Saturday, September 7, 2013

Sinopsis Novel “Pengakuan Pariyem” Karya Linus Suryadi

Sinopsis Novel “Pengakuan Pariyem” Karya Linus Suryadi 

Pariyem adalah seorang pembantu rumah tangga keluarga ningrat yang bernama Raden Tumenggung Cokro Sentono.

Awal pertama dimulai Linus dengan cerita asal-muasal Pariyem, dari Wonosari, sebuah desa di perbatasan timur Yogyakarta, deretan Pegunungan Seribu yang kering tandus. Disana Pariyem lahir, dibesarkan dan mencecap masa kanak-kanak yang ceria. Pariyem mengaku sebagai Katolik, sebuah identitas keagamaan yang lumrah bagi kalangan disana paska 66, untuk menghidari sangkaan sabagai orang komunis.

Sebagai suatu keluarga besar yang dekat dengan seni ‘kerakyatan’ (ayahnya pemain ketoprak, ibunya sinden), tak pelak lagi merupakan target utama pembantaian, walau keluarga mereka tak tahu apa-apa tentang politik Jakarta. Era tahun 1980-an, yang marak dengan petrus (penembakan misterius) mengilhami Linus untuk membaca ulang pembantaian paska 66 dengan novel ini. Sejarah berdarah-darah yang sama telah berulang, dengan kemasan yang lebih rapi , sistematik dan gelap. Setelah melapor sini-situ,apel disana-sini, maka orang tua Pariyem kembali hidup jadi petani “tapi cuma menggarap bengkok pak Sosial” ujar Pariyem. Dari seniman ke buruh tani.

Suasana kejawaan kental meliputi keseluruhan novel. Mulai dari awal lahirnya Pariyem sampai kehidupan di kota, sebagai babu. Potret jawa modern pun ditampilkan Linus, dengan menceritakan dua anak dari Raden Cokro Sentono, yaitu Raden bagus Ario Atmojo dan Ndoro Putri Wiwit Setiowati. Mereka kuliah, calon sarjana, menempel poster artis idola dikamar mereka, merokok sigaret dan melanglang buana naik motor ke pelosok kota Yogya, layaknya orang muda haus hal-hal baru.

Khas generasi pertama keluarga jawa modern yang sedang menemukan adaptasi modernisasi yang dirasa pas, dan tentu tak lupa tradisi. Atmojo yang terampil berpantun jawa dan Setiowati yang luwes menari jawa. Betapa semua yang mereka miliki jadi anti-tesis modernisasi yang melanda kota Yogyakarta pada era 80-an. Modern, tapi kosong, tak berjiwa.

Dalam masa pengabdiannya, ia menjalin hubungan asmara dengan Raden Bagus Ario Atmojo, putra sulung majikannya, hingga membenihkan janin di dalam perutnya.

Wiwit Setiowati, adik Ario Atmojo adalah orang pertama yang mengetahui tentang kehamilan Pariyem. Peristiwa itu dilaporkan kepada orang tuanya tanpa sepengetahuan Pariyem, yang tidak ingin meminta pertanggungjawaban dari perbuatan Ario Atmojo. Pada malam hari, setelah selesai makan Pariyem disidang oleh Raden Tumenggung Cokro Sentono.
Dalam persidangan itu Pariyem merasa takut dan memunculkan segala prasangka buruk. Ia berpikir bahwa nanti akan diusir majikannya. Ternyata prasangka itu adalah tidak benar. Anak dalam perut Pariyem diakui sebagai cucu dari Raden Tumenggung Cokro Sentono, tetapi dengan berbagai syarat. Syarat itu adalah selama mengandung hingga melahirkan Pariyem harus tinggal di Wonosari Gunung Kidul, rumahnya dan setelah anaknya sudah berusia satu tahun, Pariyem harus meninggalkan anaknya untuk mulai bekerja lagi. Pariyem pun menyanggupinya.

Bagi seorang Ibu, meninggalkan anaknya adalah hal yang terberat untuk dilakukan. Oleh karena itu, demi anak semata wayangnya ia rela bolak-balik Wonosari – Yogyakarta setiap bulan atau kadang setiap minggu.


1 comment: