BAB X
TEORI RESEPSI SASTRA II
Psikoanalisis: Norman Holland dan Simon Lesser
Holland dan Lesser menggunakan terminologi psikoanalisis sebagai alat mendeskripsikan tanggapan pembaca terhadap teks sastra. Norman Holland pertama-tama menempatkan sastra sebagai sebuah pengalaman (bukan sebagai bentuk komunikasi, sebagai bentuk ekspresi, atau sebagai karya seni). Pokok perhatiannya adalah pengalaman pembaca yang dipengaruhi oleh sastra. Menurut dia, semua karya sastra mentransformasikan fantasi-fantasi tak sadar (menurut psikoanalisa) kepada makna-makna kesadaran yang dapat ditemukan dalam interpretasi konvensional. Jadi, makna psikoanalisis merupakan sumber bagi makna-makna lain. makna psikoanalisis harus dicari karena tingkatan makna lain hanyalah manifestasi historis atau sosial.
Bagi Holland, sastra memiliki efek pembebasan sehingga akhir dari semua analisis seni adalah suatu kesenangan hidup. Kesenangan hidup diperoleh melalui pelepasan. Sekalipun karya sastra membuat perasaan kita sakit, bersalah, atau cemas, perasaan-perasaan itu (yang sesungguhnya hanyalah fantasi belaka) kita terima dan kita kuasai sedemikian rupa untuk menjadi pengalaman yang menyenangkan. Gagasan bahwa sastra akan menimbulkan kenikmatan muncul sebagai akibat alternasi ritmik antara “gangguan” dan “penguasaan”.
Simon Lesser dalam bukunya Fiction and the Unconscious (1962) mengembangkan teori emotif melalui model komunikasi yang memungkinkan dia mendeskripsikan efek-efek pembebasan yang dirasakan pembaca. Untuk keperluan ini, Lesser memanfaatkan sarana analisis psikoanalisis: superego, ego, dan id. Seperti Holland, Lesser juga beranggapan bahwa sastra memberikan pembebasan. Akan tetapi, pembebasan ini hanya memadai bila karya sastra itu memberikan kepuasan yang berbeda-beda pada suatu kurun waktu yang sama.
Komponen-komponen kejiwaan itu harus ditempatkan dalam suatu gerakan. Setiap karya sastra memiliki efek-efek superego, ego, dan id yang perlu direfleksikan oleh pembaca. Keterlibatan pembaca ke dalam komponen52 komponen kejiwaan itu hanya dapat terpenuhi bila karya sastra mengandung aspek-aspek yang kontradiktif, ambigu, tumpang-tindih, dan samar. Dengan kata lain, irama konflik (dalam teks) dan solusi (oleh pembaca). Di dalam proses membaca, pembaca menyusun dan menciptakan cerita dalam imajinasi yang terstruktur. Cerita ini sendiri bersifat eliptis (ada sebagiannya yang dihilangkan). Bagian inilah yang harus dihidupkan dengan pengalaman subjektif masing-masing pembaca.
Konvensi Pembacaan: Jonathan Culler
Jonathan Culler menekankan pentingnya perspektif linguistik untuk teori sastra. Ia menerima premis bahwa linguistik memberikan model pengetahuan yang paling baik bagi ilmu pengetahuan, kemanusiaan, dan kemasyarakatan (Culler, 1975: 4-9). Ia menerima pembagian Chomsky tentang kompetensi (sebagai titik mula suatu pengertian dalam sistem bahasa) dan performansi (penggunaan kalimat sesuai dengan pengetahuan mengenai sistem bahasa). Jika diterapkan untuk teori sastra, maka objek poetika yang nyata bukan karya sastra melainkan kemampuan pembaca dalam memahaminya. Yang dimaksud dengan kompetensi adalah sebuah perangkat konvensi untuk membaca teks sastra.
Keinginan Culler yang utama adalah menggeser fokus perhatian dari teks kepada pembaca. Culler menyatakan bahwa suatu teori pembacaan harus mengungkap norma dan prosedur yang menuntun pembaca kepada suatu penafsiran. Kita semua tahu bahwa setiap pembaca memiliki variasi penafsiran yang berbeda-beda mengenai sebuah teks yang sama. Berbagai penafsiran itu harus dapat dijelaskan oleh teori. Sekalipun penafsiran itu berbeda-beda tetapi mungkin saha mereka mengikuti satu konvensi penafsiran yang sama (Selden, 1991: 127).
Studi Sastra harus menerangkan konvensi-konvensi yang memungkinkan suatu karya sastra dapat dipahami. Dalam menghadapi sebuah teks, seorang pembaca yang berkompeten dapat merumuskan cara-cara untuk menafsirkan maknanya, berdasarkan konvensi bahasa dan sastra yang berlaku. Culler melihat struktur tidak menurut sistem yang mendasari teks melainkan menurut sistem yang mendasari tindak penafsiran pembaca. Untuk dapat membaca teks sebagai karya sastra, kita harus memiliki kompetensi sastra yang lebih umum untuk memberi arti kepada aspek-aspek kebahasaan yang kita hadapi.
Kompetensi sastra merupakan salah satu prinsip signifikasi yang terpenting. Kompetensi sastra berkaitan dengan pemahaman terhadap konvensi dalam perwujudan sastra dan karya sastra. Konvensi-konvensi itu sangat beragam sifatnya: ada yang sangat umum, ada pula yang khas dan spesifik, dan ada yang terbatas pada jenis atau tipologi sastra tertentu. Misalnya ada konvensi umum mengenai drama dan lirik. Ada konvensi yang spesifik seperti konvensi pantun dan soneta. Konvensi-konvensi itu yang berfungsi sebagai dasar pemahaman karya sastra bagi seorang pembaca. Kita hanya dapat memahami sebuah puisi misalnya, jika kita tahu apakah puisi itu dalam sebuah konteks bahasa dan budaya tertentu (Teeuw, 1988: 95-106).
Rangkuman Teori Resepsi Sastra
Tumbuhnya teori-teori resepsi sastra dipicu oleh alam pemikiran filsafat (fenomenologi) yang bekembang pada masa itu. Pergeseran orientasi kritik sastra, dari pengarang kepada teks, dan dari teks kepada pembaca diilhami oleh pandangan bahwa teks-teks sastra merupakan salah satu gejala yang hanya menjadi aktual jika sudah dibaca dan ditanggapi pembacanya. Teks hanya sebuah pralogik dan logika yang sesungguhnya justru ada pada benak pembacanya. Teori ini juga muncul sebagai reaksi terhadap sejarah sastra yang tertutup dan hanya menyajikan deretan pengarang dan jenis sastra. Sejarah sastra seolaholah suatu momentum mati yang tidak bisa lagi dinikmati dan dihayati oleh pembaca-oembaca masa kini. Faktor inilah yang menyebabkan Jauss, perintis teori resepsi sastra, memperkenalkan konsep penerimaan sebuah teks. Menurut dia, karya sastra agung adalah karya sastra yang masih dapat dinikmati sekalipun ada jarak estetik yang memisahkannya dari pembaca.
Melalui ketujuh tesisnya, Jauss meletakkan dasar-dasar resepsi sastra dalam kaitannya dengan sejumlah estetika penerimaan. Teori resepsi ini pun segera mendapat perhatian berbagai ahli ilmu sastra. Iser mengkhususkan dirinya pada penerimaan dan pencerapan karya sastra oleh pembaca implisit. Culler beranggapan bahwa pemahaman karya sastra sangat ditentukan oleh kompetensi sastra, yakni kemampuan pembaca mewujudkan konvensi-konvensi sastra dalam suatu jenis sastra tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Abrams, M. H. 1981. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt, Rinehart and Winston
Adams, Hazard. 1971. Critical Theory Since Plato. New York: Harcout Brace Jovanovich, Inc.
Al-Mausu’ah al-syi’riyyah. tt. Abu Dabi: Al Majma’ al Tsaqafiy lil Imarat al Arabiyyah al Muttahidah. Versi CD.
Badawi, M. M. 1975. A Critical Introduction to Modern Arabic Poetry. Cambridge: Cambridge University Press.
Bartens, Kees. 1985. Filsafat Barat Abad XX, jilid II, Perancis. Jakarta: Gramedia
Beeston A.F.L. dkk. 1983. Arabic Literature to The End of The Umayyad Period. Cambridge: Cambridge University Press.
Culler, Jonathan. 1981. Structuralist Poetics: Structuralism, Linguistics and the Study of Literature. London: Routledge & Kegan Paul.
Damono, Sapardi Djoko. 1977. Sosiologi Sastra. Jakarta: Dikti Depdikbud.
Darma, Budi. 2004. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas.
Eagletton, Terry. 1983. Literary Theory: an Introduction. Great Britain: TJ Press.
Fokkema, D.W dan Elurd Kunne-Ibsch. 1977. Theories of Literature in the Twentieth Century. London: C. Hurst & Company.
Hartoko, Dick. 1982. “Pencerapan Estetik dalam Sastra Indonesia” dalam Basis, XXXV 1 Januari. Yogyakarta: Andi Offset.
Hartoko, Dick. 1986. Kamus Populer Filsafat. Jakarta: CV Rajawali.
Holland, Norman. 1968. The Dynamics od Literary Response. New York: State University Press.
Iser, Wolfgang. 1978. The Act of Reading: a Theoru of Aesthetic Response.
Balitmore and Londong: The John Hopkins University Press.
Jauss, HR. 1982. Toward an Aesthetic of Reception. Minneapolis: University of Minnesota Press.
Juwairiyah. 2004. Sejarah Sastra Arab Masa Jahili. Surabaya: Fakultas Adab IAIN Surabaya dan Penerbit Sumbangsih.
Lesser, Simon O. 1962. Fiction and The Unconscious. New York: State Universitu Press.
Mawardi, Muhammad Ja’far. 2003. Perbandingan Syair Jarir, Farozdaq, dan Akhtol. Surabaya: Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel.
Nasr, Muhammad Ibrahim. 1994. Al-Adab. Riyad: Jami’ah al-Imam Muhammad ibn Saud al-Islamiyyah.
Noth, W.1990. Handbook of Semiotics. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press.
Pradopo, Rachmat Djoko.1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: UGM Press
Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry: Bloomington and London: Indiana University Press.
Santoso, Puji.2003. Bahtera Kandas di Bukit: Kajian Semiotika Sajak-Sajak Nuh. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri
Sarhan, Muhammad. 1978. Al-Adab al-Arab wa Tarikhuhu fi al-Ashr al-Jahili. Beirut: Dar al-Fikr.
Selden, Rahman. 1991. Panduan Pembaca Teori Sastra masa Kini. Diterjemahkan oleh Rachmat D. Pradopo. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Suwondo, Tirto.2003. Studi Sastra: Beberapa Alternatif. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.
Taum, Yoseph Yapi. 1997. Pengantar Teori Sastra. Flores: Nusa Indah.
Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Teeuw, A.1980. “Estetik, Semiotik, dan Sejarah Sastra” dalam Basis No. 301. Bulan Oktober.
Teeuw, A.1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Van Luxemburg, Jan, dkk. 1986. Pengantar Ilmu Sastra. Diindonesikan oleh Dick Hartono. Jakarta: Gramedia.
Wellek, Rena dan Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.
Sumber:
Yusuf, Kamal. 2009. Teori Sastra: Modul Kuliah. Fakultas Adab, Jurusan Bahasa dan Sastra Arab, IAIN Sunan Ampel Surabaya
No comments:
Post a Comment