Wednesday, March 9, 2011

Novel dan Cerpen

Novel dan cerita pendek merupakan dua bentuk karya sastra yang juga disebut fiksi. Perbedaan antara novel dan cerpen antara lain dapat dilihat dari segi formalitas bentuk, segi panjang cerita. Menurut Edgar Allan Poe (Jassin, 1961: 72) sastrawan kenamaan Amerika, mengatakan bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara dua-jam (suatu hal yang tidak mungkin dilakukan untuk membaca novel).
Cerpen sendiri walaupun sama-sama pendek mempunyai variasi yaitu:
  • cerpen yang pendek (short short story ), bekisar 500-an kata,
  • cerpen yang panjangnya ukupan (middle short story), dan
  • cerpen yang panjang (long short story), yang terdiri dari puluhan ribu kata.
Novel jauh lebih panjang daripada cerpen, novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu yang lebih banyak, lebih rinci, lebih detil, dan lebih banyak melibatakan berbagai permasalahan yang lebih komplek. Kelebihan cerpen yang khas adalah kemampuannya mengemukakan secara lebih banyak, secara implisit dari sekedar yang diceritakan. Unsur-unsur pembangun sebuah novel dan cerpen terdapat perbedaan antara lain:

Cerpen:
  1. Pada umumnya plot tunggal, hanya terdiri dari satu peristiwa yang diikuti sampai cerita berakhir
  2. Berisi satu tema
  3. Jumlah tokoh maupun perwatakannya terbatas
  4. Tidak memerlukan detail-detail khusus tentang keadaan latar, hanya melukiskan latar secara garis besar saja atau bahkan hanya secara implisit
  5. Pencapaian sifat kepaduan lebih mudah, keutuhan cerita hanya pendek –sependek satu bab dalam novel

Novel:
  1. Pada umumnya memiliki lebih dari satu plot, terdiri dari satu plot utama dan sub-subplot.
  2. Dapat berisi lebih dari satu tema, yaitu satu tema utama dan tema-tema tambahan
  3. Jumlah tokoh lebih banyak dan perwatakannya lebih rinci dan lengkap
  4. Melukiskan latar secara lebih rinci sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih jelas, konkret, dan pasti
  5. Pencapaian sifat kepaduan lebih sulit, keutuhan cerita meliputi keseluruhan bab

Novel Serius dan Novel Popoler
Sebutan novel populer atau novel pop, mulai merebak sesudah suksesnya novel Karmila, dan Cintaku di Kampus Biru pada tahun 70-an. Sesudah itu novel hiburan, tidal peduli mutunya disebut sebagai novel pop. Sastra dan musik populer sebagai kelanjutan dari istilah populer yang sebelumnya telah dikenal di dunia sastra dan musik adalah semacam sastra dan musik yang dikategorikan sebagai sastra dan hiburan komersial.
Novel popular adalah novel yang popular pada masanya dan banyak masalah yang aktual dan selalu menzaman, namun hanya sampai pada tingkat permukaan. Sastra populer adalah perekam kehidupan, dan tidak banyak memperbincangkan kembali kehidupan dalam serba kemungkinan. Sastra popular yang baik banyak mengundang pembaca untuk mengidentifikasikan dirinya (Kayam, 1981: 88). Novel serius justru harus sanggup memberikan yang serba berkemungkinan, membaca novel serius jika ingin kita memahaminya dengan baik, diperlukan daya konsentrasi yang tinggi dan disertai kemauan. Pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditampilkan dalam novel ini disoroti dan diungkapan sampai ke inti hakikat kehidupan yang bersifat universal. Novel serius mempunyai tujuan memberikan pengalaman yang berharga atau paling tidak mengajaknya untuk meresapi dan merenungkan secara lebih sungguh-sungguh tentang permasalahan yang dikemukakan kepada pembaca. Contoh Hamlet, Romeo dan Juliet, Belenggu, Atheis, Jalan Tak Ada Ujung, Mahabarata, dan Ramayana.

Novel popular lebih mudah dibaca dan lebih mudah dinikmati karena ia memang semata-mata menyampaikan cerita (Stanton, 1965: 2). Berhubung novel populer lebih mengejar selera pembaca, komersial, ia takkan menceritakan sesuatu yang bersifat serius sebab hal itu dapat berarti akan berkurangnya jumlah penggemarnya. Novel serius biasanya berusaha mengungkapkan sesuatu yang baru dengan cera pengucapan yang baru pula. Oleh karena itu, dalam novel serius tidak akan terjadi sesuatu yang bersifat stereotip, atau paling tidak, pengarang berusaha untuk menghindarinya. Novel serius menuntut aktivitas pembaca untuk mengoprasikan daya intelaktualnya. Pembaca dituntut untuk ikut merekonstruksikan duduk persoalan masalah dan hubungan antartokoh. Novel serius juga tidak bersifat mengabdi kepada pembaca, dan memang pembaca novel jenis ini tidak (mungkin) banyak.


Referensi:
Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada university Press.

No comments:

Post a Comment