PENGELANAAN SITOR SITUMORANG
Maman S. Mahayana
Sitor Situmorang tercatat sebagai salah seorang dari empat tokoh sastrawan Angkatan 45 yang masih hidup. Mereka adalah Mochtar Lubis (lahir 7 Maret 1922), Sitor Situmorang (lahir 2 Oktober 1924), Pramoedya Ananta Toer (lahir 6 Februari 1925), dan Asrul Sani (lahir 10 Juni 1926). Entah mengapa, di antara keempat tokoh itu, penyebutan tarikh kelahiran Sitor kadangkala ditulis salah. A. Teeuw dan J.U. Nasution, misalnya, menyebut tahun 1923. Sementara Ajip Rosidi dan Linus Suryadi menyebut tanggal 21 Oktober 1924 sebagai kelahiran Sitor Situmorang. Terlepas dari persoalan itu, peranan dan kontribusi mereka dalam memperkaya perkembangan khazanah kesusastraan Indonesia telah menempatkan nama dan karya-karya mereka dalam posisi yang khas dan terhormat.
Mencermati riwayat kehidupan keempat tokoh Angkatan 45 itu, kehidupan Sitor agaknya yang paling banyak pengembaraannya di luar negeri. Setelah menyelesaikan pendidikannya di HIS di Balige dan Sibolga, MULO di Tarutung, dan AMS di Jakarta (tidak tamat), ia pada tahun 1943 pergi ke Singapura dan tinggal di sana sampai tahun 1945. Selepas Indonesia merdeka, ia kembali ke Tarutung, Sumatra, dan memimpin surat kabar Suara Nasional (1945—1946). Dua tahun kemudian ia hijrah ke Medan, menjadi Pemimpin Redaksi harian Waspada (1947). Pada saat bekerja di harian itulah, Sitor mengikuti perundingan Indonesia—Belanda di Yogyakarta (1948) dan bertugas sebagai koresponden harian itu. Terjadinya Agresi kedua Belanda menyeret Sitor dalam kemelut peperangan. Ia ditangkap Belanda dan dimasukkan ke penjara Wirogunan, Yogyakarta.
Pada tahun 1950, Sitor Situmorang pergi ke Belanda dan tinggal di Amsterdam selama setahun (1950—1951). Setelah itu, ia bekerja di Kedutaan Indonesia di Paris dan bermukim di sana lebih dari setahun. Pada tahun 1953, ia kembali ke Indonesia. Sepulang dari Paris itulah kiprahnya dalam kesusastraan Indonesia mendapat sorotan banyak pihak. Ia dipandang menyodorkan sesuatu yang baru dalam bentuk dan gaya penulisan puisi dan cerpen Indonesia modern. Selama setahun (1956—1957), ia berkesempatan pergi ke Amerika untuk memperdalam pengetahuan di bidang sinematografi di Universitas California. Kembali ke Indonesia tahun 1957, ia bekerja di harian Berita Nasional dan Warta Dunia. Pernah pula tercatat sebagai pegawai Jawatan Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Selain itu, ia juga menjadi dosen ATNI Jakarta, Anggota Dewan Perancang Nasional, Anggota Badan Pertimbangan Ilmu Pengetahuan (1961—1962), Ketua Lembaga Kebudayaan Nasional (1959—1965). Sebagai wakil seniman, Sitor pun pernah menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).
***
Pada dasawarsa tahun 1950-an, pengaruh Chairil Anwar begitu kuat memasuki gaya, nada (tone), suasana (atmosphere), dan diksi sejumlah penyair Indonesia. Pada saat itulah Sitor Situmorang tampil dengan gaya dan suasana yang berbeda dengan model Chairil Anwar. Sitor seolah-olah hendak mengembalikan lagi bentuk soneta –bahkan lebih jauh lagi, pantun, sebagaimana yang dapat kita cermati dalam antologi pertamanya, Surat Kertas Hijau (1953). Tidak hanya itu, kepenyairannya menjadi sangat menonjol ketika ia juga menyelusupkan filsafat eksistensialisme di dalamnya. Tema keterasingan dan kesepian yang disodorkannya jadi terasa lebih menukik dalam dan bernas.
Belum senyap keterpesonaan orang atas puisi-puisinya, Sitor Situmorang kembali membuat kejutan. Antologi Dalam Sajak (1955) muncul dengan sejumlah besar puisi pendek. Belakangan, banyak pengamat sastra yang menempatkan puisi-puisi pendek itu sebagai salah satu terminal atas keterpengaruhan Sitor pada Haiku (Jepang) dan Imagism (Inggris). Ketika muncul puisi “Malam Lebaran,” yang cuma berisi satu larik: Bulan di atas kuburan, orang pun dibikin makin heboh.
