Saturday, September 7, 2013
Gerak Perjalanan Estetik Cerpen Indonesia
Oleh: Maman S. Mahayana
Cerita pendek Indonesia dalam satu dasawarsa ini, agaknya makin mengukuhkan jati dirinya. Ia tak hanya muncul seperti gelombang yang secara kuantitatif melampaui penerbitan novel dan drama, tetapi juga seperti menempatkan dalam mainstream-nya sendiri. Maka, tidak dapat lain, pembicaraan mengenai cerpen Indonesia, mesti dilekatkan pada dirinya an sich dan bukan sebagai tempelan atau sekadar pelengkap. Kini cerpen Indonesia menunjukkan jalan hidupnya yang lebih mandiri. Kajian kritis terhadapnya dan pembicaraan cerpen dalam institusi (pendidikan) sastra, oleh karena itu, mesti berada dalam kotak tersendiri.
Dalam konteks membangun kritik, masalah estetika merupakan salah satu wilayah garapan yang terpusat pada teks. Wilayah lainnya menyangkut pembaca, penerbit, dan pengarang. Dalam wilayah yang disebut terakhir inilah, kita berhadapan dengan berbagai hal yang menyangkut diri pengarang, termasuk di dalamnya persoalan tokoh dan ketokohan seseorang. Jadi, ketika kita berbicara mengenai seorang Sutardji Calzoum Bachri atau siapa pun, kita akan menelusuri kegelisahan kulturalnya, pencarian dan pencapaian estetik dalam ragam sastra yang dimasukinya, tempatnya yang pas dalam sejarah sastra, dan berbagai hal yang melingkarinya. Gagasan dari manakah yang menyatakan pembicaraan kepengarangan (ketokohan) seseorang dalam konteks membangun kritik (criticism) dianggap tak relevan?
Berdasarkan pemahaman itu, perbincangan mengenai kecerpenan siapa pun yang muncul belakangan ini justru menjadi sangat signifikan. Ia tak sekadar relevan dengan kondisi objektif lahirnya sejumlah nama dengan kegelisahan dan style yang masing-masing terasa begitu khas, tetapi juga lantaran sampai sejauh ini, cerpen Indonesia mutakhir terkesan tak punya hubungan dengan gerakan cerpen sebelumnya. Ia seperti tercerabut dari masa lalunya. Bagaimana sesungguhnya peta perjalanan cerpen kita? Belum lagi yang menyangkut gerakan estetiknya yang juga belum banyak diangkat sebagai sebuah wacana perdebatan. Jadi, diskusi soal kecerpenan itu, penting untuk memetakan perjalanan cerpen Indonesia sebagai bagian tak terpisahkan dari kesusastraan dan wilayah kebudayaan Indonesia secara keseluruhan.
Bagaimanapun juga, pembicaraan tokoh dan ketokohan, di dalamnya termasuk karya-karya (berikut soal estetik) yang telah dihasilkannya. Bagaimana mungkin kita membicarakan kepengarangan seorang yang tak berkarya? Jika ada perbincangan kritis atas ketokohan seseorang, konteksnya mengacu pada karya yang dihasilkannya, dan bukan pada peranan sosial yang tak berhubungan dengan kepengarangannya. Sebaliknya, pembicaraan ini menjadi tak berdasar jika secara gegabah, kita memejamkan mata terhadap dinamika cerpen Indonesia mutakhir dan menafikan semangat estetiknya. Sekadar berdiri mematung lantaran terpukau oleh estetika masa lalu, tentu saja tidak sehat bagi sebuah perkembangan. Dengan begitu, kisah sukses capaian estetik masa lalu, hendaknya tidak dalam kerangka bernostalgia, tetapi menempatkannya dalam konteks perjalanan sejarah.
