Saturday, July 18, 2015

Teori dan Metode Penelitian Multidisiplin (Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra #7)

Teori dan Metode Penelitian Multidisiplin

Secara detinitif penelitian multidisiplin atau pluridisiplin adalah penelitian yang melibatkan lebih dari satu disiplin. Dasar perbedaannya adalah intensitas hubungan dan dengan sendirinya cirri-ciri ilmu yang bersangkutan. Dalam hubungan inilah dibedakan tiga macam multidisiplin, yaitu: a) multi disiplin itu sendiri, b) transdisiplin atau antardisiplin, dan c) krosdisiplin atau interdisiplin.

1. Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra atau sosiokritik dianggap sebagai disiplin yang baru. Sebagai disiplin yang berdiri sendiri, sosiologi sastra dianggap baru lahir abad ke-18, ditandai dengan tulisan madame de Stael (Albrecht, dkk., eds., 1970: ix; laurenson dan Swingewood, 1972: 25-27) yang berjudul De la litterature cinsideree dans ses rapports avec les institutions sociales (1800). Meskipun demikian, buku teks pertama baru terbit tahun 1970, berjudul The Sociology of Art and Literature: a Reader, yang dihimpun oleh Milton C. Albercht, dkk. Ada tiga indicator terpenting dalam kaitannya dengan lahirnya suatu disiplin yang baru, diantaranya: a) hadirnya sejumlah masalah baru yang menarik dan pelu dipecahkan, b) adanya metode dan teori yang relevan untuk memecahkannya, dan c) adanya pengakuan secara institusional.

Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat dan dengan demikian harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat, sebagai berikut.

  1. Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, diselin oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut anggota masyarakat.
  2. Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat.
  3. Medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui kompetensi masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung masalah-masalah kemasyarakatan.
  4. Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat-istiadat, dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetika, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat berkepentingan terhadap ketiga aspek tersebut.
  5. Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat inter subjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya.

Dengan pertimbangan bahwa sosiologi sastra adalah analisis karya sastra dalam kaitannya dengan masyarakat, maka model analisis yang dapat dilakukan meliputi tiga macam, sebagai berikut.

  1. Menganalisis masalah-masalah sosial yang terkandung di dalam karya sastra itu sendiri, kemudian menghubungkannya dengan kenyataan yang pernah terjadi. Pada umumnya disebut sebagai aspek ekstrinsik, model hubungan yang terjadi disebut refleksi.
  2. Sama dengan di atas, tetapi dengan cara menemukan hubungan antar struktur, bukan aspek-aspek tertentu, denan model yang bersifat dialektika.
  3. Menganalisis karya dengan tujuan untuk memperoleh informasi tertentu, dilakukan oleh disiplin tertentu. Model analisis inilah yang pada umumnya menghasilkan penelitian karya sastra sebagai gejala kedua.

2. Psikologi sastra
Dalam hal ini psikologi sastra menganalisis kaitannya dengan psike, dengan aspek-aspek kejiwaan pengarang. Perbedaan yang menonjol antara sosiologi sastra dengan psikologi sastra adalah subjek yang menghasilkan karya.Ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk memahami hubungan antara psikologi dengan sastra, yaitu:

  • memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis,
  • memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional dalam karya sastra, dan
  • memahami unsur-unsur kejiwaan pembaca.

Psikologi sastra yang sebagaimana dimaksudkan dalam hal ini adalah cara-cara penelitian yang dilakukan dengan menempatkan karya sastra sebagai gejala yang dinamis.

3. Antropologi sastra
Salah satu faktor yang mendorong perkembangan antropologi sastra adalah hakikat manusia sebagaimana dikemukakan oleh Ernst Cassirer (1956: 44) manusia sebagai animal symbolicum, yang sekaligus menolak hakikat manusia sebagai semata-mata animal rationale.

Secara definitif antropologi sastra adalah studi mengenai karya sastra dengan relevansi manusia (anthropos). Antropologi dibagi menjadi dua macam, yaitu antropologi fisik dan antropologi kultural, maka antropologi sastra dibicarakan dalam kaitannya dengan antropologi kultural, dengan karya-karya yang dihasilkan manusia, seperti bahasa, religi, mitos, hukum, sejarah, adat istiadat, dan karya seni khususnya karya sastra.

Lahirnya model pendekatan antropologi sastra dipicu oleh tiga sebab utama, yaitu:

  1. baik sastra maupun antropologi menganggap bahasa sebagai objek penting,
  2. kedua disiplin mempermasalahkan relevansi manusia budaya,
  3. kedua disiplin juga mempermasalahkan tradisi lisan, khususnya cerita rakyat dan mitos.

Sosiologi sastra, psikologi sastra, antropologi sastra, sebagai ilmu humaniora jelas mempermasalahkan manusia. Ketiga interdisiplin, sekaligus memberikan intensitas pada sastra dan teori sastra. Perbedaannya, psikologi sastra mempermasalahkan masyarakat, psikologi sastra pada aspek-aspek kejiwaan, antropologi sastra pada kebudayaan. Secara praktis antropologi sastra diharapkan dapat membantu memperkenalkan khazanah sastra yang terpencil dan terisolasi.


Referensi:
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme, Prespektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar


Teori-teori Komunikasi dalam Karya Sastra (Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra #6)

Teori-teori Komunikasi dalam Karya Sastra

Secara etimologis komunikasi berarti hubungan. Sebagai gejala komunikasi karya sastra sastra menunjuk pada sistem yang menghubungkan karya dengan pengarang dan pembaca. Menurut Segers (1978: 24-25) komunikasi sastra lebih rumit dibandingkan dengan komunikasi mesin. Lebih jauh, menurut Ducan (1962: 56), untuk mempelajari komunikasi, kita mesti mempelajari seni.

Salah satu ciri karya sastra yang sangat penting adalah fungsinya sebagai sistem komunikasi. Karya sastra dihasilkan melalui imajinasi dan kreativitas, sebagai hasil kontemplasi secara individual, tetapi karya sastra ditujukan untuk menyampaikan suatu pesan kepada orang lain, sebagai komunikasi. Model Jakobson, dengan enam faktor bahasa (addresser, addressee, context, message, contact, dan code) beserta enam fungsinya (emotive, conative, referential, poetic, phatic, dan metalingual), demikian juga model pendekatan Abrams (ekspresif, pragmatik, mimetik, dan objektif), dianggap sebagai ciri-ciri komunikasi yang mendasari penelitian sastra selanjutnya.

Secara garis besar komunikasi dilakukan melalui:

  1. interaksi sosial,
  2. aktivitas bahasa (lisan dan tulisan),
  3. mekanisme teknologi.

1. Pengarang: Ciri-ciri Anonimitas
Pengarang adalah anggota masyarakat biasa, sama seperti orang lain. Kemampuannya dalam menghasilkan karya sastra disebabkan oleh perbedaaan kualitas, yaitu kualitas dalam memanfaatkan emosionalitas dan intelektualitas, bukan perbedaaan jenis.

Ciri-ciri yang harus dimiliki oleh seorang pengarang, diantaranya:

  1. pengarang harus memiliki keterampilan menulis,
  2. pengarang dapat mengorganisasikan keseluruhan pengalaman,
  3. pengarang harus memiliki ketajaman emosionalitas dan intelektualitas,
  4. pengarang harus memiliki kecintaan terhadap masalah-masalah kehidupan, dan
  5. pengarang harus memiliki kekuatan imajinasi.

Fluktuasi peranan pengarang sepanjang sejarah sastra Barat dapat dijelaskan sebagai berikut:

  1. Abad pertama hingga abad ke-16, dengan diilhami oleh Longinus, memberikan intensitas pada ekspresi dan emosi.
  2. Abad Pertengahan (500-1500) pengarang sebagai pencipta kedua, pengarang sebagai semata-mata meniru Maha Pencipta. Di Indonesia tampak dalam sastra Melayu Lama.
  3. Abad Renaissance (1400-1700), pengarang sebagai kreator mulai dihargai.
  4. Abad ke-18 hingga abad ke-19 pengarang sebagai kreator yang otonom, seniman mendewakan diri, di Indonesia tampak pada Pujangga Baru.
  5. Abad ke-20 pengarang disembunyikan di balik fokalisasi, pengarang tersirat, bahkan pengarang dianggap sebagai anonimitas.

2. Karya Sastra: Fokalisasi atau Sudut Pandang
Fokalisasi, dari kata fokus, yang berarti kancah perhatian, perspektif cerita, atau sudut pandang. Istilah fokalisasi pertama kali dikemukakan oleh Genette (Luxemburg, dkk. 1984: 156) dalam bukunya yang berjudul Narrative Discourse (1972). Objek-objek yang dapat difokalisasi, di antaranya: orang, lembaga, dan lingkungan sekitar. Fokalisasi dapat dilakukan oleh seorang tokoh dalam cerita, atau oleh juru cerita itu sendiri. Artinya, menceritakan sesuatu pasti dilakukan melalui perspektif tertentu sesuai dengan sudut pandang fokalisator.

