Thursday, May 19, 2011
Sastra Sejarah dan Sejarah dalam Sastra
Membaca “Penangsang" karya NasSirun PurwOkartun sungguh membuat saya kagum terhadap pengarangnya. Bagaimana tidak, “Penangsang” disuguhkan kepada kita sebagai karya sastra yang mumpuni dilihat sebagai novel pertama lahir dari pengarangnya. Selama ini Kang Nass –panggilan akrabnya– lebih terkenal sebagai seorang kartunis. Sebagai sebuah novel karya pertama, “Penangsan”g menunjukkan kelas Kang Nass dalam dunia kesusastraan. Tak bisa dinihilkan bila di masa yang akan datang ia akan menjadi salah satu tokoh sastrawan penting Indonesia. Siapa tahu.
Membaca “Penangsang” adalah membaca ‘sejarah’. Kisah Pangeran Haryo Penangsang di masa Kerajaan Demak ‘didongengkan’ oleh Kang Nass agak berbeda –bahkan sangat berbeda– dengan teks sejarah dalam “Babad Tanah Jawi”. “Dalam Babad Tanah Jawi”, Haryo Penangsang digambarkan sebagai sosok yang gila kekuasaan dan sangat beringasan, hatinya selalu panas dan jiwanya mudah marah. Melalui novel ini, Kang Nass seperti ingin membalik kisah dalam “Babad Tanah Jawi”. Haryo Penangsang dalam novel ini adalah sosok pemberani, pembela kebenaran dan keadilan, serta penganut ajaran Islam yang bersih, sekaligus penentang sinkretisme di tanah Jawa yang gigih.
Tindakan Kang Nass tersebut membalikkan sejarah dalam “Babad Tanah Jawi” yang selama ini ‘diamini’ khalayak sebagai sebuah kebenaran. Penangsang telah melakukan dekonstruksi sejarah.
Sekali lagi, sejarah diutak-atik. Tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Contoh paling mudah adalah: Pangeran Diponegoro bagi sejarah bangsa Indonesia adalah seorang pahlawan yang sangat dihormati, sedangkan bagi sejarah Belanda, Pangeran Diponegoro adalah seorang ekstrimis, pembangkang dan pemberontak.
Dekontruksi Sejarah dalam Karya Sastra
Ngomong-ngomong soal dekonstruksi sejarah mengingatkan kita pada sosok Pramodya Ananta Toer. Karya-karya Pram memang erat berlilitkan dengan peristiwa sejarah, khususnya sejarah yang dikungkung oleh kekuasaan. Pram memandang sejarah sebagai sebuah perjuangan untuk menciptakan wacana baru dalam masyarakat yang telah dikungkung oleh wacana lain yang telah mapan. Sejarah harus disikapi sebagai sesuatu yang dialektis, sesuatu yang bisa dan boleh diubah karena nilai sebuah peristiwa dalam sejarah selalu tidak bisa lepas dari kekuasaan atau wacana tertentu yang mengukungnya (lihat: Satoto dan Fananie (edt), 2000: 285).
Dalam novel “Arok Dedes” kita juga dapati dekonstruksi sejarah. Satu hal yang mencolok yang didekonstruksi Pram adalah asal-usul, karakteristik, dan perjuangan tokoh Arok dalam merebut kekuasaan dari Tunggul Ametung. Dalam teks sejarah “Serat Pararaton Ken Arok”, asal-usul Ken Arok jelas yakni Putra Brahmana yang dititipkan melalui rahim Ken Endog. Sejarah asa-usul tersebut melegitasi kedudukan Ken Arok sebagai raja. Sedangkan bagi Pram, –melalui kisah “Arok Dedes”– Arok adalah tokoh yang silsilahnya tidak jelas. Arok adalah seorang bocah desa, wong cilik, rakyat kecil yang dengan perjuangannya mampu menjadi raja. Pram seolah ingin mengatakan bahwa wong cilik pun dapat menjadi orang besar.
Dalam beberapa teks sejarah memang terdapat beberapa cuil bagian peristiwa yang tidak ‘diunggah’ dan dikisahkan atau dengan kata lain ‘tidak disejarahkan’. Tentu saja hal tersebut dilakukan dengan pertimbangan dari pihak yang berkepentingan dalam menetapkan mana peristiwa yang patut dijadikan sejarah dan mana peristiwa yang harus dihilangkan. Dalam keadaan seperti itu, maka karya sastra menjadi alternatif untuk mensejarahkan peristiwa yang semestinya disejarahkan.
Ahmad Tohari melalui Trilogi “Ronggeng Dukuh Paruk” mencoba mensejarahkan peristiwa yang semestinya disejarahkan tersebut. Dalam RDP, Ahmad Tohari mengungkap peristiwa-peristiwa yang ditutupi oleh kekuasaan otoriter. Dalam RDP kita kenal ‘episode gelap’, yaitu beberapa naskah asli RDP yang terpaksa disimpan oleh penerbit karena berisikan hal-hal yang diperkirakan dapat menyulitkan penerbit maupun pengarangnya. Episode gelap tersebut mengisahkan kejadian-kejadian pahit yang harus dialami tahanan politik G.30S/PKI di suatu tempat di Jawa Tengah pada pertengahan tahun 1966 (lihat: Satoto dan Fananie (edt), 2000: 285).
Sejarah dalam Sastra
Diangkatnya peristiwa sejarah –sedikit maupun banyak– dalam karya sastra memunculkan pertanyaan bagi kita: Bisakah sastra sejarah dijadikan rujukan sejarah? Atau dengan kalimat tanya lain: Apakah sastra sejarah bisa dipertanggungjawabkan nilai kesejarahannya?
Menurut Kuntowijoyo (1995), sejarah itu berbeda dengan sastra dalam hal: cara kerja, kebenaran, hasil keseluruhan, dan kesimpulan. Sastra adalah pekerjaan imajinasi, kebenaran di tangan pengarang, dengan perkataan lain bersifat subjektif. Sastra bisa berakhir dengan pertanyaan, sedang sejarah harus memberikan informasi selengkap-lengkapnya.
Kita lihat karya Pram yang memang banyak mengangkat sejarah, yang terkenal adalah Tetralogi Pulau Buru. Menurut Teeuw, roman-roman Pulau Buru, yakni “Bumi Manusia”, “Anak Semua Bangsa”, “Rumah Kaca”, dan “Jejak Langkah” adalah roman yang mencitrakan sejarah. Tetralogi Pulau Buru mencitrakan sejarah karena roman ini ditulis berdasarkan peristiwa sejarah periode awal pergerakan nasionalisme Indonesia di satu sisi, tetapi di sisi lain ia sangat didominasi oleh imajinasi Pram sendiri sebagai seorang sastrawan.
Memang, substansi karya sastra tidaklah lepas dari unsur imajinatif sekaligus fiktif. Seorang pengarang mengolah karya sastra dari apa yang dialami dan dilihatnya dengan imajinasi dan kreativitasnya. Karya sastra adalah tiruan dunia nyata. Tiruan berbeda dengan yang ditiru. Semirip apapun dengan aslinya, tiruan tetaplah tiruan. Jika sebuah karya sastra sama persis 100% dengan sejarah, maka kita katakan itu bukanlah karya sastra. Karya sastra memang harus berbeda dengan kisah sejarah. Maka, sastra sejarah dapatlah kita jadikan sebagai salah satu alternatif dalam memahami sejarah.
Sukrisno,
Sukoharjo, 27 April 2011
00.30 WIB
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment