Wednesday, May 4, 2011

Teori Sastra (11): Intertekstualitas

BAB XI
INTERTEKSTUALITAS

Kajian intertekstualitas dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks (sastra), yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu, misalnya untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik seperti ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan, (gaya) bahasa, dan lainnya, di antara teks yang dikaji. Secara khusus dapat dikatakan bahwa kajian interteks berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya pada karya yang muncul lebih kemudian. Tujuan kajian interteks itu sendiri adalah untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap karya tersebut. Penulisan dan atau pemunculan sebuah karya sering ada kaitannya dengan unsur kesejarahannya sehingga pemberian makna itu akan lebih lengkap jika dikaitkan dengan unsur kesejarahan itu (Teeuw, 1983: 62-5).

Masalah ada tidaknya hubungan antarteks ada kaitannya dengan niatan pengarang dan tafsiran pembaca. Dalam kaitan ini Luxemburg dkk (1989: 10) mengartikan intertekstualitas sebagai: kita menulis dan membaca dalam suatu interteks suatu tradisi budaya, sosial, dan sastra yang tertuang dalam teks-teks. Setiap teks sebagian bertumpu pada konvensi sastra dan bahasa dan dipengaruhi oleh teks-teks sebelumnya.

Kajian intertekstual berangkat dari asumsi bahwa kapan pun karya tulis, ia tidak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya. Unsur budaya, termasuk semua konvensi dan tradisi di masyarakat, dalam wujudnya yang khusus berupa teks-teks kesastraan yang ditulis sebelumya. Dalam hal ini kita dapat mengambil contoh, misalnya, sebelum para pengarang Balai Pustaka menulis novel, di masyarakat telah ada hikayat dan berbagai cerita lisan lainnya seperti pelipur lara. Sebelum para penyair Pujangga Baru menulis puisi-puisi moderennya, di masyarakat telah ada berbagai bentuk puisi lama, seperti pantun dan syair, di samping mereka juga berkenalan dengan puisi angkatan 80-an di negeri Belanda yang telah mentradisi. Kemudian, sebelum Chairil Anwar dan kawan-kawan seangkatannya menulis puisi dan prosa di masyarakat juga telah ada puisi-puisi modern ala Pujangga baru, berbagai puisi drama, di samping tentu saja puisi-puisi lama. Demikian pula halnya dengan penulisan prosa, dan begitu seterusnya, terlihat adanya kaitan mata rantai antara penulisan karya sastra dengan unsur kesejarahannya. Penulisan suatu karya sastra tak mungkin dilepaskan dari unsur kesejarahannya, dan pemahaman terhadapnya pun haruslah mempertimbangkan unsur kesejarahan itu. Makna keseluruhan sebuah karya, biasanya, secara penuh baru dapat digali dan diungkap secara tuntas dalam kaitannya dengan unsur kesejarahan tersebut.

Karya sastra yang ditulis lebih kemudian, biasanya mendasarkan diri pada karya-karya lain yang telah ada sebelumnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, baik dengan cara meneruskan maupun menyimpang (menolak, memutarbalikkan esensi) konvensi. Riffaterre mengatakan bahwa karya sastra selalu merupakan tantangan, tantangan yang terkandung dalam perkembangan sastra sebelumnya, yang secara konkret mungkin berupa sebuah atau sejumlah karya. Hal itu, sekali lagi, menunjukkan keterikatan suatu karya dari karya-karya lain yang melatarbelakanginya.

Karya sastra yang dijadikan dasar penulisan bagi karya yang kemudian disebut sebagai hipogram. Istilah hipogram, barangkali dapat diindonesiakan menjadi latar, yaitu dasar, walau mungkin tak tampak secara eksplisit, bagi penulisan karya yang lain. wujud hipogram mungkin berupa penerusan konvensi, sesuatu yang telah bereksistensi, penyimpangan dan pemberontakan konvensi, pemutarbalikan esensi dan amanat teks sebelumnya (Teeuw, 1983: 65). Dalam istilah lain, penerusan tradisi dapat juga disebut sebagai mitos pengukuhan, sedangkan penolakan tradisi sebagai mitos pemberontakan. Kedua hal tersebut boleh dikatakan sebagai sesuatu yang wajib hadir dalam penulisan teks kesastraan, sesuai dengan hakikat kesastraan itu yang selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan invensi, mitos pengukuhan dan mitos pemberontakan.

