Selama ini pembelajaran sastra hanya sebagai semacam sisipan, atau “sambilan”, sedang materi utamanya adalah bahasa Indonesia (yang paling dominan adalah tata bahasa (fonologi, morfologi, dan sintaksis).
Kalaupun sastra diajarkan oleh guru bahasa Indonesia, itu pun secara sepintas lalu, maka umumnya mereka hanya mengajarkan sastra secara teoretis, tidak apresiatif.
Materi atau bahan yang diberikan adalah seputar sejarah, teori, dan sedikit kritik sastra. Kritik sastra pun sangat terbatas hanya dengan pendekatan struktural, bahkan struktur pun dengan pemahaman yang sangat terbatas dan kuno. Padahal teori dan pendekatan dalam kritik sastra telah berkembang pesat. Pembelajaran sastra selama ini lebih bersifat teoritis daripada apresiatif. Ciri pembelajaran teoritif adalah tidak adanya kesempatan siswa untuk melibatkan diri dalam proses penemuan materi. Materi berasal dari guru dan siswa hanya menghafal atau memahaminya.
Dalam proses pembelajaran sastra siswa harus dilibatkan. Siswa tidak boleh 'dijajah' untuk menerima pengajaran sastra dari guru tanpa mempunyai kesempatan untuk mengekspresikan dirinya dalam mengapresiasi sastra. Maka, perlu adanya pembelajaran sastra yang apresiatif yang memungkinkan siswa utnuk aktif menggauli sastra, menilai, dan mencipta karya sastra.
Suminto A. Sayuti mengistilahkannya dengan “Pendidikan dan Pengajaran Sastra yang Memerdekakan”. Pengajaran sastra yang memerdekakan mengisyaratkan adanya hak-hak para siswa untuk memperhitungkan latar belakang pengalaman dan pengetahuannya masing-masing dalam menyusun makna teks. (Sayuti dalam Satoto dan Fananie (ed), Sastra: Ideologi, Politik, dan Kekuasaan, 2000: 62-63)
Pelaksanaan pengajaran sastra tidak boleh hanya bertumpu pada satu teori saja yang dijadikan sandarannya. Fokus perhatian terhadap sastra yang selama ini membelenggu pelaksanaan pengajaran harus diubah: dari teks ke pembaca. Sastra yang selama ini diyakini sebagai sebuah objek, hendaknya dipertimbangkan juga sebagai pengamatan, dan pembaca bukanlah konsumen, melainkan peraga aktif yang membawa teks ke dalam kehidupan pikirannya. (Sayuti dalam Satoto dan Fananie (ed), 2000: 62)
Pembelajaran sastra mestilah pembelajaran yang apresiatif. Siswa diajak dan dipersilakan menikmati sastra, menggauli, menilai, atau mencipta sastra. Itulah apresiasi sastra.
Pembelajaran sastra yang apresiatif berarti pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk melakukan apresiasi sastra. Kegiatan apresiasi sastra ini memiliki beberapa tingkatan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Wardani (dalam Sufanti, Strategi Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, 2010: 50) bahwa proses apresiasi terdiri dari beberapa tingkatan:
- Tingkat menggemari yang ditandai oleh adanya rasa tertarik pada buku-buku sastra serta keinginan untuk membacanya.
- Tingkat menikmati yaitu mulai dapat menikmati karya sastra karena mulai tumbuhnya pengertian.
- Tingkat mereaksi yaitu mulai ada keinginan untuk menyatakan pendapat tentang karya sastra.
- Tingkat produksi yaitu mulai menghasilkan karya sastra.
Aminuddin (dalam Satoto dan Fananie (ed), 2000: 50-51) mengemukakan bahwa pembelajaran sastra di kelas harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
- Pembelajaran sastra di kelas ditandai oleh terdapatnya aktivitas membaca karya sastra, baik itu dilakukan oleh guru maupun murid.
- Guru menciptakan kelas pembelajaran sastra sebagai sebuah bentuk hubungan sosial kemanusiaan sehingga dalam pembelajaran terjadi dialog antara murid dengan murid maupun guru dengan murid.
- Guru tidak lagi 'menggurui' tetapi memberi kesempatan kepada murid untuk menyampaikan pendapatnya secara variatif, baik secara lisan maupun tertulis.
- Pembelajaran sastra di kelas sungguh-sungguh tampil sebagai sosok pembelajaran yang diisi aktivitas tukar pendapat, refleksi pemahaman, proses menyusun pengetian, mengkomunikasikan fakta, pendapat, dan pemahaman.
*Oleh: Sukrisno Santoso
No comments:
Post a Comment