Begitulah, untuk menatap perspektif dan berbagai kemungkinan capaian estetik cerpen Indonesia kontemporer ini, tidak dapat lain, kita mesti mencari alat ukur dan bahan pembandingnya. Dalam hubungan itu, maka perbincangan cerpen Indonesia yang muncul dalam satu dasawarsa terakhir ini tidak berarti serta-merta mengubur capaian estetik yang telah ditorehkan sebelumnya. Dengan membenamkan itu –apalagi dengan mematikannya seperti yang dilansir Hudan Hidayat—kita akan kehilangan alat komparasi. Di samping itu, mengingat adanya beberapa kesesatan dalam menempatkan kelahiran dan perjalanan cerpen Indonesia, maka perbincangan ini menjadi sangat relevan, penting, dan mendesak.
“Dalam catatan sejarah kesusastraan Indonesia, cerpen merupakan genre sastra yang jauh lebih muda usianya dibandingkan dengan puisi dan novel. Tonggak terpenting sejarah penulisan cerpen di Indonesia dimulai oleh cerita-cerita M. Kasim (bersama Suman Hs.) pada awal tahun 1910-an, yang memperkenalkan bentuk tulisan berupa cerita-cerita yang pendek dan lucu. Sejak saat itulah, di Indonesia mulai dikenal bentuk penulisan cerita pendek (cerpen).” Demikian salah satu bagian dari keterangan yang terdapat dalam buku Horison Sastra Indonesia 2: Kitab Cerita Pendek (2002: xiii—xiv).
Pandangan ini sejalan dengan gagasan yang dilontarkan Ajip Rosidi (Tjerita Pendek Indonesia, 1959) yang juga menempatkan Muhammad Kasim dan Soeman Hs sebagai perintis cerpen Indonesia. Dengan bersumberkan majalah Pandji Poestaka (1923) yang banyak memuat cerita-cerita lucu M. Kasim –belakangan diterbitkan sebagai kumpulan cerita lucu, Teman Duduk, 1936—Ajip menelusuri jejaknya dari tradisi sastra lisan penglipur lara dengan tokoh-tokoh si Kabayan, Lebai Malang, dan Jaka Dolog.
Itulah kesesatan serius dalam menempatkan kelahiran cerpen Indonesia. Bagaimana mungkin karya-karya M. Kasim dalam Pandji Poestaka mendahului cerita-cerita sejenis yang dimuat majalah Sri Poestaka (1918), dan majalah atau suratkabar yang terbit jauh sebelum itu, seperti Biang-lala (Batavia, 1868; dwimingguan), Sahabat Baik (Betawi, 1891; tidak teratur), Pewarta Prijaji (Semarang, 1900; bulanan), Soenda Berita (Cianjur, 1903; mingguan), Bintang Hindia (Bandung, 1903; dwimingguan), Medan Priyayi (Batavia, 1907; harian), Poetri Hindia (Betawi, 1908; dwimingguan), Bok-Tok (Surabaya, 1913; mingguan). Majalah Sahabat Baik, bahkan secara jelas mencantumkan subjudulnya seperti ini: “Hikayat, tjerita, dongeng, sjair, pantoen, dan lain-lain daripada itu.”
Meskipun para penulis cerita ringan dan lucu itu, sebagiannya masih menggunakan nama samaran, setidak-tidaknya cerpen Kanaiki “Trang Boelan Terkenang”, Delima “Djiwa Manis Haloes Tipoenja”, dan Rineff (Rustam Effendi) “Djoerang jang tiada dapat di djembatani” masih dapat kita lacak nama aslinya melalui karya lain atau tanggapan terhadap karya-karya itu. Pasalnya, dalam karya berikutnya atau dari tanggapan pembaca, pengarang sering kali mencantumkan nama aslinya jika ia menyinggung karya sebelumnya atau jika ia menjawab tanggapan pembaca itu.
Kesesatan lain terjadi lantaran hampir semua pengamat sastra Indonesia menafikan keberadaan suratkabar dan majalah. Padahal media massa ini justru menjadi bagian penting dalam sistem reproduksi karya sastra (cerpen, puisi, dan cerita bersambung). Sejak awalnya (akhir abad ke-19) sampai zaman Jepang, hampir tidak ada cerpen yang dipublikasikan langsung dalam bentuk buku. Ia muncul lewat penerbitan media massa. Dalam hal ini, cerpen tidak dapat dipisahkan dari majalah dan suratkabar. Dari sanalah, cerpen Indonesia lahir dan berkembang, dan memperoleh bentuk yang lebih jelas pada tahun 1930-an.
