MASALAH DALAM PRAKTIK STUDI SASTRA BANDINGAN
Maman S. Mahayana
Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) yang anggotanya meliputi sastrawan dari negara-negara di kawasan Asia Tenggara, beberapa waktu yang lalu menyelenggarakan empat kali ceramah sastra bandingan di Pusat Bahasa, Jakarta. Para penceramahnya berasal dari negara-negara anggota. Mereka boleh dibilang merupakan pakar di bidang itu, seperti Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono (Indonesia), Prof. Saleh Jaffar (Malaysia), Dr. Luisa J. Malary-Hall (Filipina), dan Dr. Ampuan Haji Brahim bin Ampuan Haji Tengah (Brunei Darusalam). Lalu, seberapa penting studi sastra bandingan, sehingga Mastera merasa perlu menyelenggarakan serangkaian ceramah itu? Apakah studi sastra bandingan merupakan bidang baru dalam ilmu sastra? Manfaat apa yang dapat kita petik dalam mempelajari bidang itu? Deretan pertanyaan lain yang lebih panjang dapat saja kita ajukan. Dalam konteks itulah, tulisan ini berusaha menjawab beberapa pertanyaan tadi.
I
Sastra bandingan (comparative literature) dalam banyak rumusan atau definisi, umumnya menekankan perbandingan dua karya atau lebih dari sedikitnya dua negara yang berbeda. Jika kita mengamati karya-karya dari berbagai negara dan daerah, maka ternyatalah bahwa rumusan itu akan mengundang banyak masalah. Dalam konteks itulah, perlu kiranya kita mempertanyakan kembali rumusan-rumusan sastra bandingan yang pernah ada.
Sesungguhpun demikian, sebelum memasuki pada pembicaraan yang menyangkut masalah dalam studi sastra bandingan itu sendiri, alangkah baik jika kita memperhatikan dahulu sejumlah rumusan mengenai sastra bandingan. Dari rumusan itu, serta dengan mengungkapkan beberapa kasus, boleh jadi pula kita akan memperoleh rumusan yang lebih pas; atau paling sedikit, kita dapat meninjau sejauh mana rumusan sastra bandingan masih dapat kita pertahankan dan alternatif apa yang perlu kita kedepankan.
Dalam kamus Websters, dikemukakan bahwa sastra bandingan mempelajari hubungan timbal balik karya sastra dari dua atau lebih kebudayaan nasional yang biasanya berlainan bahasa, dan terutama pengaruh karya sastra yang satu terhadap karya sastra lain. Sementara itu, menurut Rene Wellek dan Austin Warren ada tiga pengertian mengenai sastra bandingan. Pertama, penelitian sastra lisan, terutama tema cerita rakyat dan penyebarannya. Kedua, penyelidikan mengenai hubungan antara dua atau lebih karya sastra, yang menjadi bahan dan objek penyelidikannya, di antaranya, soal reputasi dan penetrasi, pengaruh dan kemasyhuran karya besar. Ketiga, penelitian sastra dalam keseluruhan sastra dunia, sastra umum dan sastra universal. Sejalan dengan pendapat Wellek dan Warren, Holman mengungkapkan, bahwa sastra bandingan adalah studi sastra yang memiliki perbedaan bahasa dan asal negara dengan suatu tujuan untuk mengetahui dan menganalisis hubungan dan pengaruhnya antara karya yang satu terhadap karya yang lain, serta ciri-ciri yang dimilikinya.
Hal senada juga dikemukakan Remak yang mengungkapkannya sebagai berikut: “Sastra bandingan adalah studi sastra yang melewati batas-batas suatu negara serta hubungan antara sastra dan bidang pengetahuan dan kepercayaan lain.” Ringkasnya, sastra bandingan adalah perbandingan karya sastra yang satu dengan satu atau beberapa karya sastra lain, serta perbandingan karya sastra dengan ekspresi manusia dalam bidang lain. Lebih lanjut Remak menekankan, bahwa perbandingan antara karya sastra dan bidang di luar sastra hanya dapat diterima sebagai sastra bandingan, jika perbandingan keduanya dilakukan secara sistematis dan bidang di luar sastra itu dapat dipisahkan dan mempunyai pertalian logis.
