Sastrawan, Novel Sejarah, dan Sejarawan
Oleh Rimbun Natamarga
Barangkali, tidak setiap orang tahu bahwa sastra bukan sejarah, sejarah bukan sastra. Dan, memang, antara keduanya ada perbedaan yang cukup menonjol. Mengetahui dan memahami perbedaan-perbedaan itu, setidaknya, dapat membuat seseorang mafhum dalam membuat sebuah tulisan sejarah.
Dapat dikatakan, pekerjaan seorang sastrawan adalah berimajinasi. Ia melihat kehidupan untuk kemudian menafsirkannya sesuai apa yang ia mengerti. Ia menciptakan dunia sendiri; ialah pula yang menentukan baik-buruk, ketetapan-ketetapan dalam dunia tersebut. Ialah sang pemilik kebenaran.
Dan karena itu, bisa dibilang, si penulis karya sastra itu semisal Dewi Lestari (DEE) adalah Tuhan bagi dunia dalam Supernova dan Perahu Kertas yang ditulisnya Meski demikian, seperti apa pun dunia yang dibangunnya, seorang sastrawan mesti taat terhadap asas-asas yang dibangun dalam dunianya itu.
Namun, adakalanya seorang sastrawan memanfaatkan sejarah untuk membangun karyanya. Ia menggunakan fakta-fakta sejarah yang tak-terbantahkan sebagai latar belakang pengisahan tokoh-tokoh fiktifnya.
Atau mungkin, ia dengan kesadaran sejarahnya, mencoba mengisahkan kembali kehidupan seorang tokoh sejarah dalam sebuah karya sastra dengan segala sisi kehidupannya, termasuk emosi-emosi pribadi atau bahkan tragedi-tragedi yang menimpanya. Seorang sastrawan berharap, dengan begitu para pembaca dapat merasakan betapa tragedi yang menimpa seorang tokoh besar adalah lumrah. Seorang sastrawan berhak untuk membela atau bahkan mengagungkan tokoh yang celaka di mata publik.
Satu contoh dapat diambil di sini. Bumi Manusia, Anak Segala Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca adalah karya seorang sastrawan. Pramoedya Ananta Toer, penulis tetralogi itu, ingin merekonstruksi sepenggal sejarah Indonesia. Ia mengungkap kehidupan Mas Tirto Adi Soerjo sebagai bapak pers Indonesia yang melulu terlupakan dalam buku-buku sejarah kita. Meski dibangun di atas fakta-fakta sejarah, tetap saja tetralogi itu karya sastra. Kita akan menemukan beberapa hal yang berbeda dan belum tentu benar adanya.
Seperti itu pula Kuantar Ke Gerbang. Meski ditulis Ramadhan KH. berdasarkan data-data sejarah, juga wawancara khusus dengan beberapa saksi mata dan pelaku sejarah langsung, buku itu hanya menjadi semacam novel biografis yang mengisahkan kehidupan Soekarno ketika menjalin rumah tangga dengan Inggit Ganarsih—istri keduanya. Tetap saja dinilai sebagai novel sejarah, bukan buku sejarah dengan bahasa novel.
Sejarawan dan Novel Sejarah
Cara kerja sejarawan berbeda dengan seorang sastrawan. Sejarawan melulu terikat dengan fakta. Ia tidak boleh mengada-ada. Ia memiliki tanggung jawab moral untuk memaparkan fakta apa-adanya. Ia akan merekonstruksi ulang suatu peristiwa sejarah dari fakta-fakta yang ditemukannya; ia berusaha untuk lebih objektif, meski objektifitas itu sendiri sesuatu yang nonsens.
Untuk mendapat satu fakta saja, seorang sejarawan butuh dua bentuk kritik terhadap sumber-sumber sejarah yang diperolehnya. Dua kritik sumber sejarah yang dimaksud adalah kritik terhadap keaslian sumber tersebut dan kritik terhadap kebisadipercayaan sumber tersebut. Dan itu semua tidak mudah, ternyata.
Wajar saja, jika ada yang berani mendapuk, kerja seorang sejarawan mirip dengan kerja seorang detektif. Seperti Robert Langdon, seorang sejarawan agama dan ahli simbol-simbol, yang beraksi dalam The Da Vinci Code dan Malaikat dan Iblis atau dalam The Lost Symbol: tulen detektif jadi-jadian rekaan Dan Brown.
Kritik terhadap keaslian sumber sejarah adalah pembuktian materi fisik sumber-sumber sejarah. Masuk di sini, jenis kertas, tinta gaya tulisan—bila dengan tulisan tangan—atau bahkan jenis tinta yang dipakai, juga gaya bahasa, ungkapan-ungkapan yang dipakai, jenis huruf yang ditulis dan diksi yang ada. Semua harus dibuktikan keasliannya (Aslikah? Benarkah sumber sejarah tersebut dari zamannya? Atau, mungkin, buatan orang-orang yang muncul beberapa tahun setelah zaman itu?).
Kritik terhadap kebisadipercayaan sumber sejarah adalah pembuktian segala sesuatu yang dikandung oleh sebuah sumber sejarah (Benarkah keterangan dalam sumber itu? Bertentangan, tidak, dengan keterangan di sumber-sumber sejarah yang lain?). Dan juga masuk di sini, keadaan pembuat atau penulis sumber sejarah itu—jika berupa tulisan (Waraskah orangnya? Suka menipu, tidak? Hubungannya dengan peristiwa sejarah itu apa?). Yang tidak dilupakan: sumber sejarah itu berupa apa (Laporan rahasia? Keterangan pembelaan? Kesaksian biasa? Propaganda? Catatan harian? Laporan seorang bawahan, laporan seorang atasan? Notulen rapat? Atau, yang lain?).
Yang menjadi catatan, semua fakta yang didapat bukan sekedar dijejalkan begitu saja. Fakta-fakta itu disusun dirangkai menjadi satu kesatuan yang menarik dalam bentuk kisah. Ada awal, tengah, akhir, dan keterkaitan satu sama lain. Di dalamnya, terdapat penerapan prinsip-prinsip kausalitas. Itu semua makin menarik, ketika sejarawan yang bersangkutan memberi tafsir. Dan, memang, sejarawan akan membuat tafsir atas fakta-fakta sejarah yang ada.
Meski demikian, dalam merekonstruksi sejarah, seorang sejarawan tidak dilarang untuk menggunakan imajinasinya sekedar untuk membayangkan jalannya peristiwa tersebut, sehingga ia pun dapat lebih memahaminya dengan baik. Ia tetap tidak boleh menulis sesuatu yang tidak ada faktanya. Dan sebuah buku sejarah yang baik adalah buku yang melulu berisi fakta-fakta sejarah. Bukan rekaan.
Dengan konsekwensi seperti itu, adalah wajar, jika tulisan-tulisan sejarah amat mudah menjadi kering dan tidak menarik. Menerbitkan buku sejarah menjadi semacam perjudian yang beresiko, penuh perhitungan dan tidak main-main. Para penerbit lebih nyaman menerbitkan novel-novel sejarah. Selain banyak peminatnya, untung yang ditangguk juga besar-besar.
Tidak heran, jika beberapa sejarawan profesional lebih memilih menulis novel sejarah ketimbang buku-buku sejarah. Apalagi, kemampuan akademis hasil pendidikannya bertahun-tahun di universitas masih tetap terpakai dalam penulisan novel-novel sejarah itu. Memoir of Geisha dan Pope Joan adalah dua contoh novel sejarah yang ditulis sejarawan-sejarawan profesional.
Oleh karena itu, seorang guru besar sejarah di Indonesia pernah mengatakan, menjadi sejarawan berarti siap menjadi seseorang yang miskin. Gengsi yang dimiliki kecil dan harta yang dipunya sedikit. Jauh lebih sedikit dari seorang encik-encik Tionghoa pemilik toko kelontong di sebuah Pecinan.
Menjadi Seorang Sejarawan
Akan tetapi, untuk menjadi seorang sejarawan, seseorang tidak mesti menjalani pendidikan kesejarahan dulu di universitas-universitas. Di Indonesia saja, tulisan-tulisan sejarah yang bermutu dan banyak menyapa kita adalah hasil tulisan orang-orang biasa tetapi banyak menaruh perhatian terhadap sejarah. Di antara mereka, bahkan, ada yang sekaligus menjadi saksi sejarah.
Rosihan Anwar, wartawan senior yang masih dimiliki Indonesia kini, adalah saksi sejarah yang banyak menulis sejarah. Artikel-artikel sejarahnya banyak terbaca kita lewat buku-buku kumpulan tulisannya, seperti tiga jilid Sejarah Kecil. Membaca tulisannya itu kita merasa terhibur dan—yang lebih penting—tidak digurui.
Dalam sejarah militer, buku-buku sejarah yang cukup otoritatif justru ditulis oleh Abdul Haris Nasution, mantan Panglima Besar TNI zaman Soekarno dulu. Ia telah membukukan berjilid-jilid sejarah perjuangan TNI di awal kemerdekaan Republik Indonesia. Seputar Perang Kemerdekaan dan Memenuhi Panggilan Tugas adalah contoh hasil maratonnya dalam menulis sejarah.
Orang-orang yang ingin melihat sejarah kota Bandung, cepat atau lambat, akan mencari dan membaca buku-buku Haryoto Kunto, meski bagi sebagian sejarawan profesional buku-buku itu tidak dianggap sebagai karya sejarah. Haryoto Kunto yang pernah menjadi pengajar di ITB, Bandung adalah seorang planolog yang betul-betul senang memperhatikan sejarah kota Bandung. Semerbak Bunga di Bandung Raya dan Bandung Tempo Doeloe yang ditulisnya banyak mengangkat cerita-cerita kesejarahan yang ada di Bandung. Semua itu ditulisnya dengan menarik dan tidak membosankan.
Dalam dunia perfilman, Misbach Yusa Biran adalah saksi sekaligus pelaku sejarah. Di usia tuanya, ia meninggalkan Sejarah Film 1900 – 1950: Bikin Film di Jawa. Di luar itu, informasi-informasi kesejarahan film di Indonesia banyak diberikannya kepada siapa pun yang menanyakannya. Meski banyak insan perfilman yang tahu sejarah film di Indonesia, namun mereka bukan saksi sejarah seperti Misbach Yusa Biran.
Remy Sylado alias Alif Danya Munsyi alias Yapi Tambajong, agaknya, dapat dimasukkan sebagai sejarawan bahasa di Indonesia. Ia, seorang poliglot atau menguasai banyak bahasa dan sastrawan, sering menulis tentang asal-usul kata dalam bahasa Indonesia.
Dan ternyata menarik, tidak membosankan, apalagi jika mengingat pengetahuan kesejarahan kita tentang kosakata bahasa Indonesia sangat sedikit—untuk tidak mengatakan tidak ada—yang dibukukan. Lebih dari itu, Remy Sylado banyak memasyarakatkan kosakata-kosakata asli milik Indonesia dalam banyak karya-karya sastranya, seperti Parijs van Java, Kerudung Merah Kirmizi, Sam Po Kong, Hotel Prodeo, dan Namaku Matahari.
Pada akhirnya, dapat disimpulkan, menjadi sejarawan bukan sesuatu yang sulit. Tidak dibutuhkan pendidikan khusus. Siapa pun, kalau ia mau, dengan mengetahui dan mempelajari metode kerja sebenarnya seorang sejarawan profesional, dapat menjadi seorang sejarawan. Ia membuat tulisan sejarah dan mempublikasikannya ke khalayak luas. Termasuk dokter praktek sekalipun bisa untuk itu, kalau ia mau.
Sekarang ini, salah satu buku karya sejarawan yang bicara masalah ini adalah Pengantar Ilmu Sejarah tulisan Kuntowijoyo, sejarawan sekaligus sastrawan terkenal. Dalam bahasa populer yang tidak membosankan, ia menerangkan semua itu. Dan yang lebih penting dari itu semua, ia sendiri mendorong para pembaca agar menjadi sejarawan-sejarawan baru, meski tidak harus mengecap bangku kuliah dulu.[]
sumber artikel: http://sejarah.kompasiana.com/2011/02/14/sastrawan-novel-sejarah-dan-sejarawan/
No comments:
Post a Comment