BAB IV
Teori-teori Strukturalisme
1. Prinsip-prinsip Antarhubungan
Dalam strukturalisme konsep fungsi memegang peranan penting. Artinya, unsur-unsur sebagai ciri khas teori tersebut dapat berperanan secara maksimal semata-mata dengan adanya fungsi, yaitu dalam rangka menunjukkan antarhubungan unsur-unsur yang terlibat. Antarhubungan merupakan kualitas energetis unsur. Durkheim (Johnson, 1988: 168) mengenai masyarakat, maka dalam karya, totalitas selalu lebih besar dan lebih berarti dari jumlah unsurnya. Menurut Craib (1994: 177), variasi unsur dalam suatu komunitas hubungan bisa sama, tetapi variasi hubungan akan menghasilkan sesuatu yang sama sekali berbeda.
Sebagai kualitas totalitas, antarhubungan merupakan energi, motivator terjadinya gejala yang baru, mekanisme yang baru, yang pada gilirannya menampilkan makna-makna yang baru. Tanpa antarhubungan sesungguhnya unsur tidak berarti, tanpa antarhubungan unsur-unsur hanya berfungsi sebagai agregasi.
Relevansi prinsip-prinsip antarhubungan dalam analisis karya sastra, di satu pihak mengarahkan peneliti agar secara terus menerus memperhatikan setiap unsure sebagai bagian yang tak terpisahkan dari unsur-unsur yang lain. Antarhubungan yang menyebabkan sebuah karya sastra, suatu masyarakat, dan gejala apa saja agar memiliki arti yang sesungguhnya.
2. Teori Formalisme
Teori formalisme sebagai teori modern mengenai sastra, secara historis kelahiran formalisme dipicu paling sedikit oleh tiga faktor, sebagai berikut :
- Formalisme lahir sebagai akibat penolakannya terhadap paradigm positivisme abad ke-19 yang memegang teguh prinsip-prinsip kausalitas, dalam hubungan ini sebagai reaksi terhadap studi biografi.
- Kecenderungan yang terjadi dalam ilmu humaniora, dimana terjadinya pergeseran dari paradigm diakronis ke sinkronis.
- Penolakkan terhadap pendekatan tradisional yang selalu memberikan perhatian terhadap hubungan karya sastra dengan sejarah, sosiologi, dan psikologi.
Peletak dasar formalisme adalah kelompok formalis Rusia, yang terdiri atas para pakar sastra dan linguistik. Ada dua pusat kegiatan, yaitu :
- Lingkaran Linguistik Moskow yang didirikan tahun 1915 oleh Roman Jakobson, Petr Bogatyrev, dan Grigorii Vinokur.
- Mazhab Opojaz (Masyarakat Studi Puitika Bahasa) Leningrad yang didirikan tahun 1916 oleh Boris Eichenbaum, Victor Sklovski, Osip Brik, dan Lev laukubinskii (Nina Kolesnikoff dalam Irena R Makaryk, ed., 1993: 53).
Tujuan pokok formalisme adalah studi ilmiah tentang sastra, dengan cara meneliti unsur-unsur kesastraan, puitika, asosiasi, oposisi. Metode yang digunakan adalah metode formal. Menurut Luxemburg, dkk. (1984: 35) formalisme dianggap sebagai peletak dasar ilmu sastra modern. Ada dua konsep formalis yang paling terkenal yaitu Fabula dan Sjuzet. Fabula adalah bahan kasar, kejadian yang tersusun secara kronologis. Sjuzet adalah mengorganisasikan keseluruhan kejadian ke dalam struktur penceritaan.
3. Teori Strukturalisme Dinamik
Secara etimologis struktur berasal dari kata structura, bahasa Latin, yang berarti bentuk atau bangunan. Menurut Teeuw (1988: 131), khususnya dalam ilmu sastra, strukturalisme berkembang melalui tradisi formalisme. Artinya, hasil-hasil yang dicapai melalui tradisi formalis sebagian besar dilanjutkan dalam strukturalis. Robert Scholes (1977) menjelaskan keberadaan strukturalisme menjadi tiga tahap: pergeseran paradigma berpikir, metode, dan teori.
