Saturday, September 7, 2013

Sinopsis Novel “Pengakuan Pariyem” Karya Linus Suryadi

Sinopsis Novel “Pengakuan Pariyem” Karya Linus Suryadi 

Pariyem adalah seorang pembantu rumah tangga keluarga ningrat yang bernama Raden Tumenggung Cokro Sentono.

Awal pertama dimulai Linus dengan cerita asal-muasal Pariyem, dari Wonosari, sebuah desa di perbatasan timur Yogyakarta, deretan Pegunungan Seribu yang kering tandus. Disana Pariyem lahir, dibesarkan dan mencecap masa kanak-kanak yang ceria. Pariyem mengaku sebagai Katolik, sebuah identitas keagamaan yang lumrah bagi kalangan disana paska 66, untuk menghidari sangkaan sabagai orang komunis.

Sebagai suatu keluarga besar yang dekat dengan seni ‘kerakyatan’ (ayahnya pemain ketoprak, ibunya sinden), tak pelak lagi merupakan target utama pembantaian, walau keluarga mereka tak tahu apa-apa tentang politik Jakarta. Era tahun 1980-an, yang marak dengan petrus (penembakan misterius) mengilhami Linus untuk membaca ulang pembantaian paska 66 dengan novel ini. Sejarah berdarah-darah yang sama telah berulang, dengan kemasan yang lebih rapi , sistematik dan gelap. Setelah melapor sini-situ,apel disana-sini, maka orang tua Pariyem kembali hidup jadi petani “tapi cuma menggarap bengkok pak Sosial” ujar Pariyem. Dari seniman ke buruh tani.

Suasana kejawaan kental meliputi keseluruhan novel. Mulai dari awal lahirnya Pariyem sampai kehidupan di kota, sebagai babu. Potret jawa modern pun ditampilkan Linus, dengan menceritakan dua anak dari Raden Cokro Sentono, yaitu Raden bagus Ario Atmojo dan Ndoro Putri Wiwit Setiowati. Mereka kuliah, calon sarjana, menempel poster artis idola dikamar mereka, merokok sigaret dan melanglang buana naik motor ke pelosok kota Yogya, layaknya orang muda haus hal-hal baru.

Khas generasi pertama keluarga jawa modern yang sedang menemukan adaptasi modernisasi yang dirasa pas, dan tentu tak lupa tradisi. Atmojo yang terampil berpantun jawa dan Setiowati yang luwes menari jawa. Betapa semua yang mereka miliki jadi anti-tesis modernisasi yang melanda kota Yogyakarta pada era 80-an. Modern, tapi kosong, tak berjiwa.

Dalam masa pengabdiannya, ia menjalin hubungan asmara dengan Raden Bagus Ario Atmojo, putra sulung majikannya, hingga membenihkan janin di dalam perutnya.

Wiwit Setiowati, adik Ario Atmojo adalah orang pertama yang mengetahui tentang kehamilan Pariyem. Peristiwa itu dilaporkan kepada orang tuanya tanpa sepengetahuan Pariyem, yang tidak ingin meminta pertanggungjawaban dari perbuatan Ario Atmojo. Pada malam hari, setelah selesai makan Pariyem disidang oleh Raden Tumenggung Cokro Sentono.
Dalam persidangan itu Pariyem merasa takut dan memunculkan segala prasangka buruk. Ia berpikir bahwa nanti akan diusir majikannya. Ternyata prasangka itu adalah tidak benar. Anak dalam perut Pariyem diakui sebagai cucu dari Raden Tumenggung Cokro Sentono, tetapi dengan berbagai syarat. Syarat itu adalah selama mengandung hingga melahirkan Pariyem harus tinggal di Wonosari Gunung Kidul, rumahnya dan setelah anaknya sudah berusia satu tahun, Pariyem harus meninggalkan anaknya untuk mulai bekerja lagi. Pariyem pun menyanggupinya.

Bagi seorang Ibu, meninggalkan anaknya adalah hal yang terberat untuk dilakukan. Oleh karena itu, demi anak semata wayangnya ia rela bolak-balik Wonosari – Yogyakarta setiap bulan atau kadang setiap minggu.


Monumen Sutardji Calzoum Bachri


Oleh: Maman S. Mahayana

Ketika Sutardji Calzoum Bachri (SCB) memproklamasikan Kredo Puisinya: “membebaskan kata dari beban makna, menghancurkan penjajahan gramatika, dan mengembalikan kata pada awalnya, pada mantera” dan coba mengimplementasikan sikap kepenyairannya itu dalam karya, jagat sastra Indonesia–khasnya puisi— seketika seperti dilanda kegandrungan eksperimentasi. Semangat kembali pada tradisi dan kultur etnik –yang dirumuskan Abdul Hadi WM sebagai kembali ke akar kembali ke sumber— laksana memasuki zaman aufklarung: menyebarkan pencerahan betapa sesungguhnya Nusantara punya warisan kultur agung.

Kumpulan puisi Sutardji Calzoum Bachri, O, Amuk, Kapak (1973) yang sarat mantera seperti saklar yang mengingatkan sastrawan—penyair pada corak keindonesiaan yang menjelma dengan semangat dan elan baru. Bukankah keindonesiaan terbentuk melalui perjalanan panjang dan rumit proses akulturasi dan inkulturasi etnisitas berhadapan dengan kebudayaan Hindu, Buddha, Islam, dan belakangan Barat? Di sana kultur etnik menjadi akar dengan tradisi sebagai sumber wawasan estetiknya. Kembali ke kultur etnik, kembali ke tradisi, itulah gerakan estetik yang diusung sastrawan tahun 1970-an.

Sutardji Calzoum Bachri dan sastrawan seangkatannya memahami tradisi tidak lagi sebagai sesuatu yang statis, selesai, dan dilupakan yang dikatakan oleh generasi Surat Kepercayaan Gelanggang dengan “… kami tidak ingat kepada me-laplap hasil kebudayaan lama sampai ber-kilat dan untuk dibanggakan….” Tradisi bagi sastrawan Angkatan 70-an ini ditempatkan sebagai sesuatu yang dinamis, elastis, terus hidup dan dihidupi masyarakatnya. Maka, ia harus selalu berada dalam semangat melakukan tafsir ulang sesuai dengan keperluan masa kini. Dikatakan Abdul Hadi, tradisi bukan sekadar produk sejarah, melainkan juga sebagai sistem pengetahuan holistik yang berkaitan dengan kehadiran rahasia Yang Transenden dalam kehidupan. Dengan semangat itulah, SCB memperlakukan tradisi Melayu yang melahirkan dan membesarkannya sebagai sumber wawasan estetiknya. Ia menjadi alat kesadaran untuk berbuat—mengungkap-mengucap.

Salah satu sarana untuk mengungkap-mengucap itu adalah puisi. Dan SCB memahami benar, bahwa puisi bermain dalam tataran bahasa dengan kata sebagai intinya. Maka, ia meneroka hakikat kepenyairannya dalam cengkeraman kegelisahan yang hidup yang pencariannya tidak sekadar mencipta ilham atau mengolah kata sebagaimana yang dilakukan Chairil Anwar. Puisi bukan sekadar menghidupkan kembali bahasa yang sudah usang (arkaik) menjadi lebih segar sebagaimana yang dilakukan Amir Hamzah. Juga tidak sebatas memanfaatkan bahasa sehari-hari sebagai alat ucap yang penuh vitalitas, seperti yang diperlihatkan Chairil Anwar.

Bagi SCB, tugas penyair adalah melakukan penjelajahan, menukik—mengorek sampai ke inti kata. Mencipta kata dan membiarkan menemukan maknanya sendiri. Di sinilah, pesan spiritualitas SCB mengembalikan kata pada mantera akan menyesatkan jika ditafsirkan secara letterlijk, harafiah! Pesan spiritualitasnya mesti dimaknai lebih jauh sebagai salah satu upaya mengembalikan rahasia yang transenden sebagai ruh puisi. Maka, puisi bukan semata-mata deretan kata-kata yang membangun makna sintaksis—semantis, melainkan kata yang dapat memancarkan sihir, ritme yang membangun sugesti, dan ekspresi yang dapat menghidupkan saklar imajinasi, inspiring untuk membawa pembaca—pendengarnya menerbangkan asosiasinya ke wilayah pengalaman spiritualitas masing-masing. Puisi harus menyimpan kekuatan magis yang membetot pembaca—pendengarnya ke dalam wilayah transendensi yang mahaluas, tak terbatas ruang dan waktu.

Di situlah SCB berhasil melampaui vitalitas Chairil Anwar dan generasi Surat Kepercayaan Gelanggang yang minta-minta warisan dari kebudayaan dunia. SCB tidak mendurhaka pada Mak Budayanya (Melayu), sekaligus juga tidak bermaksud me-laplap sampai berkilat. Ia membangun wawasan estetiknya dari usaha menafsir ulang tradisi dan sekaligus menghidupinya kembali. Itulah yang dikatakannya sebagai upaya melupa dan mengingat. Dengan begitu, karya-karya SCB laksana simbol perlawanan—pemberontakan estetik pada mitos Chairil Anwar dan sekalian membongkar stagnasi makna metafisik Amir Hamzah, bahkan juga Hamzah Fansuri. Tetapi, ia juga mengenang kembali semangat transendensi sufistik. Begitulah, SCB sesungguhnya coba melupa mantera dan mengingat sihirnya. Ia menghapus pantun dan menorehkan spontanitas sampirannya. Ia juga coba menenggelamkan pencarian dan kerinduan sufistik dan memancarkan semangat spiritualitasnya, penemuannya, dan ekspresi kreatifnya.

Harus diakui, pada dasawarsa 1950-an, Ajip Rosidi coba menawarkan kultur keindonesiaan sebagai lahan garapan sastrawan yang kemudian memunculkan begitu banyak kosa-kata bahasa daerah. Tetapi pengucapannya belum lepas dari pengaruh Chairil Anwar dan sastrawan seangkatannya. Seperti Mohammad Yamin yang memperkenalkan tubuh soneta dalam jiwa pantun. Bentuk luar dan kemasannya seolah-olah baru, meskipun isinya belum beranjak dari cengkeraman jiwa yang lama.

Itulah salah satu yang menjadikan akar (kultur ibu—Mak Budaya) dan sumber (tradisi) yang dihidupkan kembali dalam puisi-puisi SCB membawa penyadaran atas keberlimpahan kultur keindonesiaan yang sesungguhnya. Heterogenitas yang sudah mengada sejak lahirnya, bahkan juga sejak dalam kandungan. Di situlah kultur etnik seketika terangkat menjadi kesadaran akan kekayaan kultural. Tradisi serempak jadi bahan pencarian. Tipografi diperlakukan sebagai asesori penting. Kata-kata—bahasa tidak sekadar alat permainan dan sekaligus ukuran kualitas kesastrawanan, melainkan coba didekonstruksi dan dimaknai kembali secara bebas sesuai tuntutan jiwa puisi itu sendiri. Dan manakala SCB harus mempertanggungjawabkan ekspresi puitiknya di depan publik dalam sebuah pementasan, puisi serta-merta menjadi pentas bergengsi. Pembacaan puisi bergerak, membentuk pementasan artistik yang bermartabat. Pembacaan puisi menjadi pagelaran produk budaya yang asyik ditonton!

Dalam pentas dunia, sastra Indonesia kini tak lagi sebagai warga sastra dunia, melainkan menjelma bagian dari sastra dunia itu sendiri. Maka, ketika para pengamat sastra Indonesia –dalam dan luar negeri—secara seksama mencermati karya-karya SCB berikut kiprah kesastrawanannya selama hampir empat dasawarsa ini (Periksa esai-esai dalam buku Raja Mantra Presiden Penyair, Jakarta: Yayasan Panggung Melayu, 2007), Chairil Anwar dan penyair berikutnya mendadak surut ke belakang. Berada dalam cengkeraman ngiau.

