Wednesday, May 4, 2011

Teori Sastra (9): Teori Resepsi Sastra I

BAB IX
TEORI RESEPSI SASTRA I

Teori resepsi sastra merupakan salah satu aliran dalam penelitian sastra yang terutama dikembangkan oleh mazhab Konstanz tahun 1960-an di jerman. Teori ini menggeserkan fokus penelitian dari struktur teks ke arah penerimaan atau penikmatan pembaca. Mazhab Konstanz meneruskan penelitian fenomenologi, strukturalisme Praha, dan hermeneutika. Untuk memahami latar belakang teori-teori resepsi, terlebih dahulu dijelaskan secara singkat pandangan-pandangan yang berperan mendorong tumbuhnya pandangan resepsionistik itu, terutama fenomenologi dah hermeunetika.

Fenomenologi dirintis oleh Edmund Husserl sebagai aliran filsafat yang menekankan bahwa gejala-gejala harus diajak berbicara dan diberi kesempatan memperlihatkan diri. Bagi husserl, objek penelitian filosofis yang sebenarnya adalah isi kesadaran kita dan bukan objek dunia. Kita menemukan sifat-sifat universal atau esensial dalam benda-benda yang tampak justru di dalam kesadaran kita. Dengan demikian, makna gejala-gejala hanya dapat disimpulkan berdasarkan pengalaman kita mengenai gejala-gejala itu. Ketika Roman Ingarden mencoba menggambarkan cara khas penerimaan sebuah karya seni, dia menggunakan kerangka acuan fenomenologi untuk menjelaskannya. Menurut Ingarden, setiap karya sastra secara prinsip belum lengkap karena hanya menghadirkan bentuk skematik dan sejumlah tempat tanpa batas yang perlu dilengkapi secara individual menurut pengalamannya akan karya-karya lain. Namun demikian, sejauh menyangkut teks, kelengkapan itu tak pernah dapat sempurna. Yang dapat dilakukan untuk melengkapi struktur karya sastra itu adalah melakukan konkretisasi (penyelarasan atau pengisian makna oleh pembaca).

Hermeneutika semula terbatas pada teori dan kaidah menafsirkan sebuah teks, khususnya kitab suci agama Yahudi dan Kristen secara filologis, historis, dan teologis. Schleiermacher memperluas istilah itu untuk menyebut cara kita memahami dan menafsirkan sesuatu yang selalu dipengaruhi oleh konteks historis. Gadamer memperluas lagi lingkup hermeneutik. Menurut dia istilah itu mengacu pada proses mengetahui, memahami, dan menafsirkan sesuatu tidak hanya melibatkan subjek dan objek, melainkan merupakan sebuah proses sejarah. Cakrawala kesadaran sejarah yang meliputi si penafsir menentukan pengetahuannya (Hartoko, 1986: 38).

Berikut ini akan dikemukakan teori-teori resepsi yang paling menonjol dalam lingkup teori sastra.

1. Hans Robert Jauss: Horison Harapan
Teori resepsi, yang merupakan sebuah aplikasi historis dari tanggapan pembaca terutama berkembang di Jerman ketika hans Robert Jauss menerbitkan tulisan berjudul Literary Theory as a Challenge to Literary Theory (1970). Fokus perhatiannya, sebagaimana teori tanggapan pembaca lainnya, adalah penerimaan sebuah teks. Minat utamanya bukan pada tanggapan seorang pembaca tertentu pada suatu waktu tertentu melainkan pada perubahan-perubahan tanggapan interpretasi dan evaluasi pembaca umum terhadap teks yang sama atau teks-teks yang berbeda dalam kurun waktu berbeda.

Jauss merupakan seorang ahli dalam bidang sastra Perancis abad pertengahan dari Universitas Konstanz. Sebagai seorang ahli dalam bisang sastra lama, Jauss beranggapan bahwa karya sastra lama merupakan produk masa lampau yang memiliki relevansi dengan masa sekarang, dalam arti ada nilai-nilai terntentu untuk orang yang membacanya. Untuk menggambarkan relevansi itu Jauss memperkenalkan konsep yang terkenal: Horizon Harapan yang memungkinkan terjadinya penerimaan dan pengolahan dalam batin pembaca terhadap sebuah objek literer.