Pada zaman Jepang, cerpen menjadi makin populer ketika pemerintah pendudukan Jepang banyak menyelenggarakan lomba penulisan cerpen. Dari sejumlah cerpenis waktu itu, A.S. Hadisiswoyo, Muhammad Dimyati, Rosihan Anwar pernah memenangi lomba penulisan cerpen. Beberapa nama lain yang karyanya banyak muncul di media massa pada masa itu, antara lain, Sanusi Pane, Armijn Pane, dan D. Djokokoesoemo.
Pada tahun 1950-an, cerpen Indonesia makin mapan keberadaannya. Derasnya pengaruh asing, munculnya semangat kedaerahan, pudarnya dominasi pengarang Sumatra, dan terbitnya berbagai media massa –termasuk majalah Prosa dan Tjerita Pendek yang dikelola Ajip Rosidi– memberi kesempatan munculnya cerpenis dari pelosok tanah air. Bersamaan dengan itu, adanya ruang kebebasan untuk berekspresi, mendorong keberanian melakukan berbagai eksperimen.
Secara struktural, inovasi yang dilakukan lebih banyak menyangkut tema cerita dan tampak masih ada keterikatan pada konvensi. Dengan begitu, dilihat dari sudut gagasan yang ditawarkan, gerakan estetiknya lebih menekankan pada aspek tema. Riyono Pratikto (Api dan Si Rangka), misalnya menampilkan kisah-kisah dunia gaib yang diangkat dari cerita-cerita rakyat; Rendra (“Mungkin Parmo Kemasukan Setan”) menggugat disiplin Katolik, Ramadhan KH (“Antara Kepercayaan”) mengecam kepicikan penganut tradisional Islam dan Kristen; Pramoedya Ananta Toer (Subuh) mengangkat kepedihan lahir-batin akibat perang, dan Navis (“Robohnya Surau Kami”) meledek kepercayaan taklid. Sementara itu, Iwan Simatupang (“Lebih Hitam dari Hitam”), Sitor Situmorang (“Salju di Paris”) dan P. Sengojo (Sengkuni) mengisahkan kegelisahan dan kekacauan pikiran yang bertumpang-tindih dengan tindakan.
Jika sebelumnya, agama dan kepercayaan ditempatkan begitu suci dan terhormat, dalam sejumlah cerpen tahun 1950-an itu, agama tiba-tiba menjadi alat permainan. Eksplorasi pada kekacauan pikiran dan kegelisahan psikologis digunakan sebagai sarana menyampaikan eksperimen. Akibatnya, pikiran dan perasaan si tokoh tampak liar, tak terduga, dan aneh.
Memasuki masa Orde Baru dan terus menggelinding sampai tahun 1970-an, kondisi itu seperti berulang kembali, bahkan jauh lebih luas pengaruhnya. Putu Wijaya, Danarto, Kuntowijoyo –sekadar menyebut tiga nama—menjadi sangat menonjol dalam deretan nama cerpenis waktu itu. Teror Putu Wijaya, nafas sufistik Danarto–Kuntowijoyo seolah-olah begitu memukau dalam kemasan dunia jungkir-balik. Realitas cerpen seperti hendak dikembalikan lagi pada hakikatnya: cerita. Maka, logika formal tidak berlaku di sana. Dibanding generasi sebelumnya, cerpenis tahun 1970-an telah berhasil membangun estetikanya justru sejak awal kemunculannya. Dengan estetikanya itu, mereka tetap bertahan sampai kini. Jadi selain nafasnya panjang, juga estetika yang ditawarkannya mengakar kokoh hingga dapat bertahan lebih dari tiga dasawarsa.