Popo Iskandar mengungkapkan, bahwa eksplorasi SCB lebih mendalam dibandingkan Chairil Anwar. Konteks pernyataan itu tentu saja bukan pada perbedaan zaman, melainkan pada usaha melakukan penggalian pada hakikat kata, mengorek sampai ke inti kata yang kelak bakal menjadi ruh, jiwa, dan tubuh puisi. Itulah semangat penyair yang hidup. Ia bukan penulis puisi yang cukup menderetkan kata-kata yang membangun rangkaian makna. Penyair adalah pencipta dunia lewat kata-kata. Ia juga seorang pesulap, pawang kata-kata yang piawai menyimpan filosofi seninya, estetika, wawasan, elan, bahkan ideologinya tentang kesenian, kemanusiaan, dan kehidupan. “Ia adalah ruh, semangat, mimpi, obsesi, dan igauan dan kelakar batin yang menjasad dalam bunyi yang diucapkan dan sering dituliskan dalam kata-kata…” begitulah ucap SCB.

Berbagai tanggapan kemudian bermunculan, tetapi tidak ada yang coba membandingkan reputasi dan kebesaran SCB dengan Chairil Anwar. Bahkan A. Teeuw dan Umar Junus, menyebutkan puisi SCB, seperti POT atau SHANG HAI dan beberapa puisi SCB lainnya yang semodel dengan itu sebagai tak ada artinya. Meski begitu, dalam esainya “Terikat pada Pembebasan Kata” (Tergantung pada Kata, Jakarta: Pustaka Jaya, 1980) A. Teeuw, menyatakan, “… saya tidak menyangkal pula kekuatan dan keorisinalan pendekatan puisi Sutardji. Dialah yang paling radikal dan berani merombak sistem bahasa dalam perontaannya untuk mencari jejak Tuhan….” Dalam esai itu juga, A. Teeuw menegaskan, bahwa SCB berhasil mencipta sendiri makna kata-kata yang digunakannya di luar konvensi bahasa yang berlaku. Sejumlah penyair senior juga tiba-tiba seperti mengalami sindrom buah apel, yaitu ketika seorang melabeli anggur yang menggantung di atas kepalanya sebagai masam, karena ia tidak sanggup meraihnya.

Sesungguhnya, sejauh manakah capaian estetik SCB? Relevankah kita mambandingkan monumen yang telah ditancapkan Chairil Anwar atau para penyair lainnya dengan monumen (: capaian estetik) SCB? Jika Dami N. Toda (“SCB: Datu Teknik Perpuisian Indonesia Modern: Studi Bentuk Diksi Puitik O, Amuk, Kapak, 1981”) menempatkan Chairil Anwar sebagai mata kanan dan SCB sebagai mata kiri sastra Indonesia, maka saya –setelah coba mendalami ceruk kedalaman puisi-puisi SCB, coba menangkap makna di balik kesederhanaan dan kelincahpiawaian naratif cerpen-cerpennya, mencermati pandangan kritis para pengamat sastra Indonesia tentang Sutardji Calzoum Bachri dan terhanyut saat menjelajahi filsafat seninya dalam Isyarat (2007), rasanya saya harus berkesimpulan: Sutardji Calzoum Bachri lebih besar dari Chairil Anwar!

(Maman S. Mahayana, Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia)


Sumber: http://goesprih.blogspot.com


Gerak Perjalanan Estetik Cerpen Indonesia


Oleh: Maman S. Mahayana

Cerita pendek Indonesia dalam satu dasawarsa ini, agaknya makin mengukuhkan jati dirinya. Ia tak hanya muncul seperti gelombang yang secara kuantitatif melampaui penerbitan novel dan drama, tetapi juga seperti menempatkan dalam mainstream-nya sendiri. Maka, tidak dapat lain, pembicaraan mengenai cerpen Indonesia, mesti dilekatkan pada dirinya an sich dan bukan sebagai tempelan atau sekadar pelengkap. Kini cerpen Indonesia menunjukkan jalan hidupnya yang lebih mandiri. Kajian kritis terhadapnya dan pembicaraan cerpen dalam institusi (pendidikan) sastra, oleh karena itu, mesti berada dalam kotak tersendiri.

Dalam konteks membangun kritik, masalah estetika merupakan salah satu wilayah garapan yang terpusat pada teks. Wilayah lainnya menyangkut pembaca, penerbit, dan pengarang. Dalam wilayah yang disebut terakhir inilah, kita berhadapan dengan berbagai hal yang menyangkut diri pengarang, termasuk di dalamnya persoalan tokoh dan ketokohan seseorang. Jadi, ketika kita berbicara mengenai seorang Sutardji Calzoum Bachri atau siapa pun, kita akan menelusuri kegelisahan kulturalnya, pencarian dan pencapaian estetik dalam ragam sastra yang dimasukinya, tempatnya yang pas dalam sejarah sastra, dan berbagai hal yang melingkarinya. Gagasan dari manakah yang menyatakan pembicaraan kepengarangan (ketokohan) seseorang dalam konteks membangun kritik (criticism) dianggap tak relevan?

Berdasarkan pemahaman itu, perbincangan mengenai kecerpenan siapa pun yang muncul belakangan ini justru menjadi sangat signifikan. Ia tak sekadar relevan dengan kondisi objektif lahirnya sejumlah nama dengan kegelisahan dan style yang masing-masing terasa begitu khas, tetapi juga lantaran sampai sejauh ini, cerpen Indonesia mutakhir terkesan tak punya hubungan dengan gerakan cerpen sebelumnya. Ia seperti tercerabut dari masa lalunya. Bagaimana sesungguhnya peta perjalanan cerpen kita? Belum lagi yang menyangkut gerakan estetiknya yang juga belum banyak diangkat sebagai sebuah wacana perdebatan. Jadi, diskusi soal kecerpenan itu, penting untuk memetakan perjalanan cerpen Indonesia sebagai bagian tak terpisahkan dari kesusastraan dan wilayah kebudayaan Indonesia secara keseluruhan.

Bagaimanapun juga, pembicaraan tokoh dan ketokohan, di dalamnya termasuk karya-karya (berikut soal estetik) yang telah dihasilkannya. Bagaimana mungkin kita membicarakan kepengarangan seorang yang tak berkarya? Jika ada perbincangan kritis atas ketokohan seseorang, konteksnya mengacu pada karya yang dihasilkannya, dan bukan pada peranan sosial yang tak berhubungan dengan kepengarangannya. Sebaliknya, pembicaraan ini menjadi tak berdasar jika secara gegabah, kita memejamkan mata terhadap dinamika cerpen Indonesia mutakhir dan menafikan semangat estetiknya. Sekadar berdiri mematung lantaran terpukau oleh estetika masa lalu, tentu saja tidak sehat bagi sebuah perkembangan. Dengan begitu, kisah sukses capaian estetik masa lalu, hendaknya tidak dalam kerangka bernostalgia, tetapi menempatkannya dalam konteks perjalanan sejarah.

Begitulah, untuk menatap perspektif dan berbagai kemungkinan capaian estetik cerpen Indonesia kontemporer ini, tidak dapat lain, kita mesti mencari alat ukur dan bahan pembandingnya. Dalam hubungan itu, maka perbincangan cerpen Indonesia yang muncul dalam satu dasawarsa terakhir ini tidak berarti serta-merta mengubur capaian estetik yang telah ditorehkan sebelumnya. Dengan membenamkan itu –apalagi dengan mematikannya seperti yang dilansir Hudan Hidayat—kita akan kehilangan alat komparasi. Di samping itu, mengingat adanya beberapa kesesatan dalam menempatkan kelahiran dan perjalanan cerpen Indonesia, maka perbincangan ini menjadi sangat relevan, penting, dan mendesak.

“Dalam catatan sejarah kesusastraan Indonesia, cerpen merupakan genre sastra yang jauh lebih muda usianya dibandingkan dengan puisi dan novel. Tonggak terpenting sejarah penulisan cerpen di Indonesia dimulai oleh cerita-cerita M. Kasim (bersama Suman Hs.) pada awal tahun 1910-an, yang memperkenalkan bentuk tulisan berupa cerita-cerita yang pendek dan lucu. Sejak saat itulah, di Indonesia mulai dikenal bentuk penulisan cerita pendek (cerpen).” Demikian salah satu bagian dari keterangan yang terdapat dalam buku Horison Sastra Indonesia 2: Kitab Cerita Pendek (2002: xiii—xiv).

Pandangan ini sejalan dengan gagasan yang dilontarkan Ajip Rosidi (Tjerita Pendek Indonesia, 1959) yang juga menempatkan Muhammad Kasim dan Soeman Hs sebagai perintis cerpen Indonesia. Dengan bersumberkan majalah Pandji Poestaka (1923) yang banyak memuat cerita-cerita lucu M. Kasim –belakangan diterbitkan sebagai kumpulan cerita lucu, Teman Duduk, 1936—Ajip menelusuri jejaknya dari tradisi sastra lisan penglipur lara dengan tokoh-tokoh si Kabayan, Lebai Malang, dan Jaka Dolog.

Itulah kesesatan serius dalam menempatkan kelahiran cerpen Indonesia. Bagaimana mungkin karya-karya M. Kasim dalam Pandji Poestaka mendahului cerita-cerita sejenis yang dimuat majalah Sri Poestaka (1918), dan majalah atau suratkabar yang terbit jauh sebelum itu, seperti Biang-lala (Batavia, 1868; dwimingguan), Sahabat Baik (Betawi, 1891; tidak teratur), Pewarta Prijaji (Semarang, 1900; bulanan), Soenda Berita (Cianjur, 1903; mingguan), Bintang Hindia (Bandung, 1903; dwimingguan), Medan Priyayi (Batavia, 1907; harian), Poetri Hindia (Betawi, 1908; dwimingguan), Bok-Tok (Surabaya, 1913; mingguan). Majalah Sahabat Baik, bahkan secara jelas mencantumkan subjudulnya seperti ini: “Hikayat, tjerita, dongeng, sjair, pantoen, dan lain-lain daripada itu.”

Meskipun para penulis cerita ringan dan lucu itu, sebagiannya masih menggunakan nama samaran, setidak-tidaknya cerpen Kanaiki “Trang Boelan Terkenang”, Delima “Djiwa Manis Haloes Tipoenja”, dan Rineff (Rustam Effendi) “Djoerang jang tiada dapat di djembatani” masih dapat kita lacak nama aslinya melalui karya lain atau tanggapan terhadap karya-karya itu. Pasalnya, dalam karya berikutnya atau dari tanggapan pembaca, pengarang sering kali mencantumkan nama aslinya jika ia menyinggung karya sebelumnya atau jika ia menjawab tanggapan pembaca itu.

Kesesatan lain terjadi lantaran hampir semua pengamat sastra Indonesia menafikan keberadaan suratkabar dan majalah. Padahal media massa ini justru menjadi bagian penting dalam sistem reproduksi karya sastra (cerpen, puisi, dan cerita bersambung). Sejak awalnya (akhir abad ke-19) sampai zaman Jepang, hampir tidak ada cerpen yang dipublikasikan langsung dalam bentuk buku. Ia muncul lewat penerbitan media massa. Dalam hal ini, cerpen tidak dapat dipisahkan dari majalah dan suratkabar. Dari sanalah, cerpen Indonesia lahir dan berkembang, dan memperoleh bentuk yang lebih jelas pada tahun 1930-an.