Atas dasar sejumlah definisi atau pengertian tentang sastra bandingan, Robert J. Clements melihat sastra bandingan sebagai studi yang pendekatannya meliputi aspek: (1) tema/mitos, (2) jenis/bentuk, (3) aliran/zaman, (4) hubungan sastra dengan seni dan bidang lain, dan (5) sastra sebagai gambaran sejarah kritik dan teori sastra.
II
Definisi yang tertulis dalam kamus Websters, jelas hanya memberikan pengertian yang sangat umum. Pertama, kamus itu bukan kamus khusus mengenai kesusastraan. Kedua, kamus itu merupakan kamus umum yang memuat kosa kata dalam bahasa Inggris. Dengan demikian, terlalu riskan jika kita melandasi pengertian sastra bandingan hanya dari sebuah entri yang terdapat dalam kamus umum seperti itu. Sesungguhpun begitu, ternyata rumusan yang umum itu dikemukakan pula oleh Wellek dan Warren dan Remak. Dalam konteks ini, kita masih dapat memperkuat rumusan itu dengan menyinggung sejumlah kasus dalam kesusastraan beberapa negara.
Masalah yang menyangkut dua atau lebih kebudayaan nasional dan pengaruh karya sastra terhadap karya sastra lain, misalnya dalam kesusastraan Indonesia, bukan hal yang baru. Sebutlah kasus Hamka–Manfaluthi dan Chairil Anwar–Archibald Macleish. Sebenarnya, kita masih dapat menyebut kasus serupa yang belum banyak diungkapkan. Novel Angin Musim (1986) karya Mahbub Djunaedi, misalnya, ternyata mempunyai banyak persamaannya dengan novel Natsume Soseki, I’m a Cat (1972). Kedua novel ini menampilkan tokoh kucing yang menceritakan berbagai pengalaman manusia. Lewat tokoh yang lain, sastrawan Malaysia, Hassan Ibrahim dalam Tikus Rahmat (1963) menampilkan tokoh tikus berikut dunia pertikusannya. Dalam hal ini, Tikus Rahmat ternyata mempunyai kesamaan dengan Animal Farm (1945) karya George Orwell.
Untuk kasus-kasus yang disebut terakhir, boleh jadi kita masih dapat memasukkan persoalannya ke dalam wilayah sastra bandingan. Artinya, lewat studi sastra bandingan, kita masih dapat menerima bahwa sangat mungkin Mahbub Djunaedi terpengaruh oleh karya Natsume Soseki. Demikian pula dengan Hassan Ibrahim yang dari berbagai ulasan mengenai Tikus Rahmat, dianggap telah menyerap pengaruh Orwell. Tetapi bagaimana dengan kasus Hamka dan Chairil Anwar yang telah disebutkan tadi, hanya sebatas pengaruh-mempengaruhi yang masih termasuk wilayah sastra bandingan, atau bentuk lain dari saduran? Atau, apa yang oleh Sapardi Djoko Damono disebut sebagai pengkhianatan kreatif?
Persoalannya mungkin menjadi rumit jika ada sastrawan yang secara “main-main” sengaja menyerap pengaruh asing, seperti yang dilakukan Seno Gumira Ajidarma. Sebagai contoh perhatikan dua puisi berikut:
Haiku Jepang DOR!
Katak melompat mayat bertato
Plung! kecemplung kali
Plung!
(Haiku Indonesia–1983)
Apakah yang dilakukan Ajidarma merupakan saduran, pengaruh atau “main-main”? Kemudian jika keduanya diperbandingkan, apakah termasuk wilayah sastra bandingan atau tidak?
Jika soal pengaruh yang menjadi salah satu pengertian dalam studi sastra bandingan, kita dapat mengedepankan beberapa karya yang mempunyai persamaan tematis. Karya Putu Wijaya, Bila Malam Bertambah Malam, misalnya, mungkin sedikit banyak terpengaruh oleh Kebun Tjeri (1904; diindonesiakan, 1972) karya Anton P. Tjechov. Karya-karya Albert Camus atau Jean Paul Sartre jelas telah ikut mewarnai karya-karya Iwan Simatupang. Namun bagaimana dengan karya-karya Gabriel Garcia Marquez, Tumbangnya Seorang Diktator (1975; diindonesiakan, 1992), Frankie Sionil Jose, Sebuah Desa Bernama Po-on (1979; diindonesiakan, 1988), Miguel Asturias, Tuan Presiden (1948; diindonesiakan, 1985) –sekadar menyebut beberapa di antaranya, apakah juga telah mempengaruhi Mochtar Lubis seperti tampak dalam novelnya, Senja di Jakarta. Jika kemudian ternyata bahwa novel-novel itu mempunyai kesamaan tematis, apakah ia berarti ada di antara novel itu yang telah mempengaruhi pengarang lainnya. Masalah yang sama pun dapat kita kedepankan, seperti adanya persamaan bentuk dan tema prosa liris (atau ada pula yang memasukkannya sebagai puisi naratif) Okot p’Bitek, Afrika yang Resah dengan Pengakuan Pariyem (1981) karya Linus Suryadi.
Mengenai sastra bandingan sebagai studi sastra lisan dan penyebarannya, sebagaimana yang dikemukakan Wellek dan Warren, kita dapat mengajukan satu kasus yang pas untuk penelitian itu, yaitu dengan menelusuri cerita binatang Kalilah dan Damina yang di hampir semua negara selalu mempunyai berbagai jenis cerita binatang. Dalam hal ini, cerita-cerita rakyat juga barangkali dapat dimasukkan ke dalam wilayah ini. Sebutlah misalnya, si Pitung (Betawi), Bajing Ireng (Cirebon), dan Robinhood (Eropa). Kemudian kita juga masih dapat menyebut cerita klasik Oedipus (Yunani), Sangkuriang (Sunda), dan Puti Bungsu (Sumatra). Kini, masalahnya adalah mungkinkah cerita-cerita itu merupakan hasil penyebaran? Jika hasil penyebaran, manakah yang lebih dahulu, si Pitung, Bajing Ireng, atau Robinhood; Oedipus, Sangkuriang, atau Puti Bungsu?
Apabila studi sastra bandingan, dapat memasukkan cerita-cerita itu ke dalam rumusan yang dikemukakan Wellek dan Austin Warren, Remak, dan Clements, lalu bagaimana pula dengan bentuk transformasi; apakah studi mengenai itu juga termasuk sastra bandingan. Ambillah contoh, misalnya, Roro Mendut yang klasik kita perbandingkan dengan Roro Mendut (1961) Ajip Rosidi dan Roro Mendut (1983) Y.B. Mangunwijaya. Contoh serupa dapat kita sebut di sini, Hayy Ibn Yaqzan (diindonesiakan sebagai cerbung harian Pelita, 1991) karya Ibn Thufail (1106–1185), Robinson Crusoe (diindonesiakan, 1975) karya Daniel Defoe (±1661?1731) serta Kehidupan Liar (1971; diindonesiakan, 1992) karya Michel Tournier. Ketiga novel itu sama menceritakan kehidupan sosok manusia di pulau kosong. Malahan, dalam Kehidupan Liar tokoh-tokohnya sama dengan tokoh-tokoh Robinson Crusoe yaitu tokoh Robinson dan Jumat (Friday dalam Robinson Crusoe dan Vendredi dalam Kehidupan Liar). Jadi novel ini jelas merupakan transformasi dari Robinson Crusoe yang jika lebih jauh lagi merupakan transformasi dari Hayy Ibn Yaqzan.
Dilihat dari latar belakang kehidupan pengarang dan bahasa yang digunakannya, maka tentu saja perbandingan novel Hayy Ibn Yaqzan (Arab), Robinson Crusoe (Inggris), dan Kehidupan Liar (Perancis), termasuk ke dalam wilayah sastra bandingan, karena memenuhi syarat: berbeda negara, bahasa, dan kebudayaan. Jika perbandingan bentuk transformasi seperti itu termasuk sastra bandingan, lalu apa bedanya dengan pendekatan interteks atau disebut juga intertekstualitas.
Masalah transformasi tidak hanya menyangkut perubahan dari karya sastra yang satu menjadi karya sastra yang lain, tetapi juga perubahan dari jenis karya nonsastra menjadi karya sastra. Beberapa cerpen Ahmad Tohari, misalnya, seperti “Pencuri” (Panji Masyarakat, No. 458, 1982), “Nyanyian Malam” dan “Syukuran Sutabawor” ternyata menyerupai esainya “Priyayi Zaman Akhir” dan “Tetangga di Belakang Rumah” dalam rubrik Seloka dan Amanah No. 59, 20 Oktober 1988 dan No. 85, 7 Oktober 1989.
Masalah lainnya yang cukup menarik terjadi pada kasus Ajip Rosidi. Puisi naratif Ajip Rosidi yang berjudul “Jante Arkidam” semula ditulis dalam bahasa Sunda tahun 1956 kemudian ditulis kembali dalam bahasa Indonesia dan dimuat dalam antologi Cari Muatan tahun 1959. Dalam kasus ini, terjadi beberapa perubahan; ada beberapa larik versi Sundanya yang dihilangkan. Di samping itu, versi Sunda Jante Arkidam terasa lebih kuat dan mendalam, baik yang menyangkut persajakan, suasana yang ditampilkan maupun maknanya secara keseluruhan. Masalahnya kini apakah perbandingan Jante Arkidam versi itu (Sunda–Indonesia) termasuk sastra bandingan, mengingat kedua karya itu berbeda bahasanya atau intertekstualitas? Sastrawan-sastrawan seperti Arswendo Atmowiloto, Eddy D. Iskandar atau Ajatrohaedi, sekadar menyebut beberapa, termasuk sastrawan yang menguasai bahasa pertama (bahasa ibu) sama baiknya dengan bahasa Indonesia. Akibatnya mereka dapat “seenaknya” pulang-pergi dari bahasa Indonesia ke bahasa ibunya atau sebaliknya. Di Indonesia atau di negara-negara yang multietnik, keadaan seperti itu, bukanlah hal yang aneh. Tetapi lalu menjadi persoalan manakala kita hendak menempatkan analisis terhadap karya-karya yang seperti itu; apakah termasuk sastra bandingan atau tidak. Jika tidak, mengapa tidak, padahal karya-karya itu berbeda dalam bahasa dan budayanya. Pada saat Ajip menulis Jante Arkidam dalam bahasa Sunda, tentulah ia sebelumnya telah mempersiapkan dirinya dengan kerangka berpikir, ideologi, dan sikap budaya sebagai orang Sunda yang berbeda dengan pada saat ia menulis dalam bahasa Indonesia.
Demikianlah studi sastra bandingan terhadap khazanah sastra Nusantara sangat mungkin menjadi lahan yang subur mengingat sastrawan-sastrawan Indonesia tidak lahir dari kebudayaan Indonesia (nasional) melainkan lahir dari kebudayaan daerah. Jika kemudian masalah kebudayaan nasional atau batas negara yang menjadi prasyarat studi sastra bandingan, maka persoalan lain akan timbul jika dua atau lebih negara yang berbeda menggunakan bahasa yang sama sebagai bahasa nasionalnya. Sastrawan Inggris Raya, Australia, dan Amerika merupakan contoh yang jelas, bahwa betapapun negaranya berbeda, mereka juga menggunakan bahasa yang sama. Sastrawan-sastrawan Patani (Muangthai), Malaysia, Brunei Darussalam, dan Indonesia (Riau), juga menggunakan bahasa yang sama, walaupun secara politik dan geografi, negara-negara itu berbeda satu sama lain. Kasus yang serupa juga berlaku pada diri sastrawan-sastrawan Belanda–Belgia atau negara-negara Arab, seperti Irak, Mesir atau Saudi Arabia.
