Wednesday, March 14, 2012

Resensi Novel "Bumi Manusia" Karya Pramodya Ananta Toer

Bumi Manusia, novel pertama dari Tetralogi Pulau Buru yang ditulis oleh seorang eks tapol, Pramudya Ananta Toer. Mengambil setting masa kolonial Belanda pada awal abad ke-20, cerita ini diawali dengan pengenalan tokoh utama yaitu Minke. Minke adalah seorang pribumi yang bersekolah di HBS, sekolah bagi para keturunan Eropa dan bangsawan pribumi. Pada masa itu, pribumi dianggap rendah di tanah airnya sendiri, lebih rendah daripada keturunan Eropa murni maupun keturunan Indo. Oleh sebab itu, banyak pribumi yang enggan mengakui ke-pribumi-an mereka. Namun tidak begitu dengan Minke.

Suatu hari, Minke ditantang oleh teman sekolahnya, Robert Suurhof untuk menaklukan seorang gadis yang tinggal di Wonokromo. Sejatinya, Robert hendak mempermalukan Minke saja sebab ia tahu betul tak ada darah Eropa sama sekali dalam diri Minke. Tak ingin harga diri pribuminya dianggap pengecut, Minke menerima tawaran tersebut. Ternyata mereka menuju Boerderij Buitenzorg milik tuan Herman Mellema, sebuah rumah sekaligus peternakan dan perkebunan terbesar di Wonokromo. Rumah ini terkenal sangar sebab dijaga oleh seorang Madura yang bertubuh kekar, Darsam. Itulah sebab mengapa tak ada orang yang berani iseng ke rumah itu.

Sesampainya di Wonokromo mereka disambut oleh Robert Mellema, seorang Indo yang kurang ramah. Robert Suurhof lalu keluar bersama Robert Mellema. Lalu Minke dibiarkan bersama Adik Robert Mellema yaitu Annelies Mellema, gadis yang menjadi tantangan bagi Minke. Ternyata Annelies memang sungguh rupawan dan ramah, tidak seperti kakaknya. Sikapnya sangat bersahabat kepada Minke, bahkan Minke diajak berkeliling Buitenzorg. Minke lalu dikenalkan kepada ibu dari Ann yaitu Nyai Ontosoroh. Pada masa itu, kata nyai biasa digunakan untuk menyebut gundik atau istri tidak sah dari seorang bangsawan atau hartawan. Begitu pula dengan nyai Ontosoroh, seorang pribumi yang menjadi gundik dari tuan Herman Mellema. Meski seorang Nyai namun Nyai Ontosoroh terlihat begitu terpelajar, seperti hasil didikan sekolah Eropa. Hal itu membuat Minke agak ciut nyalinya, takut mendapat sambutan serupa seperti Robert Mellema dari Nyai. Namun ternyata tidak, Nyai Ontosoroh sangat welcome kepada Minke dan menjamunya sebagai tamu dengan pantas. Pertemuan di hari itu ternyata berhasil menambatkan hati Ann kepada Minke, Ann jatuh cinta kepada pelajar pribumi H.B.S. itu. Memang Ann tak pernah berteman dengan laki-laki sebelumnya ditambah lagi dengan sikap Minke yang sungguh sopan dan kecerdasannya membuat Ann semakin menaruh hati, Minke sendiri pun tak memungkiri bahwa dia menaruh hati pada gadis Indo itu.

Lama kelamaan Minke semakin sering berkunjung ke Wonokromo meskipun tanggapan yang diterima Minke dari orang-orang disekitarnya kurang baik. Orang-orang dekat Minke beranggapan Minke akan mendapat pengaruh yang kurang baik apabila bergaul dengan seorang Nyai. Namun Minke mrngabaikan semua itu sebab dia tahu sendiri bahwa Nyai Ontosoroh bukan seperti Nyai lain, dia sungguh beradab seperti didikan Eropa. Selain itu tentu karena perasaan cintanya kepada Ann.

Semakin hari semakin sering Minke berkunjung ke Wonokromo, kunjungan yang lebih sering berasal dari permohonan Ann, bukan kehendak Minke sendiri. Mulailah timbul gejolak di masyarakat sekitar mengenai keberadaan Minke di rumah Nyai Ontosoroh itu, Minke akhirrnya tinggal di Wonokromo setelah diminta oleh Ann dan Nyai Ontosoroh. Namun sekali lagi, Minke mengabaikan semua itu karena memang apa yang terjadi di rumah itu tidak seperti yang diasumsikan orang lain. Teman-teman sekolah Minke mulai menghindari Minke, selain karena keberadaannya di rumah seorang Nyai yang dianggap kurang beretika pada saat itu juga karena sikapnya yang terlalu revolusioner. Minke gemar menulis dan tulisan-tulisannya itu kerap menyuarakan harapan kpemimpinan di tangan para pribumi dan keadilan di Hindia Belanda. Hanya seorang yang kerap membela Minke yaitu Juffrow Magda Peter, guru bahasa dan sastra Belanda di H.B.S..