Secara definitife strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur, yaitu struktur itu sendiri, dengan mekanisme antarhubungannya, di satu pihak antarhubungan unsur yang satu dengan unsur lainnya, di pihak yang lain hubungan antara unsur (unsur) dengan totalitasnya. Tokoh-tokoh penting strukturalisme, di antaranya: Roman Jakobson, Jan Mukarovsky, Felix Vodicka, Rene Wellek, Jonathan Culler, Robert Scholes.
Lahirnya strukturalisme dinamik didasarkan atas kelemahan-kelemahan strukturalisme sebagaimana yang dianggap sebagai perkembangan kemudian formalisme di atas. Strukturalisme dinamik dimaksudkan sebagai penyempurnaan strukturalisme yang semata-mata memberikan intensitas terhadap struktur intrinsik, yang dengan sendirinya melupakan aspek-aspek ekstrinsiknya. Strukturalisme dinamik mula-mula dikemukakan oleh Mukarovsky dan Felix Vodicka (Fokkema, 1977: 31).
4. Teori Semiotika
Menurut Noth ada empat tradisi yang melatarbelakangi kelahiran semiotika, yaitu: semantik, logika, retorika, dan hermeneutika. Culler (1977: 6) menyebutkan strukturalisme dan semiotika sebagai dua teori yang identik, strukturalisme memusatkan perhatian pada karya sedangkan semiotika pada tanda. Selden (1986: 54) menganggap strukturalisme dan semiotika termasuk ke dalam bidang ilmu yang sama, sehingga keduanya dapat dioperasikan secara bersama-sama. Untuk menemukan makna suatu karya, analisis strukturalisme mesti dilanjutkan dengan analisis semiotika.
Secara definitif, menurut Paul Cobley dan Litza Janz (2002: 4) semiotika berasal dari kata seme, bahasa Yunani, yang berarti penafsir tanda. Literatur lain menjelaskan bahwa semiotika berasal dari kata semeion, yang berarti tanda. Dalam pengertian yang lebih luas, sebagai teori, semiotika berarti studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya, apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia.
Apabila konsep-konsep Saussure bersisi ganda, sebagai diadik, maka konsep-konsep Peirce bersisi tiga, sebagai triadik. Diadik Saussurean ditandai oleh ciri-ciri kesatuan internal, sedangkan triadik Peircean ditandai oleh dinamisme internal. Dilihat dari segi kerjanya, maka terdapat:
- Sintaksis semiotika, yaitu studi dengan memberikan intensitas hubungan tanda dengan tanda-tanda yang lain.
- Semantik semiotika, studi dengan memberikan perhatian pada hubungan tanda dengan acuannya.
- Pragmatik semiotika, studi dengan memberikan perhatian pada hubungan antara pengirim dan penerima.
Dilihat dari faktor yang menentukan adanya tanda, maka tanda dibedakan sebagai berikut.
1) Representamen, ground, tanda itu sendiri, sebagai perwujudan gejala umum:
- qualisigns, terbentuk oleh kualitas: warna hijau,
- sinsigns, tokens, terbentuk melalui ralitas fisik: rambu lalu lintas,
- legisigns, types, berupa hukum: suara wasit dalam pelanggaran.
2) Object (designatum, denotatum, referent), yaitu apa yang diacu:
- ikon, hubungan tanda dan objek karena serupa, misalnya foto,
- indeks, hubungan tanda dan objek karena sebab akibat, seperti: asap dan api,
- simbol, hubungan tanda dan objek karena kesepakatan, seperti bendera.
3) Interpretant, tanda-tanda baru yang terjadi dalam batin penerima:
- rheme, tanda sebagai kemungkinan: konsep,
- dicisigns, dicent signs, tanda sebagai fakta: pernyataan deskriptif,
- argument, tanda tampak sebagai nalar: proposisi.
