Tuesday, July 14, 2015

Epistemologi Penelitian Sastra (Metodologi Penelitian Sastra #3)


A. Seluk beluk Epistemologi
Epistemologi bersal dari bahasa Yunani, episteme, artinya pengetahuan dan logos artinya ilmu. Epistomologi adalah dasar-dasar filosofi ilmu pengetahuan. Menurut Foucault (Kurniawan, 2001: 36-37) Episteme adalah sistem apriori historis tertentu dalam suatu zaman yang tidak disadari oleh orang-orang pada zxaman itu, tetapi secara tersembunyi menentukan pemikiran, pengamatan, dan pembicaraan mereka. Episteme sebenarnya merupakan sekumpulan relasi yang menyatukan, pada periode tertentu, praktek-praktek diskursif yang memberi kemunculan bentuk-bentuk epistemologi, ilmu-ilmu dan kemungkinan sistem-siste yang diformulasikan, suatu cara yang setiap formulasi-formulasi diskursif ini transisi-transisi ke pengepistemologian, keilmiahan, dan formula disituasikan dan dioperasikan.

Dari pendapat demikian, epistomologi sesungguhnya merupakan system pengetahuan yang tertata, teratur dan logis. Epistomologi adalah ilmu tentang metodologi dan dasar-dasar pengetahuan dengan keterbatasan dan kekuasaannya. Dari sini akan diperoleh pemahaman epistomolog sastra berarti juga hal ihwal yang menyangkut aspek hakikat metodologis penelitian sastra. Aspek ini mestinya mampu mengemukakan hal-hal mana yang dapat dikategorikan sastra dan non sastra, mana yang menjadi obyek penelitian dan mana yang bukan, serta bagaimana kajian yang lebih sistematis.

B. Penelitian Sastra sebagai Ilmu
Ada sebuah artikel kecil yang mempertanyakan keberadaan penelitian sastra, yaitu “Dapatkah karya sastra diteliti?”. Pertanyaan yang sebenarnya tidak harus dijawab dengan kusir ini, sebenarnya mengarahkan agar peneliti sastra perlu bersikap hati-hati. Peneliti yang berhadapan dengan sastra, berarti akan terkait dengan sejumlah fakta yang “luar biasa” dan unik. Artinya di dalam karya sastra akan mencerminkan berbagai fakta yang kemungkinan membutuhkan kecermatan dalam penelitian.

Sastra, pada dasarnya akan mengungkapkan kejadian. Namun kejadian tersebut bukanlah “fakta sesungguhnya” melainkan sebuah fakta mental pencipta. Pencipta sastra telah mengolah halus fakta obyektif menggunakan daya imajinasi, sehingga tercipta fakta mental imajinatif. Dari sini jika peneliti hendak mengungkap fakta tersebut tentu memerlukan kejelian. Tantangannya tak lain, penliti harus tepat dalam menerapkan metode penelitian sastra. Jika tidak, kemungkinan besar akan menghasilkan penelitian yang bisa data.

C. Antara Subyektivitas dan Obyektivitas
Peneliti sastra kadang-kadang dianggap latah dan sisa-sia. Maksudnya, peranan penelitian yang langsung dapat dipetik darinya, tetap diragukan oleh banyak pihak. Karena, ada berbagai hal yang tetap dianggap misteri dalam konteks penelitian tersebut. Setidaknya, dari sisi keilmiahan penelitian sastra sering dianggap rendah. Oleh karena, karya sastra sebagai fenomena imajinatif yang sulit dideteksi dan diukur validitasnya. Itulah sebabnya kejanggalan dalam penelitian sastra selalu muncul.

Jika penelitian sastra tadi benar-benar telah dilakukan, seringkali juga dianggap terlalu akademis. Bahkan seringkali ada perlakuan”mati” terhadap karya sastra oleh si peneliti. Maksudnya peneliti sekedar bertindak seperti seorang dokter bedah mayat yang ada di rumah sakit. Akibatrnya, sisi-sisi kemanusiaan yang lekat dalam karya sastra sulit tertangkap. Jika yang terakhir ini pun sulit terhindarkan. Akhirnya, ilmuwan dan peneliti sastra selalu menjadi hamba yang tak pernah sampai dalam memahami karya sastra.

D. Positivisme dan Konstruk Penelitian Sastra
Positivisme adalah paham filosofi yang mendasari peneliti melakukan kajian. Mereka meyakini bahwa karya sastra sebagai ungkapan pandangan hidup atau iklim perasaan dalam masyarkat. Kaum positivistic beranggapan bahwa : (a) ada hubungan kasualitas antara kehidupan dengan karya seorang pengarang, (b) sesuatu dapat diterangkan apabila sebabnya dapat dilacak kembali(orientasi sejarah), (c) sastra dapat diterangkan secara tuntas dengan menelusuri kembali sejarah terjadinya, misalnya fakta hidup pengarang, kejadian geografik dan historis.

Dari tiga ciri tersebut, tampak bahwa kaum positivistic lebih mengedepankan regularitas penelitian. Fenomenba sastra dengan sendirinya dianggap memiliki regularitas seperti halnya ilmu alam. Kepastian makna menjadi cirri paham ini, maka mereka mempercayai bahwa setiap sastra dianggap memiliki nilai didik yang positif. Karya sastra akan menyampaikan tujuan tertentu yang mengikuti hubungan kausal. Hal ini berarti bahwa prinsip keajegan selalu dipegang oleh paham positivistic.

--------------------------------------------------------
Referensi:
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama

No comments:

Post a Comment