Sampai suatu hari, Minke dipanggil oleh Direktur Sekolah. Minke hendak dikeluarkan sebab dia diangap telah melanggar aturan sekolah. Dia dianggap telah berbuat tidak senonoh dengan tinggal serumah dengan seseorang yang bukan istri dan keluarganya. Sebenarnya ini hanya alasan klise. Alasan yang utama adalah karena keberanian Minke untuk menyuarakan pendapatnya yang saat itu sangat bertentangan dengan pandangan para penguasa Hindia Belanda.

Hal itu tak menyurutkan keberanian Minke untuk terus menyuarakan apa yang menjadi gagasannya, Minke terus menulis dan tulisannya kerap dimuat di berbagai koran dan majalah. Minke pun tetap berada di Wonokromo.

Akhirnya Minke kembali bersekolah di H.B.S. atas jaminan dari Juffrow Magda Peter. Dia lulus dengan nilai terbaik se-Surabaya. Setelah pengumuman kelulusan itu, Minke segera meresmikan hubungannya dengan Annelies yang masih ‘ kumpul kebo’ menjadi suatu hubungan yang resmi. Mereka menikah.

Masalah baru timbul ketika datang seorang yang bernama Maurits Mellema, anak sah dari tuan Herman Mellema dengan istrinya yang ada di Amsterdam. Maurits hendak menguasai seluruh kekayaan tuan Herman Mellema serta mengambil hak asuh atas Annelies yang dianggap msih dibawah umur. Minke, yan telah menjadi suami Annelies dan Nyai Ontosoroh berjuang keras untuk mempertahankan apa yang menjadi hak mereka dan untuk mempertahankan Annelies.

Mereka berjuang sekuat tenaga di depan hukum maupun di luar hukum dengan cara mencari dukungan dari tulisan-tulisan Minke. Mereka berjuang namun, pengadilan tetap memenangkan Maurits Mellema. Akhirnya Annelies dibawa ke Belanda.

" Kita kalah, Ma," bisikku.
"Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya."


Sinopsis Bumi Manusia ini belum dapat mewakili keseluruhan cerita dari Bumi Manusia, sebab hampir semua yang tertulis di novel tersebut adalah bagian penting yang tidak dapat dilewatkan. Pram dengan apik meramu tiap bagian, tiap tokoh dan tiap perisitiwa di novel ini. Penulis berusaha memberikan ringkasan seringkas mungkin yang tidak melenceng dari isi cerita namun akibatnya beberapa bagian menarik menjadi terlewatkan seperti kisah mengenai orang-orang di sekitar Minke dan keluarganya.

Kekuatan Pram di novel ini adalah dengan cara bertuturnya yang sangat mengalir. Deskripsinya pun sangat detail sehingga seolah pembaca ikut menyaksikan langsung berbagai kejadian terjadi. Dengan daya bahasa yang cair, mudah dipahami dan mengalir pembaca seolah tidak membaca namun menjadi bagian dari novel ini, seolah mengalami sendiri, seolah menjadi Minke.

Penyajian masalah dan klimaks hampir tidak terasa. Bukan karena Pram tidak dapat mengahdirkan klimaks, namun justru karena gaya bertutur Pram yang sungguh membius sehingga pembaca tak sadar emosinya telah digiring menuju klimaks. Di sinilah kejeniusan pram dibandign novel-novel lain. Jika novel lain klimaksnya sangat terasa, hampir semua bagian di novel ini mampu dijadikan klimaks.

Pram juga mampu menyelipkan nasihat-nasihat moral dengan tersirat namun mengena juga tanpa kesan menggurui. Seperti salah satu ucapan Minke," Seorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan."

Agak sulit mencari apa yang kurang dari novel ini sebab hampir di semua aspek Novel ini sangat mengagumkan. Mulai dari penyajian masalah yang sangat rapi, gaya bahasa yang begitu mengalir namun tetap bernilai sastra tinggi, juga pesan moral yang bertebaran dimana-mana dalam novel ini.

Sumber: http://nadaharoen.multiply.com

1 comment:

  1. Buku yang menarik, mengingatkan saya akan buku Pearl S. Buck . Terus terang saja, pada awal mula saya tidak terlalu berminat membaca ‘The Good Earth’ (Bumi yang Baik) setelah membaca ringkasannnya.
    Saya mencoba menulis blog tentang hal ini, semoga anda juga suka blog di https://stenote-berkata.blogspot.com/2019/01/wawancara-dengan-pearl.html.

    ReplyDelete