Saturday, July 18, 2015

Teori-teori Komunikasi dalam Karya Sastra (Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra #6)

Teori-teori Komunikasi dalam Karya Sastra

Secara etimologis komunikasi berarti hubungan. Sebagai gejala komunikasi karya sastra sastra menunjuk pada sistem yang menghubungkan karya dengan pengarang dan pembaca. Menurut Segers (1978: 24-25) komunikasi sastra lebih rumit dibandingkan dengan komunikasi mesin. Lebih jauh, menurut Ducan (1962: 56), untuk mempelajari komunikasi, kita mesti mempelajari seni.

Salah satu ciri karya sastra yang sangat penting adalah fungsinya sebagai sistem komunikasi. Karya sastra dihasilkan melalui imajinasi dan kreativitas, sebagai hasil kontemplasi secara individual, tetapi karya sastra ditujukan untuk menyampaikan suatu pesan kepada orang lain, sebagai komunikasi. Model Jakobson, dengan enam faktor bahasa (addresser, addressee, context, message, contact, dan code) beserta enam fungsinya (emotive, conative, referential, poetic, phatic, dan metalingual), demikian juga model pendekatan Abrams (ekspresif, pragmatik, mimetik, dan objektif), dianggap sebagai ciri-ciri komunikasi yang mendasari penelitian sastra selanjutnya.

Secara garis besar komunikasi dilakukan melalui:

  1. interaksi sosial,
  2. aktivitas bahasa (lisan dan tulisan),
  3. mekanisme teknologi.

1. Pengarang: Ciri-ciri Anonimitas
Pengarang adalah anggota masyarakat biasa, sama seperti orang lain. Kemampuannya dalam menghasilkan karya sastra disebabkan oleh perbedaaan kualitas, yaitu kualitas dalam memanfaatkan emosionalitas dan intelektualitas, bukan perbedaaan jenis.

Ciri-ciri yang harus dimiliki oleh seorang pengarang, diantaranya:

  1. pengarang harus memiliki keterampilan menulis,
  2. pengarang dapat mengorganisasikan keseluruhan pengalaman,
  3. pengarang harus memiliki ketajaman emosionalitas dan intelektualitas,
  4. pengarang harus memiliki kecintaan terhadap masalah-masalah kehidupan, dan
  5. pengarang harus memiliki kekuatan imajinasi.

Fluktuasi peranan pengarang sepanjang sejarah sastra Barat dapat dijelaskan sebagai berikut:

  1. Abad pertama hingga abad ke-16, dengan diilhami oleh Longinus, memberikan intensitas pada ekspresi dan emosi.
  2. Abad Pertengahan (500-1500) pengarang sebagai pencipta kedua, pengarang sebagai semata-mata meniru Maha Pencipta. Di Indonesia tampak dalam sastra Melayu Lama.
  3. Abad Renaissance (1400-1700), pengarang sebagai kreator mulai dihargai.
  4. Abad ke-18 hingga abad ke-19 pengarang sebagai kreator yang otonom, seniman mendewakan diri, di Indonesia tampak pada Pujangga Baru.
  5. Abad ke-20 pengarang disembunyikan di balik fokalisasi, pengarang tersirat, bahkan pengarang dianggap sebagai anonimitas.

2. Karya Sastra: Fokalisasi atau Sudut Pandang
Fokalisasi, dari kata fokus, yang berarti kancah perhatian, perspektif cerita, atau sudut pandang. Istilah fokalisasi pertama kali dikemukakan oleh Genette (Luxemburg, dkk. 1984: 156) dalam bukunya yang berjudul Narrative Discourse (1972). Objek-objek yang dapat difokalisasi, di antaranya: orang, lembaga, dan lingkungan sekitar. Fokalisasi dapat dilakukan oleh seorang tokoh dalam cerita, atau oleh juru cerita itu sendiri. Artinya, menceritakan sesuatu pasti dilakukan melalui perspektif tertentu sesuai dengan sudut pandang fokalisator.

Membedakan antara pencerita dengan fokalisator penting dalam rangka:

  1. memisahkan hegemoni subjek kreator terhadap subjek fiksional,
  2. menampilkan hakikat intersubjektivitas.

Fokalisasi dapat meningkatkan pemahaman mengenai aspek-aspek kemasyarakatan sebuah karya sastra yang dianalisis. Sudut pandang, gaya bahasa, dan plot dianggap sebagai unsur-unsur utama keberhasilan karya sastra.

3. Pembaca: Jenis dan Peranan
Menurut Luxemburg, dkk. (1984: 76) pembaca dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

  1. pembaca di dalam teks,
  2. pembaca di luar teks.
  3. Pembaca di dalam teks ada dua macam, yaitu:
  4. pembaca implisit (cf. Iser, 1987:30-31) mengacu pada partisipasi aktif pembaca dalam memahami karya, pembaca yang dituju oleh pengarang.
  5. Pembaca eksplisit adalah pembaca yang disapa secara langsung, pada umumnya menggunakan kalimat “pembaca yang budiman”.

Pembaca di luar teks juga dibedakan menjadi dua macam, yaitu :

  1. Pembaca yang diandaikan adalah pembaca yang berada di luar teks, pembaca yang (seharusnya) disapa oleh pengarang, pembaca yang diumpamakan membaca suatu karya oleh pengarang.
  2. Pembaca yang sesungguhnya merupakan objek eksperimental.


Referensi:
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme, Prespektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

No comments:

Post a Comment