Di antara representamen, object, dan interpretant, yang paling sering diulas adalah object. Menurut Aart van Zoest (1996: 6), di antara ikon, indeks, dan simbol yang terpenting adalah ikon sebab, di satu pihak, segala sesuatu merupakan ikon sebab segala sesuatu dapat dikaitkan dengan sesuatu yang lain.
Menurut Aart van Zoest (1993: 5-7), dikaitkan dengan bidang-bidang yang dikaji, pada umumnya semiotika dapat dibedakan paling sedikit menjadi tiga aliran, sebagai berikut.
1) Aliran semiotika komunikasi, dengan intensitas kualitas tanda dalam kaitannya dengan pengirim dan penerima, tanda yang disertai dengan maksud, yang digunakan secara sadar, sebagai signal, seperti rambu-rambu lalu lintas, dipelopori oleh Buyssens, Prieto, dan Mounin.
2) Aliran semiotika konotatif, atas dasar ciri-ciri denotasi kemudian diperoleh makna konotasinya, arti pada bahasa sebagai system model kedua, tanda-tanda tanpa maksud langsung, sebagai symtom, di samping sastra juga diterapkan dalam berbagai bidang kemasyarakatan, dipelopori oleh Roland Barthes.
3) Aliran semiotika ekspansif, diperluas dengan bidang ppsikologi (Freud) dan sosiologi (Marxis), termasuk filsafat, dipelopori oleh Julia Kristeva.
Ada banyak cara yang ditawarkan dalam rangka menganalisis karya sastra secara semiotis. Cara yang paling umum adalah oleh Wellek dan Warren (1962), yaitu:
1) analisis intrinsik (analisis mikrostruktur)
2) analisis ekstrinsik (analisis makrostruktur)
Cara yang lain, sebagaimana dikemukakan oleh Abrams (1976: 6-29), dilakukan dengan menggabungkan empat aspek, yaitu:
- pengarang (ekspresif)
- semestaan (mimetik)
- pembaca (pragmatik)
- objektif (karya sastra itu sendiri)
a. Bidang-bidang Penerapan
Sebagai ilmu, semiotika berfungsi untuk mengungkapkan secara ilmiah keseluruhan tanda dalam kehidupan manusia, baik tanda verbal maupun nonverbal. Secara praktis, pemahaman terhadap keberadaan tanda-tanda, khususnya yang dialami dalam kehidupan sehari-hari. Secara teoretis, misalnya dengan teori konflik.
Eco (1979: 9-14) menyebutkan beberapa bidang penerapan yang dianggap relevan, di antaranya:
- semiotika hewan, masyarakat nonhuman,
- semiotika penciuman,
- semiotika komunikasi dengan perasa,
- semiotika pencicipan, dalam masakan,
- semiotika paralinguistik, suprasegmental,
- semiotika medis, termasuk psikiatiri,
- semiotika kinesik, gerakan,
- semiotika musik,
- semiotika bahasa formal: Morse, aljabar,
- semiotika bahasa tertulis: alfabet kuno,
- semiotika bahasa alamiah,
- semiotika komunikasi visual,
- semiotika benda-benda,
- semiotika struktur cerita,
- semiotika kode-kode budaya,
- semiotika estetika dan pesan,
- semiotika komunikasi massa,
- semiotika retorika,
- semiotika teks.
Menurut Aart van Zoest (1993: 102-151), secara akademis semiotika dianggap sesuai diterapkan pada beberapa disiplin : arsitektur, perfilman, sandiwara, musik, kebudayaaan, interaksi sosial, psikologi, dan media massa.
b. Semiotika Sastra
Kehidupan manusia dibangun atas dasar bahasa, sedangkan bahasa itu sendiri adalah sistem tanda. Menurut Noth (1990: 42), tanda bukanlah kelas objek, tanda-tanda hanya hadir hanya dalam pikiran penafsir. Secara definitif tanda adalah sembarang apa yang mengatakan tentang sesuatu yang lain daripada dirinya sendiri.