Dari sana, terjadilah kontroversi. Sitor dianggap tidak memahami penanggalan Islam. Meskipun dunia puisi mementingkan imajinasi, bagaimanapun, puisi tetap bertanggung jawab atas logika puisi itu sendiri. Fakta alam menyatakan, bahwa pada malam lebaran, bulan belum muncul. Oleh karena itu, pernyataan Malam Lebaran/ Bulan di atas kuburan, melanggar logika umum. Ia menyatakan sesuatu yang tak mungkin terjadi.
Meskipun demikian, ada juga yang berpandangan lain. Bagaimanapun juga, kadangkala puisi itu lahir secara spontan, tak dapat diduga, bergantung pada bagaimana perasaan tertentu, seperti marah, cinta, rindu, dan berbagai kegelisahan lain, tiba-tiba menggelegak. Ia tak dapat lagi dibendung. Dan penyair merasa perlu untuk menumpahkannya dalam larik-larik puisi.
Dalam kasus puisi Malam Lebaran, latar belakang peristiwanya terjadi pada malam lebaran ketika Sitor hendak berkunjung ke rumah Pramoedya Ananta Toer. Ia lewat dekat kuburan. Jadilah kemudian ada “Malam Lebaran” dan “kuburan”. Di tangan penyair sekelas Sitor, peristiwa itu niscaya sangat menggoda dan menggelisahkannya. Dengan kepiawaiannya membangun simbolisme dan kekuatan menciptakan citraan, peristiwa itu mesti direkam dan dinyatakan menjadi sesuatu yang mempesona dan menakjubkan. Maka, untuk memperkuat kesan yang lebih dalam, diperlukan sebuah simbol yang dapat mendukung citraan yang mewartakan kesepian dan keterasingan sebagai pesannya. Dan kata bulan itulah pilihannya. Maka, lahirlah kemudian sebuah puisi pendek: Bulan di atas kuburan// Sebuah puisi yang memancarkan kekuatan citraan yang begitu hidup dan sekaligus juga menyimpan kekayaan simbolisme.
***
Awal kepenyairan Sitor Situmorang dimulai ketika dua buah puisinya “Kini Diam Segala Makhluk” dan “Terdengar” dimuat Siasat, No. 2, 1948. Selepas itu, Sitor mulai menunjukkan kecerdasan kepenyairannya. Sampai tahun 1951, di antara sejumlah esai yang ditulisnya sejak tahun 1948, ia menghasilkan sekitar 30-an puisi dan sebuah cerpen berjudul “Gerbera” (Mimbar Indonesia, No. 10, 4, 1950). Sejauh pengamatan, pada tahun 1952, tidak ada karya Sitor yang muncul di media massa. Boleh jadi itu disebabkan oleh kesibukannya bekerja di Kedutaan Indonesia di Paris.
Pada tahun 1953, Sitor kembali ke tanah air. Pengalamannya di Eropa dan teristimewa di Prancis dan Italia, laksana membuatnya kerasukan. Mengalirlah puisi-puisinya mengisi lembaran berbagai media massa waktu itu. Menurut J.U. Nasution (Sitor Situmorang sebagai Penyair dan Pengarang Cerita Pendek, 1963: 5) “Sitor sebagai penyair dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern seorang yang terbanyak menghasilkan sanjak.” Ajip Rosidi (1979: 116) yang dalam dasawarsa tahun 1950-an termasuk pengarang yang sangat produktif, menyatakan pula pujiannya. “Pada tahun 1953, Sitor menarik perhatian dunia sastra Indonesia dengan tulisan-tulisannya. Bukan saja karena jumlah tulisan-tulisannya yang melimpah-limpah, tetapi juga karena gayanya yang khas dan memberikan udara segar kepada penulisan puisi waktu itu dan karena filsafat “iseng” yang dibawakannya.”
Antara tahun 1953 sampai 1961, di luar esai-esainya, sekitar 100-an puisi, 20-an cerpen, dan dua buah drama, “Jalan Mutiara” (Zenith, No. 3, 3, 1953) dan “Pulo Batu” (Pujangga Baru, No. 8, 1953), telah dihasilkan Sitor. Kedua drama itu, ditambah satu drama, “Pertahanan Terakhir” kemudian diterbitkan sebagai buku berjudul Jalan Mutiara (1954). Pada periode itu pula, terbit antologi puisinya Surat Kertas Hijau (1953), Dalam Sajak (1955), dan Wajah tak Bernama (1955). Sebuah antologi cerpennya, Pertempuran dan Salju di Paris (1956) memperoleh penghargaan Hadiah Sastra BMKN 1955/1956.