Pada zaman Jepang, cerpen menjadi makin populer ketika pemerintah pendudukan Jepang banyak menyelenggarakan lomba penulisan cerpen. Dari sejumlah cerpenis waktu itu, A.S. Hadisiswoyo, Muhammad Dimyati, Rosihan Anwar pernah memenangi lomba penulisan cerpen. Beberapa nama lain yang karyanya banyak muncul di media massa pada masa itu, antara lain, Sanusi Pane, Armijn Pane, dan D. Djokokoesoemo.

Pada tahun 1950-an, cerpen Indonesia makin mapan keberadaannya. Derasnya pengaruh asing, munculnya semangat kedaerahan, pudarnya dominasi pengarang Sumatra, dan terbitnya berbagai media massa –termasuk majalah Prosa dan Tjerita Pendek yang dikelola Ajip Rosidi– memberi kesempatan munculnya cerpenis dari pelosok tanah air. Bersamaan dengan itu, adanya ruang kebebasan untuk berekspresi, mendorong keberanian melakukan berbagai eksperimen.

Secara struktural, inovasi yang dilakukan lebih banyak menyangkut tema cerita dan tampak masih ada keterikatan pada konvensi. Dengan begitu, dilihat dari sudut gagasan yang ditawarkan, gerakan estetiknya lebih menekankan pada aspek tema. Riyono Pratikto (Api dan Si Rangka), misalnya menampilkan kisah-kisah dunia gaib yang diangkat dari cerita-cerita rakyat; Rendra (“Mungkin Parmo Kemasukan Setan”) menggugat disiplin Katolik, Ramadhan KH (“Antara Kepercayaan”) mengecam kepicikan penganut tradisional Islam dan Kristen; Pramoedya Ananta Toer (Subuh) mengangkat kepedihan lahir-batin akibat perang, dan Navis (“Robohnya Surau Kami”) meledek kepercayaan taklid. Sementara itu, Iwan Simatupang (“Lebih Hitam dari Hitam”), Sitor Situmorang (“Salju di Paris”) dan P. Sengojo (Sengkuni) mengisahkan kegelisahan dan kekacauan pikiran yang bertumpang-tindih dengan tindakan.

Jika sebelumnya, agama dan kepercayaan ditempatkan begitu suci dan terhormat, dalam sejumlah cerpen tahun 1950-an itu, agama tiba-tiba menjadi alat permainan. Eksplorasi pada kekacauan pikiran dan kegelisahan psikologis digunakan sebagai sarana menyampaikan eksperimen. Akibatnya, pikiran dan perasaan si tokoh tampak liar, tak terduga, dan aneh.

Memasuki masa Orde Baru dan terus menggelinding sampai tahun 1970-an, kondisi itu seperti berulang kembali, bahkan jauh lebih luas pengaruhnya. Putu Wijaya, Danarto, Kuntowijoyo –sekadar menyebut tiga nama—menjadi sangat menonjol dalam deretan nama cerpenis waktu itu. Teror Putu Wijaya, nafas sufistik Danarto–Kuntowijoyo seolah-olah begitu memukau dalam kemasan dunia jungkir-balik. Realitas cerpen seperti hendak dikembalikan lagi pada hakikatnya: cerita. Maka, logika formal tidak berlaku di sana. Dibanding generasi sebelumnya, cerpenis tahun 1970-an telah berhasil membangun estetikanya justru sejak awal kemunculannya. Dengan estetikanya itu, mereka tetap bertahan sampai kini. Jadi selain nafasnya panjang, juga estetika yang ditawarkannya mengakar kokoh hingga dapat bertahan lebih dari tiga dasawarsa.
Kita akan tetap menemukan style dan greget (estetika) yang tak jauh berbeda jika kita membandingkan cerpen Putu Wijaya (“Ini Sebuah Surat”, 1970 atau "Bom", 1978) atau Danarto (“Godlob” atau “Armageddon”) dengan cerpen terbarunya (Putu Wijaya, "Tidak", 1999; Danarto, "Setangkai Melati di Sayap Jibril", 2001).

Kuatnya bangunan estetik cerpenis tahun 1970-an itu, memungkinkan mereka dapat bernafas panjang dan tetap bertahan di tengah bermunculannya generasi berikutnya. Kekuatan bangunan estetik ini –harus diakui— justru tak begitu tampak pada cerpenis yang oleh Korrie Layun Rampan dimasukkan ke dalam kotak Angkatan 2000. Sebelum itu, Seno Gumira Ajidarma –lewat Penembak Misterius (1993) dan Saksi Mata (1994)—memang berhasil menawarkan style jurnalistik dalam cerpen-cerpennya. Pengaruhnya juga tampak pada sejumlah cerpenis berikutnya. Tetapi beberapa cerpen terakhir Seno mulai terasa tidak sekuat karya awalnya. Apakah estetika yang dibangun Seno dapat bertahan sampai entah kapan?

Pertanyaan serupa sesungguhnya dapat kita ajukan kepada cerpenis mutakhir kita. Peluang ke arah sana tentu saja masih terbuka. Kurnia JR, lewat Kereta Berangkat Senja—awalnya sungguh menjanjikan. Tetapi kini keberadaannya entah di mana. Yanusa Nugroho niscaya akan dapat bertahan jika ia konsisten dengan dunia Jawa-nya. Lalu, bagaimana pula dengan Joni Ariadinata, Taufik Ikram Jamil, Oka Rusmini, Abidah el Khalieqy, Agus Noor, Hudan Hidayat, Gus tf Sakai, Herlino Soleman dan deretan nama lain yang bertaburan?

Sebagai cerpenis, agaknya mereka akan terus bertahan. Tetapi, berdasarkan karya yang telah mereka hasilkan, sangat mungkin banyak pula yang berguguran. Jamil, Rusmini, Sakai, jika konsisten mengeksplorasi kultur etnik, peluang bertahan tetap terbuka. Bahkan, sangat mungkin akan menghasilkan monumen jika konsistensi itu dipelihara terus. Masalah konsistensi ini juga tentu saja berlaku bagi Khalieqy –lewat pendalaman kisah-kisah sufi—jika ia ingin tetap bertahan. Sementara Noor dan terutama, Hidayat kebertahanannya bergantung pada kemampuannya menjaga kegelisahan psikis. Dan itu menuntut keduanya membongkar buku-buku Sigmund Freud, Carl G. Jung, dan teori psikologi modern. Tanpa itu, keduanya –barangkali—sekadar bertahan untuk tidak masuk degradasi.

Bahaya besar justru dihadapi Joni Ariadinata. Penemuan estetik yang ditawarkannya dalam Kali Mati (1999), ternyata kurang dapat dipelihara dengan baik dalam beberapa cerpennya yang kemudian (Kastil Angin Menderu, 2000; Air Kaldera, 2000). Padahal, di antara nama-nama tadi, Joni telah sangat meyakinkan membuat inovasi; menoreh bangunan estetik –yang mengingatkan kita pada salah satu klub sepakbola Italia, Chievo Verona. Jika tak berhati-hati, meski tak mengalami degradasi, paling banter ia bertahan di papan tengah.

Mesti diakui, sejumlah besar cerpenis Indonesia mutakhir, belum teruji oleh waktu. Mencermati karya-karya yang dihasilkannya, memang tampak seperti sebuah gerakan yang mengusung sebuah mainstream-nya sendiri. Banyak hal yang sungguh menjanjikan. Tetapi, janji tetap janji. Ia harus dibuktikan bukan janji kosong, melainkan sebuah monumen! Nah! Hanya waktu jualah yang kelak menentukan.

(Maman S. Mahayana, Pengajar FSUI, Depok).

Sumber: http://goesprih.blogspot.com



Friday, September 6, 2013

Momentum Sastra Monumental


Oleh: Maman S Mahayana

Sastra tidak datang dari langit. Tidak juga diturunkan para malaikat. Sastra lahir dari proses yang kompleks. Ke belakang, ada kegelisahan sastrawan dalam menyikapi situasi sosial di sekitarnya. Ke depan, ada visi tertentu yang menjadi tujuan. Pada saat karya itu terbit, ada momentum. Momentum inilah yang sering kali justru membawa karya itu menjadi monumen. Sejarah telah berbicara banyak mengenai itu.

Puisi Muhammad Yamin, “Indonesia Tumpah Darahku” (1928) muncul dengan momentum Sumpah Pemuda. Ia menjadi monumental lantaran terbit pada saat dan peristiwa yang tepat. Padahal, dilihat dari semangat keindonesiaan, Yamin mengawalinya lewat antologi puisi Tanah Airku (1922) yang dari perspektif estetika dan tema Indonesia yang diusungnya, punya kualitas yang tak jauh berbeda. Keadaan yang sama terjadi pada naskah drama Bebasari (1926) Rustam Effendi. Sesunguhnya, ditinjau dari berbagai aspek, Bebasari sangat pantas ditempatkan sebagai perintis, tetapi tokh ia tetap tenggelam dan orang lebih banyak membicarakan antologi puisinya, Percikan Permenungan (1926).

Novel Azab dan Sengsara (1920) karya Merari Siregar juga sebenarnya perintis untuk novel terbitan Balai Pustaka. Tetapi yang menonjol kemudian Sitti Nurbaya (1922) karya Marah Rusli yang lebih dramatis dan Salah Asuhan 1928) karya Abdoel Moeis yang ketika itu, masalah persamaan hak sedang menjadi isu aktual. Bahkan, pada cetakan ke-9 (1990), cetakan pertama karya Merari Siregar tertulis tarikh 1927 yang mengesankan adanya pemanipulasian sejarah. Sementara itu, novel lain karya Adinegoro, Muhammad Kasim, Tulis Sutan Sati, Hamka, dan Suman Hs, jadinya sekadar pelengkap tema sejenis.

Begitulah, sejumlah karya sastra Indonesia seperti punya nasibnya sendiri. Karya-karya itu bagai bayi yang dilahirkan prematur, lewat operasi caesar, atau secara normal. Tetapi, masing-masing akan menggelinding, membawa garis peruntungannya sendiri, dan melemparkan atau melambungkan pengarangnya entah ke mana: tenggelam atau cemerlang.

Nasib novel Belenggu (1940) karya Armij Pane, lain lagi. Redaktur Balai Pustaka menilai novel itu lucah dan tidak senonoh. Bukankah perselingkuhan dokter (Tono) dengan pelacur (Yah) dapat menjatuhkan reputasi dokter? Balai Pustaka pun tak mau menerbitkan. Tetapi, Sutan Takdir Alisjahbana menilainya lain. Novel itu bagus, banyak menyodorkan hal baru. Penerbit Dian Rakyat, milik Alisjahbana, serta-merta menerbitkannya. Belakangan novel itu menghebohkan dan menjadi salah satu monumen perjalanan novel Indonesia.

Keadaannya berbeda dengan yang terjadi pada Suwarsih Djojopuspito atas novelnya Manusia Bebas (1975). Novel ini selesai ditulis tahun 1937 dalam bahasa Sunda. Setelah diindonesiakan, naskahnya dikirim ke penerbit Balai Pustaka, namun ditolak karena isinya menyuarakan semangat nasionalisme. Tahun 1940, novel ini terbit dalam bahasa Belanda di Utrecht, Belanda, berjudul Buiten het Gareel (Di Luar Garis) dengan kata pendahuluan diberikan E. D. Perron. Jika saja novel itu diterbitkan Balai Pustaka akhir tahun 1930-an, boleh jadi ia akan menjadi monumen mengingat penggambaran tokoh wanita dan temanya mengangkat persoalan nasionalisme. Ketika novel itu terbit dalam bahasa Indonesia tahun 1975, ia sudah kehilangan momentum.

Chairil Anwar lain lagi ceritanya. Sutan Takdir Alisjahbana yang waktu itu menjadi redaktur Balai Pustaka, menolak puisi-puisi “Binatang Jalang” itu, karena semangatnya yang aneh dan tak sesuai dengan estetika Pujangga Baru. Redaktur Balai Pustaka yang lebih muda, H.B. Jassin, menyimpan naskah puisi itu di laci kerja dan tak mengembalikan pada penyairnya. Setelah Alisjahbana tak lagi duduk di jajaran redaktur penerbit itu dan Jassin punya kewenangan, diterbitkanlah puisi-puisi Chairil Anwar. Lalu, apa yang terjadi setelah itu? Nama Chairil Anwar justru menjadi monumen perpuisian Indonesia.

***

Perjalanan nasib sebuah karya memang penuh misteri. Novel Pulang (1958) karya Toha Mohtar dianggap sebagai salah satu novel psikologis terbaik. Pada awalnya, ia lahir dari proses keterpaksaan. Sebagai redaktur majalah Ria (1952-1953), Toha Mohtar kerap dipusingkan oleh ketiadaan naskah. Untuk mengisi kekosongan itu, diusulkan pemuatan cerita bersambung. Usul itu diterima. Tetapi, celakanya, sampai menjelang majalah itu terbit, naskah yang ditunggu belum juga datang. Tak ada pilihan, Toha Mohtar sendiri yang harus mengisinya. Mulailah ditulis bagian pertama cerita bersambung itu dengan nama pena Badarijah UP. Setelah rampung seluruhnya, baru diterbitkan penerbit Pembangunan. Dua tahun kemudian novel itu memperoleh Hadiah Sastra BMKN tahun 1960.

Momentum sering menentukan nasib sebuah karya. Tak jarang justru menjadi faktor utama yang mengangkat reputasi. Itulah yang dialami Iwan Simatupang. Banyak pengamat sastra Indonesia menempatkan Merahnya Merah (1968) sebagai novel pertamanya, karena ia terbit lebih awal. Padahal, Ziarah (1969) selesai ditulis Iwan tak lama setelah kematian istrinya, Cornelia Astrid van Geem tahun 1960, dan Merahnya Merah rampung setahun kemudian (1961). Karya pertamanya drama "Bulan Bujur Sangkar" ditulis di Eropa (1957) dipublikasikan tahun 1960, dan nyaris tak mendapat tanggapan apa pun. Tahun 1966, terbit dua drama berikutnya, "RT Nol/RW Nol" dan "Petang di Taman", tetapi juga tak ada sambutan.

Karya Iwan Simatupang mulai menghebohkan, bahkan memunculkan polemik, justru setelah terbit Merahnya Merah dan terutama Ziarah. Tampak di sini, tanggapan atas novel Iwan Simatupang begitu semarak, bersifat polemis, dan penting bagi perkembangan kritik sastra. Sangat mungkin tanggapan pembaca akan berbeda jika novel itu terbit tahun 1960-an ketika politik menjadi panglima. Jadi, terbitnya novel Iwan Simatupang selepas tragedi 1965, seperti memperoleh momentum. Sejak itu berlahiran karya sejenis dari sastrawan lain yang memperlihatkan semangat eksperimentasi. Iwan Simatupang menjadi tokoh penting. Betapa ramai tanggapan pembaca, dapat dilihat dari semua tulisan tentang Iwan Simatupang yang mencapai lebih dari 300-an, mulai resensi, esai sampai disertasi.

Sementara itu, Taufiq Ismail nyaris kehilangan momentum. Di sela-sela aksi demonstrasi yang merebak selepas tragedi 1965, ia membacakan sejumlah puisinya yang masih berceceran. Sebagian dibawa rekannya, Soe Hok Djin (Arief Budiman), sebagian yang lain berdesakan dalam tas ranselnya yang dibawa terus ke mana pun. Musibah terjadi. Di stasiun Gambir, tas ransel itu raib. Tirani dan Benteng yang terbit dalam bentuk stensilan itulah sejumlah puisi Taufiq Ismail yang dibawa Soe Hok Djin. Belakangan, H.B. Jassin menempatkan antologi puisi itu sebagai ikon sastrawan Angkatan 66.

Nasib novel Cermin Merah (2004) Nano Riantiarno, lebih unik lagi. Tahun 1973, naskah novel ini rampung dan segera ditawarkan ke sejumlah penerbit. Namun, semua menolak karena temanya “berbahaya”. Tak putus asa, Nano mendatangi suratkabar dan majalah agar memuat novel itu sebagai cerita bersambung. Hasilnya sama: menolak karena isinya menyinggung peristiwa 1965 dan persoalan homoseksual. Selama hampir 20 tahun naskah itu tersimpan rapi, meski semangat untuk menerbitkannya sudah berantakan.

Ketika Dewan Kesenian Jakarta menyelenggarakan Sayembara Menulis Novel 2003, di antara keputusasaan dan semangat yang redup, Nano Riantiarno mengirimkannya ke Panitia sayembara itu. Dewan Juri, Sapardi Djoko Damono, Budi Darma, dan Maman S. Mahayana, sepakat memilih Cermin Merah masuk 10 besar. Belakangan setelah diputuskan para pemenangnya, baru diketahui, Cermin Merah adalah karya Nano Riantiarno, yang juga menjadi Juri Sayembara Penulisan Naskah Drama DKJ 2003. Bahwa Cermin Merah masuk 10 besar, pertimbangannya, selain narasinya yang lancar mengalir dan begitu filmis, secara tematik, menyodorkan hal baru berkenaan dengan kehidupan homoseks yang digambarkan lewat sentuhan kuat aspek psikologis dan sosiologis. Begitu juga, teknik berceritanya yang mempermainkan flashback dan di beberapa bagian menyelusup imaji-imaji liar yang agak surealis, menjadikan novel itu kaya style.