III
Dari sejumlah kasus yang telah dipaparkan itu, yang perlu mendapat perhatian, barangkali– bukanlah pada perbedaan bahasa, geografi, politik atau negara, tradisi dan kebudayaan, melainkan pada metodologi. Jika yang diperbandingkan sebatas teks semata-mata tanpa menghubungkannya dengan faktor-faktor ekstrinsik, maka sebut saja itu sebagai sastra bandingan dengan pendekatan intertekstualitas. Tetapi jika perbandingannya itu dilanjutkan dengan penjelasan mengenai hal yang menyangkut perbedaan sosiokultural yang melingkari diri pengarang masing-masing maka sebut saja itu sebagai studi sastra bandingan dengan pendekatan sosio-kultural. Justru dalam hal inilah, studi sastra bandingan, tidak hanya akan menjadi studi interdisipliner tetapi juga, pada gilirannya, menuntut kritikus melebarluaskan wawasan dan pengkajiannya sekaligus.
Dalam kasus Oedipus dan Sangkuriang, misalnya, mengapa Oedipus sempat menjadi suami perempuan yang sebenarnya ibunya sendiri, sedangkan Sangkuriang, menikah pun dengan Dayang Sumbi belum sempat? Tentu saja persoalannya akan menjadi jelas jika kita menghubungkan kultur Sunda pada diri Sangkuriang dengan kultur Barat pada diri Oedipus. Sangat boleh jadi, Oedipus tidak mengenal.Konsep “anak durhaka” dan “surga berada di bawah telapak kaki ibu.” Mengapa konflik Magdalena Al-Manfaluthi lebih banyak dilatarbelakangi oleh persoalan harta kekayaan dan harkat dan derajat keluarga, sedangkan konflik Tenggelamnya Kapal van der Wijck Hamka, dilatarbelakangi oleh masalah adat (Minang). Masalah yang sama dapat kita kemukakan pada kasus Pariyem dan Nyanyian Lawino. Mengapa Lawino tampil sebagai sosok perempuan kasar, pemberang dan berangasan dibandingkan Pariyem yang sumarah, minder, manut. Mengapa pula dalam cerita-cerita fabel di Eropa, tokoh Serigala selalu tampil sebagai tokoh yang cerdik dan sering muncul sebagai “mesias”, dewa penolong, sedangkan dalam cerita fabel Nusantara, tokoh seperti itu diwakili oleh tokoh kancil, sebaliknya tokoh Serigala tampil sebagai tokoh jahat, rakus, dan serakah? Apakah ini juga erat kaitannya dengan latar belakang sosiokultural yang berlaku di masyarakat masing-masing?
Banyak contoh serupa masih dapat kita perpanjang. Namun, yang jelas bahwa penjelasan sosiokultural dalam studi sastra bandingan agaknya, perlu mendapat tekanan, betapapun itu memerlukan disiplin ilmu lain. Dengan cara ini, niscaya studi sastra bandingan akan memberi sumbangan berarti bagi usaha memahami kebudayaan suatu bangsa. Dengan cara itu pula, terbuktilah bahwa bahasa (:sastra) merupakan juga cerminan identitas bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Clement, Robert J. 1978. Comparative Literature as Academic Discipline. New York: The Modern Language Association of America.
Damono, Sapardi Djoko. 1990. “Sastra Bandingan di Indonesia: Beberapa Masalah.” Makalah Seminar Sastra Bandingan, Depok; FSUI, 19–20 Januari.
Holman, C. Hugh. 1984. “The Nonfiction-Novel.” American Fiction 1940-1980: A Comprehensive History and Critical Evaluation. New York: Harper & Row.
Junus, Umar. 1971. Ikhtisar dan Analisa Novel-novel Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Mahyana, Maman S. 1986. “Sastra Bandingan dalam Kritik Sastra Indonesia.” Suara Karya, 21 September.
———————–. 1987. “Sastra Bandingan: Telaah Sastra Mancanegara.” Angkatan Bersenjata, 2 Mei.
Marshall, Brenda K. 1992. Teaching the Postmodern: Fiction and Theory. London: Routledge..
Hasan, Mohd. Yusuf. 1974. Tikus Rahmat hampir menyerupai novel Animal Farm?, Berita Minggu, 12 Mei.
Stallnecht, P dan Horst Frenz. 1971. Contemporary Literature: Method & perspective. Carbondale & Edwardsville: Southern Illinois University Press.
