipe dasar yang terbatas, seperti penciptaan dunia dan asal mula terjadinya kematian. Namun legenda mempunyai sejumlah tipe dasar yang tidak terbatas, terutama legenda setempat, yang jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan legenda yang dapat mengembara dari satu daerah ke daerah lain.

Brunvand (dalam Danandjaja 2005: 67) menggolongkan legenda menjadi empat kelompok, yaitu:

  1. Legenda keagamaan (religious legends), yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah legenda orang-orang suci (saints) Nasrani. Legenda orang saleh yang ada di Jawa adalah mengenai para wali agama Islam, yakni para penyebar agama (proselytizers) Islam pada masa awal perkembangan agama Islam di Jawa.
  2. Legenda alam gaib. Legenda semacam ini biasanya berbentuk kisah yang dianggap benar–benar terjadi dan pernah dialami oleh seseorang. Fungsi legenda semacam ini adalah untuk meneguhkan kebenaran “takhayul” atau kepercayaan rakyat. Kategori legenda alam gaib adalah cerita-cerita pengalaman seseorang dengan makhluk-makhluk gaib, hantu-hantu, siluman, gejala–gejala alam yang gaib, dan sebagainya.
  3. Legenda perseorangan adalah cerita mengenai toko-tokoh tertentu, yang dianggap oleh yang empunya cerita benar-benar pernah terjadi. Suatu jenis legenda perseorangan adalah mengenai perompak-perompak semacam Robin Hood, yang merampok penguasa korup atau orang kaya untuk didermakan kepada rakyat miskin.
  4. Legenda setempat. Yang termasuk ke dalam golongan legenda ini adalah cerita yang berhubungan dengan suatu tempat, nama tempat dan bentuk topografi, yakni bentuk permukaan suatu daerah, apakah berbukit–bukit, berjurang, dan sebagainya.
Jadi, dapat dikatakan bahwa legenda hampir sama dengan mite yaitu sebuah cerita yang memiliki bentuk atau wujud sehingga dapat dipercaya keberadaannya. Contoh yang mendukung bahwa legenda itu dapat dipercaya misalnya ada legenda keagamaan mengenai para wali agama Islam, legenda alam gaib yang berupa “takhayul” serta legenda setempat yang mengisahkan asal-usul tempat.
3.3 Dongeng (folktal)
Legenda adalah sejarah kolektif (folk histor), maka dongeng adalah cerita pendek kolektif kesusastraan lisan. Selanjutnya dongeng adalah cerita rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi. Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan, walaupun banyak juga yang melukiskan kebenaran, berisikan pelajaran (moral), atau bahkan sindiran. Dalam pikiran orang, dongeng sering dianggap sebagai cerita mengenai peri.

Dongeng biasanya mempunyai kalimat pembukaan dan penutup yang bersifat klise. Seperti halnya mite dan legenda, dongeng juga mempunyai unsur-unsur cerita yang terdapat di daerah-daerah lain yang letaknya berjauhan.

Aarne dan Thompson (dalam Dananjaya 2005: 86) telah membagi jenis-jenis dongeng ke dalam empat golongan besar, yakni:

  1. Dongeng binatang (animal tales) adalah dongeng yang ditokohi binatang peliharaan dan binatang liar, seperti binatang menyusui, burung, binatang melata (reptilia), ikan dan serangga. Binatang-binatang itu dalam cerita jenis ini dapat berbicara dan berakal budi seperti manusia.
  2. Dongeng biasa (Ordinary folktales) adalah jenis dongeng yang ditokohi manusia dan biasanya adalah kisah suka duka seseorang.
  3. Lelucon dan anekdot (jokes and anecdotes) adalah dongeng-dongeng yang dapat menimbulkan rasa mengelikan hati, sehingga menimbulkan ketawa bagi yang mendengarnya maupun yang menceritakannya.
  4. Dongeng berumus (formula tales) adalah dongeng-dongeng yang oleh Aarne dan Thompson disebut formula tales dan strukturnya terdiri dari pengulangan. Dongeng-dongeng berumus mempunyai beberapa sub bentuk, yakni: a) dongeng bertimbun banyak (cumulative tales), b) dongeng untuk mempermainkan orang (cacth tales), dan c) dongeng yang tidak mempunyai akhir (Endless tales).

4. Fungsi Folklor atau Mitos
Mitos di samping memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang atau masyarakat, juga memiliki fungsi bagi masyarakat pendukungnya. Karena mitos merupakan bagian daari cerita rakyat yang di dalamnya mengandung nilai-nilai, norma-norma, dan arahan tertentu yang memberi pedoman bagi kehidupan manusia.

Menurut Van Peursen (1976), fungsi mitos dibagi menjadi tiga. 

Fungsi pertama ialah menyadarkan manusia bahwa ada kekuatan-kekuatan ajaib. Mitos itu tidak memberikan bahan informasi mengenai kekuatan-kekuatan itu, tetapi membantu manusia agar dia dapat menghayati daya-daya itu sebagai suatu kekuatan yang mempengaruhi dan menguasai alam dan kehidupan sukunya.

Fungsi kedua bertalian erat dengan fungsinya yang pertama: mitos memberikan jaminan bagi masa kini. Banyak ahli telah menerangkan fungsi itu dengan banyak contoh. Pada musim semi misalnya bila ladang-ladang mulai digarap, diceritakan dongeng, tetapi itu juga dapat diperagakan, misalnya dalam sebuah tarian, baagimana pada jaman purbakala para dewa juga menggarap sawahnya dan memperoleh hasil yang berlimpah-limpah. Demikian misalnya di beberapa daerah di Indonesia, pada musim sawah-sawah ditanami, dinyanyikan, siang dan malam, cerita-cerita yang bertalian dengan tema kesuburan. Ini tidak dilakukan untuk mempersingkat waktu, melainkan untuk menjamin kesuburan bibit dengan menceritakan mitos-mitos itu.

Fungsi ketiga, yang mirip dengan fungsi ilmu pengetahuan dan filsafat dalam alam pikiran modern yaitu bahwa mitos itu memberikan pengetahuan tentang dunia. Lewat mitos, manusia primitif memperoleh keterangan-keterangan.


Referensi
Danandjaja. 2005. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng dan lain-lainnya. Jakarta: Graffiti

Peursen, Van. 1976. Strategi Kebudayaan (diterjemahkan oleh Dick Hartoko). Yogyakarta: Kanisius

No comments:

Post a Comment