Membedakan antara pencerita dengan fokalisator penting dalam rangka:

  1. memisahkan hegemoni subjek kreator terhadap subjek fiksional,
  2. menampilkan hakikat intersubjektivitas.

Fokalisasi dapat meningkatkan pemahaman mengenai aspek-aspek kemasyarakatan sebuah karya sastra yang dianalisis. Sudut pandang, gaya bahasa, dan plot dianggap sebagai unsur-unsur utama keberhasilan karya sastra.

3. Pembaca: Jenis dan Peranan
Menurut Luxemburg, dkk. (1984: 76) pembaca dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

  1. pembaca di dalam teks,
  2. pembaca di luar teks.
  3. Pembaca di dalam teks ada dua macam, yaitu:
  4. pembaca implisit (cf. Iser, 1987:30-31) mengacu pada partisipasi aktif pembaca dalam memahami karya, pembaca yang dituju oleh pengarang.
  5. Pembaca eksplisit adalah pembaca yang disapa secara langsung, pada umumnya menggunakan kalimat “pembaca yang budiman”.

Pembaca di luar teks juga dibedakan menjadi dua macam, yaitu :

  1. Pembaca yang diandaikan adalah pembaca yang berada di luar teks, pembaca yang (seharusnya) disapa oleh pengarang, pembaca yang diumpamakan membaca suatu karya oleh pengarang.
  2. Pembaca yang sesungguhnya merupakan objek eksperimental.


Referensi:
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme, Prespektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Teori Postrukturalisme (Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra #5)

Teori Postrukturalisme

1. Hubungan antara Postmodernisme dengan Postrukturalisme
Paradigma postrukturalisme adalah cara-cara mutakhir, baik dalam bentuk teori maupun metode dan teknik, yang digunakan dalam mengkaji objek. Sebagai cara yang baru, teori postrukturalisme yang sudah berkembang selama kurang lebih setengah abad, sejak awal abad ke-20.

Postmodernisme, dari kata ‘post’ + modern + ’isme’, yang berarti paham sesudah modern, dan postrukturalisme, dari kata ‘post’ + struktur + ‘isme’, yang berarti paham sesudah struktur, baik secara historis pragmatis maupun intelektual akademis memiliki kaitan yang sangat erat. Postmodernisme berkembang dalam berbagai bidang ilmu, seperti: arsitektur, perencanaan kota, sejarah, ekonomi, politik, psikologi, teknologi media massa, filsafat, bahasa, dan seni, termasuk sastra. Sebagai gejala kultural, postrukturalisme dianggap bagian postmodernisme. Postrukturalisme merupakan tradisi intelektual postmodernisme.

Postmodernisme dan postrukturalisme berkembang dengan sangat pesat, dipicu paling sedikit oleh tiga indikator yang saling melengkapi sebagai berikut:

  1. Postmodernisme dan postrukturalisme sebagai kecenderungan mutakhir peradaban manusia berkembang dalam situasi dan kondisi yang serba cepat.
  2. Perkembangan pesat kajian wacana, baik dalam bidang sastra, sebagai teks, maupun nonsastra, sebagai diskursus.
  3. Perkembangan pesat interdisipliner yang memungkinkan berbagai disiplin dalam kajian tunggal.

2. Teori-teori Postmodernisme
Postmodern pada dasarnya masih merupakan bagian integral Zaman Modern. Zaman Modern ditandai dengan dimanfaatkannya metode eksperimental dan matematis, sekaligus ditinggalkannya secara definitif visi Aristotelian. Beberapa perintis, di antaranya: Leonardo da Vinci (1452-1519), Nicolaus Copernicus (1473-1543), Johannes Kepler (1571-1630), Galileo Galilei (1564-1643) dsb. Bapak filsuf modern adalah Rene Descartes (1561-1623).

Timbulnya postmodernisme merupakan akibat ketidakmampuan modernism dalam menanggulangi kepuasan masyarakat, yaitu berbagai kebutuhan yang berkaitan dengan masalah sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan pada umumnya. Dunia postmodern dengan demikian diciptakan dengan cara memasukkan konsep-konsep ke dalamnya, bukan benda-benda dengan sifat-sifat yang sudah ada padanya. Sebuah teori tidak perlu dibuktikan kebenarannya, tetapi apakah teori tersebut dapat dimanfaatkan, dan bagaimana hasilnya kemudian.

Sains modern pada gilirannya didekonstruksi oleh Thomas S. Kuhn dalam bukunya yang berjudul The Structure of Scientific Revolutions (1962) dengan argumentasi bahwa perubahan dalam ilmu pengetahuan bukan semata-mata dengan cara memperbaiki atau menafsirkan kembali pengetahuan masa lalu (evolusi), tetapi melalui perubahan (paradigma) secara mendadak (revolusi).

3. Teori-teori Postrukturalisme
Dasar teori-teori postrukturalisme adalah strukturalisme, sedangkan strukturalisme itu sendiri lahir melalui formalisme Rusia, yang mulai berkembang awal abad ke-20 (1915-1930), dengan tokoh-tokoh Roman Jakobson, Victor Shklovsky, Boris Eichenbaum, dan Jurij Tynjanov. Hubungan antara strukturalisme dengan postrukturalisme sangat kompleks. Metode yang digunakan dalam postrukturalisme ialah metode dekonstruksi, tujuannya adalah pluralisme, perbedaan merupakan hakikat yang wajar, perbedaan justru untuk memberikan pengakuan pada unsur lain. Menurut kelompok postrukturalis (Selden, 1986: 101), kekuatan sejarah atau lingistik tidak dapat dikuasai. Postrukturalis lebih banyak menampilkan masalah dibandingkan dengan memberikan jawaban sekaligus menghindarkan logosentrisme. Postrukturalisme pada dasarnya identik dengan post-Saussurean.

Teori-teori yang dimasukkan ke dalam kelompok postrukturalisme adalah resepsi, interteks, feminis, postkolonial, dan dekonstruksi. Teori postrukturalisme diakhiri dengan teori naratologi postrukturalisme.

a. Teori Resepsi Sastra
Secara definitif resepsi sastra, berasal dari kata recipere (Latin), reception (Inggris), yang berarti penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam arti luas resepsi didefinisikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya, sehingga dapat memberikan respons terhadapnya. Dalam kaitannya dengan teori resepsi perlu disebutkan dua buah buku yang sangat relevan, yaitu: Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra (A. Teeuw, terbit pertama kali tahun 1984) dan Resepsi Sastra Sebuah Pengantar (Umar Junus, terbit pertama kali tahun 1985).

b. Teori Interteks
Secara luas interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks yng lain. Secara etimologis (textus, bahasa Latin) berarti tenunan, anyaman, penggabungan, susunan, dan jalinan. Produksi makna terjadi dalam interteks, yaitu melalui proses oposisi, permutasi, dan transformasi. Penelitian dilakukan dengan cara menemukan hubungan-hubungan bermakna di antara dua teks atau lebih. Interteks dapat dilakukan antara novel dengan novel, novel dengan puisi, novel dengan mitos.

Cara praktis aktivitas interteks terjadi melalui dua cara, yaitu:

  1. membaca dua teks atau lebih secara berdampingan pada saat yang sama,
  2. hanya membaca sebuah teks tetapi dilatarbelakangi oleh teks-teks lain yang sudah pernah dibaca sebelumnya.

Dalam kerangka multikultural, aktivitas intertekstualitas berfungsi untuk membangkitkan kesadaran masa lampau, baik sebagai citra primordial maupun nostalgia, yang pada umumnya disebut teks pastiche.

c. Teori Feminis
Secara etimologis feminis berasal dari kata femme (woman), berarti perempuan (tunggal) yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas sosial. Jadi, tujuan feminis adalah keseimbangan, interelasi gender.

Dalam pengertian yang luas, feminis adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik maupun ekonomi serta kehidupan sosial pada umumnya. Dalam arti sempit, yaitu dalam sastra, feminis dikaitkan dengan cara-cara memahami karya sastra baik dalam kaitannya dengan proses produksi maupun resepsi.

Sebagai gerakan modern, feminisme lahir awal abad ke-20, yang dipelopori oleh Virginia Woolf dalam bukunya yang berjudul A Room of One’s Own (1929). Perkembangan pesatnya terjadi pada tahun 1960-an. Tokoh-tokoh terpenting feminis kontemporer, yaitu: Luce Irigarai, Julia Kristeva, Helena Cixous, dan Donna J. Haraway.

Model analisisnya sangat beragam, sangat kontekstual, berkaitan dengan aspek-aspek sosial, politik, dan ekonomi. Menurut Teuww, beberapa indikator yang dianggap telah memicu lahirnya gerakan feminis di dunia barat tersebut, sebagai berikut:

  1. Berkembangnya teknik kontrasepsi, yang memungkinkan perempuan melepaskan diri dari kekuasaan laki-laki.
  2. Radikalisasi politik, khususnya sebagai akibat perang Vietnam.
  3. Lahirnya gerakan pembebasan dari ikatan-ikatan tradisional.
  4. Sekularisasi, menurunnya wibawa agama dalam segala bidang kehidupan.
  5. Perkembangan pendidikan yang secara khusus dinikmati oleh perempuan.
  6. Reaksi terhadap pendekatan sastra yang mengasingkan karya dari struktur sosial, seperti Kritik Baru dan strukturalisme.
  7. Ketidakpuasan terhadap teori dan praktik ideology Marxis orthodox, tidak terbatas sebagai Marxis Sovyet atau Cina, tetapi Marxis di dunia Barat secara keseluruhan.

d. Teori Postkolonial
Secara etimologis postkolonial berasal dari kata ‘post’ dan kolonial, sedangkan kata kolonial itu sendiri berasal dari akar kata kolonial, bahasa Romawi, yang berarti tanah pertanian atau permukiman.

Paling sedikit terkandung empat alasan mengapa karya sastra dianggap tepat untuk dianalisis melalui teori-teori postkolonial.

  1. Sebagai gejala kultural sastra menampilkan sistem komunikasi antara pengirim dan penerima, sebagai mediator anatara masa lampau dengan masa sekarang.
  2. Karya sastra menampilkan berbagai problematika kehidupan, emosionalitis dan intelektualitis, fiksi dan fakta, karya sastra adalah masyarakat itu sendiri.
  3. Karya sastra tidak terikat oleh ruang dan waktu, kontemporaritas adalah manifestasinya yang paling signifikan.
  4. Berbagai masalah yang dimaksudkan dilukiskan secara simbolis, terselubung, sehingga tujuan-tujuan yang sesungguhnya tidak tampak. Di sinilah ideologi oriental ditanamkan, di sini pulalah analisis dekonstruksi postkolonial dilakukan.

Ciri khas postkolonialisme dibandingkan dengan teori-teori postmodernis yang lain adalah kenyataan bahwa objeknya adalah teks-teks yang berkaitan dengan wilayah bekas jajahan imperium Eropah, khususnya Indonesia.

e. Teori Dekonstruksi
Kristeva (1980:36-37), menjelaskan bahwa dekonstruksi merupakan gabungan antara hakikat destruksif dan konstruktif. Dekonstruksi adalah cara membaca teks, sebagai strategi. Dekonstruksi tidak semata-mata ditujukan terhadap tulisan, tetapi semua pernyataan kultural sebab keseluruhan pernyataan tersebut adalah teks yang dengan sendirinya sudah mengandung nilai-nilai, prasyarat, ideologi, kebenaran dan tujuan-tujuan tertentu.

Sebagai salah satu model pemahaman postrukturalis, Umar Junus (1996:109-109) memandang dekonstruksi sebagai perspektif baru dalam penelitian sastra. Dekonstruksi justru memberikan dorongan untuk menemukan segala sesuatu yang selama ini tidak memperoleh perhatian. Dekonstruksi memungkinkan untuk melakukan penjelajahan intelektual dengan apa saja, tanpa harus terikat dengan suatu aturan yang dianggap telah berlaku universal.

4. Teori Postrukturalisme Naratologi
Naratologi, seperti telah disinggung di depan adalah bidang ilmu mengenai narasi, studi mengenai bentuk dan fungsi naratif. Narasi meliputi narasi lisan dan tulisan, sastra maupun nonsastra. Secara definitif menurut (cf. Luxemburg, dkk., 1984: 119-120; Rimon-Kenan, 1983: 1-5) struktur wacana atau teks naratif adalah semua teks atau wacana yang isinya merupakan rangkaian peristiwa, yang dibedakan menjadi struktur naratif fiksi dan struktur naratif nonfiksi.

Dengan hadirnya strukturalisme dan postrukturalisme (Gerald Prince, 1982: 4), teori dan analisis naratif menyebar hamper ke seluruh dunia, dibicarakan dalam berbagai disiplin, seperti: filsafat, psikologi, psikoanalitik, semiotika, cerita rakyat, antropologi, dan pemahaman Injil, khususnya linguistik dan sastra.

a. Wacana dan Teks
Secara etimologis wacana berasal dari wacana (Sansekerta), berarti kata-kata atau cara berkata, ucapan, perintah, nasihat. Teks seperti telah disinggung di depan, berasal dari kata textum (Latin), yang berarti tenunan, jalinan, susunan.

Wacana merupakan konsep kunci dalam teori postmodernisme dan postrukturalisme. Wacana berfungsi untuk menyampaikan berbagai informasi, membangun ilmu pengetahuan, meraih kekuasaan, alih teknologi. Pada dasarnya wacana dan teks memiliki identitas yang sama. Meskipun demikian, wacana merupakan bagian dalam struktur naratif secara keseluruhan, sedangkan teks dibicarakan dalam struktur sastra.

b. Tokoh-tokoh Postrukturalisme Naratologi
Tokoh-tokoh postrukturalisme naratologi terdiri dari: Gerard Genette, Gerald Prince, Seymour Chatman, Jonathan Culler, Roland Barthes, Mikhail Mikhailovic Bakhtin, Hayden White, Mary Louise Pratt, Jacques-Marie Emile Lacan, Michel Foucault, Jean-Francois Lyotard, Jean Baudrillard.


Referensi
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme, Prespektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Teori Strukturalisme (Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra #4)


1. Prinsip-prinsip Antarhubungan
Dalam strukturalisme konsep fungsi memegang peranan penting. Artinya, unsur-unsur sebagai ciri khas teori tersebut dapat berperanan secara maksimal semata-mata dengan adanya fungsi, yaitu dalam rangka menunjukkan antarhubungan unsur-unsur yang terlibat. 


Antarhubungan merupakan kualitas energetis unsur. Durkheim (Johnson, 1988: 168) mengenai masyarakat, maka dalam karya, totalitas selalu lebih besar dan lebih berarti dari jumlah unsurnya. Menurut Craib (1994: 177), variasi unsur dalam suatu komunitas hubungan bisa sama, tetapi variasi hubungan akan menghasilkan sesuatu yang sama sekali berbeda.

Sebagai kualitas totalitas, antarhubungan merupakan energi, motivator terjadinya gejala yang baru, mekanisme yang baru, yang pada gilirannya menampilkan makna-makna yang baru. Tanpa antarhubungan sesungguhnya unsur tidak berarti, tanpa antarhubungan unsur-unsur hanya berfungsi sebagai agregasi.

Relevansi prinsip-prinsip antarhubungan dalam analisis karya sastra, di satu pihak mengarahkan peneliti agar secara terus menerus memperhatikan setiap unsure sebagai bagian yang tak terpisahkan dari unsur-unsur yang lain. Antarhubungan yang menyebabkan sebuah karya sastra, suatu masyarakat, dan gejala apa saja agar memiliki arti yang sesungguhnya.

2. Teori Formalisme
Teori formalisme sebagai teori modern mengenai sastra, secara historis kelahiran formalisme dipicu paling sedikit oleh tiga faktor, sebagai berikut :

  • Formalisme lahir sebagai akibat penolakannya terhadap paradigm positivisme abad ke-19 yang memegang teguh prinsip-prinsip kausalitas, dalam hubungan ini sebagai reaksi terhadap studi biografi. 
  • Kecenderungan yang terjadi dalam ilmu humaniora, dimana terjadinya pergeseran dari paradigm diakronis ke sinkronis.
- Penolakkan terhadap pendekatan tradisional yang selalu memberikan perhatian terhadap hubungan karya sastra dengan sejarah, sosiologi, dan psikologi.

Peletak dasar formalisme adalah kelompok formalis Rusia, yang terdiri atas para pakar sastra dan linguistik. Ada dua pusat kegiatan, yaitu :

- Lingkaran Linguistik Moskow yang didirikan tahun 1915 oleh Roman Jakobson, Petr Bogatyrev, dan Grigorii Vinokur.
- Mazhab Opojaz (Masyarakat Studi Puitika Bahasa) Leningrad yang didirikan tahun 1916 oleh Boris Eichenbaum, Victor Sklovski, Osip Brik, dan Lev laukubinskii (Nina Kolesnikoff dalam Irena R Makaryk, ed., 1993: 53).

Tujuan pokok formalisme adalah studi ilmiah tentang sastra, dengan cara meneliti unsur-unsur kesastraan, puitika, asosiasi, oposisi. Metode yang digunakan adalah metode formal. Menurut Luxemburg, dkk. (1984: 35) formalisme dianggap sebagai peletak dasar ilmu sastra modern. Ada dua konsep formalis yang paling terkenal yaitu Fabula dan Sjuzet. Fabula adalah bahan kasar, kejadian yang tersusun secara kronologis. Sjuzet adalah mengorganisasikan keseluruhan kejadian ke dalam struktur penceritaan.

3. Teori Strukturalisme Dinamik
Secara etimologis struktur berasal dari kata structura, bahasa Latin, yang berarti bentuk atau bangunan. Menurut Teeuw (1988: 131), khususnya dalam ilmu sastra, strukturalisme berkembang melalui tradisi formalisme. Artinya, hasil-hasil yang dicapai melalui tradisi formalis sebagian besar dilanjutkan dalam strukturalis. Robert Scholes (1977) menjelaskan keberadaan strukturalisme menjadi tiga tahap: pergeseran paradigma berpikir, metode, dan teori.

Secara definitife strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur, yaitu struktur itu sendiri, dengan mekanisme antarhubungannya, di satu pihak antarhubungan unsur yang satu dengan unsur lainnya, di pihak yang lain hubungan antara unsur (unsur) dengan totalitasnya. Tokoh-tokoh penting strukturalisme, di antaranya: Roman Jakobson, Jan Mukarovsky, Felix Vodicka, Rene Wellek, Jonathan Culler, Robert Scholes.

Lahirnya strukturalisme dinamik didasarkan atas kelemahan-kelemahan strukturalisme sebagaimana yang dianggap sebagai perkembangan kemudian formalisme di atas. Strukturalisme dinamik dimaksudkan sebagai penyempurnaan strukturalisme yang semata-mata memberikan intensitas terhadap struktur intrinsik, yang dengan sendirinya melupakan aspek-aspek ekstrinsiknya. Strukturalisme dinamik mula-mula dikemukakan oleh Mukarovsky dan Felix Vodicka (Fokkema, 1977: 31).

4. Teori Semiotika
Menurut Noth ada empat tradisi yang melatarbelakangi kelahiran semiotika, yaitu: semantik, logika, retorika, dan hermeneutika. Culler (1977: 6) menyebutkan strukturalisme dan semiotika sebagai dua teori yang identik, strukturalisme memusatkan perhatian pada karya sedangkan semiotika pada tanda. Selden (1986: 54) menganggap strukturalisme dan semiotika termasuk ke dalam bidang ilmu yang sama, sehingga keduanya dapat dioperasikan secara bersama-sama. Untuk menemukan makna suatu karya, analisis strukturalisme mesti dilanjutkan dengan analisis semiotika.

Secara definitif, menurut Paul Cobley dan Litza Janz (2002: 4) semiotika berasal dari kata seme, bahasa Yunani, yang berarti penafsir tanda. Literatur lain menjelaskan bahwa semiotika berasal dari kata semeion, yang berarti tanda. Dalam pengertian yang lebih luas, sebagai teori, semiotika berarti studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya, apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia.

Apabila konsep-konsep Saussure bersisi ganda, sebagai diadik, maka konsep-konsep Peirce bersisi tiga, sebagai triadik. Diadik Saussurean ditandai oleh ciri-ciri kesatuan internal, sedangkan triadik Peircean ditandai oleh dinamisme internal. Dilihat dari segi kerjanya, maka terdapat:

- Sintaksis semiotika, yaitu studi dengan memberikan intensitas hubungan tanda dengan tanda-tanda yang lain.
- Semantik semiotika, studi dengan memberikan perhatian pada hubungan tanda dengan acuannya.
- Pragmatik semiotika, studi dengan memberikan perhatian pada hubungan antara pengirim dan penerima.

Dilihat dari faktor yang menentukan adanya tanda, maka tanda dibedakan sebagai berikut.
1) Representamen, ground, tanda itu sendiri, sebagai perwujudan gejala umum:
- qualisigns, terbentuk oleh kualitas: warna hijau,
- sinsigns, tokens, terbentuk melalui ralitas fisik: rambu lalu lintas,
- legisigns, types, berupa hukum: suara wasit dalam pelanggaran.

2) Object (designatum, denotatum, referent), yaitu apa yang diacu:
- ikon, hubungan tanda dan objek karena serupa, misalnya foto,
- indeks, hubungan tanda dan objek karena sebab akibat, seperti: asap dan api,
- simbol, hubungan tanda dan objek karena kesepakatan, seperti bendera.

3) Interpretant, tanda-tanda baru yang terjadi dalam batin penerima:
- rheme, tanda sebagai kemungkinan: konsep,
- dicisigns, dicent signs, tanda sebagai fakta: pernyataan deskriptif,
- argument, tanda tampak sebagai nalar: proposisi.

Di antara representamen, object, dan interpretant, yang paling sering diulas adalah object. Menurut Aart van Zoest (1996: 6), di antara ikon, indeks, dan simbol yang terpenting adalah ikon sebab, di satu pihak, segala sesuatu merupakan ikon sebab segala sesuatu dapat dikaitkan dengan sesuatu yang lain.

Menurut Aart van Zoest (1993: 5-7), dikaitkan dengan bidang-bidang yang dikaji, pada umumnya semiotika dapat dibedakan paling sedikit menjadi tiga aliran, sebagai berikut.
1) Aliran semiotika komunikasi, dengan intensitas kualitas tanda dalam kaitannya dengan pengirim dan penerima, tanda yang disertai dengan maksud, yang digunakan secara sadar, sebagai signal, seperti rambu-rambu lalu lintas, dipelopori oleh Buyssens, Prieto, dan Mounin.
2) Aliran semiotika konotatif, atas dasar ciri-ciri denotasi kemudian diperoleh makna konotasinya, arti pada bahasa sebagai system model kedua, tanda-tanda tanpa maksud langsung, sebagai symtom, di samping sastra juga diterapkan dalam berbagai bidang kemasyarakatan, dipelopori oleh Roland Barthes.
3) Aliran semiotika ekspansif, diperluas dengan bidang ppsikologi (Freud) dan sosiologi (Marxis), termasuk filsafat, dipelopori oleh Julia Kristeva.

Ada banyak cara yang ditawarkan dalam rangka menganalisis karya sastra secara semiotis. Cara yang paling umum adalah oleh Wellek dan Warren (1962), yaitu:
1) analisis intrinsik (analisis mikrostruktur)
2) analisis ekstrinsik (analisis makrostruktur)

Cara yang lain, sebagaimana dikemukakan oleh Abrams (1976: 6-29), dilakukan dengan menggabungkan empat aspek, yaitu:
- pengarang (ekspresif)
- semestaan (mimetik)
- pembaca (pragmatik)
- objektif (karya sastra itu sendiri)

a. Bidang-bidang Penerapan
Sebagai ilmu, semiotika berfungsi untuk mengungkapkan secara ilmiah keseluruhan tanda dalam kehidupan manusia, baik tanda verbal maupun nonverbal. Secara praktis, pemahaman terhadap keberadaan tanda-tanda, khususnya yang dialami dalam kehidupan sehari-hari. Secara teoretis, misalnya dengan teori konflik.

Eco (1979: 9-14) menyebutkan beberapa bidang penerapan yang dianggap relevan, di antaranya:
- semiotika hewan, masyarakat nonhuman,
- semiotika penciuman,
- semiotika komunikasi dengan perasa,
- semiotika pencicipan, dalam masakan,
- semiotika paralinguistik, suprasegmental,
- semiotika medis, termasuk psikiatiri,
- semiotika kinesik, gerakan,
- semiotika musik,
- semiotika bahasa formal: Morse, aljabar,
- semiotika bahasa tertulis: alfabet kuno,
- semiotika bahasa alamiah,
- semiotika komunikasi visual,
- semiotika benda-benda,
- semiotika struktur cerita,
- semiotika kode-kode budaya,
- semiotika estetika dan pesan,
- semiotika komunikasi massa,
- semiotika retorika,
- semiotika teks.

Menurut Aart van Zoest (1993: 102-151), secara akademis semiotika dianggap sesuai diterapkan pada beberapa disiplin : arsitektur, perfilman, sandiwara, musik, kebudayaaan, interaksi sosial, psikologi, dan media massa.

b. Semiotika Sastra
Kehidupan manusia dibangun atas dasar bahasa, sedangkan bahasa itu sendiri adalah sistem tanda. Menurut Noth (1990: 42), tanda bukanlah kelas objek, tanda-tanda hanya hadir hanya dalam pikiran penafsir. Secara definitif tanda adalah sembarang apa yang mengatakan tentang sesuatu yang lain daripada dirinya sendiri.

Menurut van Zoest (1993: 86), dalam teks sastra, ikon yang paling menarik. Ada tiga macam ikon yaitu:

- ikon topografis, berdasarkan persamaan tata ruang,
- ikon diagramatis, berdasarkan persamaan struktur,
- ikon metaforis, berdasarkan persamaan dua kenyataan yang didenotasikan sekaligus, langsung atau tidak langsung.

c. Semiotika Sosial
Semiotika sosial, menurut Halliday (1992: 3-8) adalah semiotika itu sendiri, dengan memberikan penjelasan lebih detail dan menyeluruh tentang masyarakat sebagai makrostruktur. Halliday dalam hubungan ini menganggap bahwa istilah sosial sejajar dengan kebudayaan.

Dalam kaitannya dengan sistematika sosial, Halliday mendeskripsikan tiga model hubungan teks, yaitu:

- medan sebagai ciri-ciri semantis teks
- pelaku yaitu orang-orang yang terlibat
- sarana yaitu ciri-ciri yang diperankan oleh bahasa.

Menurut Marxis, bahwa ide, konsep, dan pandangan dunia individu ditentukan oleh keberadaan sosialnya. Menurut Berger dan Lucmann (1973: 13) kenyataan dibangun secara sosial, kenyataan dengan kualitas mandiri yang tak tergantung dari kehendak subjek.

5. Teori Strukturalisme Genetik
Sejajar dengan strukturalisme dinamik, strukturalisme genetik dikembangkan atas dasar penolakan terhadap strukturalisme murni, analisis terhadap unsur-unsur intrinsik. Strukturalisme genetik ditemukan oleh Lucien Goldmann, seorang filsuf dan sosiolog Rumania-Perancis. Teori tersebut dikemukakan dalam bukunya yang berjudul The Hidden God: a Study of Tragic Vision in the Pensees of Pascal and the Tragedies of Racine. Terbit dalam bahasa Perancis, terbit pertama kali tahun 1956.

Secara definitife strukturalisme genetik adalah analisis struktur dengan memberikan perhatian terhadap asal-usul karya. Secara ringkas strukturalisme genetik berarti bahwa sekaligus memberikan perhatian terhadap analisis intrinsik dan ekstrinsik. Strukturalisme genetik berada pada puncak kejayaannya sekitar tahun 1980an hingga tahun 1990an.

Secara definitife strukturalisme genetik harus menjelaskan struktur dan asal-usul struktur itu sendiri, dengan memperhatikan relevansi konsep homologi, kelas sosial, subjek transindividual, dan pandangan dunia. Dalam penelitian langkah-langkah yang dilakukan, diantaranya:

- meneliti unsur-unsur karya sastra,
- hubungan unsur-unsur karya sastra dengan totalitas karya sastra,
- meneliti unsur-unsur masyarakat yang berfungsi sebagai genesisi karya sastra,
- hubungan unsur-unsur masyarakat dengan totalitas masyarakat,
- hubungan karya sastra secara keseluruhan dengan masyarakat secara keseluruhan.

6. Teori Strukturalisme Naratologi
Naratologi, dari kata narration (bahasa Latin, berarti cerita, perkataaan, kisah, hikayat) dan logos (ilmu). Naratologi juga disebut teori wacana (teks) naratif. Baik naratologi maupun wacana (teks) naratif diartikan sebagai seperangkat konsep mengenai cerita dan pen (cerita) an. Naratologi berkembang atas dasar analogi linguistik, seperti model sintaksis, sebagaimana hubungan antara subjek, predikat, dan objek penderita.

Narasi, baik sebagai cerita maupun penceritaan didefinisikan sebagai representasi paling sedikit dua peristiwa faktual atau fiksional dalam urutan waktu. Secara historis, menurut Marie-Laureryan dan van Alphen (Makaryk, ed,. 1990: 110-114) naratologi dapat dibagi menjadi tiga periode:

- Periode prastrukturalis (hingga tahun 1960-an),
- Periode strukturalis (tahun 1960-an hingga tahun 1980-an), dan
- Periode pascastrukturalis (tahun 1980-an hingga sekarang).


--------------------------------------------------------------

Referensi:
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme, Prespektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Wednesday, July 15, 2015

Metode, Metodologi, Teknik, dan Pendekatan (Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra #3)


1. Metode, Metodologi, dan Teknik
Metode berasal dari kata methodos, bahasa Latin, methodos berasal dari akar kata meta dan hodos. Meta berarti menuju, melalui, mengikuti, sesudah, sedangkan hodos berarti jalan, cara, arah. Secara luas, metode diartikan sebagai cara-cara, strategi untuk memahami realitas, langkah-langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat. Metode berfungsi untuk menyederhanakan masalah, sehingga lebih mudah untuk dipecahkan dan dipahami. Klasifikasi, deskripsi, komparasi, sampling, induksi dan deduksi, eksplanasi dan interpretasi, kuantitatif dan kualitatif adalah sejumplah metode yang sudah sangat umum penggunaannya.

Metode sering dikacaukan penggunaannya dengan metodologi. Secara etimologis metodologi berasal dari methodos dan logos, yaitu filsafat atau ilmu mengenai metode. Metodologi dengan demikian membahas prosedur intelektual dalam totalitas komunitas ilmiah. Prosedur yang dimaksukan terjadi sejak peneliti menaruh minat terhadap objek tertentu, menyusun proposal, membangun konsep dan model, merumuskan hipotesis dan permasalahan, mengadakan pengujian teori, menganalisis data, dan akhirnya menarik kesimpulan.

Ada tiga cara yang dapat membedakan antara metode dan teknik, bahkan juga dengan teori, sebagai berikut:

  • Dengan cara membedakan tingkat abstraksinya. 
  • Dengan cara memperhatikan faktor mana yang lebih luas ruang lingkup pemakaiannya.
  • Dengan cara memperhatikan hubungannya dengan objek.

Atas dasar kekhasan sifat karya sastra, maka sejumlah metode yang perlu dibicarakan dalam analisis karya sastra, diantaranya : metode intuitif, metode hermeneutika, metode formal, analisis isi, dialektik, deskriptif analisis, deskriptif komparatif, dan deskrptif induktif.

a. Metode Intuitif
Metode intuitif dianggap sebagai kemampuan dasar manusia dalam memahami unsur-unsur kebudayaan. Sebagai metode filsafat, menurut Anton Bakker (1984: 39-42), metode intuitif digunakan oleh pendiri neo-Platonisme, yaitu Plotinos (205-270 M). Dasar metodenya ialah filsafat Yunani, khususnya Plato dan Aristoteles. Ciri-ciri khas metode intuitif adalah kontemplasi, pemahaman terhadap gejala-gejala kultural dengan mempertimbangkan keseimbangan antara individu dengan alam semesta.

b. Metode Hermeneutika
Secara etimologis hermeneutika berasal dari kata hermeneuein, bahasa Yunani, yang berarti menafsirkan atau menginterpretasikan. Fungsi utama hermeneutika sebagai metode untuk memahami agama, maka metode ini dianggap tepat untuk memahami karya sastra dengan pertimbangan bahwa di antara karya tulis, yang paling dekat dengan agama adalah karya sastra.

c. Metode Kualitatif
Metode kualitatif ini mempertahankan hakikat nilai-nilai serta memberikan perhatian terhadap data alamiah. Ciri-ciri terpenting metode kualitatif, sebagai berikut :

  • Memberikan perhatian utama pada makna dan pesan, sesuai dengan hakikat objek, yaitu studi kultural. 
  • Lebih mengutamakan proses dibandingkan dengan hasil penelitian sehingga makna selalu berubah.
  • Tidak ada jarak antara subjek peneliti dengan objek penelitian, subjek peneliti sebagai instrument utama, sehingga terjadi interaksi langsung diantaranya.
  • Desain dan kerangka penelitian bersifat sementara sebab penelitian bersifat terbuka.
  • Penelitian bersifat alamiah, terjadi dalam konteks sosial budayanya masing-masing.

d. Metode Analisis Isi
Menurut Vredenbreght (1983: 66-68), secara eksplisit metode analisis isi pertama kali digunakan di Amerika Serikat tahun 1926. Isi dalam metode analisis isi terdiri atas dua macam, yaitu isi laten dan isi komunikasi. Isi laten adalah isi yang terkandung dalam dokumen dan naskah. Isi komunikasi adalah pesan yang terkandung sebagai akibat komunikasi yang terjadi. Objek formal metode analisis ini adalah isi komunikasi. Analisis isi laten menghasilkan arti, analisis komunikasi menghasilkan makna.

d. Metode Formal
Secara etimologis formal berasal dari kata forma (latin), berarti bentuk, wujud. Metode formal adalah analisis dengan mempertimbangkan aspek-aspek formal, aspek-aspek bentuk, yaitu unsur-unsur karya sastra. Tujuan metode formal adalah studi ilmiah mengenai sastra dengan memperhatikan sifat-sifat teks yang dianggap artistik. Ciri-ciri metode formal adalah analisis terhadap unsur-unsur karya sastra, kemudian bagaimana hubungan antara unsur-unsur tersebut dengan totalitasnya. Tugas utama metode formal adalah menganalisis unsur-unsur, sesuai dengan peralatan yang terkandung dalam karya sastra.

e. Metode Dialektika
Secara etimologis dialektika berasal dari kata dialectica, bahasa Latin, berarti cara membahas. Secara historis metode dialektik sudah ada sejak zaman Plato, tetapi diperkenalkan secara formal oleh Hegel. Menurut Hauser (1985: 333-334), dalam dialektika unsur yang satu tidak harus lebur ke dalam unsur yang lain, individualitas justru dipertahankan di samping interdependensinya. Prinsip-prinsip dialektika dikembangkan oleh Friedrich Hegel atas dasar dialektika spiritual, dan Karl Marx atas dasar pertentangan kelas.

f. Metode Deskriptif Analisis
Secara etimologis deskripsi dan analisis berarti menguraikan. Namun, analisis yang berasal dari bahasa Yunani, analyein (‘ana’ = atas, ‘lyein’ = lepas, urai). Metode deskriptif analitik dilakukan dengan cara mendiskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis.

2. Pendekatan dan Problematikanya
Pendekatan didefinisikan sebagai cara-cara menghampiri objek. Pendekatan perlu dikemukakan secara agak luas dengan pertimbangan bahwa pendekatan mengimplikasikan cara-cara memahami hakikat keilmuan tertentu. Pendekatan merupakan langkah pertama dalam mewujudkan tujuan. Pada dasarnya dalam rangka melaksanakan suatu penelitian, pendekatan mendahului teori maupun metode artinya pemahaman mengenai pendekatanlah yang seharusnya diselesaikan lebih dulu, kemudian diikuti dengan penentuan masalah teori, metode, dan tekniknya.

a. Pendekatan Biografis
Menurut Wellek dan Warren (1962: 75), model biografis dianggap sebagai pendekatan yang tertua. Pendekatan biografis merupakan studi yang sistematis mengenai proses kreativitas. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan aktivitas kreatif dibedakan tiga macam pengarang, yaitu :

  • Pengarang yang mengarang berdasarkan pengalaman langsung. 
  • Pengarang yang mengarang berdasarkan keterampilan dalam penyusunan kembali unsur-unsur penceritaan.
  • Pengarang yang mengarang berdasarkan kekuatan imajinasi.

b. Pendekatan Sosiologis
Pendekatan sosiologis menganalisis manusia dalam masyarakat, dengan proses pemahaman mulai dari masyarakat ke individu. Dasar filosofis pendekatan sosiologis adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat. Hubungan-hubungan yang dimaksudkan disebabkan oleh :

  • Karya sastra dihasilkan oleh pengarang. 
  • Pengarang itu sendiri adalah angggota masyarakat.
  • Pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat.
  • Hasil karya sastra itu dimanfaatkan kembali oleh masyarakat.

Pendekatan sosiologis, khususnya untuk sastra Indonesia, baik lama maupun modern menjanjikan lahan penelitian yang tidak akan pernah kering. Setiap hasil karya, baik dalam skala angkatan maupun individual, memiliki aspek-aspek sosial tertentu yang dapat dibicarakan melalui model-model pemahaman sosial. Teori sosial modern oleh kelompok Marxis, seperti Lukacs, Goldmann, Eagleton, Bakhtin, Althusser, Medvedev, dan Jameson, termasuk Marx sendiri.

c. Pendekatan Psikologis
Rene Wellek dan Austin Warren (1962: 81-82) menunjukkan empat model pendekatan psikologis, yang dikaitkan dengan pengarang, proses kreatif, karya sastra, dan pembaca. Pendekatan psikologis kontemporer, sebagaimana dilakukan oleh Mead, Cooley, Lewin, dan Skinner (Schellenberg, 1977), mulai memberikan perhatian pada interaksi antarindividu, sebagai interaksi simbolis, sehingga disebutkan sebagai analisis psikologi sosial. Teori yang paling banyak diacu dalam pendekatan psikologis adalah determinisme psikologi Sigmund Freud (1856-1939). Menurutnya, semua gejala yang bersifat mental, bersifat tak sadar yang tertutup oleh alam kesadaran (Schellenberg, 1997: 18).

d. Pendekatan Antropologis
Antropologi adalah ilmu pengetahuan mengenai manusia dalam masyarakat. Pendekatan antropologi sastra lebih banyak berkaitan dengan objek verbal. Lahirnya pendekatan antropologi karena adanya hubungan ilmu antropologi dengan bahasa, tradisi lisan. Pokok-pokok bahasan yang ditawarkan dalam pendekatan antropologis adalah bahasa sebagaimana dimanfaatkan dalam karya sastra, sebagai struktur naratif, di antaranya:

  • Aspek-aspek naratif karya sastra dari kebudayaan yang berbeda-beda. 
  • Penelitian aspek naratif sejak epik yang paling awal hingga novel yang paling modern.
  • Bentuk-bentuk arkhais dalam karya sastra, baik dalam konteks karya individual maupun generasi.
  • Bentuk-bentuk mitos dan sistem religi dalam karya sastra.
  • Pengaruh mitos, sistem religi, dan citra primordial yang lain dalam kebudayaaan populer.

e. Pendekatan Historis
Pendekatan historis mempertimbangkan historisitas karya sastra yang diteliti, yang dibedakan dengan sejarah sastra sebagai perkembangan sastra sejak awal hingga sekarang, sastra sejarah sebagai karya sastra yang mengandung unsur-unsur sejarah, dan novel sejarah, novel dengan unsur-unsur sejarah. Pendekatan historis pada umumnya lebih relevan dalam kerangka sejarah sastra tradisional.

Objek sasaran pendekatan historis, di antaranya, sebagai berikut:

  • Perubahan karya sastra dengan bahasanya sebagai akibat proses penerbitan ulang. 
  • Fungsi dan tujuan karya sastra pada saat diterbitkan.
  • Kedudukan pengarang pada saat menulis.
  • Karya sastra sebagai wakil tradisi zamannya.

f. Pendekatan Mitopoik
Secara etimologis mythopoic berasal dari myth. Mitos dalam pengertian tradisional memiliki kesejajaran dengan fabel dan legenda. Pendekatan mitopoik dianggap paling pluralis sebab memasukkan hampir semua unsur kebudayaaan, seperti: sejarah, sosiologi, antropologi, psikologi, agama, filsafat, dan kesenian. Vredenbreght (1983: 5) menyebutnya sebagai pendekatan holistis. Cara penelitian ini sudah dimulai sejak lama, sebelum lahirnya pendekatan objektif dengan teori strukturalisme.

g. Pendekatan Ekspresif
Pendekatan ekspresif berkaitan dengan hal, fungsi, dan kedudukan karya sastra sebagai manifestasi subjek kreator. Pendekatan ekspresif lebih banyak memanfaatkan data sekunder, data yang sudah diangkat melalui aktivitas pengarang sebagai subjek pencipta, jadi sebagai data literer. Wilayah studi ekspresif adalah diri penyair, pikiran, perasaan, dan hasil-hasil ciptaannya. Pendekatan ekspresif juga dapat dimanfaatkan untuk menggali ciri-ciri individualisme, nasionalisme, komunisme, dan feminisme dalam karya, baik karya sastra individual maupun karya sastra dalam kerangka produksi. Pendekatan ekspresif dominan abad ke-19, pada zaman Romantik.

h. Pendekatan Mimesis
Menurut Abrams (1976: 8-9) pendekatan mimesis merupakan pendekatan estetis yang paling primitif. Akar sejarahnya terdapat dalam pandangan Plato dan Aristoteles. Menurut Plato, dasar pertimbangannya adalah dunia pengalaman, yaitu karya sastra itu sendiri tidak bisa mewakili karya sastra sesungguhnya, melainkan hanya sebagai peniruan. Secara hirearkhis karya seni berada di bawah kenyataan. Pendekatan mimesis, khususnya dalam kerangka Abrams bertumpu pada karya sastra.

i. Pendekatan Pragmatik
Pendekatan pragmatis memberikan perhatian utama terhadap peranan pembaca. Subjek pragmatis dan subjek ekspresif, sebagai pembaca dan pengarang berbagi objek yang sama yaitu karya sastra. Secara historis (Abrams, 1976:16) pendekatan pragmatik telah ada tahun 14 SM, terkandung dalam Ars Poetica (Horatius). Secara teoretis dimulai dengan lahirnya strukturalisme dinamik. Pendekatan pragmatis secara keseluruhan berfungsi untuk menopang teori resepsi, teori sastra yang memungkinkan pemahaman hakikat karya tanpa batas.

j. Pendekatan Objektif
Pendekatan objektif mengindikasikan perkembangan pikiran manusia sebagai evolusi teori selama lebih kurang 2.500 tahun. Pendekatan objektif merupakan pendekatan yang terpenting sebab pendekatan apapun yang dilakukan pada dasarnya bertumpu atas karya sastra itu sendiri. Secara historis pendekatan ini dapat ditelusuri pada zaman Aristoteles dengan pertimbangan bahwa sebuah tragedy terdiri atas unsur-unsur kesatuan, keseluruhan, kebulatan, dan keterjalinan. Masuknya pendekatan objektif ke Indonesia sekitar tahun 1960-an, yaitu dengan diperkenalkannya teori strukturalisme, memberikan hasil-hasil yang baru sekaligus maksimal dalam rangka memahami karya sastra.



---------------------------------------------------
Referensi:
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme, Prespektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Paradigma Penelitian Sastra (Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra #2)


Secara etimologis paradigm berasal dari bahasa Latin (paradigma), bararti contoh, model, pola. Prinsip-prinsip paradigma dikembangkan oleh Thomas Kuhn dalam buku berjudul The Structure of Scientific Revolution terbit pertama tahun 1962. Menurut Ritzer (1980:2-24) paradigma, yaitu konsep-konsep dasar Kuhn itu sendiri, dibicarakan secara luas dalam barbagai ilmu pengetahuan sejak tahun 1970-an, dengan sendirinya dengan pokok permasalahan yang berbeda-beda, sesuai dengan disiplin yang bersangkutan. Inti permasalah yang dikemukankan oleh Kuhn adalah revolusi ilmiah dalam dunia ilmu pengetahuan. 
Perkembangan ilmu pengetahuan tidak terjadi secara kumulatif, melainkan secara evolusionis sejak preparadigmatis, paradigmatic itu sendiri, dan proses pengujian melalui kritik dan saran, yang diakibatkan oleh timbulnya paradigma-paradigma lain sebagai tandingan. Adanya perbedaan paradigma oleh para ilmuwan, disebabkan oleh: 
  1. Unsur dalam diri sendiri. 
  2. Unsur luar berupa llingkungan fisik.
  3. Unsur luar berupa penjelajahan metodologi dan teori.

Menurut Ritzer (1980: 2-24), ada empat factor yang mempengaruhi metode kualitatif:

  1. Faktor ontologism, keberadaan objek, yang dengan sendirinya berbeda di antara masing-masing ilmuwan. 
  2. Faktor epistemologis, bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan. Secara kualitataif, jarak antara subjek dengan objek dipersempit, bahkan seolah-olah tidak ada jarak.
  3. Faktor aksiologis, peneltian adalah penilaian, berbeda dengan penelitian kuantitatif yang bebas nilai.
  4. Faktor metodologi, keseluruhan proses penelitian, termasuk metode, teori, dan teknik.

Keterlibatan berbagai disiplin dengan berbagai paradigma memiliki segi positif, dengan pertimbangan sebagai berikut:
 

  1. Multiparadigma membuak cakrawala yang lebih luas, cara pemahaman ternyata tidak bersifat tunggal, melainkan plural. 
  2. Menghilangkan anggapan bahwa sebuah paradigma seperti juga sebuah teori, dapat menjawab semua permasalahan 
  3. Menciptakan terjadinya saling menghargai pendapat, kelebihan, dan kekurangan orang lain.
  4. Keberagaman paradigma jelas mengevokasi keberagaman-keberagaman khazanah kultural. 
  5. Pluralitas paradigma sesuai dengan semangat postrukturalisme, teori modern yang memberikan perhatian pada hakikat multicultural, dengan memberikan perhatian terhadap kearifan lokal.

-----------------------------------------------
Referensi:
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Sejarah Perkembangan Teori Sastra (Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra #1)


Teori berasal dari kata theoria (bahasa Latin). Secara etimologi teori berarti kontemplasi terhadap kosmos dan realitas. Teori juga diartikan perangkat pengertian, konsep, proposisi yang mempunyai korelasi, dan telah teruji kebenarannya. 

Menurut Fokkema dan Kunne-Ibsch (1977: 175), penelitan terhadap karya sastra pada umumnya memanfaatkan teori-teori yang sudah ada. Diduga bahwa kecenderungan ini didasarkan atas beberapa kenyataan, sebagai berikut:
  1. Teori-teori yang sudah ada dengan sendirinya sudah teruji, yaitu melalui kritik sepanjang sejarahnya.
  2. Teori dianggap sebagai unsur yang sangat penting, lebih dari semata-mata alat.
  3. Belum terciptanya sikap-sikap percaya diri atas hasil-hasil penemuan sendiri, khususnya dalam bidang teori.

Secara genesis dengan demikian dalam proses penelitian teori diperoleh dengan dua cara, sebagai berikut:
  1. Penelitian memanfaatkan teori terdahulu, pada umumnya disebut sebagai teori formal, dengan pertimbangan bahwa teori tersebut secara formal sudah ada sebelumnya. Teori formal seolah-olah bersifat deduksi dan apriori.
  2. Penelitian memanfaatkan teori yang ditemukannya sendiri,teori yang diperoleh melalui manfaat, hakikat, dan abstraksi data yang diteliti, yang pada umumnya disebut teori substantive sebab diperoleh melalui substansi data.
Kedua jenis teori masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya. Dari segi penelitian, teori formal seolah-olah merupakan teori yang siap pakai, sehingga dalam penelitian para peneliti hanya menerapkan. Kekurangannya adalah tidak adanya aktivitas untuk menemukan teori yang baru, sehingga terjadi stagnasi dalam bidang teori. Kelemahan teori formal ini terpenuhi oleh usaha penelitian yang mencoba menemukan teori substantive. 
Pemanfaatan teori formal, menurut Vredenbreghat, memiliki kelebihan dalam kaitannya dengan usaha penelitian, sepanjang sejarahnya, untuk secara terus-menerus memperbaharui sekaligus mengujinya,melalui data yang berbeda-beda, sehingga teori makin lama makin sempurna. Dalam hubungan inilah disebutkan bahwa suatu teori tidak disajikan secara definitive, melainkan secara tentative.

Teori jelas merupakan klimaks dalam suatu penjelajahn keilmuan. Penemuan terhadap teori-teori beru dianggap sebagai kualitas akademis yang dapat dijadikan sebagi tolok ukur kemajuan ilmu pengetahun. Meskipun demikian, teori bukan merupakan tujuan utama. Teori adalah “alat” yang melaluinya suatu penelitian dapat dilakkukan secara lebih maksimal.
Tujuan pokok teori tetap pemahaman terhadap objek. Oleh karena itulah, apabila terjadi ketidakseimbangan di antara teori dengan objek, maka yang dimodifikasi adalah teori, bukan objek. Dalam hubungan inilah dapat dikemukakan bahwa sebuah teori disebut baik apabila memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
  1. Mudah disesuaikan dengan ciri-ciri karya yang akan dianlisis.
  2. Mudah disesuaikan dengan metode dan teori yang menyertainya.
  3. Dapat dimanfaatkan untuk menganalisis baik ilmu yang sejenis maupun berbeda.
  4. Memiliki formula-formula yang sederhana, tetapi mengimplikasikan jaringan analisis yang kompleks.
  5. Memiliki prediksi yang dapat menjangkau objek jauh ke masa depan.

Teori dan metode berfungsi untuk membantu menjelaskan hubungan dua gejala atau lebih, sekaligus meramalkan model hubungan yang terjadi. Fungsi lain dari teori dan metode adalah kemampuannya untuk memotivasi, mengevokosi, sekaligus memodifikasi pikiran-pikiran peneliti. Sebagai alat teori berfungsi untuk mengarahkan suatu penelitian, sedangkan analisis secara langsung dilakukan melalui instrument yang lebih kongkret, yaitu metode dan teknik. Teori sastra dalam hal ini diterjemahkan sebagai seperangkat konsep yang saling berkaitan secara ilmiah, yang disajikan secara sistematis, yang berfungsi untuk menjelaskan sejumlah gejala sastra. 
Apabila teori sastra memberikan intensitas pada konsep, prinsip, dan kategori (Wellek dan Werren, 1962: 38-40), kritik sastra memberikan intensitas pada penilaian, sedangkan sejarah sastra pada proses perkembangannya. Sebagai alat, tujuan utama teori, dengan metode dan tekniknya, adalah mempermudah pemahaman terhadap objek, sekaligus memberikan keluaran secara maksimal.

Dengan mempertimbangkan karya sastra merupakan bagian integral kebudayaan, penerapan teori dilakukan melalui dua tahapan, pertama, teori dalam kaitannya dengan sastra sebagai produk sosial tertentu, kedua, teori dalam kaitannya dengan karya sastra sebagai hakikat imajinasi dan kreativitas. Model pertama sama dengan penelitian ilmu humaniora dan ilmu sosial yang lain, artinya, karya sastra dianggap sebagai produk sosial, karya sosial sebagai fakta sosial, yang dengan sendirinya dipecahkan atas dasar kenyataan yang sesungguhnya.

Perbedaan objek, dalam hubungan ini sebagai sastra lama dan sastra modern, tidak berpengaruh terhadap teori dan metode penelitian. Artinya, baik sastra lama maupun sastra modern dapat diteliti dengan menggunakan metode yang sama. Teori structural, semiotika, dan resepsi, termasuk postrukturalisme, dapat digunakan untuk menganalisis baik sastra lama maupun sastra modern. 
Dalam hal ini, berbeda dengan objek, aspek kebaruan dalam teori dan metode merupakan syarat pokok. Dengan kalimat ini, kualitas teori dan metode justru terletak dalam aspek kebaruannya, kemutakhirannya. Teori yang lama dengan sendirinya harus ditinggalkan, digantikan dengan teori yang terakhirlah yang dianggap paling relevan. Intensitas terhadap kebaruan teori disebabkan oleh hal-hal berikut ini:
  1. Teori dan metode adalah alat dan cara penelitian.
  2. Teori dan metode adalah hasil penemuan.
  3. Teori dan metode adalah ilmu pengetahuan.

Pesatnya perkembangan teori sastra selama satu abad sejak awal abad ke-20 hingga awal abad ke-21 dipicu oleh beberapa indicator, sebagai berikut: data, menganalisis data, dan menyajikan hasil penelitian.
  1. Medium utama sastra adalah bahasa, sedangkan dalam bahasa itu sendiri sudah terkandung problematika yang sangat luas.
  2. Sastra memasukkan berbagai dimensi kebudayaan, sedangkan dalam kebudayaan itu sendiri juga sudah terkandung permasalahan yang sangat beragam.
  3. Teori-teori utama dalam sastra sudah berkembang sejak zaman Plato dan Aristoteles, yang dengan sendirinya telah dimatangkan dalam berbagai disiplin, khususnya filsafat.
  4. Kesulitan dalam memahami gejala sastra memicu para ilmuwan untuk menemukan berbagai cara, berbagai teori-teori yang baru.
  5. Ragam sastra sangat banyak dan berkembang secara dinamis, kondisi-kondisi sastra yang juga memerlukan cara pemahaman yang berbeda-beda.

Dalam ilmu sastra, yang dimaksudkan dengan penelitian adalah kegiatan untuk mengumpulkan elitian dalam ilmu sosial dan ilmu humaniora yang lain, penelitian ilmu sastra merupakan usaha kongkret, dilakukan dengan sengaja, sistematis, dengan sendirinya menggunakan teori dan metode secara formal. Tujuannya adalah menemukan prinsip-prinsip baru yang belum ditemukan oleh orang lain. Dikaitkan dengan tujuannya, lokasi penelitian ada dua macam, yaitu penelitian lapangan dan penelitian perpustakaan. 
Penelitian lapangan dilakukan dalam kaitannya dengan objek penelitian yang memanfaatkan kejadian langsung. Seperti penerbitan, pembacaan, penggunaan, dll. Penelitian perpustakaan dilakukan dalam kaitannya dengan objek dalam bentuk karya tertantu. Artinya, objek tersebtu dianggap sah, sudah cukup diri untuk mewakili keseluruahan data yang diperlukan. Dalam bidang ilmu sastra, sebuah novel, dan lain-lain.

Dalam hal ini, penelitian sastra mempertimbangkan ciri-ciri sebagai berikut:
  1. Hipotesis dan asumsi tidak diperlukan sebab analisis bersifat deskripsi, bukan generalisasiGejala sastra tidak berulang, makna tidak tetap yang justru merupakan hakikat.
  2. Populasi dan sampel tidak mutlak diperlukan, kecuali dalam penelitian tertentu, misalnya, penelitian yang melibatkan sejumlah karya, atau sejumlah konsumen.
  3. Kerangka penelitian tidak bersifat tertutup, korpus data bersifat terbuka, deskripsi dan pemahaman berkembang terus.
  4. Tidak diperlukan objektivitas dalam pengertian yang umum sebab penelitia terlibat secara terus-menerus, objektivitas terjadi pada saat penelitian dilakukan.
  5. Objek yang sesungguhnya bukanlah bahasa, tetapi wacana, teks, sebab sebagai hakikat diskusif bahasa sudah terikat dengan system model kedua dengan berbagai system komunikasinya.

-------------------------------------------
Referensi:

Tuesday, July 14, 2015

Puisi Sitor Situmorang



Sastrawan angkatan 45 ini lahir di Harianboho, Samosir, Sumatera Utara 2 Oktober 1924. Sitor sempat menetap di Paris. Pada 1981 menjadi dosen di Universitas Leiden, Belanda, dan pensiun 10 tahun kemudian. Sejak 2001 ia kembali tinggal di Indonesia.

Beragam karya sastra Sitor yang sudah diterbitkan, antara lain Surat Kertas Hijau (1953), Dalam Sajak (1955), Wajah Tak Bernama (1955), Drama Jalan Mutiara (1954), cerpen Pertempuran dan Salju di Paris (1956), dan terjemahan karya dari John Wyndham, E Du Perron RS Maenocol, M Nijhoff. Karya sastra lain, yang sudah diterbitkan, antara lain puisi Zaman Baru (1962), cerpen Pangeran (1963), dan esai Sastra Revolusioner (1965).
Berikut ini puisi-puisi Sitor Situmorang dalam kumpulan Rindu Kelana (Pilihan Sajak 1948- 1993). 
-----------------------------------------------

Kaliurang (Tengah Hari)

Kembali kita berhadapan
Dalam relung sepi ini
Dari seberang lembah mati
Bibirmu berkata lagi
Napasmu mengelus jiwaku
Tersingkap kabut Dataran
Dan kutahu di tepi selatan
Laut ‘manggil aku berlayar dari sini

Tungguhlah aku akan datang
Biar kelam datang kembali
Dengan angin malam aku bertolak
Ke negeri, kabut tidak mengabur pandang
Mati, berarti kita akan bersatu lagi.

***

PerhitunganBuat Rivai Apin

Sudah lama tidak ada puncak dan lembah
Masa lempang-diam menyerah
dan kau tahu di ujung kuburan menunggu kesepian
Aku belum juga rela berkemas
Manusia, mengapa malam bisa tiba-tiba menekan
dada?
Sedang rohnya masih mengembara di lorong-lorong
Keyakinan dulu manusia bisa
hidup dan dicintai habis-habisan
Belum tahu setinggi untung bila bisa menggali
kuburan sendiri
Rebutlah dunia sendiri
dan pisahkan segala yamg melekat lemah
Kita akan membubung ke langit menjadi bintang
jernih sonder debu
Detik kata jadikan abad-abad
Abad-abad kita hidupi dalam sekilas bintang
Sesudah itu malam, biarlah malam
Bila hidup menolak
Ia kita tinggalkan seperti anak
yang terpaksa puas dengan boneka
Mereka akan menari dan menyanyi terus
Tapi tak ada lagi kita
Sedang mereka rindu pada cinta garang
Mereka akan menari dan menyanyi terus
Tentang abad dan detik yang ‘lah terbenam
Bersama kita, tarian perawan janda ….


***


Lereng Merapi

Kutahu sudah, sebelum pergi dari sini
Aku Akan rindu balik pada semua ini
Sunyi yang kutakuti sekarang
Rona lereng gunung menguap
Pada cerita cemara berdesir
Sedu cinta penyair
Rindu pada elusan mimpi
Pencipta candi Prambanan
Mengalun kemari dari dataran ….
Dan sekarang aku mengerti
Juga di sunyi gunung
Jauh dari ombak menggulung
Dalam hati manusia sendiri
Ombak lautan rindu
Semakin nyaring menderu ….

***

Dia dan Aku

Akankah kita bercinta dalam kealpaan semesta?
- Bukankah udara penuh hampa ingin harga? -
Mari, Dik, dekatkan hatimu pada api ini
Tapi jangan sampai terbakar sekali
Akankah kita utamakan percakapan begini?
- Bukankah bumi penuh suara inginkan isi? -
Mari, Dik, dekatkan bibirmu pada bisikan hati
Tapi jangan sampai megap napas bernyanyi
Bukankah dada hamparkan warna
Di pelaminan musim silih berganti
Padamu jua kelupaan dan janji
Akan kepermainan rahasia
Permainan cumbu-dendam silih berganti
Kemasygulan tangkap dan lari

***

Surat Kertas Hijau

Segala kedaraannya tersaji hijau muda
Melayang di lembaran surat musim bunga
Berita dari jauh
Sebelum kapal angkat sauh
Segala kemontokan menonjol di kata-kata
Menepis dalam kelakar sonder dusta
Harum anak dara
mengimbau dari seberang benua
Mari, Dik, tak lama hidup ini
Semusim dan semusim lagi
Burung pun berpulangan
Mari, Dik, kekal bisa semua ini
Peluk goreskan di tempat ini
Sebelum kapal dirapatkan

***

Amoy-Aimee

Terbakar lumat-lumat
Menggapai juga lidah ingin
Api di pediangan
Terkapar sonder surat
Mati juga malam dingin
Lahirnya hari keisengan
Mari, cabikkan malam Amoy
Jika terlalu – ingin malam ini
Besok ada mentari sonder hati
Belum apa-apa hampa begini
Jauh dalam terowongan nadi
Berperang bumi dan sepi

***

Kebun Binatang

Kembang, boneka dan kehidupan
Kembang, boneka dan kerinduan
Si adik ini ingin teman
Si anak ini punya ketakutan
Hari-hari kemarin
Punya keinginan
Berumah ufuk, ombak menggulung
Hari-hari kandungan
Tolak keisengan
Ramai-ramai di kebun binatang
Kembang, boneka dan kehidupan
Kembang dan kerinduan
Si adik ini ingin teman
Boneka ini punya kesayuan
Hari-hari datang
Hari kembang di kebun binatang
Hari bersenang
Pecah dalam balonan
Kembang, boneka dan kehidupan
Kembang dan kerinduan
Si adik ini ingin teman
Boneka ini punya kesayuan

***

Matahari Minggu

Di hari Minggu di hari iseng
Di silau matahari jalan berliku
Kawan habis tujuan di tepi kota
Di hari Minggu di hari iseng
Bersandar pada dinding kota
Kawan terima kebuntuan batas
Di hari panas tak berwarna
Seluruh damba dibawa jalan
Di hari Minggu di hari iseng
Bila pertemuan menambah damba
Melingkar di jantung kota
Ia merebah pada diri dan kepadatan hari
Tidak menolak tidak terima



------------------------------------------------------------
Download: Puisi Sitor Situmorang (pdf)
DOWNLOAD