BAB IV
STRUKTURALISME
Sebenarnya semua teori sastra sejak Aristoteles telah menekankan pentingnya pemahaman struktur dalam analisis sebuah karya sastra. Akan tetapi istilah kritik strukturalisme secara khusus mengacu kepada praktik kritik sastra yang mendasarkan model analisisnya pada teori linguistik modern. Termasuk ke dalam kelompok ini beberapa teoritisi formalis Rusia seperti Roman Jakobson, tetapi umumnya strukturalisme mengacu kepada sekelompok penulis di Paris
yang menerapkan metode dan istilah-istilah analisis yang dikembangkan oleh Ferdinan de Saussure (Abrams, 1981: 188-190). Strukturalisme menentang teori mimetik, yang berpandangan bahwa karya sastra adalah tiruan kenyataan), teori ekspresif, yang menganggap sastra pertama-tama sebagai ungkapan perasaan dan watak pengarang, dan menentang teori-teori yang menganggap sastra sebagai media komunikasi antara pengarang dan pembacanya.
Teori strukturalisme memiliki latar belakang sejarah evolusi yang cukup penajang dan berkembang secara dinamis. Dalam perkembangan itu terdapat banyak konsep dan istilah yang berbeda-beda, bahkan saling bertentangan. Misalnya, strukturalisme di Perancistidak memiliki kaitan erat dengan strukturalisme ajaran Boas, Sapir, dan Whorf di Amerika. Akan tetapi semua pemikiran strukturalisme dapat dipersatukan dengan adanya pembaruan dalam ilmu bahasa yang dirintis oleh Ferdinand de Saussure. Jadi walaupun terdapat banyak perbedaan antara pemikir-pemikir strukturalis, namun titik persamaannya adalah bahwa mereka semua memiliki kaitan tertentu dengan prinsip-prinsip dasar linguistik Saussure (Bertens, 1985: 379-381).
Ferdinand de Saussure meletakkan dasar bagi linguistik modern melalui mazhab yang didirikannya, yaitu mazhab Jenewa. Menurut Saussure prinsip dasar linguistik adlaah adanya perbedaan yang jelas antara signifiant (bentuk, tanda, lambang) dan signifie (yang ditandakan), antara parole (tuturan) dan langue (bahasa), dan antara sinkronis dan diakronis. Dengan klasifikasi yang tegas dan jelas ini ilmu bahasa dimungkinkan berkembang menjadi ilmu yang otonom, di mana fenomena bahasa dapat dijelaskan dan dianalisis tanpa mendasarkan diri atas apa pun yang letaknya di luar bahasa. Saussure membawa perputaran perspektif yang radikal dari pendekatan diakronik ke pendekatan sinkronik.
Sistem dan metode linguistik mulai berkembang secara ilmiah dan menghasilkan teori-teori yang segera dapat diterima secara laus. Keberhasilan studi linguistik kemudian diikuti oleh berbagai cabang ilmu lain seperti antropologi, filsafat, psikoanalisis, puisi, dan analisis cerita.
Pengaruh teori strukturalisme bahasa terhadap teori sastra terutama dikembangkan oleh Lingkaran Praha. Mula-mula Jan Mukarovsky memperkenalkan konsep kembar artefakta-objek-estetik. Sastra dianggap sebagai sebuah fakta semiotik yang tetap. Teks-teks sastra dianggap sebagai suatu tanda majemuk dalam konteks luas yang meliputi sistem-sistem sastra dan sosial.
Sklovsky mengembangkan konsep otomatisasi dan deotomatisasi, yang serupa dengan konsep Roman Jakobson tentang familiarisasi dan defamiliarisasi. Dasar anggapan mereka adalah bahwa bahasa sastra sering kali memunculkan gaya yang berbeda dari gaya bahasa sehari-hari maupun gaya bahasa ilmiah. Struktur bahasa ini pun sering kali menghadirkan berbagai pola yang menyimpang dan tidak biasa.
Tugas peneliti sastra adalah mengembalikan pola yang menyimpang ini kepada bentuk yang dapat dikenal pembaca. Penyimpangan bahasa ini hanya dapat diamati secara struktural, yakni dalam jaringan relasi oposisi. Selain itu peneliti sastra mengamati pula evolusi literer dalam suatu lingkungan tradisi tertentu untuk melihat penyimpangan-penyimpangan norma-norma sastra yang memunculkan fungsi estetik yang baru.
Teori strukturalisme sastra merupakan sebuah teori pendekatan terhadap teks-teks sastra yang menekankan keseluruhan relasi antara berbagai unsur teks. Unsur-unsur teks secara berdiri sendiri tidaklah penting. Unsur-unsur itu hanya memperoleh artinya di dalam relasi, baik relasi asosiasi ataupun relasi oposisi. Relasi-relasi yang dipelajari dapat berkaitan dengan mikroteks (kata, kalimat), keseluruhan yang lebih luas (bait, bab), maupun intertekstual (karya-karya lain dalam periode tertentu). Relasi tersebut dapat berwujud ulangan, gradasi, ataupun kontras dan parodi (Hartoko, 1986: 135-136).
Strukturalisme Perancis, yang terutama diwakili oleh Roland Barthes dan Julia Kristeva, mengambangkan seni penafsiran struktural berdasarkan kode-kode bahasa teks sastra. Melalui kode bahasa itu, diungkapkan kode-kode retorika, psikoanalitis, sosiokultural. Mereka menekankan bahwa sebuah karya sastra haruslah dipandang secara otonom. Puisi khususnya dan sastra umumnya harus diteliti secara objektif (yakni aspek intrinsiknya). Keindahan sastra terletak pada penggunaan bahasanya yang khas yang mengandung efek-efek estetik. Aspekaspek ekstrinsik seperti ideologi, moral, sosiokultural, psikologi, dan agama tidaklah indah pada dirinya sendiri melainkan karena dituangkan dalam cara tertentu melalui sarana bahasa puitik.
Strukturalisme sastra mengupayakan adanya suatu dasar yang ilmiah bagi teori sastra, sebagaimana dituntut oleh disiplin-disiplin ilmiah lainnya. Untuk itu objek penelitiannya, yakni karya sastra diidentifikasi sebagai suatu benda seni yang indah karena penggunaan bahasanya yang khusus. Objek studi teori strukturalisme itu ditempatkan dalam suatu sistem atau susunan relasi yang memudahkan pengaturannya. Dengan sistem ini kita menghimpun dan menemukan hubungan-hubungan yang ada dalam realitas yang diamati (Bakker, 1992: 14). Sistematika semacam ini berfungsi meletakkan aksentuasi dalam cara penanganan objek kajiannya. Dengan demikian teori strukturalisme memperkenalkan metode pemahaman karya sastra dengan langkah-langkah sistematis.
Oleh karena teori strukturalisme sastra menganggap karya sastra sebagai benda seni (artefak) maka relasi-relasi struktural sebuah karya sastra hanya dapat dipahami dalam keseluruhan relasi unsur-unsur artefak itu sendiri. Jika dicermati sebuah teks sastra terdiri atas komponen-komponen seperti ide, tema, amanat, latar, watak, perwatakan, insiden, alur, plot, dan gaya bahasa. Komponenkomponen itu memiliki perbedaan aksentuasi pada berbagai teks sastra.
Strukturalisme sastra memberi keluasan kepada peneliti sastra untuk menetapkan komponen-komponen mana yang akan mendapat prioritas signifikasi. Keluasan ini tetap harus dibatasi, yakni sejauh komponen itu tersurat dalam teks itu sendiri. Jadi, teks sastra berfungsi mengontrol objektivitas dan validitas hasil penelitian sastra. Prosedur ilmiah ini menempatkan teori strukturalisme sastra berkembang dengan baik, pesat, dan diterima dalam kalangan luas.
Teori strukturalisme sastra, sesuai dengan penjelasan di aas, dapat dipandang sebagai teori yang ilmiah mengingat terpenuhinya tiga ciri ilmiah. Ketiga ciri itu adalah:
1) Sebagai aktivitas yang bersifat intelektual, teori strukturalisme sastra mengarah pada tujuan yang jelas yakni eksplikasi tekstual,
2) Sebagai metode ilmiah, teori ini memiliki cara kerja teknis dan rangkaian langkah-langkah yang tertib untuk mencapai simpulan yang valid, yakni melalui pengkajian ergosentrik,
3) Sebagai pengetahuan, teori strukturalisme sastra dapat dipelajari dan dipahami secara umum dan luas serta dapat dibuktikan kebenaran cara kerjanya secara cermat.
Sekalipun demikian, teori strukturalisme yang hanya menekankan otonomi dan prinsip objektivitasnya pada struktur karya sastra memiliki beberapa kelemahan pokok, yaitu
1) Karya sastra diasingkan dari konteks dan fungsinya sehingga sastra kehilangan relevansi sosialnya, tercabut dari sejarah dan terpisahkan dari permasalahan manusia.
2) Karya sastra tidak dapat diteliti dalam rangka konvensi-konvensi kesusastraan sehingga pemahaman kita mengenai genre dan sitem sastra sangat terbatas.
Cara Kerja Strukturalisme
Cara kerja strukturalisme dapat digambarkan sebagai berikut.
1. Strukturalisme pada awalnya mengamati lebih dari satu objek, dengan tujuan untuk mendedah apa yang ada di balik kesamaan struktur dalam dua objek atau lebih.
2. Strukturalisme kemudian menyadari, pada dua objek atau lebih itu ternyata tidak hanya terdapat kesamaan atau kemiripan, namun juga ada ketidaksamaan dan bahwa kutub-kutub yang berlawanan.
3. Lepas dari adanya kesamaan atau ketidaksamaan teks sastra ternyata diikat oleh hukum simetri, sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh Northrop Frye dalam The Fearful Symmetry.
4. Ketidaksamaan dan kutub-kutub yang berlawanan inilah yang kemudian memunculkan kesadaran akan adanya oposisi biner dalam kehidupan: siang-malam, kanan-kiri, bawah-atas, kuat-lemah, laki-perempuan, jahatbaik, dan lain-lain.
5. Kesamaan, ketidaksamaan, dan oposisi biner ternyata tidak selamanya hadir dalam dua objek atau lebih, namun pada hakikatnya hadir dalam satu objek, sebab suatu objek pun diikat oleh hukum simetri.
6. Oposisi biner akan tampak manakala seseorang mendekonstruksi objek tersebut. Dekonstruksi khususnya yang dilakukan oleh Derrida, merupakan bagian penting dalam pascastrukturalisme.
7. Untuk melihat struktur luaran dengan insting strukturalis, seseorang berusaha untuk mendedah struktur dalaman objeknya. Dalam mitologi dan sastra, struktur luaran dapat muncul dalam bentuk plot yang digerakkan oleh tindakan-tindakan tokoh-tokoh dalam teks sastra. Pergi, berbicara, menjalani ujian, dan sebagainya dalam bagan dua cerita rakyat Indian Amerika adalah contoh-contoh tindakan tokoh-tokoh dalam dua cerita rakyat itu.
DAFTAR PUSTAKA
Abrams, M. H. 1981. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt, Rinehart and Winston
Adams, Hazard. 1971. Critical Theory Since Plato. New York: Harcout Brace Jovanovich, Inc.
Al-Mausu’ah al-syi’riyyah. tt. Abu Dabi: Al Majma’ al Tsaqafiy lil Imarat al Arabiyyah al Muttahidah. Versi CD.
Badawi, M. M. 1975. A Critical Introduction to Modern Arabic Poetry. Cambridge: Cambridge University Press.
Bartens, Kees. 1985. Filsafat Barat Abad XX, jilid II, Perancis. Jakarta: Gramedia
Beeston A.F.L. dkk. 1983. Arabic Literature to The End of The Umayyad Period. Cambridge: Cambridge University Press.
Culler, Jonathan. 1981. Structuralist Poetics: Structuralism, Linguistics and the Study of Literature. London: Routledge & Kegan Paul.
Damono, Sapardi Djoko. 1977. Sosiologi Sastra. Jakarta: Dikti Depdikbud.
Darma, Budi. 2004. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas.
Eagletton, Terry. 1983. Literary Theory: an Introduction. Great Britain: TJ Press.
Fokkema, D.W dan Elurd Kunne-Ibsch. 1977. Theories of Literature in the Twentieth Century. London: C. Hurst & Company.
Hartoko, Dick. 1982. “Pencerapan Estetik dalam Sastra Indonesia” dalam Basis, XXXV 1 Januari. Yogyakarta: Andi Offset.
Hartoko, Dick. 1986. Kamus Populer Filsafat. Jakarta: CV Rajawali.
Holland, Norman. 1968. The Dynamics od Literary Response. New York: State University Press.
Iser, Wolfgang. 1978. The Act of Reading: a Theoru of Aesthetic Response.
Balitmore and Londong: The John Hopkins University Press.
Jauss, HR. 1982. Toward an Aesthetic of Reception. Minneapolis: University of Minnesota Press.
Juwairiyah. 2004. Sejarah Sastra Arab Masa Jahili. Surabaya: Fakultas Adab IAIN Surabaya dan Penerbit Sumbangsih.
Lesser, Simon O. 1962. Fiction and The Unconscious. New York: State Universitu Press.
Mawardi, Muhammad Ja’far. 2003. Perbandingan Syair Jarir, Farozdaq, dan Akhtol. Surabaya: Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel.
Nasr, Muhammad Ibrahim. 1994. Al-Adab. Riyad: Jami’ah al-Imam Muhammad ibn Saud al-Islamiyyah.
Noth, W.1990. Handbook of Semiotics. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press.
Pradopo, Rachmat Djoko.1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: UGM Press
Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry: Bloomington and London: Indiana University Press.
Santoso, Puji.2003. Bahtera Kandas di Bukit: Kajian Semiotika Sajak-Sajak Nuh. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri
Sarhan, Muhammad. 1978. Al-Adab al-Arab wa Tarikhuhu fi al-Ashr al-Jahili. Beirut: Dar al-Fikr.
Selden, Rahman. 1991. Panduan Pembaca Teori Sastra masa Kini. Diterjemahkan oleh Rachmat D. Pradopo. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Suwondo, Tirto.2003. Studi Sastra: Beberapa Alternatif. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.
Taum, Yoseph Yapi. 1997. Pengantar Teori Sastra. Flores: Nusa Indah.
Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Teeuw, A.1980. “Estetik, Semiotik, dan Sejarah Sastra” dalam Basis No. 301. Bulan Oktober.
Teeuw, A.1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Van Luxemburg, Jan, dkk. 1986. Pengantar Ilmu Sastra. Diindonesikan oleh Dick Hartono. Jakarta: Gramedia.
Wellek, Rena dan Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.
Sumber:
Yusuf, Kamal. 2009. Teori Sastra: Modul Kuliah. Fakultas Adab, Jurusan Bahasa dan Sastra Arab, IAIN Sunan Ampel Surabaya
No comments:
Post a Comment