Adanya karya-karya yang ditransformasikan dalam penulisan karya sesudahnya ini menjadi perhatian utama kajian intertekstual misalnya lewat pengontrasan antara sebuah karya dengan karya lain yang diduga menjadi hipogramnya. Adanyanya unsur hipogram dalam suatu karya, hal itu mungkin disadari mungkin tidak disadari oleh pengarang. Kesadaran pengarang terhadap karya yang menjadi hipogramnya, mungkin berwujud dalam sikapnya yang meneruskan atau sebaliknya menolak, konvensi yang berlaku sebelumnya. Kita lihat misalnya, Chairil Anwar menolak wawasan estetika sajak-sajak angkatan sebelumnya dan menawarkan wawasan estetika baru yang ternyata mendapat sambutan secara luas. Hal itu terlihat, misalnya, dengan banyaknya penyair sesudahnya yang berguru pada puisi-puisinya sehingga hal itu pun akibatnya menjadi konvensi pula.

Dalam kaitannya dengan hipogram itu, Julia Kristeva mengemukakan bahwa tiap teks merupakan sebuah mosaik kutipan-kutipan, tiap teks merupakan penyerapan dan transformasi dari teks-teks lain. hal itu berarti, bahwa tiap teks yang lebih kemudian mengambil unsur-unsurtertentu yang dipandang baik dari teks sebelumnya, yang kemudian diolah dalam karya sendiri berdasarkan tanggapan pengarang yang bersangkutan. Dengan demikian, walau sebuah karya berupa dan mengandung unsur ambilan dari berbagai teks lain, karena telah diolah dengan pandangan dan daya kreativitasnya sendiri, dengan konsep estetika dan pikiran-pikirannya, karya yang dihasilkan tetap mengandung dan mencerminkan sifat kepribadian penulisnya.

Sebuah teks kesastraan yang dihasilkan dengan kerja yang demikian dapat dipandang sebagai karya yang baru. Pengarang dengan kekuatan imajinasi, wawasan estetika, dan horison harapannya sendiri, telah mengolah dan mentransformasikan karya-karya lain ke dalam karya sendiri. Namun, unsur-unsur tertentu dari karya-karya lain tersebut, yang mungkin berupa konvensi, bentuk formal tertentu, gagasan, tentulah masih dapat dikenali (Pradopo, 1987: 228). Usaha pengidentifikasian hal-hal itu dapat dilakukan dengan memperbandingkan antara teks-teks tersebut.

Dalam penulisan teks kesastraan, orang membutuhkan konvensi, aturan, namun hal itu sekaligus akan disimpanginya. Levin bahkan mengatakan bahwa pengakuan konvensi dalam sejarah bertepatan dengan penolakannya. Penulisan sebuah teks kesastraan tidak mungkin tunduk seratus persen pada konvensi. Pengarang yang notabene memiliki daya kreativitas tinggi menciptakan yang baru, yang asli. Namun, pembaharuan yang ekstrem dengan menolak semua konvensi akan berakibat karya yang dihasilkankurang dapat dipahami dan tidak komunikatif. Penyimpangan memang perlu dilakukan namun ia tentunya masih dalam batas-batas tertentu, masih ada unsur konvensi di dalamnya, sehingga masih ada celah yang dapat dimanfaatkan pembaca yang memang telah berada dalam konvensi dan tradisi tertentu.

Prinsip intertekstualitas yang utama adalah prinsip memahami dan memberikan makna karya yang bersangkutan. Karya itu diprediksikan sebagai reaksi, penyerapan, atau transformasi dari karya yang lain. masalah intertekstual lebih dari sekedar pengaruh, ambilan, atau jiplakan, melainkan bagaimana kita memperoleh makna sebuah karya secara penuh dalam kontrasnya dengan karya yang lain yang menjadi hipogramnya, baik berupa teks fiksi maupun puisi. Adanya hubungan intertekstualitas dapat dikaitkan dengan teori resepsi. Pada dasarnya pembacalah yang menentukan ada atau tidak adanya kaitan antara teks yang satu dengan teks yang lain itu, unsur-unsur hipogram itu, berdasarkan persepsi, pemahaman, pengetahuan, dan pengalamannya membaca teks-teks lain sebelumnya. Penunjukan terhadap adanya unsur-unsur hipogram pada suatu karya dari karya-karya lain pada hakikatnya merupakan penerimaan atau reaksi pembaca.