Melalui penelitian resepsi, Jauss ingin merombak sejarah sastra masa itu yang terkesan hanya memaparkan sederetan pengarang dan jenis sastra (genre). Fokus perhatiannya adalah proses sebuah karya sastra diterima, sejak pertama kali ditulis sampai penerimaan-penerimaan selanjutnya. De Man menilai bahwa Jauss berusaha menjembatani teori-teori formalisme Rusia dengan teori-teori Marxis. Teori formalisme Rusia dipandangnya terlalu berlebihan menekankan nilai estetik teks sehingga mengabaikan dungsi sosial sastra. Sebaliknya teori-teori Marxis terlalu menekankan fungsi sosial sastra dalam masyarakat sehingga hakikat sastra sebagai karya seni kurang diperhatikan. Jauss menegaskan bahwa sebuah karya sastra merupakan objek estetik yang memiliki implikasi estetik dan implikasi historik. Implikasi estetik timbul apabila teks dinilai dalam perbandingan dengan karya-karya lain yang telah dibaca, dan implikasi historis muncul akibat perbandingan historis dengan rangkaian penerimaan atau resepsi sebelumnya.

Jaus mengungkapkan tujuh tesis pemikiran teoretisnya. Secara singkat ketujuh tesis itu berikut ini.
1) Karya sastra bukanlah monumen yang mengungkapkan makna yang satu dan sama, seperti anggapan tradisional mengenai objektivitas sejarah sebagai deskripsi yang tertutup. Karya sastra ibarat oerkestra: selalu memberikan kesempatan kepada pembaca untuk menghadirkan resonansi yang baru yang membebaskan teks itu dari belenggu bahasa, dan menciptakan konteks yang dapat diterima pembaca masa kini. Sifat dialogal ini memungkinkan pembaca mengapropriasikan masa lampau untuk ditiru, diabaikan, atau ditolak.

2) Sistem horison harapan pembaca timbul sebagai akibat adanya momen historis karya sastra, yang meliputi suat prapemahaman mengenai genre, bentuk, dan tema dalam karya yang sudah diakrabi, dan dari pemahaman mengenai oposisi antara bahasa puitis dan bahasa sehari-hari. Sekalipun sebuah karya sastra tampak baru sama sekali, ia sesungguhnya tidak baru secara mutlak seolah-olah hadir dari kekosongan. Sastra telah memerpsiapkan pembacanya dalam sebuah sistem penerimaan yang khas melalui tanda-tanda dan kode-kode dalam perbandingan dengan hal yang sudah dikenal sebelumnya. Jadi, ada interaksi antara teks dengan konteks pengalaman pencerapan estetik yang bersifat transsubjektif itu. Horison harapan memungkinkan seseorang mengenal ciri artistik sebuah karya teks sastra.

3) Jika ternyata masih ada jarak estetik antara horison harapan dengan wujud sebuah karya sastra yang baru, maka proses penerimaan dapat mengubah harapan itu baik melalui penyangkalan terhadap pengalaman estetik yang sudah dikenal atau melalui kesadaran bahwa sudah muncul suatu pengalaman estetik yang baru. Di sini dituntut penerimaan sastra sebagaimana penerimaan seni pertunjukan, yang selalu memenuhi horison harapan sesuai dengan cita rasa keindahan, sentimen-sentimen, dan emosi yang sudah dikenal. Justru karya sastra yang adiluhung memiliki sifat artistik jarak estetik ini.

4) Rekonstruksi mengenai horison harapan terhadap karya sastra sejak diciptakan atau disambut pada masa lampau hingga masa kini, akan menghasilkan berbagai varian resepsi dengan semangat jaman yang berbeda. Dengan demikian, pandangan platonis mengenai makna karya sastra yang objektis, tunggal dan abadi untuk semua penafsir perlu ditolak.

5) Teori estetika penerimaan tidak hanya sekadar memahami makna dan bentuk karya sastra menurut pemahaman historis. Dia menuntut agar kita memasukkan sebuah karya individual ke dalam rangkaian sastra agar lebih dikenal posisi dan arti historisnya dalam konteks pengalaman sastra.

6) Apabila pemahaman dan pemaknaan sebuah karya sastra menurut resepsi historis tidak dapat dilakukan karena adanya perubahan sikap estetik, maka seseorang dapat menggunakan perspektif sinkronis untuk menggambarkan persamaan, perbedaan, pertentangan, ataupun hubungan antara sistem seni sejaman dengan sistem seni dalam masa lampau. Sebuah sejaran sastra menjadi mantap dalam pertemuan perspektif sinkronis dan diakronis. Jadi, sistem sinkronis tetap harus membuat masa lampau sebagai elemen struktural yang tak dapat dipisahkan.

