Tuesday, July 14, 2015

Aliran Penelitian Sastra (Metodologi Penelitian Sastra #4)


A. Ciri Aliran Penelitian Klasik
Aliran penelitian sastra adalah sebuah kecenderungan yang tampil pada suatu zaman. Setiap era kadang-kaddang memiliki tedensi yang berbeda-beda, sehgingga melahgirkan aliran tertentu pula. Berbagai aliran sastra memang cukup banyak jumlahnya. Setiap aliran sastra, disadari atrau tidak juga telah mewarnaai lahirnya berbagai model atau pendekatan penelitian sastra. Oleh karena, setiap peneliti kadang-kadang terbawa arus dan secara sadar mengikuti aliran tersebut.

Aliran yang tergolong klasik dan modern juga seringkali mewarnai arah penelitian sastra. Seorang peneliti yang dihadapkan pada suatru aliran, secara otomatis akan mengkuti aliran tersebut dalam penelitiannya. Karenanya, seorang penelitri lalu menciptakan sisi pandang tertentu dalam pemahaman karya sastra. Cara pandang inilah yang kelak sering dinamakan pendekatan.

Pendekatan klasik penelitian sastra, pada awanya berasal dari Yunani dan Romawi Kuno. Namun penelitian klasik selanjutnya tidak selalu demikian. Pelitian sastra yang selalu mengandalkan logika, akal, dan menekankan bahwa karya sastra harus memenuhi fungsinya, termasuk penelitian klasik. Penelitian klasik, yang sering dinamakan pendekatan tradisional, memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

  1. Hasil penelitian sastra harus sejalan dengan tujuan yang disampaikan penulisnya.
  2. Penelitian sastra mmenggunakan pendekatan klasik biasanya menekankan pada ajaran moral karya sastra.

B. Penelitian Beraliran Ekspresivisme
1. Munculnya Ekspresivisme
Penelitian ekspresivisme sastra adalah model penelitian yang jarang dilakukan oleh peneliti sastra. Penelitian yang berupa kajian semi-psikologis ini mungkin kurang menarik dan atau dipandang kurang menguntungkan bagi penelitinya. Mungkin sekjali, pengarangnya telah tiada, atau jauh dari pembaca. Karenanya jika penelitian ekspresivisme sekadar bersumber pada teks sering dianggap kurang lengkap.

Penelitian ekspresivisme lebih memandang karya sastra sebagai eskpresi dunia batin pengarangnya. Karya diasumsikan sebagai curahan gagasan, angan-angan, cita-cita, pikiran, kehendak, dan pengalaman batin pengarang. Tentu saja, pengalaman itu telah dimasak dan diendapkan dalam waktu yang relatif panjang, sehingga bukan berupa pengalaman mentah yang terputus-putus. Pengalaman batin itu akan menjadi pendorong kuat bagi lahirnya karya sastra. Pengalaman tersebut lebih individual dan bersifat imajinasi yang disintesiskan dalam sebuah karya sastra.

2. Kritik Ekpresivisme
Kehadiran penelitian eskpresivisme memang banyak diragukan oleh ilmuwan sastra. Penelitian ini dianggao kurang memenuhi kode-kode ilmiah, karena sering dilanda subjektivita pencipta ketika di diwawancarai. Kecuali itu pencipta sendiri seringkali telah lupa terhadap karya-karya yang dihasilkan. Hanya karya tertentu saja yang sering teringat pada diri pencita, misalnya saja karya yang pernah mendapat penghargaan. Sedangkan karya yang mengorbit lewat media masa, seringkali asalkan telah terbit dilupakan oleh penciptanya.

Pencipta tidak lagi teringat seratus persen tentang penciptaan. Dari persoalan itu, sering seorang pencipta melakukan kebohongan tertentu. Pencipta lebih cerdik memanipulasi alasan penciptaan. Manipulasi itu sebenarnya dapat menjadi penelitian tersendiri. Disamping itu, ketika karya telah lolos dari tangan pencipta, biasanya pengarang “lepas tangan”, kurang bertanggung jawab atas pengaruh karya tersebut. Hal ini sering menyebabkan ungkapan spontan pencipta pada saat wawancara menjadi bias. Itulah sebabnya cukup beralasan kalau Wimsatt dan Beardsley ( Tahun 1997 : 26) menaruh keberatan atas kehadian ekspresivisme.

3. Aspek yang Diungkap
Penelitian ekspresivisme sebenarnya tidak terlalu sulit asalkan penulis masih hidup dan tinggal tidak terlalu jauh jaraknya dengan peneliti. Karenanya, jaringan komunikasi peneliti dengan penulis perlu ditekankan agar proses penelitian berjalan lancar. Berbagai hal yang seharusnya diungkap dalam penelitian ekspresivisme adalah :

  1. Memahami lebih mendalam bahwa pengarang adalah orang yang cerdas dan cerdik bermain estetika.
  2. Bagaimana penguasaan bahasa sastrawan sehingga mampu memikat pembaca.
  3. Seberapa jauh pengarang memiliki kepekaan terhadap persoalan kehidupan, baik yang menyangkut dunia mungkin maupun dunia lain

C. Penelitian Beraliran Romantisme
Penelitian sastra aliran romantisme selalu berprinsip bahwa karya sastra merupakan cermin kehidupan realitik. Karya sastra adalah kisah kehidupan manusia yang penuh liku-liku. Pengungkapan realitas kehidupan tersebut menggunakan bahasa yang indah, sehingga dapat menyentuh emosi pembaca. Keindahan menjadi fokus penting dalam kajian romantisme. Misalkan, gambaran gadis cantik atau jejaka tampan, dilukiskan sesempurna mungkin. Pelukisan itu seringkali menggiurkan pembaca.

Penelitian romantisme biasanya terfokus pada karya-karya yang melukiskan kehidupan seksual secara detail. Lukisan kehidupan seks yang penuh birahi ini, justru menarik perhatian. Oleh karena itu peneliti telah mengasumsikan bahwa karya sastra yang bermutu adalah karya yang mampu melukiskan kehidupan sedetail mungkin.

D. Penelitian Beraliran Simbolisme dan Mistisisme
Aliran simbolik biasanya berupa karya yang mengungkapkan pikiran dan perasaan menggunakan simbol tertentu. Simbol-simbol itu diabstrasikan agar pembaca semakin tertarik dan penasaran. Simbol yang biasa digunakan adalah benda-benda dan mahkluk di luar manusia. Pemakaian tokoh-tokoh binatang atau tumbuhan yang dapat berbicara seperti manusia, adalah contoh aliran ini.


Melalui aliran simbolik itu, lalu banyak muncul dongeng-dongeng, legenda dan mite. Cerita semacam ini merupakan gambaran hidup manusia, meskipun tokoh-tokohnya sebagian besar adalah binatang. Di Indonesia, aliran simbolik pernah mengemuka ketika muncul dongeng-dongeng binatang. Misalkan saja Dongeng Sato Kewan karya Prijana Winduwinata. Dongeng ini bertokohkan binatang, terutama si Kancil, padahal isinya sebenarnya berbau politik pada saat itu. Ini berarti, aliran simbolik banyak diikuti pengarang-pengarang yang ingin membungkus karyanya. Pembukusan itu dimaksudkan agar tidak terlalu kentara jika berisi pesan ataupun kritik pedas.

---------------------------------------------------------------
Referensi:
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama

No comments:

Post a Comment