Tuesday, July 14, 2015

Pengembangan Penelitian Struktural Sastra (Metodologi Penelitian Sastra #7)


1. Strukturalisme Genetik
Strukturalisme genetik (genetik structuralism) adalah cabang penelitian sastra secara struktural yang tak murni. Ini merupakan bentuk penggabungan antara struktural dengan metode penelitian sebelumnya. Konvergensi penelitian struktural dengan penelitian yang memperhatikan aspek-aspek eksternal karya sastra, dimungkinkan lebih demokrat. Paling tidak, kelengkapan makna teks sastra akan semakin utuh.

Menurut Goldman, karya sastra sebagai struktur bermakna itu akan mewakili pandangan dunia (vision du monde) penulis, tidak sebagi individu melainkan sebagai anggota masyarakatnya. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa strukturalisme genetik merupakan penelitian sastra yang menghubungkan antara struktur masyarakat melalui pandangan dunia atau ideologi yang diekspresikannya. Oleh karena itu, karya sastra tidak akan dapat dipahami secara utuh jika totalitas kehidupan masyarakat yang telah melahirkan teks sastra diabaikan begitu saja. Pengabaian unsur masyarakat berarti penelitian sastra menjadi pincang.

Pandangan dunia, yang bagi Goldman selalu terbayang dalam karya sastra agung, adalah abstraksi (bukan fakta empiris yang memiliki eksistensi obyektif). Abtraksi itu akan mencapai bentuknya yang konkret dalam sastra. Oleh karena pandangan dunia itu suatu bentuk kesadaran kolektif yang mewakili identitas kolektifnya, maka dia secara sahih dapat mewakili kelas sosialnya. Pandangan inilah yang menentukan struktur suatu karya sastra. Oleh karena itu, karya sastra dapat dipahami asalnya dan terjadinya (unsur genetiknya) dari latar belakang sosial tertentu. Keterikatan pandangan dunia penulis dengan ruang dan waktu tertentu tersebut, bagi Goldman merupakan hubungan genetik, karenanya disebut strukturalisme genetik. Dalam kaitan ini, karya sastra harus dipandang dari asalnya dan kejadiannya.

Teknik analisis yang digunakan dalam strukturalisme genetik adalah model dialektik. Teknik ini berbeda dengan positivistik, intuitif, biografi dan sebagainya. Model dialektik mengutamakan makna yang koheren. Prinsip dasar teknik analisis dialektik adalah adanya pengetahuan mengenai fakta-fakta kemanusiaan akan tetap abstrak apabila tidak dibuat konkret dengan mengintegrasikan ke dalam totalitas. Sehubungan dengan hal tersebut, metode dialektik mengembangkan dua macam konsep, yaitu “keseluruhan-bagian’ dan “pemahaman-penjelasan.

Goldman menyatakan bahwa sudut pandang dialektik berbeda dengan sudut pandang rasional dan sudut pandang empirik. Sudut pandang rasionalis biasanya mengansumsikan adanya gagasan yang berasal dari pembawaan dan secara langsung dapat didekati, sedangkan kaum empirik menyandarkan diri pada kesan inderawi. Dua sudut pandang penelitian ini sama-sama mengharuskan agar ditemukannya pengetahuan secara pasti. Kedua sudut pandang ini memang berbeda dengan sudut pandang dialektik, yang berasumsi bahwa dalam analisis sastra tidak pernah ada titik awal yang secara mutlak valid, tidak ada persoalan yang secara final pasti terpecahkan.

2. Strukturalisme Dinamik

Strukturalisme dinamik lebih merupakan pengembangan strukturalisme murni atau klasik juga. Strukturalisme dinamik mengakui kesadaran subyektif dari pengarang, mengakui peran sejarah serta lingkungan sosial, meski bagaimanapun sentral penelitian tetap pada karya sastra itu sendiri. Perbedaan pokok antara strukturalisme genetik dan dinamik terletak pada subyek yang diteliti. Strukturalisme dinamik lebih menekankan pada karya-karya masterpice, karya mainstream, dan karya agung.

Strukturalisme dinamik lebih fleksibel dalam menerapkan teori penelitian. Teori yang dipakai biasanya merupakan gabungan sedikit-sedikit antara teori satu dengan yang lain. Penelitian ini menolak asumsi-asumsi strukturalisme murni yang sangat menolak kesadaran subyektif, takluk pada sistem, menolak historismer, mengidolakan sinkronik dan anti humanisme. Atas dasar ini, strukturalisme dinamik justru mengenalkan penelitian sastra dalam kaitannya dengan sistem tanda. Caranya adalah menggabungkan kajian otonom karya sastra dan semiotik. Kajian otonom dilakukan secara intrisik dan kajian semiotik akan merepresentasikan teks sastra sebagai ekspresi gagasan, pemikiran, dan cita-cita pengarang. Gagasan tersebut dimanifestasikan dalam tanda-tanda khusus. Kepaduan antar struktur otonom dan tanda ini, merupakan wujud bahwa struktur karya sastra bersifat dinamik.

3. Strukturalisme Semiotik
Dari kodratnya, karya sastra merupakan refleksi pemikiran, perasaan dan keinginan pengarang lewat bahasa. Bahasa ini sendiri tidak sembarang bahasa, melainkan bahasa khas. Yakni bahasa yang memuat tanda-tanda satu semiotik. Bahasa itu akan membentuk sistem ketandaan yang dinamakan semiotik dam ilmu yang mempelajari masalah ini, adalah semiologi. Semiologi juga sering dinamakan semiotika, artinya ilmu yang mempelajari tanda-tanda dalam karya sastra.

Model struktural semiotik muncul sebagai akibat ketidakpuasan terhadap kajian struktur. Jika struktural sekadar menitikberatkan aspek intrisik, semiotik yang demikan halnya, karena paham semiotik mempercayai bahwa karya sastra memiliki sistem tersendiri. Itulah sebabnya muncul kajian struktural semiotik, artinya penelitian yang menghubungkan aspek-aspek struktural dengan tanda-tanda. Tanda sekecil apapun dalam pandangan semiotik tetap diperhatikan.


Kajian struktural semiotik akan mengungkap karya sastra sebagai sistem tanda. Tanda tersebut merupakan sarana komunikasi yang bersifat elastis. Karenanya setiap tanda membutuhkan pemaknaan (Segers, 2000: 6), membagi tiga jenis sarana komunikasi, yaitu signal dan symbol. Signal adalah tanda-tanda yang merupakan elemen terendah, seperti halnya sebuah stimulus pada sebuah bintang. Sign adalah tanda-tanda. Symbol adalah lambang yang bermakna. Ketiganya seringkali digunakan tidak secara terpisah dalam dunia sastra. Karena itu, tugas peneliti sastra adalah meberikan rincian ketiganya, sehingga makna sastra itu menjadi jelas.

Sistem kerja penelitian semiotik dapat menggunakan dua model pembacan, yaitu heuristik dan hermeneutik. Pembacaan heuristik adalah telaah dari kata-kata, bait-bait (line), dan term-term karya sastra. Sedangkan pembacaan hermeneutik merupakan penafsiran atas totalistas karya sastra.

Fokkema dan Kunne-Ibsch (1977:166) memberikan acuan bahwa penelitian semiotik sekurang-kurangnya perlu memperhatikan tiga aspek utama, yaitu (a) the construction of abstract scientific models, (b) explanatory model, (c) schematic simplication. Sedangkan menurut Riffaterre (1978:1-2) penelitian semiotik perlu memperhatikan tiga hal juga, yaitu (1)displacing of meaning (penciptaan arti), (2) distorting of meaning (penyimpangan arti), (3) creating of meaning (penciptaan arti). Meskipun konsep analitik itu banyak digunakan dalam penelitian puisi, tidak berarti tidak dapat diterapkan pada genre lain. Genre drama dan prosa pun dapat memanfaatkan hal ini.


--------------------------------------------------

Referensi:
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama


No comments:

Post a Comment