Menurut van Zoest (1993: 86), dalam teks sastra, ikon yang paling menarik. Ada tiga macam ikon yaitu:
- ikon topografis, berdasarkan persamaan tata ruang,
- ikon diagramatis, berdasarkan persamaan struktur,
- ikon metaforis, berdasarkan persamaan dua kenyataan yang didenotasikan sekaligus, langsung atau tidak langsung.
c. Semiotika Sosial
Semiotika sosial, menurut Halliday (1992: 3-8) adalah semiotika itu sendiri, dengan memberikan penjelasan lebih detail dan menyeluruh tentang masyarakat sebagai makrostruktur. Halliday dalam hubungan ini menganggap bahwa istilah sosial sejajar dengan kebudayaan.
Dalam kaitannya dengan sistematika sosial, Halliday mendeskripsikan tiga model hubungan teks, yaitu:
- medan sebagai ciri-ciri semantis teks
- pelaku yaitu orang-orang yang terlibat
- sarana yaitu ciri-ciri yang diperankan oleh bahasa.
Menurut Marxis, bahwa ide, konsep, dan pandangan dunia individu ditentukan oleh keberadaan sosialnya. Menurut Berger dan Lucmann (1973: 13) kenyataan dibangun secara sosial, kenyataan dengan kualitas mandiri yang tak tergantung dari kehendak subjek.
5. Teori Strukturalisme Genetik
Sejajar dengan strukturalisme dinamik, strukturalisme genetik dikembangkan atas dasar penolakan terhadap strukturalisme murni, analisis terhadap unsur-unsur intrinsik. Strukturalisme genetik ditemukan oleh Lucien Goldmann, seorang filsuf dan sosiolog Rumania-Perancis. Teori tersebut dikemukakan dalam bukunya yang berjudul The Hidden God: a Study of Tragic Vision in the Pensees of Pascal and the Tragedies of Racine. Terbit dalam bahasa Perancis, terbit pertama kali tahun 1956.
Secara definitife strukturalisme genetik adalah analisis struktur dengan memberikan perhatian terhadap asal-usul karya. Secara ringkas strukturalisme genetik berarti bahwa sekaligus memberikan perhatian terhadap analisis intrinsik dan ekstrinsik. Strukturalisme genetik berada pada puncak kejayaannya sekitar tahun 1980an hingga tahun 1990an.
Secara definitife strukturalisme genetik harus menjelaskan struktur dan asal-usul struktur itu sendiri, dengan memperhatikan relevansi konsep homologi, kelas sosial, subjek transindividual, dan pandangan dunia. Dalam penelitian langkah-langkah yang dilakukan, diantaranya:
- meneliti unsur-unsur karya sastra,
- hubungan unsur-unsur karya sastra dengan totalitas karya sastra,
- meneliti unsur-unsur masyarakat yang berfungsi sebagai genesisi karya sastra,
- hubungan unsur-unsur masyarakat dengan totalitas masyarakat,
- hubungan karya sastra secara keseluruhan dengan masyarakat secara keseluruhan.
6. Teori Strukturalisme Naratologi
Naratologi, dari kata narration (bahasa Latin, berarti cerita, perkataaan, kisah, hikayat) dan logos (ilmu). Naratologi juga disebut teori wacana (teks) naratif. Baik naratologi maupun wacana (teks) naratif diartikan sebagai seperangkat konsep mengenai cerita dan pen (cerita) an. Naratologi berkembang atas dasar analogi linguistik, seperti model sintaksis, sebagaimana hubungan antara subjek, predikat, dan objek penderita.
Narasi, baik sebagai cerita maupun penceritaan didefinisikan sebagai representasi paling sedikit dua peristiwa faktual atau fiksional dalam urutan waktu. Secara historis, menurut Marie-Laureryan dan van Alphen (Makaryk, ed,. 1990: 110-114) naratologi dapat dibagi menjadi tiga periode:
- Periode prastrukturalis (hingga tahun 1960-an),
- Periode strukturalis (tahun 1960-an hingga tahun 1980-an), dan
- Periode pascastrukturalis (tahun 1980-an hingga sekarang).
Referensi:
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme, Prespektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
No comments:
Post a Comment