Pariyem adalah seorang pembantu rumah tangga keluarga ningrat yang bernama Raden Tumenggung Cokro Sentono.
Awal pertama dimulai Linus dengan cerita asal-muasal Pariyem, dari
Wonosari, sebuah desa di perbatasan timur Yogyakarta, deretan Pegunungan
Seribu yang kering tandus. Disana Pariyem lahir, dibesarkan dan
mencecap masa kanak-kanak yang ceria. Pariyem mengaku sebagai Katolik,
sebuah identitas keagamaan yang lumrah bagi kalangan disana paska 66,
untuk menghidari sangkaan sabagai orang komunis.
Sebagai suatu keluarga
besar yang dekat dengan seni ‘kerakyatan’ (ayahnya pemain ketoprak,
ibunya sinden), tak pelak lagi merupakan target utama pembantaian, walau
keluarga mereka tak tahu apa-apa tentang politik Jakarta. Era tahun
1980-an, yang marak dengan petrus (penembakan misterius) mengilhami
Linus untuk membaca ulang pembantaian paska 66 dengan novel ini. Sejarah
berdarah-darah yang sama telah berulang, dengan kemasan yang lebih rapi
, sistematik dan gelap. Setelah melapor sini-situ,apel disana-sini,
maka orang tua Pariyem kembali hidup jadi petani “tapi cuma menggarap
bengkok pak Sosial” ujar Pariyem. Dari seniman ke buruh tani.
Suasana
kejawaan kental meliputi keseluruhan novel. Mulai dari awal lahirnya
Pariyem sampai kehidupan di kota, sebagai babu. Potret jawa
modern pun ditampilkan Linus, dengan menceritakan dua anak dari Raden
Cokro Sentono, yaitu Raden bagus Ario Atmojo dan Ndoro Putri Wiwit
Setiowati. Mereka kuliah, calon sarjana, menempel poster artis idola
dikamar mereka, merokok sigaret dan melanglang buana naik motor ke
pelosok kota Yogya, layaknya orang muda haus hal-hal baru.
Khas generasi
pertama keluarga jawa modern yang sedang menemukan adaptasi modernisasi
yang dirasa pas, dan tentu tak lupa tradisi. Atmojo yang terampil
berpantun jawa dan Setiowati yang luwes menari jawa. Betapa semua yang
mereka miliki jadi anti-tesis modernisasi yang melanda kota Yogyakarta
pada era 80-an. Modern, tapi kosong, tak berjiwa.
Dalam
masa pengabdiannya, ia menjalin hubungan asmara dengan Raden Bagus Ario
Atmojo, putra sulung majikannya, hingga membenihkan janin di dalam
perutnya.
Wiwit
Setiowati, adik Ario Atmojo adalah orang pertama yang mengetahui
tentang kehamilan Pariyem. Peristiwa itu dilaporkan kepada orang tuanya
tanpa sepengetahuan Pariyem, yang tidak ingin meminta pertanggungjawaban
dari perbuatan Ario Atmojo. Pada malam hari, setelah selesai makan
Pariyem disidang oleh Raden Tumenggung Cokro Sentono.
Dalam
persidangan itu Pariyem merasa takut dan memunculkan segala prasangka
buruk. Ia berpikir bahwa nanti akan diusir majikannya. Ternyata
prasangka itu adalah tidak benar. Anak dalam perut Pariyem diakui
sebagai cucu dari Raden Tumenggung Cokro Sentono, tetapi dengan berbagai
syarat. Syarat itu adalah selama mengandung hingga melahirkan Pariyem
harus tinggal di Wonosari Gunung Kidul, rumahnya dan setelah anaknya
sudah berusia satu tahun, Pariyem harus meninggalkan anaknya untuk mulai
bekerja lagi. Pariyem pun menyanggupinya.
Bagi seorang Ibu, meninggalkan anaknya adalah hal yang terberat untuk dilakukan. Oleh karena itu, demi anak semata wayangnya ia rela bolak-balik Wonosari – Yogyakarta setiap bulan atau kadang setiap minggu.
Trimakasih sangat membantu
ReplyDelete