Friday, October 4, 2013

Logika dan Bahasa (Stilistika Bag. 3)


A. Hubungan Logika dan Bahasa
1. Tugas dan Objek Logika
Tugas logika adalah memberikan penerangan bagaimana seharusnya
orang berpikir (Poedjawiyatna, 1978:2). Sedang objek penyelidikan logika adalah manusia itu sendiri.

Tujuan mempelajari logika adalah memecahkan masalah atau mencari jawab permasalahannya yang dapat dirumuskan: bagaimana seharusnya manusia dapat berpikir dengan baik dan benar.

2. Logika dan Bahasa
Pengetahuan sebagai hasil proses tahu manusia baru tampak nyata
apabila dikatakan. Artinya diungkapkan dalam bentuk kata atau bahasa. Dalam ilmu pengetahuan, bahasa harus mampu mengungkapkan maksud si penutur dengan setepat-tepatnya. Bahasa ilmu pengetahuan harus logis. Ilmu berarti pengetahuan-tahu, sebagai hasil proses berpikir harus mengikuti aturan-aturan, yaitu logika.

B. Argumentasi
Argumentasi adalah suatu keahlian untuk mempengaruhi pendapat atau sikap orang lain, agar mereka itu percaya atau bertindak sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh pengarang atau pembicara.

Gorys Keraf mengemukakan bahwa sasaran-sasaran dasar ditetapkan oleh setiap pengarang argumentasi adalah:

  1. Argumentasi itu harus mengandung kebenaran bagi perubahan sikap atau keyakinan yang diargumentasikan.
  2. Pada saat pertama pengarang menggunakan sesuatu istilah, ia harus membatasi pengertian-pengertian dari istilah yang dipergunakan itu.
  3. Pengarang harus menetapkan secara tepat titik ketidaksepakatan yang akan diargumentasikan.
  4. Pengarang harus berusaha untuk menghindari setiap istilah yang dapat menimbulkan prasangka-prasangka.
1. Dua Macam Argumentasi
Ada dua macam argumentasi yaitu argumentasi deduktif (deductive
argument), dan argumentasi induktif (inductive argumentasi). Logika artinya ‘bernalar’. Penalaran (reasoning) ialah proses mengambil
kesimpulan (conclition, inference) dari bahan bukti (argument) atau petunjuk, evidensi (evidence), atau apa yang dianggap bahan bukti atau evidence. Ada dua jalan untuk mengambil kesimpulan yaitu lewat proses induksi dan lewat proses deduksi.

Penalaran lewat induksi ialah penalaran yang berawal pada hal-hal yang khusus atau spesifik dan berakhir pada yang umum. Sedangkan penalaran deduktif ialah penalaran dari hal-hal yang umum ke hal-hal khusus. Penalaran deduksi adalah silogisme yang terjadi dari bagian:
  1. Premis mayor: suatu generalisasi yang meliputi semua unsur kategori, banyak diantaranya atau hanya beberapa unsurnya.
  2. Premis minor: penyamaan suatu objek atau ide dengan unsure yang dicakup oleh premis mayor.
Kesimpulan: gagasan yang dihasilkan oleh penerapan generalisasi dalam premis mayor pada peristiwa yang khusus dalam premis minor.

2. Fakta, Evidensi, Pernyataan atau Penegasan, dan Opini

Fakta (fact) atau kenyataan adalah peristiwa yang sebenarnya sebagai lawan dari sesuatu yang khayal atau dongengan. Evidensi adalah semua fakta yang ada, yang dihubung-hubungkan untuk
membuktikan adanya sesuatu. Pengertian fakta dalam kedudukannya sebagai sebuah evidensi tidak boleh dikacaukan dengan pernyataan atau penegasan. Pernyataan tidak berpengaruh apa-apa terhadap sebuah evidensi. Ia hanya menegaskan apakah fakta itu benar atau salah.

Sebuah evidensi baru dapat diandalkan kebenarannya setelah melalui

pengujian sebagai berikut:
  1. Fakta adalah sesuatu yang terjadi atau sesuatu yang ada variasinya, fakta-fakta yang digunakan mungkin sama, tetapi evidensinya bisa lain.
  2. Untuk lebih meyakinkan fakta-fakta yang diajukan sebagai evidensi, perlu diadakan peninjauan atau observasi singkat terhadap fakta-fakta tersebut.
  3. Untuk lebih meyakinkan fakta-fakta yang diajukan sebagai evidensi.
  4. Kalau pun sukar dilaksanakan, dapat juga melalui kesaksian-kesaksian, baik saksi biasa maupun saksi ahli (autoritas).
C. Sesat Nalar (Fallacy)

Penggunaan kata ‘sesat’ dalam ‘sesat nalar’ agak berbeda dengan kata ‘salah’, karena hasil yang diperoleh bukan akibat kesalahan penalarannya sebagai suatu konsep, melainkan karena kesesatan akibat tidak lurusnya proses penarikan kesimpulan berdasarkan aturan logika. Sesat nalar adalah gagasan perkiraan kepercayaan atau kesimpulan yang sesat atau salah.

Ada beberapa jenis sesat nalar yang dapat kita saksikan dalam karangan, yaitu :
1. Deduksi yang Salah
Sesat nalar yang sangat umum terjadi, ialah kesimpulan yang salah dalam silogisme (silogisme semu) yang berpremis salah atau tidak mematuhi aturan logika. Contoh :

  • Tiko bukan dosen yang baik, karena mahasiswa yang tidak lulus mata kuliah yang diampunya lebih dari 20%.
2. Generalisasi yang Salah
Sesat nalar jenis ini disebut juga induksi yang salah, karena secara jumlah (kuantitatif), jumlah percontohnya (sample) tidak memadai (ingat: kadangkadang -per contoh yang terbatas memungkinkan generalisasi yang tidak sahih). Contoh :
  1. Bangsa Indonesia itu bangsa tempe.
  2. Orang China penjajah ekonomi.
Dalam kedua contoh diatas perlu diberikan perwatasan misalnya: beberapa, banyak, sebagian kecil, sebagian besar, dan sebagainya.

3. Pemikiran atau ini, atau itu

Sesat nalar jenis ini berpangkal pada keinginan untuk melihat masalah yang rumit dari sudut pandangan (yang bertantangan) saja. Isi peryataan ini jika tidak baik, tentu buruk; jika tidak benar tentu salah; jika tidak ini tentu itu. Contoh:

  • Jika senang, masuklah; tetapi jika tidak senang keluarlah dari Universitas Muhammadiyah Surakarta.
4. Salah Nilai atau Penyebab
Generalisasi induksi sering disusun berdasarkan pengantar terhadap hukum kausal (sebab akibat). Salah nilai atas penyebaran yang sangat biasa terjadi ialah sesat nalar yang disebut ‘post hoc, ergo propter hoc’, sesudah itu, maka karena itu. Contoh:
  • Tersangka meninggal dalam tahanan; maka ia mati karena ditahan.
Salah tafsir sering juga mendasari salah nilai atas penyebaban. Misalnya dalam tahayul. Contoh:
  • Pedagang muda itu selalu sakses usahanya sebab sebelum bekerja ia selalu mencium telapak kaki ibunya.
5. Analogi yang Salah
Analogi ialah usaha pembanding dan merupakan upaya yang berguna untuk mengembangkan perenggang. Namun, analogi tidak membuktikan apa-apa dan analogi yang salah dapat menyelesaikan, karena logikanya yang salah. Contoh:
  • Rektor harus bertindak seperti seorang jendral, menguasai anak buahnya agar disiplin dan dipatuhi.
6. Penyampaian Masalah
Sesat nalar jenis ini terjadi jika argumentasi tidak mengenai pokok masalahnya; atau jika kita menukar pokok masalah dengan pokok lain; atau jika kita menyeleweng dari garis yang telah ditentukan dalam kerangka pokok masalahnya. Contoh :
  • KB tidak perlu, karena masih banyah daerah di Indonesia yang masih sangat sedikit penduduknya.
7. Pembenaraan Masalah Lewat Pokok Sampingan
Sesat nalar di sini muncul jika argumentasi menggunakan okok yang tidak langsung berkaitan atau yang remeh untuk membenarkan pendiriannya. Contoh :
  • Orang boleh melanggar lalu lintas, sesab polisi lalu lintas juga sering melanggarnya.
8. Argumentasi ‘ad homonim’
Sesat nalar jenis ini terjadii jika dalam berargumentasi kita melawan orangnya, bukan masalahnya. Khusus di bidangg politik argumentasi ini banyak dipakai. Contoh :
  • Pelarangan beredar terhadap buku tertentu (meskipun isinya baik) karena pengarangnya bekas pencuri atau narapidana.
9. Himbauan pada Wibawa dan Keahlian yang Patut Disaksikan
Dalam pembahasan masalah, oarang sering berlindung pada wibawa orang lain, pejabat, atau kalangan ahli saat menyampaikan dan menggungkapkan argumentasinya. Contoh :
  • Saya telah mendapat petunjuk dari seseorang insinyur, yang kini menjadi Menteri Kebudayaan, bahwa ekonomi dunia kini berada di persimpangan jalan.
10. Non-Requisite
Sesat nalar jenis ini, dalam argumenttasi mengambil kesimpulan bedasarkan premis yang tidak ada relevansinya. Contoh :
  • Kampus merupakan tempat berkumpulnya para cendekiawan; karena itu, di dalamnya tidak mungkin ada kebodohan.
D. Renungan
Bahasa sekaligus merupakan ‘bagian’ tak terpisahkan dengan budaya
manusia. Di sini bahasa mempunyai fungsi sosial, sekaligus fungsi kultural. Sebagai alat penyampaian hasil kebudayaan dari generasi ke generasi, bahasa harus komunikatis, lancar, tepatguna, berdayaguna, berhasilguna, dan logis.


Pikir berpengaruh pada bahasan, dan beegitu pula bahasa berpengaruh pada pikir. Pendek kata, bahasa dan logika saling berpengaruh, saling melengkapi. Selama manusia masih menggunakan otaknya untuk berfikir, maka selama itu pula logika bahasa memegang peranan penting.


No comments:

Post a Comment