Kita akan tetap menemukan style dan greget (estetika) yang tak jauh berbeda jika kita membandingkan cerpen Putu Wijaya (“Ini Sebuah Surat”, 1970 atau "Bom", 1978) atau Danarto (“Godlob” atau “Armageddon”) dengan cerpen terbarunya (Putu Wijaya, "Tidak", 1999; Danarto, "Setangkai Melati di Sayap Jibril", 2001).
Kuatnya bangunan estetik cerpenis tahun 1970-an itu, memungkinkan mereka dapat bernafas panjang dan tetap bertahan di tengah bermunculannya generasi berikutnya. Kekuatan bangunan estetik ini –harus diakui— justru tak begitu tampak pada cerpenis yang oleh Korrie Layun Rampan dimasukkan ke dalam kotak Angkatan 2000. Sebelum itu, Seno Gumira Ajidarma –lewat Penembak Misterius (1993) dan Saksi Mata (1994)—memang berhasil menawarkan style jurnalistik dalam cerpen-cerpennya. Pengaruhnya juga tampak pada sejumlah cerpenis berikutnya. Tetapi beberapa cerpen terakhir Seno mulai terasa tidak sekuat karya awalnya. Apakah estetika yang dibangun Seno dapat bertahan sampai entah kapan?
Pertanyaan serupa sesungguhnya dapat kita ajukan kepada cerpenis mutakhir kita. Peluang ke arah sana tentu saja masih terbuka. Kurnia JR, lewat Kereta Berangkat Senja—awalnya sungguh menjanjikan. Tetapi kini keberadaannya entah di mana. Yanusa Nugroho niscaya akan dapat bertahan jika ia konsisten dengan dunia Jawa-nya. Lalu, bagaimana pula dengan Joni Ariadinata, Taufik Ikram Jamil, Oka Rusmini, Abidah el Khalieqy, Agus Noor, Hudan Hidayat, Gus tf Sakai, Herlino Soleman dan deretan nama lain yang bertaburan?
Sebagai cerpenis, agaknya mereka akan terus bertahan. Tetapi, berdasarkan karya yang telah mereka hasilkan, sangat mungkin banyak pula yang berguguran. Jamil, Rusmini, Sakai, jika konsisten mengeksplorasi kultur etnik, peluang bertahan tetap terbuka. Bahkan, sangat mungkin akan menghasilkan monumen jika konsistensi itu dipelihara terus. Masalah konsistensi ini juga tentu saja berlaku bagi Khalieqy –lewat pendalaman kisah-kisah sufi—jika ia ingin tetap bertahan. Sementara Noor dan terutama, Hidayat kebertahanannya bergantung pada kemampuannya menjaga kegelisahan psikis. Dan itu menuntut keduanya membongkar buku-buku Sigmund Freud, Carl G. Jung, dan teori psikologi modern. Tanpa itu, keduanya –barangkali—sekadar bertahan untuk tidak masuk degradasi.
Bahaya besar justru dihadapi Joni Ariadinata. Penemuan estetik yang ditawarkannya dalam Kali Mati (1999), ternyata kurang dapat dipelihara dengan baik dalam beberapa cerpennya yang kemudian (Kastil Angin Menderu, 2000; Air Kaldera, 2000). Padahal, di antara nama-nama tadi, Joni telah sangat meyakinkan membuat inovasi; menoreh bangunan estetik –yang mengingatkan kita pada salah satu klub sepakbola Italia, Chievo Verona. Jika tak berhati-hati, meski tak mengalami degradasi, paling banter ia bertahan di papan tengah.
Mesti diakui, sejumlah besar cerpenis Indonesia mutakhir, belum teruji oleh waktu. Mencermati karya-karya yang dihasilkannya, memang tampak seperti sebuah gerakan yang mengusung sebuah mainstream-nya sendiri. Banyak hal yang sungguh menjanjikan. Tetapi, janji tetap janji. Ia harus dibuktikan bukan janji kosong, melainkan sebuah monumen! Nah! Hanya waktu jualah yang kelak menentukan.
(Maman S. Mahayana, Pengajar FSUI, Depok).
Sumber: http://goesprih.blogspot.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment