BAB V
STRUKTURALISME DAN EKSISTENSIALISME
Kendati eksistensialisme tidak berhubungan langsung dengan strukturalisme, eksistensialisme menjadi salah satu pemicu lahirnya strukturalisme. Eksistensialisme sebagaimana yang dibawa oleh Jean Paul Sartre (Perancis), Albert Camus (Perancis), dan Martin Heidegger (Jerman) adalah filsuf, namun dapat juga muncul dalam bentuk sastra. Kecuali menjadi filsuf, Jean Paul Sartre, misalnya adalah novelis, penulis drama, dan esais. Albert Camus, sementara itu, juga menulis novel. Di antara Sartre, Camus, dan Heidegger, hanya Heidegger lah yang tidak menulis sastra.
Eksistensialisme sebetulnya sudah ada pada abad kesembilan belas sebagaimana yang dibawakan oleh Soren Kierkegaard dan Karl Jaspers. Pada abad kesembilan belas, eksistensialisme dibawakan dan dianut oleh orang-orang yang percaya Tuhan, dan karena itu eksistensialisme abad kesembilan belas adalah teistik. Eksistensialisme abad kedua puluh, sebaliknya, dibawakan ileh orang-orang yang tidak percaya Tuhan, dan karena itu ateistik.
Dalam Perang Dunia II, sebagaimana yang dapat diketahui dari sejarah, Jerman memperoleh kemenangan di berbagai medan perang baik di Eropa maupun Afrika. Bangsa negara-negara yang diserbu Jerman berdoa agar Jerman cepat dikalahkan dan perang cepat usai. Namun, perang justru berkelanjutan, dan Jerman justru terus menerus mendapat kemenangan yang gemilang. Kenyataan bahwa perang terus berkelanjutan dan Jerman terus mang inilah yang memicu Sartre dan Camus untuk meragukan keberadaan Tuhan. Akhirnya, inilah salah satu awal yang memicu keyakinan Sartre dan Camus untuk menjadi ateis. Karena Tuhan turun tangan, maka tanggung jawab untuk memerangi Jerman terletak pada tangan manusia sendiri, tanpa bantuan siapa pun. Demikianlah, akhirnya Sartre memutuskan terjun dalam pasukan bawah tanah untuk melawan Jerman. Dengan keyakinan yang sama, Camus menggabungkan diri.
Menurut eksistensialisme abad kedua puluh, manusia dilahrikan begaikan dilemparkan begitu saja ke dunia. Apa yang terjadi pada seseorang yang telah terlanjut dilemparkan ke dunia adalah tanggung jawan dia sendiri. Dia memiliki pilihan untuk menjadi apa pun. Setelah dia mengambil pilihan dia sendiri, maka tanggung jawab seluruhnya terletak di tangannya sendiri bukan orang lain, bukan juga Tuhan, sebab Tuhan tidak ada. Dalam interaksi dengan orang lain pun, masing-masing orang memiliki pilihan sendiri, dan akibat pilihannya itu dia memikul tanggung jawab atas pilihannya itu.
Sementara itu, siapapun juga tidak mungkin hidup sendiri, dan karena itu harus berinteraksi dengan orang-orang lain dan dengan pihak-pihak lain. Dalam interaksi pasti akan timbul masalah, dan masalah pasti akan menimbulkan pilihan: memilih ini atau memilih itu. Karena akhirnya semua merupakan tanggung jawab sendiri, maka tanggung jawab ini dapat menimbulkan rasa takut, atau dalam bahasa eksistensialisme-nya disebut angst.
Seseorang, misalnya, bebas untuk menjadi serdadu atau untuk tidak menjadi serdadu. Kalau sudah menjadi serdadu, dia bebas untuk melakukan desersi atau tetap menjalankan perintah-perintah komandannya. Dan kalau dia melakukan desersi maka keputusan untuk melakukan desersi adalah tanggung jawabnya sendiri, bukan pada keadaan lain yang menyebabkan dia memutuskan untuk melakukan disersi. Maka bila dia ditangkap dan kemudian dihukum berat, hukuman itu merupakan akibat dari pilihan dia sendiri. Begitu pula seandainya dia tidak melakukan disersi, tapi terus melaksanakan perintah-perintah komandonya, dan kemudian dia ditembak musuh pada waktu melaksanakan perintah atasannya, kematiannya juga merupakan tanggung jawab dia sendiri, bukan tanggung jawab komandonya.
Setiap pilihan, dengan demikian, pasti mempunyai konsekuensi. Karena setiap konsekuensi dapat mendatangkan petaka, maka kehidupan ini penuh dengan angst atau ketakutan. Inilah intisari filsafat eksistensialisme ateis abad kedua puluh, dan ini pulalah yang mewarnai novel dan drama Sartre dan Camus. Semua tokoh dalam karya sastra mereka ateis, semua menentukan pilihannya sendiri, semua menanggung risiko dan bertanggung jawab atas pilihannya sendiri, dan semua tidak percaya Tuhan.
Simpul-simpul eksistensialisme tampak juga dalam sastra Indonesia sebagaimana yang terdapat dalam novel Mochtas Lubis, Jalan Tak Ada Ujung. Ada kisah segi tiga dalam novel ini, yaitu Guru Isa, istri Guru Isa, Fatimah, dan Hazil. Guru Isa adalah seseorang yang sangat lembut dan penakut, namun sekonyong-konyong terlempar ke dalam kancah perjuangan. Hazil, seorang lakilaki gagah berani, karena pilihannya sendiri menjadi pejuang bawah tanah. Fatimah tampak alim dan tampak setia kepada suaminya, namun sebetulnya berhidung belang. Dia mempermainkan suaminya dengan jalan bermain api di tampat tidur suaminya, dan saking asyiknya, pipa hungcai Hazil tertinggal di bawah bantal. Keberadaan tiga orang ini diikat oleh suatu ikatan eksistensialistis. Guru Isa ada atau eksis karena Fatimah ada, Fatimah ada karena Guru Isa ada, dan mereka ada karena Hazil ada, dan Hazil ada karena mereka ada.
Karena sudah terlanjur terlempar dalam hubungan eksistensialitis, masing-masing mereka memiliki kebebasan untuk memilih, dan masing-masing pula yang harus menaggung akibat pilihannya sendiri. Guru Isa bebas untuk tidak terlibat perjuangan, namun, karena ajakan Hazil, dia terlibat perjuangan. Ketika dia ditangkap musuh dan disiksa, yang bertanggung jawab bukan Hazil, namun dia sendiri. Hazil juga bebas untuk berjuang atau tidak berjuang dan mempengaruhi Guru Isa atau tidak. Dia memutuskan menjadi pejuang dan ketika dia ditangkap dan disiksa, dia harus mempertanggungjawabkannya sendiri. Sebuah ironi, berwujud angst kemudian terjadi. Guru Isa terlibat dalam perjuangan dalam keadaan takut dan tertekan. Hazil, sebaliknya, terlibat dalam perjuangan karena yakin bahwa dia gagah berani. Setelah ditangkap dan disiksa, Guru Isa kehilangan tasa takut dan kehilangan rasa tertekan, sedangkan hazil tibatiba dikuasai rasa takut yang luar biasa hebat.
Hubungan antara Guru Isa, Fatimah, dan Hazil adalah hubungan yang absurd. Mereka berjumpa karena kebetulan karena tahu-tahu mereka sudah terlempar dalam satu kancah. Kebetulan ini melahirkan kebebasan: Guru Isa bebas untuk membiarkan dirinya terseret ke dalam perjuangan, Fatimah bebas untuk bermain-main dengan Hazil atau tidak, dan Hazil juga bebas untuk memutuskan hubungan dengan mereka dan juga untuk tidak menjadi pejuang. Karena mereka memilih untuk bersatu dan berasa dalam satu kancah, akhirnya segala sesuatunya menjadi absurd.
Makna absurd bisa bermacam-macam, namun makna pokok absurd dalam filsafat absurdisme adalah kesia-kesiaan dan ketidakbermaknaan. Hidup adalah sia-sia, hidup adalah tanpa makna. Absurditas sebagai sebuah titik pemikiran eksistensialisme kemudian dikembangkan oleh Albert Camus menjadi sebuah filsafat tersendiri. Maka, muncullah filsafat absurdisme, yang tidak lain merupakan pengembangan dari sebuah titik pemikiran eksistensialisme. Pemikiran Sartre mengenai kebebasan absurditas menjadi landasan kuat filsafat abdurdisme.
Tokoh-tokoh dalam karya sastra Camus mempunyai kebebasan untuk memilih apa pun sesuai dengan pilihannya sendiri dan bertanggung jawab atas pilihannya sendiri. Mereka menganggap hidup sia-sia dan tanpa makna. Kalau ada apa-apa, mereka menggantungkan diri kepada mereka sendiri, dan bukan kepada Tuhan sebab bagi mereka Tuhan tidak ada.
Contoh penerapan filsafat absurdisme tampak dalam semua karya Camus, antara lain dalam novel Orang Asing. Mersault, protagonis novel ini, bebas untuk membunuh atau tidak membunuh. Karena dia membunuh, dia tidak berkeberatan untuk diadili dan dihukum mati. Pendeta berkali-kali datang menemuinya untuk mohon ampun kepada Tuhan, tetapi dia tidak mau karena bagi dia Tuhan tidak ada. Dia menjalani hukuman mati dengan tenang karena kalau pun dia tetap hidup, bagi dia hidup hanyalah absurditas, sia-sia, dan tanpa makna.
Gagasan pokok absurdisme dapat dilihat dalam esai Camus, mitos Sisipus, berdasarkan kisah Sisipus dalam mitologi Yunani Kuno. Sisipus telah menolong manusia, dan karena itu sebagaimana juga halnya Promotheus, dia dihukum untuk selama-lamanya. Hukumannya, dia harus mendorong batu besar ke puncak bukit dan setelah batu besar itu mencapai bukit, dia harus turun lagi ke bawah dan mendorong lagi batu itu ke puncak bukit, dan demikianlah seterusnya.
Pada saat mendorong batu ke atas, Sisipus menampakkan wajah yang capai dan sedih, namun sekaligus terpancar pula kebahagiaan. Setelah mencapai puncak bukit dan menggenlindingkan batu itu ke bawah lagi, dia tampak sedih dan merasa bahwa kehidupannya kosong. Itulah ibarat kehidupan manusia, manusia bekerja bersusah payah dan sedih karena pekerjaannya berat, namun kalau dia menganggur atau tidak berbuat apa-apa lagi, bagaikan Sisipus sudah sampai pada puncak bukit dan menggelindingkan batu ke bawah, manusia akan merasa sedih karena hidupnya kosong.
Kehidupan ini sendiri sebetulnya merupakan pengulangan-pengulangan sebagaimana yang dilakukan oleh Sisipus: mendorong batu ke puncak, menggelindingkan batu ke bawah, mendorong kembali batu yang sama ke atas, dan demikian seterusnya. Manusia pun demikian: setiap pagi berangkat kerja, sore pulang, dan begitu seterusnya. Dalam berjalan pun manusia melangkah dengan kaki kiri, ganti kaki kanan, da pada waktu bernapas pun manusia menarik napas, mengeluarkan napas, menarik napas lagi, dan seterusnya demikian.
Kalau manusia harus mengulang-ulang begitu terus dan akhirnya harus mati, maka sebetulnya hidup ini absurd, sia-sia tanpa makna. Namun, apa pun yang terjadi, manusia tidak dapat mengelakkan untuk hidup karena manusia terlanjur sudah dilemparkan ke dunia. Karena sudah terlanjur dilemparkan ke dunia dan karena itu terlanjur ada, maka manusia harus menentukan pilihannya sendiri, bertanggung jawab atas pilihannya sendiri, dan tidak perlu menggantungkan diri kepada Tuhan sebab Tuhan tidak ada.
Pada saat strukturalisme akan muncul, eksistensialisme mencapai puncaknya. Di kafe-kafe eksistensialisme banyak diperbincangkan, di kedai-kedai banyak kaos oblong eksistensialisme dijual, dan media masa serta mimbar akademis eksistensialime diperdebatkan dengan penuh semangat. Kepopuleran eksistensialisme inilah yang kemudian menjadi salah satu pendorong penting munculnya strukturalisme.
DAFTAR PUSTAKA
Abrams, M. H. 1981. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt, Rinehart and Winston
Adams, Hazard. 1971. Critical Theory Since Plato. New York: Harcout Brace Jovanovich, Inc.
Al-Mausu’ah al-syi’riyyah. tt. Abu Dabi: Al Majma’ al Tsaqafiy lil Imarat al Arabiyyah al Muttahidah. Versi CD.
Badawi, M. M. 1975. A Critical Introduction to Modern Arabic Poetry. Cambridge: Cambridge University Press.
Bartens, Kees. 1985. Filsafat Barat Abad XX, jilid II, Perancis. Jakarta: Gramedia
Beeston A.F.L. dkk. 1983. Arabic Literature to The End of The Umayyad Period. Cambridge: Cambridge University Press.
Culler, Jonathan. 1981. Structuralist Poetics: Structuralism, Linguistics and the Study of Literature. London: Routledge & Kegan Paul.
Damono, Sapardi Djoko. 1977. Sosiologi Sastra. Jakarta: Dikti Depdikbud.
Darma, Budi. 2004. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas.
Eagletton, Terry. 1983. Literary Theory: an Introduction. Great Britain: TJ Press.
Fokkema, D.W dan Elurd Kunne-Ibsch. 1977. Theories of Literature in the Twentieth Century. London: C. Hurst & Company.
Hartoko, Dick. 1982. “Pencerapan Estetik dalam Sastra Indonesia” dalam Basis, XXXV 1 Januari. Yogyakarta: Andi Offset.
Hartoko, Dick. 1986. Kamus Populer Filsafat. Jakarta: CV Rajawali.
Holland, Norman. 1968. The Dynamics od Literary Response. New York: State University Press.
Iser, Wolfgang. 1978. The Act of Reading: a Theoru of Aesthetic Response.
Balitmore and Londong: The John Hopkins University Press.
Jauss, HR. 1982. Toward an Aesthetic of Reception. Minneapolis: University of Minnesota Press.
Juwairiyah. 2004. Sejarah Sastra Arab Masa Jahili. Surabaya: Fakultas Adab IAIN Surabaya dan Penerbit Sumbangsih.
Lesser, Simon O. 1962. Fiction and The Unconscious. New York: State Universitu Press.
Mawardi, Muhammad Ja’far. 2003. Perbandingan Syair Jarir, Farozdaq, dan Akhtol. Surabaya: Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel.
Nasr, Muhammad Ibrahim. 1994. Al-Adab. Riyad: Jami’ah al-Imam Muhammad ibn Saud al-Islamiyyah.
Noth, W.1990. Handbook of Semiotics. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press.
Pradopo, Rachmat Djoko.1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: UGM Press
Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry: Bloomington and London: Indiana University Press.
Santoso, Puji.2003. Bahtera Kandas di Bukit: Kajian Semiotika Sajak-Sajak Nuh. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri
Sarhan, Muhammad. 1978. Al-Adab al-Arab wa Tarikhuhu fi al-Ashr al-Jahili. Beirut: Dar al-Fikr.
Selden, Rahman. 1991. Panduan Pembaca Teori Sastra masa Kini. Diterjemahkan oleh Rachmat D. Pradopo. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Suwondo, Tirto.2003. Studi Sastra: Beberapa Alternatif. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.
Taum, Yoseph Yapi. 1997. Pengantar Teori Sastra. Flores: Nusa Indah.
Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Teeuw, A.1980. “Estetik, Semiotik, dan Sejarah Sastra” dalam Basis No. 301. Bulan Oktober.
Teeuw, A.1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Van Luxemburg, Jan, dkk. 1986. Pengantar Ilmu Sastra. Diindonesikan oleh Dick Hartono. Jakarta: Gramedia.
Wellek, Rena dan Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.
Sumber:
Yusuf, Kamal. 2009. Teori Sastra: Modul Kuliah. Fakultas Adab, Jurusan Bahasa dan Sastra Arab, IAIN Sunan Ampel Surabaya
No comments:
Post a Comment