DAFTAR PUSTAKA
Abrams, M. H. 1981. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt, Rinehart and Winston

Adams, Hazard. 1971. Critical Theory Since Plato. New York: Harcout Brace Jovanovich, Inc.

Al-Mausu’ah al-syi’riyyah. tt. Abu Dabi: Al Majma’ al Tsaqafiy lil Imarat al Arabiyyah al Muttahidah. Versi CD.

Badawi, M. M. 1975. A Critical Introduction to Modern Arabic Poetry. Cambridge: Cambridge University Press.

Bartens, Kees. 1985. Filsafat Barat Abad XX, jilid II, Perancis. Jakarta: Gramedia

Beeston A.F.L. dkk. 1983. Arabic Literature to The End of The Umayyad Period. Cambridge: Cambridge University Press.

Culler, Jonathan. 1981. Structuralist Poetics: Structuralism, Linguistics and the Study of Literature. London: Routledge & Kegan Paul.

Damono, Sapardi Djoko. 1977. Sosiologi Sastra. Jakarta: Dikti Depdikbud.

Darma, Budi. 2004. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas.

Eagletton, Terry. 1983. Literary Theory: an Introduction. Great Britain: TJ Press.

Fokkema, D.W dan Elurd Kunne-Ibsch. 1977. Theories of Literature in the Twentieth Century. London: C. Hurst & Company.

Hartoko, Dick. 1982. “Pencerapan Estetik dalam Sastra Indonesia” dalam Basis, XXXV 1 Januari. Yogyakarta: Andi Offset.

Hartoko, Dick. 1986. Kamus Populer Filsafat. Jakarta: CV Rajawali.

Holland, Norman. 1968. The Dynamics od Literary Response. New York: State University Press.

Iser, Wolfgang. 1978. The Act of Reading: a Theoru of Aesthetic Response.

Balitmore and Londong: The John Hopkins University Press.

Jauss, HR. 1982. Toward an Aesthetic of Reception. Minneapolis: University of Minnesota Press.

Juwairiyah. 2004. Sejarah Sastra Arab Masa Jahili. Surabaya: Fakultas Adab IAIN Surabaya dan Penerbit Sumbangsih.

Lesser, Simon O. 1962. Fiction and The Unconscious. New York: State Universitu Press.

Mawardi, Muhammad Ja’far. 2003. Perbandingan Syair Jarir, Farozdaq, dan Akhtol. Surabaya: Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel.

Nasr, Muhammad Ibrahim. 1994. Al-Adab. Riyad: Jami’ah al-Imam Muhammad ibn Saud al-Islamiyyah.

Noth, W.1990. Handbook of Semiotics. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press.

Pradopo, Rachmat Djoko.1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: UGM Press

Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry: Bloomington and London: Indiana University Press.

Santoso, Puji.2003. Bahtera Kandas di Bukit: Kajian Semiotika Sajak-Sajak Nuh. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri

Sarhan, Muhammad. 1978. Al-Adab al-Arab wa Tarikhuhu fi al-Ashr al-Jahili. Beirut: Dar al-Fikr.

Selden, Rahman. 1991. Panduan Pembaca Teori Sastra masa Kini. Diterjemahkan oleh Rachmat D. Pradopo. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Suwondo, Tirto.2003. Studi Sastra: Beberapa Alternatif. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.

Taum, Yoseph Yapi. 1997. Pengantar Teori Sastra. Flores: Nusa Indah.

Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Teeuw, A.1980. “Estetik, Semiotik, dan Sejarah Sastra” dalam Basis No. 301. Bulan Oktober.

Teeuw, A.1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Van Luxemburg, Jan, dkk. 1986. Pengantar Ilmu Sastra. Diindonesikan oleh Dick Hartono. Jakarta: Gramedia.

Wellek, Rena dan Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.


Sumber:
Yusuf, Kamal. 2009. Teori Sastra: Modul Kuliah. Fakultas Adab, Jurusan Bahasa dan Sastra Arab, IAIN Sunan Ampel Surabaya

No comments:

Post a Comment