Thursday, May 19, 2011

Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra (5)

BAB V
Teori-teori Postrukturalisme

1. Hubungan antara Postmodernisme dengan Postrukturalisme
Paradigma postrukturalisme adalah cara-cara mutakhir, baik dalam bentuk teori maupun metode dan teknik, yang digunakan dalam mengkaji objek. Sebagai cara yang baru, teori postrukturalisme yang sudah berkembang selama kurang lebih setengah abad, sejak awal abad ke-20.

Postmodernisme, dari kata ‘post’ + modern + ’isme’, yang berarti paham sesudah modern, dan postrukturalisme, dari kata ‘post’ + struktur + ‘isme’, yang berarti paham sesudah struktur, baik secara historis pragmatis maupun intelektual akademis memiliki kaitan yang sangat erat. Postmodernisme berkembang dalam berbagai bidang ilmu, seperti: arsitektur, perencanaan kota, sejarah, ekonomi, politik, psikologi, teknologi media massa, filsafat, bahasa, dan seni, termasuk sastra. Sebagai gejala kultural, postrukturalisme dianggap bagian postmodernisme. Postrukturalisme merupakan tradisi intelektual postmodernisme.

Postmodernisme dan postrukturalisme berkembang dengan sangat pesat, dipicu paling sedikit oleh tiga indikator yang saling melengkapi sebagai berikut:
1) Postmodernisme dan postrukturalisme sebagai kecenderungan mutakhir peradaban manusia berkembang dalam situasi dan kondisi yang serba cepat.
2) Perkembangan pesat kajian wacana, baik dalam bidang sastra, sebagai teks, maupun nonsastra, sebagai diskursus.
3) Perkembangan pesat interdisipliner yang memungkinkan berbagai disiplin dalam kajian tunggal.

2. Teori-teori Postmodernisme
Postmodern pada dasarnya masih merupakan bagian integral Zaman Modern. Zaman Modern ditandai dengan dimanfaatkannya metode eksperimental dan matematis, sekaligus ditinggalkannya secara definitif visi Aristotelian. Beberapa perintis, di antaranya: Leonardo da Vinci (1452-1519), Nicolaus Copernicus (1473-1543), Johannes Kepler (1571-1630), Galileo Galilei (1564-1643) dsb. Bapak filsuf modern adalah Rene Descartes (1561-1623).

Timbulnya postmodernisme merupakan akibat ketidakmampuan modernism dalam menanggulangi kepuasan masyarakat, yaitu berbagai kebutuhan yang berkaitan dengan masalah sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan pada umumnya. Dunia postmodern dengan demikian diciptakan dengan cara memasukkan konsep-konsep ke dalamnya, bukan benda-benda dengan sifat-sifat yang sudah ada padanya. Sebuah teori tidak perlu dibuktikan kebenarannya, tetapi apakah teori tersebut dapat dimanfaatkan, dan bagaimana hasilnya kemudian.

Sains modern pada gilirannya didekonstruksi oleh Thomas S. Kuhn dalam bukunya yang berjudul The Structure of Scientific Revolutions (1962) dengan argumentasi bahwa perubahan dalam ilmu pengetahuan bukan semata-mata dengan cara memperbaiki atau menafsirkan kembali pengetahuan masa lalu (evolusi), tetapi melalui perubahan (paradigma) secara mendadak (revolusi).

3. Teori-teori Postrukturalisme
Dasar teori-teori postrukturalisme adalah strukturalisme, sedangkan strukturalisme itu sendiri lahir melalui formalisme Rusia, yang mulai berkembang awal abad ke-20 (1915-1930), dengan tokoh-tokoh Roman Jakobson, Victor Shklovsky, Boris Eichenbaum, dan Jurij Tynjanov. Hubungan antara strukturalisme dengan postrukturalisme sangat kompleks. Metode yang digunakan dalam postrukturalisme ialah metode dekonstruksi, tujuannya adalah pluralisme, perbedaan merupakan hakikat yang wajar, perbedaan justru untuk memberikan pengakuan pada unsur lain. Menurut kelompok postrukturalis (Selden, 1986: 101), kekuatan sejarah atau lingistik tidak dapat dikuasai. Postrukturalis lebih banyak menampilkan masalah dibandingkan dengan memberikan jawaban sekaligus menghindarkan logosentrisme. Postrukturalisme pada dasarnya identik dengan post-Saussurean.