7) Tugas sejarah sastra tidak menjadi lengkap hanya dengan menghadirkan sistem-sistem karya sastra secara sinkronis dan diakronis, melainkan harus juga dikaitkan dengan sejarah umum. Kedudukan khas dan unik dari sejarah sastra perlu perlu mendapat kepunuhannya dalam sejarah umum. Hubungan ini tidak berakhir dengan sekadar menemukan gambaran mengenai situasi sosial yang berlaku di dalam karya sastra. Fungsi sosial karya sastra hanya sungguh terwujud bila pengalaman sastra pembaca masuk ke dalam horison harapan mengenai kehidupannya yang praktis, membuat dirinya semakin memahami dunianya, dan akhirnya memiliki pengaruh kepada tingkah laku sosialnya. Pandangan Jauss tempaknya memperoleh sambutan dan dukungan yang luas di kalahngan ilmuwan sastra modern.

2. Wolfgang Iser: Pembaca Implisit
Iser juga termasuk salah seoramh eksponen mazhab Konstanz. Tetapi berbeda dari Jaunn yang memperkenalkan model sejarah resepsi, Iser lebih memfokuskan perhatiannya kepada hubungan individual antara teks dan pembaca (estetikan pengolahan). Pembaca yang dimaksud oleh Iser bukanlah pembaca konkret individual, melainkan pembaca implisit. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pembaca implisit merupakan suatu instansi di dalam teks yang memungkinkan terjadinya komunikasi antara teks dan pembacanya. Dengan kata lain, pembaca yang diciptakan oleh teks-teks itu sendiri, yang memungkinkan kita membaca teks itu dengan cara tertentu.

Iser mengemukakan teori resepsinya dalam bukunya The Act of Reading: a Theory of Aesthetic Response (1978). Menurut Iser, tak seorang pun yang menyangkal keberadaan pembaca dalam memberi penilaian terhadap karya sastra, sekalipun orang berbicara mengenai otonomi sastra. Oleh karena itu, observasi terhadap respon pembaca merupakan studi yang esensial. Pusat kegiatan membaca adalah interaksi antara struktur teks dan pembacanya. Teori fenomenologi seni telah menekankan bahwa pembacaan sastra tidak hanya melibatkan sebuah teks sastra, melainkan juga aksi dalam menanggapi teks. Teks itu sendiri hanyalah aspek-aspek skematik yang diciptakan pengarang, yang akan digantikan dengan kegiatan konkretisasti (realisasi makna teks oleh pembaca).

Iser (1978: 20-21) menyebutkan bahwa karya saastra memiliki dua kutub, yakni kutub artistik dan kutub estetik. Kutub artistik adalah kutub pengarang, dan kutub estetik merupakan realisasinya yang diberikan oleh pembaca. Aktualisasi yang benar terjadi di dalam interaksi antara teks (perhatian terhadap teknik pengarang, struktur bahasa) dan pembaca (psikologi pembaca dalam proses membaca, fungsi struktur bahasa terhadap pembaca). Penelitian sastra harus dimulai dari kode-kode struktur yang terdapat dalam teks. Aspek verbal (struktur/bahasa) perlu dipahami agar menghindarkan penerimaan yang arbitrer. Fungsi struktur itu tidak berlaku selama belum ada efeknya bagi pembaca. Oleh karena itu penelitian perlu dilanjutkan dengan mendeskripsikan interaksi antara bahasa dan pembaca, yang merupakan kepenuhan penerimaan teks.

Bagi Iser, tugas kritik teks adalah menjelaskan potensi-potensi makna tanpa membatasi diri pada aspek-aspek tertentu, karena makna teks bukanlah sesuatu yang tetap melainkan sebagai peristiwa yang dinamik, dapat berubah-ubah sesuai dengan gudang pengalaman pembacanya. Sekalipun disadari bahwa totalitas makna teks tidak dapat secara tuntas dipahami, proses membaca itu sendiri merupakan suatu prakondisi penting bagi pembentukan makna. Makna referensial bukanlah ciri pokok estetis. Apa yang dinamakan estetis adalah jika hal tertentu membawa hal baru, sesuatu yang sebelumnya tidak ada. Jadi, penetapan makna estetis sesungguhnya bermakna ganda, bersifat estetis sekaligus diskursif. Pengalaman yang dibangun dan digerakkan dalam diri pembaca oleh sebuah teks menunjukkan bahwa kepenuhan makna estetis muncul dalam relasi dengan sesuatu di luar teks. Pandangan Iser tentang estetika resepsi dapat dipahami dengan meninjau teorinya mengenai pembaca implisit dan membandingkannya dengan teori-teori pembaca lainnya.