Setelah Grasindo menerbitkan novel itu, sambutan pembaca cukup mencengangkan. Selain masuk nomine Khatulistiwa Award (2004), juga sedikitnya ada ratusan komentar mengenai novel itu, termasuk polemik yang terjadi di Millis Pasar Buku. Bagus juga novel itu terbit setelah tumbang rezim Orde Baru, jika tidak, tentu Nano Riantiarno akan menghadapi serangkaian pencekalan.

***

Momentum yang membawa karya tertentu jadi monumen, tentu saja yang terutama lantaran kualitasnya. Tetapi, penerbitan pada momen, peristiwa, zaman, dan penerbit yang tepat, tidak jarang ikut berpengaruh. Keluarga Gerilya (1948) Pramoedya Ananta Toer, adalah salah satu novel Indonesia terbaik. Tetapi, ia seperti tenggelam ketika tetralogi Bumi Manusia (1980) terbit pada saat rezim Orde Baru berada di puncak kekuasaan.

Saman (1998) Ayu Utami, di samping kualitasnya kuat, terbit pada momen yang tepat. Ia bagai memberi inspirasi bagi penulis perempuan lain sejalan dengan perubahan zaman. Secara tematis, Namaku Teweraut (2000) Ani Sekarningsih, Tarian Bumi (2000) Oka Rusmini, Supernova (2001) Dewi Lestari, Jendela-Jendela (2001) Fira Basuki, Cala Ibi (2003) Nukila Amal, Dadaisme (2004) Dewi Sartika, Geni Jora (2004) Abidah el Khalieqy, Tabularasa (2004) Ratih Kumala, sesungguhnya berpotensi menghebohkan jika saja novel-novel itu terbit sebelum Saman.

Dalam persoalan seks yang menjadi tema cerita, novelis perempuan yang kemudian tampak seperti berlomba menelanjangi diri sendiri. Tentu akan sangat menghebohkan jika karya-karya itu terbit sebelum Saman. Sebut saja, Ode untuk Leopold von Sacher—Masoch (2002) Dinar Rahayu, Nayla (2005) dan sejumlah cerpen Djenar Maesa Ayu, Mahadewa Mahadewi (2003) Nova Riyanti Yusuf atau Swastika (2004) Maya Wulan. Kehebohan Saman sesungguhnya juga tidak terlepas dari faktor momentum.

***

Begitulah, kisah di balik sukses karya-karya monumental, menegaskan, bahwa karya sastra lahir dari sebuah proses yang rumit, penuh misteri. Ia tidak dapat melepaskan diri dari berbagai faktor yang mengelilinginya: pengarang, penerbit—temasuk di dalamnya redaktur dan editor, pembaca, masyarakat, dan pemerintah. Di antara kepungan berbagai faktor itulah karya sastra menggelinding membawa nasibnya, mencari dan menemukan momentumnya sendiri. (Maman S. Mahayana, Pengajar FIB-UI, Depok)



 

Sumber: http://mahayana-mahadewa.com


Tuesday, September 3, 2013

Sinopsis Novel “Nayla” Karya Djenar Maesa Ayu


Nayla seorang anak yang pada waktu kecil mendapat hukuman badan dari ibu kandungnya. Saat usia Nayla masih belasan Ibu masih sering menghukum Nayla dengan menusukan peniti di vagina dan selangkangannya, hanya karena Nayla mengompol saat malam hari. Hukuman-hukuman yang diberikan Ibu kadang tidak sesuai dengan kesalahan yang dilakukan Nayla. 
Ibu juga mengajarkan Nayla untuk membenci Ayah kandungnya sendiri. Ibu juga sering mengajak Nayla untuk menemui laki-laki yang menjadi teman kencan Ibu. Ibu bahkan mengejak seorang laki-laki untuk tinggal di rumah. Nayla pun mengalami pelecehan seksual oleh lelaki simpanan Ibu yang tinggal di rumah.

Nayla merasa tertekan ikut dengan ibu dan tidak kuat dengan hukuman-hukuman yang diberikan Ibu. Nayla pun memutuskan untuk mencari ayah dan tinggal bersama ayah. Keputusannya itu membuat Ibu marah. Setelah dua bulan Nayla tinggal bersama Ayah, Ayah jatuh sakit dan meninggal dunia. Nayla pun memutuskan kembali ke rumah Ibu. Tetapi Ibu menutup rapat pintu rumahnya bahkan menyetujui keputusan Ibu tiri Nayla yang mengirim Nayla ketempat Panti Rehabilitasi Anak Pengguna Narkoba. Setelah keluar dari Panti itu Nayla pun hidup di jalanan. Nayla mengenal dunia malam bahkan Nayla menjadi seorang lesbian. 

 
Tokoh Juli membuat Nayla jatuh cinta pada perempuan. Juli yang pertama kali menolong Nayla saat Nayla tidak punya tempat untuk mengadu. Juli pun pergi karena merasa Nayla tidak bisa mencintai Juli lagi. Nayla pun sering berkencan dengan laki-laki lain. Sampai dia bertemu dengan Ben, laki-laki kaya yang memberikan segalanya buat Nayla tetapi tidak memberikan kepuasan batin. Nayla pun putus dengan Ben karena Nayla tidak mencintainya dengan sepenuh hati.

Nayla pun mencoba kemampuannya dalam menulis. Beberapa kali karyanya ditolak oleh beberapa media cetak. Tulisannya yang berjudul Laki-Laki Binatang akhirnya diterbitkan. Hal ini membuat nama Nayla Kinar menjadi terkenal karena tulisannya tentang tokoh Ibu yang ada dalam karya sastra. Tokoh Ibu yang membaca karya Nayla menjadi marah karena merasa yang ditulis Nayla merupakan gambaran dari diri Ibu dan laki-laki simpanannya. Nayla menjadi terkenal sampai diminta memvisualkan karya. Tetapi tokoh Nayla tidak bisa menggambarkan tokoh Ibu. Nayla tidak tahu bagaimana menggambarkan tokoh Ibu.