Teori-teori yang dimasukkan ke dalam kelompok postrukturalisme adalah resepsi, interteks, feminis, postkolonial, dan dekonstruksi. Teori postrukturalisme diakhiri dengan teori naratologi postrukturalisme.

a. Teori Resepsi Sastra
Secara definitif resepsi sastra, berasal dari kata recipere (Latin), reception (Inggris), yang berarti penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam arti luas resepsi didefinisikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya, sehingga dapat memberikan respons terhadapnya. Dalam kaitannya dengan teori resepsi perlu disebutkan dua buah buku yang sangat relevan, yaitu: Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra (A. Teeuw, terbit pertama kali tahun 1984) dan Resepsi Sastra Sebuah Pengantar (Umar Junus, terbit pertama kali tahun 1985).

b. Teori Interteks
Secara luas interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks yng lain. Secara etimologis (textus, bahasa Latin) berarti tenunan, anyaman, penggabungan, susunan, dan jalinan. Produksi makna terjadi dalam interteks, yaitu melalui proses oposisi, permutasi, dan transformasi. Penelitian dilakukan dengan cara menemukan hubungan-hubungan bermakna di antara dua teks atau lebih. Interteks dapat dilakukan antara novel dengan novel, novel dengan puisi, novel dengan mitos.

Cara praktis aktivitas interteks terjadi melalui dua cara, yaitu:
a) membaca dua teks atau lebih secara berdampingan pada saat yang sama,
b) hanya membaca sebuah teks tetapi dilatarbelakangi oleh teks-teks lain yang sudah pernah dibaca sebelumnya.

Dalam kerangka multikultural, aktivitas intertekstualitas berfungsi untuk membangkitkan kesadaran masa lampau, baik sebagai citra primordial maupun nostalgia, yang pada umumnya disebut teks pastiche.

c. Teori Feminis
Secara etimologis feminis berasal dari kata femme (woman), berarti perempuan (tunggal) yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas sosial. Jadi, tujuan feminis adalah keseimbangan, interelasi gender.

Dalam pengertian yang luas, feminis adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik maupun ekonomi serta kehidupan sosial pada umumnya. Dalam arti sempit, yaitu dalam sastra, feminis dikaitkan dengan cara-cara memahami karya sastra baik dalam kaitannya dengan proses produksi maupun resepsi.

Sebagai gerakan modern, feminisme lahir awal abad ke-20, yang dipelopori oleh Virginia Woolf dalam bukunya yang berjudul A Room of One’s Own (1929). Perkembangan pesatnya terjadi pada tahun 1960-an. Tokoh-tokoh terpenting feminis kontemporer, yaitu: Luce Irigarai, Julia Kristeva, Helena Cixous, dan Donna J. Haraway.

Model analisisnya sangat beragam, sangat kontekstual, berkaitan dengan aspek-aspek sosial, politik, dan ekonomi. Menurut Teuww, beberapa indikator yang dianggap telah memicu lahirnya gerakan feminis di dunia barat tersebut, sebagai berikut:
1) Berkembangnya teknik kontrasepsi, yang memungkinkan perempuan melepaskan diri dari kekuasaan laki-laki.
2) Radikalisasi politik, khususnya sebagai akibat perang Vietnam.
3) Lahirnya gerakan pembebasan dari ikatan-ikatan tradisional.
4) Sekularisasi, menurunnya wibawa agama dalam segala bidang kehidupan.
5) Perkembangan pendidikan yang secara khusus dinikmati oleh perempuan.
6) Reaksi terhadap pendekatan sastra yang mengasingkan karya dari struktur sosial, seperti Kritik Baru dan strukturalisme.
7) Ketidakpuasan terhadap teori dan praktik ideology Marxis orthodox, tidak terbatas sebagai Marxis Sovyet atau Cina, tetapi Marxis di dunia Barat secara keseluruhan.

d. Teori Postkolonial
Secara etimologis postkolonial berasal dari kata ‘post’ dan kolonial, sedangkan kata kolonial itu sendiri berasal dari akar kata kolonial, bahasa Romawi, yang berarti tanah pertanian atau permukiman.

Paling sedikit terkandung empat alasan mengapa karya sastra dianggap tepat untuk dianalisis melalui teori-teori postkolonial.
1) Sebagai gejala kultural sastra menampilkan sistem komunikasi antara pengirim dan penerima, sebagai mediator anatara masa lampau dengan masa sekarang.
2) Karya sastra menampilkan berbagai problematika kehidupan, emosionalitis dan intelektualitis, fiksi dan fakta, karya sastra adalah masyarakat itu sendiri.
3) Karya sastra tidak terikat oleh ruang dan waktu, kontemporaritas adalah manifestasinya yang paling signifikan.
4) Berbagai masalah yang dimaksudkan dilukiskan secara simbolis, terselubung, sehingga tujuan-tujuan yang sesungguhnya tidak tampak. Di sinilah ideologi oriental ditanamkan, di sini pulalah analisis dekonstruksi postkolonial dilakukan.

Ciri khas postkolonialisme dibandingkan dengan teori-teori postmodernis yang lain adalah kenyataan bahwa objeknya adalah teks-teks yang berkaitan dengan wilayah bekas jajahan imperium Eropah, khususnya Indonesia.

e. Teori Dekonstruksi
Kristeva (1980:36-37), menjelaskan bahwa dekonstruksi merupakan gabungan antara hakikat destruksif dan konstruktif. Dekonstruksi adalah cara membaca teks, sebagai strategi. Dekonstruksi tidak semata-mata ditujukan terhadap tulisan, tetapi semua pernyataan kultural sebab keseluruhan pernyataan tersebut adalah teks yang dengan sendirinya sudah mengandung nilai-nilai, prasyarat, ideologi, kebenaran dan tujuan-tujuan tertentu.

Sebagai salah satu model pemahaman postrukturalis, Umar Junus (1996:109-109) memandang dekonstruksi sebagai perspektif baru dalam penelitian sastra. Dekonstruksi justru memberikan dorongan untuk menemukan segala sesuatu yang selama ini tidak memperoleh perhatian. Dekonstruksi memungkinkan untuk melakukan penjelajahan intelektual dengan apa saja, tanpa harus terikat dengan suatu aturan yang dianggap telah berlaku universal.

4. Teori Postrukturalisme Naratologi
Naratologi, seperti telah disinggung di depan adalah bidang ilmu mengenai narasi, studi mengenai bentuk dan fungsi naratif. Narasi meliputi narasi lisan dan tulisan, sastra maupun nonsastra. Secara definitif menurut (cf. Luxemburg, dkk., 1984: 119-120; Rimon-Kenan, 1983: 1-5) struktur wacana atau teks naratif adalah semua teks atau wacana yang isinya merupakan rangkaian peristiwa, yang dibedakan menjadi struktur naratif fiksi dan struktur naratif nonfiksi.

Dengan hadirnya strukturalisme dan postrukturalisme (Gerald Prince, 1982: 4), teori dan analisis naratif menyebar hamper ke seluruh dunia, dibicarakan dalam berbagai disiplin, seperti: filsafat, psikologi, psikoanalitik, semiotika, cerita rakyat, antropologi, dan pemahaman Injil, khususnya linguistik dan sastra.

a. Wacana dan Teks
Secara etimologis wacana berasal dari wacana (Sansekerta), berarti kata-kata atau cara berkata, ucapan, perintah, nasihat. Teks seperti telah disinggung di depan, berasal dari kata textum (Latin), yang berarti tenunan, jalinan, susunan.

Wacana merupakan konsep kunci dalam teori postmodernisme dan postrukturalisme. Wacana berfungsi untuk menyampaikan berbagai informasi, membangun ilmu pengetahuan, meraih kekuasaan, alih teknologi. Pada dasarnya wacana dan teks memiliki identitas yang sama. Meskipun demikian, wacana merupakan bagian dalam struktur naratif secara keseluruhan, sedangkan teks dibicarakan dalam struktur sastra.

b. Tokoh-tokoh Postrukturalisme Naratologi
Tokoh-tokoh postrukturalisme naratologi terdiri dari: Gerard Genette, Gerald Prince, Seymour Chatman, Jonathan Culler, Roland Barthes, Mikhail Mikhailovic Bakhtin, Hayden White, Mary Louise Pratt, Jacques-Marie Emile Lacan, Michel Foucault, Jean-Francois Lyotard, Jean Baudrillard.


Referensi:
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme, Prespektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

No comments:

Post a Comment