Menurut Iser, konsep tradisional mengenai pembaca selama ini umumnya mencakup dua kategori, yakni pembaca nyata atau pembaca historis dan pembaca potensial atau pembaca yang diandaikan oleh pengarang. Diandaikan bahwa pembaca jenis kedua ini mampu mengaktualisasikan sebuah teks dalam sebuah konteks secara memadai, seperti seorang pembaca ideal yang memahami kode-kode pengarang.

Selain teori-teori tradisional tersebut, terdapat beberapa pandangan yang lebih modern tentang pembaca, yang menurut Iser tidak bebas dari kesalahan.
1) Michael Riffaterre memperkenalkan istilah superreader, yakni sintesis pengalaman membaca dari sejumlah pembaca dengan kompetensi yang berbeda-beda. Kelompok ini diharapkan dapat mengungkap potensi semantik dan pragmatik dari pesan teks melalui stilistika. Kesulitan akan muncul bila terdapat penyimpangan gaya, yang mungkin hanya dipahami dengan referensi lain di luar teks.

2) Stanley Fish mengajukan istilah informed reader (pembaca yang tahu, yang berkompeten), yang mirip dengan konsep Rifattere. Untuk menjadi seseorang pembaca yang berkompeten, diperlukan syaratsyarat: a) kemampuan dalam bidang bahasa, b) kemampuan semantik, c) kemampuan sastra. Melalui kemampuan-kemampuan ini seorang informed reader dapat merespon karya sastra. Teori ini tidak dapat diterima karena lebih berkaitan dengan teks daripada dengan pembacanya. Perubahan kalimat misalnya, lebih berkaitan dengan aturan gramatikal daripada pengalaman pembaca.

3) Edwin Wolff mengusulkan intended reader, yakni model pembaca yang berada dalam benak penulis ketika dia merekonstruksikan idenya.

Model pembaca ini mengacu kepada pembayangan seorang penulis tentang pembaca tulisannya melalui observasi akan norma dan nilai yang dianut masyarakat pembacanya. Pembaca ini akan mampu menangkap isyarat-isyarat tekstual. Persoalannya, bagaimana jika seorang pembaca yang tidak dituju pengarang tetapi mampu memberikan arti kepada sebuah teks?

Iser sendiri mengajukan konsep implied reader untuk mengatasi kelemahan pandangan-pandangan teoritis mengenai pembaca. Pembaca tersirat sesungguhnya telah dibentuk dan distrukturkan di dalam teks sastra. Teks sendiri telah mengandung syarat-syarat bagi aktualisasi yang memungkinkan pembentukan maknanya dalam benak pembaca (Iser, 1982: 34). Dengan demikian, kita harus mencoba memahami efek tanggapan pembacanya terhadap teks tanpa prasangka tanpa mencoba mengatasi karakter dan situasi historisnya. Teks sudah mengasumsikan pembacanya, entah pembaca yang berkompeten maupun tidak. Teks menampung segala macam pembaca, siapapun dia, karena struktur teks sudah menggambarkan peranannya.

Perhatikan bahwa teks sastra disusun seorang pengerang (dengan pandangan dunia pengarangnya) mengandung empat perspektif utama, yaitu pencerita, perwatakan, alur, dan bayangan mengenai pembaca. Keempat perspektif ini memberi tuntunan untuk menemukan arti teks. Arti teks sebuah teks dapat diperoleh jika keempat perspektif ini dapat dipertemukan dalam aktivitas atau proses membaca. Di sini terlihat kedudukan pembaca yang sangat penting dalam memadukan perspetifperspektif tersebut dalam satu kesatuan tekstual, yang dipandu oleh penyatuan atau perubahan perspektif.

Instruksi-instruksi yang ditunjukkan teks merangsang bayangan mental dan menghidupkan gambaran yang diberikan oleh struktur teks. Jadi gambaran mental itu muncul selama proses membaca struktur teks. Pemenuhan makna teks terjadi dalam proses ideasi (pembayangan dalam benak pembaca) yang menerjemahkan realitas teks ke dalam realitas pengalaman personal pembaca. Secara konkret, isi nyata dari gambaran mental ini sangat dipengaruhi oleh gudang pengalaman pembaca sebagai latar referensial. Konsep implied reader memungkinkan kita mendeskripsikan efekefek struktur sastra dan tanggapan pembaca terhadap teks sastra.


DAFTAR PUSTAKA
Abrams, M. H. 1981. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt, Rinehart and Winston

Adams, Hazard. 1971. Critical Theory Since Plato. New York: Harcout Brace Jovanovich, Inc.

Al-Mausu’ah al-syi’riyyah. tt. Abu Dabi: Al Majma’ al Tsaqafiy lil Imarat al Arabiyyah al Muttahidah. Versi CD.

Badawi, M. M. 1975. A Critical Introduction to Modern Arabic Poetry. Cambridge: Cambridge University Press.

Bartens, Kees. 1985. Filsafat Barat Abad XX, jilid II, Perancis. Jakarta: Gramedia

Beeston A.F.L. dkk. 1983. Arabic Literature to The End of The Umayyad Period. Cambridge: Cambridge University Press.

Culler, Jonathan. 1981. Structuralist Poetics: Structuralism, Linguistics and the Study of Literature. London: Routledge & Kegan Paul.

Damono, Sapardi Djoko. 1977. Sosiologi Sastra. Jakarta: Dikti Depdikbud.

Darma, Budi. 2004. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas.

Eagletton, Terry. 1983. Literary Theory: an Introduction. Great Britain: TJ Press.

Fokkema, D.W dan Elurd Kunne-Ibsch. 1977. Theories of Literature in the Twentieth Century. London: C. Hurst & Company.

Hartoko, Dick. 1982. “Pencerapan Estetik dalam Sastra Indonesia” dalam Basis, XXXV 1 Januari. Yogyakarta: Andi Offset.

Hartoko, Dick. 1986. Kamus Populer Filsafat. Jakarta: CV Rajawali.

Holland, Norman. 1968. The Dynamics od Literary Response. New York: State University Press.

Iser, Wolfgang. 1978. The Act of Reading: a Theoru of Aesthetic Response.

Balitmore and Londong: The John Hopkins University Press.

Jauss, HR. 1982. Toward an Aesthetic of Reception. Minneapolis: University of Minnesota Press.

Juwairiyah. 2004. Sejarah Sastra Arab Masa Jahili. Surabaya: Fakultas Adab IAIN Surabaya dan Penerbit Sumbangsih.

Lesser, Simon O. 1962. Fiction and The Unconscious. New York: State Universitu Press.

Mawardi, Muhammad Ja’far. 2003. Perbandingan Syair Jarir, Farozdaq, dan Akhtol. Surabaya: Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel.

Nasr, Muhammad Ibrahim. 1994. Al-Adab. Riyad: Jami’ah al-Imam Muhammad ibn Saud al-Islamiyyah.

Noth, W.1990. Handbook of Semiotics. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press.

Pradopo, Rachmat Djoko.1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: UGM Press

Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry: Bloomington and London: Indiana University Press.

Santoso, Puji.2003. Bahtera Kandas di Bukit: Kajian Semiotika Sajak-Sajak Nuh. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri

Sarhan, Muhammad. 1978. Al-Adab al-Arab wa Tarikhuhu fi al-Ashr al-Jahili. Beirut: Dar al-Fikr.

Selden, Rahman. 1991. Panduan Pembaca Teori Sastra masa Kini. Diterjemahkan oleh Rachmat D. Pradopo. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Suwondo, Tirto.2003. Studi Sastra: Beberapa Alternatif. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.

Taum, Yoseph Yapi. 1997. Pengantar Teori Sastra. Flores: Nusa Indah.

Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Teeuw, A.1980. “Estetik, Semiotik, dan Sejarah Sastra” dalam Basis No. 301. Bulan Oktober.

Teeuw, A.1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Van Luxemburg, Jan, dkk. 1986. Pengantar Ilmu Sastra. Diindonesikan oleh Dick Hartono. Jakarta: Gramedia.

Wellek, Rena dan Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.


Sumber:
Yusuf, Kamal. 2009. Teori Sastra: Modul Kuliah. Fakultas Adab, Jurusan Bahasa dan Sastra Arab, IAIN Sunan Ampel Surabaya

No comments:

Post a Comment