Memasuki tahun 1960-an, kegiatan Sitor Situmorang dalam politik praktis makin banyak menyita waktunya. Kunjungannya ke Cina dan Korea Utara ketika itu, tentu saja dalam rangka kegiatan itu pula. Meskipun demikian, ia masih sempat menulis puisi dan mengumpulkannya dalam antologi, berjudul Zaman Baru (1962). Dalam kata pengantar buku itu, dinyatakan, bahwa antologi ini sebagai …sebuah “dokumen kecil tentang perkembangan kerohanian…” Sesungguhnya, kerohanian yang dimaksud adalah perkembangan kepenyairannya yang waktu itu cenderung mengusung ideologi tertentu.
Selain menghasilkan karya sendiri, Sitor Situmorang juga banyak menerjemahan karya asing. Antara tahun 1953—1957 tercatat sedikitnya delapan karya terjemahan telah dipublikasikannya, yaitu cerpen Shen Chi Chi, “Jenshih Putri Serigala” (Siasat, No. 5, Juli 1951), novel John Wyndham, Triffid Mengancam Dunia (1953), drama John Galswarthy & Robert Midlemans, Hanya Satu Kali (1954), drama M. Nijhoff, Hari Kemenangan (1955) dan Bethlehem (1955), drama R.S. Macnocol, Perwira Tuhan (1955), drama D.I. Sayersm, Jalan ke Joljuta, kulpulan esai E. du Perron, Menentukan Sikap (1957), dan sebuah karya W.S. Bronson, Perjalanan si Pinto (1960).
***
Setahun setelah kerusuhan politik (1966) yang lebih dikenal dengan nama Gerakan 30 September, Sitor Situmorang ditahan dan baru dibebaskan tahun 1974. Dengan kebebasan itulah, penyair kelahiran Harianboho, Tapanuli Utara itu, kembali menekuni –dan menikmati—dunia kepenyairannya. Ia pun mencatat pengelanaannya dalam antologi puisi Dinding Waktu (1976), Peta Perjalanan (1977) –yang mendapat Hadiah Puisi Dewan Kesenian Jakarta 1976-1977— dan Angin Danau (1982).
Pada tahun 1981, terbit pula sebuah antologi cerpennya, berjudul Danau Toba, serta sebuah otobiografi berjudul Sitor Situmorang Seorang Sastrawan 45 Penyair Danau Toba (1981). Sejumlah puisinya yang pernah dihasilkan Sitor Situmorang –kecuali puisinya dalam antologi Zaman Baru (1962)—, dihimpun dan dikumpulkan dalam antologi Bunga di Atas Batu (1989). Belakangan, antologi Bunga di Atas Batu dipilih dan diseleksi kembali menjadi hanya 100 puisi yang dianggap paling mewakili kepenyairannya selama empat dasawarsa (1948—1988). Ke-100 puisi itu diterbitkan dalam antologi Rindu Kelana (1994).
Pada tahun 1984, Sitor Situmorang bermukim di Leiden dan Den Haag, Belanda. Belakangan ia tinggal di Islamabad, Pakistan. Dalam kehidupannya menjadi orang asing, ia ternyata tidak melupakan dunia kepenyairannya.
***
Demikian pengelanaan seorang Sitor Situmorang. Dan segala pengalaman –pahit-getir dan manis-madunya— itu, sesungguhnya dapat kita telusuri kembali melalui karya-karya yang telah dihasilkannya. Boleh jadi, dalam perjalanan hidupnya itu Sitor lebih banyak merasakan kegelisahan, keterasingan, dan kesepian, seperti yang dikatakannya: Bunga di atas batu/dibakar sepi//. Meskipun demikian, kita tak dapat menafikan, peranan Sitor Situmorang yang telah memberi kontribusi penting dalam penggalan perjalanan kesusastraan Indonesia. Bahwa di dalam perjalanannya itu ada warna abu-abu, sepatutnya pula kita menempatkannya dalam konteks kehidupan manusia yang tidak dapat melepaskan dirinya dari fitrah kemanusiaannya. Barangkali, hanya dengan cara itulah kita dapat menempatkan segala apapun secara proporsional, sesuai dengan kotaknya, tanpa harus mengurangi atau melebih-lebihkan.
Itulah Sitor Situmorang, “Si anak hilang (yang) kini kembali” meski “Tak seorang dikenalnya lagi,” kami tetap menempatkannya sebagai tokoh tangguh Angkatan 45 yang lantang berkata: “Kegelisahan tanda hidup!”
Sumber: MAHAYANA-MAHADEWA.COM http://mahayana-mahadewa.com
No comments:
Post a Comment