Wednesday, May 4, 2011

Teori Sastra (3): New Criticism

BAB III
NEW CRITICISM

New criticism merupakan aliran kritik sastra di Amerika Serikat yang berkembang antara tahun 1920-1960. Istilah new criticism pertama kali dikemukakan oleh John Crowe Ransom dalam bukunya The New Criticism (1940) dan ditopang oleh I.A. Richard dan T.S. Eliot. Sejak Cleanth Brooks dan Robert Penn Warren menerbitkan buku Understanding Poetry (1938), model kritik sastra ini mendapat perhatian yang luas di kalangan akademisi dan pelajar Amerika selama dua dekade. Penulis new criticism lainnya yang penting adalah: Allen Tate, R.P. Blackmur, dan William K. Wimsatt, Jr. (Abrams, 1981: 109-110). Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap kritik sastra sebelumnya yang terlalu fokus pada aspek-aspek kehidupan dan psikologi pengarang serta sejarah sastra. Para new criticism menuduh ilmu dan teknologi menghilangkan nilai perikemanusiaan dari masyarakat dan menjadikannya berat sebelah. Manurut mereka, ilmu tidak memadai dalam mencerminkan kehidupan manusia. Sastra dan terutama puisi merupakan suatu jenis pengetahuan, yaitu pengetahuan lewat pengalaman. Tugas kritik sastra adalah memperlihatkan dan memelihara pengetahuan yang khas, unik dan lengkap seperti yang ditawarkan kepada kita oleh sastra agung (Van Luxemburg dkk, 1988: 52-54).

Sekalipun para new criticism tidak selalu kompak, mereka sepakat dalam memandang karya sastra sebagai sebuah kesatuan organik yang telah selesai, sebuah gejala estetik yang telah melepaskan kondisi subjektifnya pada saat karya itu diselesaikan. Hanya dengan menganalisis susunan dan organisasi sebuah karya sastra, dapat diperlihatkan inti karya seni itu menurut arti yang sesungguhnya. Menurut T.S. Eliot, sebuah puisi pertama-tama adalah puisi, bukan sesuatu yang lain, suatu objek yang otonom dan lengkap.

Para new criticism menganggap berbagai model kritik yang berorientasi kepada aspek-aspek di luar karya sastra sebagai suatu kesalahan besar. Orientasi kepada maksud pengarang disebut sebagai suatu penalaran yang sesat. Makna sebuah puisi juga jangan dikacaukan dengan kesan yang diperoleh pembaca karena kita dapat terjerumus dalam struktur sintaksis dan semantiknya. Untuk mengetahui arti itu kita harus mempergunakan pengetahuan kita mengenai bahasa dan sastra. Sejauh hidup pengarangnya dapat dipergunakan sejauh dapat menerangkan makna kata kata khusus yang dipergunakan dalam karyanya. Selain itu, pemahaman terhadap konteks penggunaan bahasa sangat ditekankan.

Menurut mereka, komponen dasar karya sastra, baik lirik, naratif, maupun dramatik adalah kata-kata, citraan/imagi, dan simbol-simbol, bukan watak, pemikiran ataupun plot. Elemen-elemen linguistik ini sudah diorganisasikan di seputar sebuah tema sentral dan mengandung tensi atau maksud, ironi dan paradoks dalam strukturnya yang merupakan muara pertemuan berbagai impuls dan kekuatan yang berlawanan. Pandangan-pandangan kaun new critics, bagaimanapun tetap berguna karena mermpertajam pengertian kita terhadap puisi yang terkadang sukar dipahami. Meskipun demikian, pendangan mereka terlalu mengutamakan puisi daripada jenis sastra lainnya menyebabkan teori sastra mereka dipandang kurang utuh. Mereka juga menyadari bahwa tidak hanya the words on the page yang mengemudikan tafsiran mereka melainkan juga cita-cita dan praduga-praduga mereka telah ikut berperan di dalamnya (Van Luxemburg dkk. 1986: 54).

Cara Kerja New Criticism
Kendati pemikir dan praktisi new criticism banyak, dan diantara mereka pasti ada silang pendapat, pada hakikatnya cara kerja mereka sama, yaitu:
1. Close reading
Yakni mencermati karya sastra dengan teliti dan mendetailkalau perlu baris demi baris, kata demi kata, dan kalau perlu sampai ke akarakar katanya. Tanpa close reading, bagian-bagian kecil puisi munkin akan terlepas dari pengamatan, padahal, semua bagian, sekecil apa pun, akan merupakan bagian yang tidak munkin dipisahkan dari puisi yang wellwrought. Begitu sebuah detail puisi ditemukan tidak mempunyai makna dan tidak mempunyai fungsi, maka mutu estetika puisi ini tidak mungkin dijamin.

2. Empiris
Yakni penekanan analisis, ada observasi, bukan pada teori. Tokohtokoh new criticism memang pernah menyatakan bahwa new criticism adalah sebuah teori satra, namun karena new criticism mempunyai cara kerja sistematis sebagiamana halnya para teori-teori satra lain, maka new criticism mau tidak mau diakui sebagai sebuah teori sastra. Dalam sejarah teori dan kritik sastra, new criticism selalu menempati urutan pertama.

3. Otonomi
a. Karya satra adalah sesuatu yang mandiri dan berdiri sendiri, tidak tergantung pada unsur-unsur lain, termasuk kepada penyair/penulisnya sendiri
b. Kajian satra adalah sebuah kajian yang mandiri dan berdiri sendiri, tidak tergantung pada kajian-kajian lain, seperti sejarah, filsafat, biografi, psikologi, dan sebagainya.

Otonomi merupakan ciri khas mutlak kajian inrinsik. Kendati teori-teori berikut tidak tertutup kemungkinan untuk mempertimbangkan unsur ekstrinsik karya sastra, setiap kajian tidak mungkin lepas dari nilai-nilai intrinsik karya sastra itu sendiri. Karena itulah, new criticism tetap hidup, masuk ke berbagai teori lain, kendati secara resmisudah tutup buku pada tahun 1960-an.
Salah satu pengaruh new criticism pada teori sastra dapat dilihat misalnya pada formalisme rusia dan strukturalisme. Kedua teori ini mengambil gagasan otonomi new criticism kendati salah satu ciri penting strukturalisme adalah kajian-kajian ekstrinsiknya. Meskipun demikian, dapat diperkirakan dengan tepat bahwa tanpa rintisan new criticism maka formalisme rusia dan strukturalisme akan lahir terlambat, dan mungkin pula akan berbeda dengan formalisme rusia dan struktualisme sekarang.

4. Concreteness
Apabila karya sastra dibaca, maka karya satra menjadi concrete atau hidup. Dalam sajak penyair romantik jhon keats, “ode to melancholy”, misalnya, baris then glut thy sorrow on a morning terasa benar-benar hidup. Kata glut menimbulkan kesan kerakusan yang benar-benar concrete. Sebagaimana halnya konsep otonomi, maka concreteness new criticism juga diambil oleh formalisme Rusia dan strukturalisme.

5. Bentuk (form)
Titik berat kajian new criticism adalah bentuk (form) karya sastra, yaitu keberhasilan penyair atau penulis dalam diksi (pemilihan kata), imagenary (metaphor, simile, onomatopea, dan sebagainya), paradoks, ironi, dan sebagainya. Bagi new criticism, bentuk karya sastra menentukan isi karya sastra. Karena bentuk memegang peran penting, maka titik berat perhaitan new criticism adalah konotasi, bukan denotasi. Makna denotatif kursi, misalnya, adalah kursi, sedangkan makna konotatifnya mungkin kedudukan atau kekuasaan. Kata-kata rebutan kursi, misalnya, mungkin mempunyai makna rebutan atau kekuasaan, dan sama sekali bukan rebutan tempat duduk. Konotasi,dengan demikian, memberi uang kepada metafora, simbol, dan lainlain di luar makna harfiah sebuah kata, rangkaian kata, atau kalimat. Kata glut, dengan makna denotatif rakus, dapat mempunyai makna lain sesuai dengan konteksnya dalam rangkaian kata atau kalimat tertentu. Puisi, memang, tidak lain adalah sebuah dunia metafora. Titik berat kajian new criticism pada bentuk (form) akhirnya juga dipergunakan oleh formalisme rusia dan strukturalisme. Istilah form mengacu pada bentuk, dan bentukkarya sastra itu pulalah yang menjadi salah satu titik penting formalisme yang pertama tidak lain adalah new criticism kendati new criticism tidak menamakan diri dengan istilah form. Struktur dalam strukturalisme juga tidak dapat memisahkan diri dari makna form, salah satu titik berat strukturalisme.

6. Diksi (pilihan kata)
Wafat, mangkat, meninggal, mati pada hakikatnya mempunyai makna sama, namun mana kata yang akan dipilih oleh penyair/penulis tergantung dari penyair/penulisnya sendiri.

7. Tone (nada),
Yakni sikap penyair, penulis, narator, atau aku lirik terhadap (a) diri sendiri, (b) diri sendiri terhadap objek atau bahan pembicaraan, dan (c) diri sendiri terhadap lawan bicaranya. Kalimat apakah benarayah saudara kemarin meninggal? Menunjukkan bahwa pambicaranya tidak menanggap dirinya lebih tinggi daripada yang diajak bicara dan ayah yang diajak bicara. Kalau kalimat ini diganti menjadi apa betul ayahmu kemarin mampus? Akan tampak bahwa pembicara merasa lebih tinggi kedudukannya dibanding yang diajak bicara dan ayah yang diajak bicara. Makna harfiah dua kalimat ini sebetulnya sama, namun karena diksi atau pilihan katanya berbeda, maka tone atau nadanya juga berbeda. Dari diksi tampak bahwa konotasi lebih penting daripada denotasi. Dengan adanya pilihan kata yang berbeda, cara berbicaranya pun tentu berbeda.

8. Metafor,
Yakni pembandingan satu objek dengan objek lain tanpa penggunaan kata-kata seperti, bagaikan, dan hal-hal semacamnya.
“Hamidah adalah bunga mawar.”
(Hamidah bukan bunga mawar, namun cantik dan anggun bagaikan bunga mawar).

9. Simile,
Yakni perbandingan objek satu dengan objek lain dengan penggunaan kata-kata seperti, bagaikan, dan hal-hal semacamnya.
“Hamidah cantik bagaikan bunga mawar.”

10. Onomatopea / peniruan bunyi
“Terdengar ketepak-ketepok langkah kaki kuda”

11. Paradoks
Paradoks adalah lawan atau kebalikan sesuatu, antara lain dapat dipergunakan untuk menyindir. Kalau seseorang naik taksi dan taksinya berjalan terlalu cepat, si penumpang dapat berkata kepada sopir:
“Alangkah baiknya apabila lebih cepat lagi,”
Maksud penumpang adalah “kurangilah laju taksi”.
Di sini juga tampak bahwa konotasi lebih penting daripada denotasi. Namun, paradoks tidak selamanya untuk menyindir, sebagaimana yang tampak pada kata-kata juliet dalam drama tragedi William Shakesspeare, Romeo and Juliet, ketika dia berjumpa dengan romeo untuk pertama kali:
“Karena para santo punya tangan yang para peziarah menyentuhnya. Dan telapak tangan terhadap telapak tangan adalah ciuman sakral telapak-telapak tangan”
Paradoks yang baik dalam sebuah karya sastra yang baik biasanya menimbulkan gema pada pikiran para penyair atau pengarang lain. Misalnya paradoks William Shakepeare yang dua abad kemudian masuk dengan versi berbeda ke dalam puisi Coleridge, penyair Romantik pada abad ke sembilan belas. Kadang-kadang paradoks juga tampak seperti moto kendati maknanya mungkin bukan sekadar moto, seperti yang tampak dalam puisi John Donne “Kanonisasi”:
“Dia yang akan menyelamatkan jiwanya, harus kehilangan jiwanya terlebih dahulu dan yanf terakhir akan menjadi yang pertama.”

12. Ironi
Segala sesuatu dalam ironi mempunyai makna berlawanan dengan makna sesungguhnya atau makna denotasi.
a. Ironi verbal: lawan atau kebalikan dari apa yang diucapkan dan apa yang dimaksudkan sesungguhnya. Kalimat “Wah, kamu cantik sekali” sebetulnya merupakan alat untuk menyampaikan maksud sebenarnya, yaitu “Kamu buruk rupa”. Ironi ini dinamakan verbal karena pembicara hanya mempergunakan kata-kata tertenu untuk menyampaikan maksud yang
sesungguhnya. Dengan sendirinya, ironi verbal ada hubungannya dengan diksi, yaitu pilihan kata dari buruk rupa diganti dengan cantik. Diksi tertentu menunjukkan pula tone atau nada, yaitu sikap pembicara terhadap yang diajak berbicara. Dengan adanya tone atau nada tertentu, nada berbicara pembicara juga terpengaruh.
b. Ironi dramatik: lawan atau kebalikan dari apa yang tidak diketahui tokoh dalam sebuah karya sastra, drama, atau film dan apa yang diketahui oleh pembaca atau penonton. Dengan kata lain, pembaca atau penonton tahu, namun tokoh dalam karya sastra, drama, atau film itu tidak tahu. Sebagai misal, penjahat dalam film menuju utara dengan membawa senapan karena dia yakin polisis ada di utara sana, tetapi penonton tahu bahwa sebetulnya polisi berada di selatan, di belakang dia, tidak jauh dari dia.
c. Ironi situasi: lawan atau kebalikan antara harapan atau persangkaan dan hasil dari harapan atau prasangka itu. Seorang mahasiswa, misalnya, merasa sangat senang karena dalam ujian dia sanggup menjawab semua pertanyaan dengan sangat mudah. Dia memiliki keyakinan besar bahwa dia akan lulus. Keyakinan bahwa dia akan lulus tidak lain merupakan harapan. Namun, ketika pengumuman hasil ujian keluar, ternyata dia tidak lulus—kenyataan yang benar-benar berlawanan dengan harapannya.


DAFTAR PUSTAKA
Abrams, M. H. 1981. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt, Rinehart and Winston

Adams, Hazard. 1971. Critical Theory Since Plato. New York: Harcout Brace Jovanovich, Inc.

Al-Mausu’ah al-syi’riyyah. tt. Abu Dabi: Al Majma’ al Tsaqafiy lil Imarat al Arabiyyah al Muttahidah. Versi CD.

Badawi, M. M. 1975. A Critical Introduction to Modern Arabic Poetry. Cambridge: Cambridge University Press.

Bartens, Kees. 1985. Filsafat Barat Abad XX, jilid II, Perancis. Jakarta: Gramedia

Beeston A.F.L. dkk. 1983. Arabic Literature to The End of The Umayyad Period. Cambridge: Cambridge University Press.

Culler, Jonathan. 1981. Structuralist Poetics: Structuralism, Linguistics and the Study of Literature. London: Routledge & Kegan Paul.

Damono, Sapardi Djoko. 1977. Sosiologi Sastra. Jakarta: Dikti Depdikbud.

Darma, Budi. 2004. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas.

Eagletton, Terry. 1983. Literary Theory: an Introduction. Great Britain: TJ Press.

Fokkema, D.W dan Elurd Kunne-Ibsch. 1977. Theories of Literature in the Twentieth Century. London: C. Hurst & Company.

Hartoko, Dick. 1982. “Pencerapan Estetik dalam Sastra Indonesia” dalam Basis, XXXV 1 Januari. Yogyakarta: Andi Offset.

Hartoko, Dick. 1986. Kamus Populer Filsafat. Jakarta: CV Rajawali.

Holland, Norman. 1968. The Dynamics od Literary Response. New York: State University Press.

Iser, Wolfgang. 1978. The Act of Reading: a Theoru of Aesthetic Response.

Balitmore and Londong: The John Hopkins University Press.

Jauss, HR. 1982. Toward an Aesthetic of Reception. Minneapolis: University of Minnesota Press.

Juwairiyah. 2004. Sejarah Sastra Arab Masa Jahili. Surabaya: Fakultas Adab IAIN Surabaya dan Penerbit Sumbangsih.

Lesser, Simon O. 1962. Fiction and The Unconscious. New York: State Universitu Press.

Mawardi, Muhammad Ja’far. 2003. Perbandingan Syair Jarir, Farozdaq, dan Akhtol. Surabaya: Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel.

Nasr, Muhammad Ibrahim. 1994. Al-Adab. Riyad: Jami’ah al-Imam Muhammad ibn Saud al-Islamiyyah.

Noth, W.1990. Handbook of Semiotics. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press.

Pradopo, Rachmat Djoko.1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: UGM Press

Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry: Bloomington and London: Indiana University Press.

Santoso, Puji.2003. Bahtera Kandas di Bukit: Kajian Semiotika Sajak-Sajak Nuh. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri

Sarhan, Muhammad. 1978. Al-Adab al-Arab wa Tarikhuhu fi al-Ashr al-Jahili. Beirut: Dar al-Fikr.

Selden, Rahman. 1991. Panduan Pembaca Teori Sastra masa Kini. Diterjemahkan oleh Rachmat D. Pradopo. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Suwondo, Tirto.2003. Studi Sastra: Beberapa Alternatif. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.

Taum, Yoseph Yapi. 1997. Pengantar Teori Sastra. Flores: Nusa Indah.

Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Teeuw, A.1980. “Estetik, Semiotik, dan Sejarah Sastra” dalam Basis No. 301. Bulan Oktober.

Teeuw, A.1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Van Luxemburg, Jan, dkk. 1986. Pengantar Ilmu Sastra. Diindonesikan oleh Dick Hartono. Jakarta: Gramedia.

Wellek, Rena dan Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.


Sumber:
Yusuf, Kamal. 2009. Teori Sastra: Modul Kuliah. Fakultas Adab, Jurusan Bahasa dan Sastra Arab, IAIN Sunan Ampel Surabaya

1 comment:

  1. kalau buat tulisan, pastikan anda juga mengerti.bahasa yang digunakan seperti bahasa inggris yang di-indonesiakan. kacau balau.jika tidak ada parafrasa disana, maka percuma menaruh referensi karna masih tergolong tindakan plagiarisme

    ReplyDelete