Webster’s Third New International of English Language Unabridged. 1966. Massachusetts: Prentice Hall Press.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan, terj. Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.
———————–
Webster’s Third New International of English Language Unabridged, (Massachusetts, 1966), hlm. 462.
Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, terj. Melani Budianta, (Jakarta, 1989), hlm. 46-49.
C. Hugh Holman, “The Nonfiction-Novel,” American Fiction 1940-1980: A Comprehensive History and Critical Evaluation, (New York, 1984), hlm. 94.
Henry H. Remak. “Comparative Literature,” Newton P. Stalltnech and Horst Prenz (Ed.), Contemporarry Literature: Methode & Perspective, (Carbondale & Edwardsville, 1971), hlm. 1–7.
Robert J. Clement, Comparative Literature as Academic Discipline, (New York, 1978), hlm. 8.
Bandingkan novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck (1939) dan Di Bawah Lindungan Kabah karya Hamka, dengan novel Magdalena (1964) dan Al-Yatim karya Al-Manfaluthi.
Bandingkan puisi Chairil Anwar, “Krawang Bekasi” dengan puisi Archibald Macleish, “The Young Dead Soldier”. Periksa juga H.B. Jassin, Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45, (Djakarta, 1956).
Novel karya Natsume Soseki ini aslinya berjudul Wagahai wa Neko de Aru. Terbit pertama kali tahun 1905 di majalah Hototogisu (Cuckoo). Aiko Ito dan Greeme Wilson kemudian menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris tahun 1972.
Mohd. Yusuf Hasan, Tikus Rahmat hampir menyerupai novel Animal Farm? Berita Minggu, 12 Mei 1974. Lihat juga, Umar Junus, Ikhtisar dan Analisa Novel-novel Melayu, (Kuala Lumpur, 1971), hlm. 60-68.
Sapardi Djoko Damono menyebut “penerjemahan” karya sastra sebagai “pengkhianatan kreatif”, sebab menurutnya, penerjemahan karya sastra memerlukan kreativitas penerjemahnya, sehingga boleh jadi karya terjemahannya itu menjadi lebih baik daripada karya aslinya, sebagaimana yang dilakukan Chairil Anwar. Jika begitu, mestinya masalah saduran juga termasuk wilayah sastra bandingan.
Seno Gumira Ajidarma, Penembak Misterius (Jakarta, 1983), hlm ii.
Senja di Jakarta terbit pertama kali dalam bahasa Inggris, 1963. Setelah diterbitkan dalam bahasa Belanda dan Malaysia, tahun 1970 baru diindonesiakan dan diterbitkan penerbit Badan Penerbit Indonesia Raya.
Karya ini pertama kali diterbitkan dalam bahasa Inggris tahun 1966 kemudian diterbitkan dalam bahasa Lwo asli tahun 1969. Pada tahun 1988, Sapardi Djoko Damono menerjemahkan karya ini ke dalam bahasa Indonesia dan sekaligus memberi kata pengantar pada buku itu.
Novel karya Michel Tourner ini aslinya berbahasa Perancis, Vendredi on la vic Sauvage. Edisi Inggris berjudul Friday, diambil dari nama tokoh Vendredi (Jumat) tokoh penting dalam Robinson Crusoe.
Brenda K. Marshall, Teaching the Postmodern: Fiction and Theory, (London, 1992), hlm. 120–146. Marshall menempatkan analisis Robinson Crusoe dan Friday sebagai pendekatan intertekstualitas.
Cerpen ini tidak dimasukkan ke dalam kumpulan cerpen Senyum Karyamin (1989).
“Nyanyian Malam” dimuat di majalah Kartini, No. 443, 1992. Bersama cerpen-cerpen lainnya, Maman S. Mahayana kemudian mengumpulkan, menerbitkan, dan memberi Kata Penutup antologi Nyanyian Malam (Jakarta: Grasindo, 2000).
Ajip Rosidi, Jante Arkidam, (Bandung, 1989), hlm. 1–5.
Sumber: MAHAYANA-MAHADEWA.COM http://mahayana-mahadewa.com
No comments:
Post a Comment