Sunday, March 27, 2011

Penelitian Sastra: Lahan yang Luas dan Berlimpah

PENELITIAN SASTRA: LAHAN YANG LUAS DAN BERLIMPAH

Maman S. Mahayana

Lahan atau objek kajian dalam penelitian kesusastraan sesungguhnya begitu berlimpah. Barangkali juga, selama manusia memerlukan sastra, selama itu pula terbuka peluang bagi sesiapa pun untuk melakukan penelitian terhadap berbagai aspek yang berkaitan dengan keberadaan sastra. Keadaan tersebut tentu saja dimungkinkan oleh banyak faktor. Beberapa di antaranya, dapatlah disebutkan berikut ini.

MSM"Pertama, penelitian sastra meliputi cakupan yang begitu luas dan beragam. Dilihat dari rentang pembagian batas waktunya, penelitian sastra dapat melalui penelusuran secara paradigmatik, atau karya-karya yang sezaman dengan penelusuran secara sinkronik. Baik penelusuran secara paradigmatik, maupun sinkronik, mencakupi penelitian terhadap sastra tradisional –sastra lisan dan naskah-naskah lama— maupun sastra modern.

Kedua, penelitian sastra berhadapan dengan sejumlah karya berlimpah. Dilihat dari ragamnya, penelitian sastra dapat dilakukan terhadap ragam puisi, prosa –novel dan cerpen—, drama, dan esai kritik. Begitu juga perkara yang menyangkut media yang digunakannya: buku, majalah, suratkabar, atau naskah-naskah yang ditulis tangan, sebagaimana yang dilakukan para penulis naskah-naskah lama.

Ketiga, penelitian sastra berurusan dengan berbagai masalah yang tidak pernah selesai, mengingat sastra selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan inovasi. Dilihat dari objek kajiannya, penelitian sastra dapat menumpukan diri pada masalah teks sastra yang sejak zaman entah kapan selalu lahir dan terus lahir, tanpa pernah mati. Kalaupun nyaris mati, ia justru dihidupkan oleh penelitian itu sendiri. Resepsi pembaca tentang karya sastra yang sezaman (sinkronis) dan yang tidak sezaman sesuai perkembangannya (diakronik) dapat pula menjadi lahan penelitian.

Keempat, penelitian sastra dapat dilakukan dengan kesengajaan memasalahkan apa pun yang berhubungan dengan perjalanan dan perkembangan sastra. Sejarah kesusastraan dengan berbagai masalahnya, berikut gejolak masyarakatnya, juga dapat menjadi lahan garapan penelitian sastra. Dilihat dari kelahiran dan perjalanannya, penelitian sastra dapat mengkhususkan diri pada sebuah karya atau sejumlah karya yang dilahirkan dalam kurun waktu tertentu. Peneliti boleh memusatkan perhatiannya hanya pada satu karya, tetapi boleh juga menempatkannya dalam rentang waktu sejarah perjalanannya. Dalam hal itu, peneliti menempatkan salah satu karya sastra dalam konteks sejarahnya.

Kelima, penelitian sastra dapat dilakukan dengan menempatkan teks dalam konteksnya. Dilihat dari sistem sastra, penelitian sastra dapat berorientasi pada keberadaan pengarang sebagai penghasil karya, teks sastra sebagai produk budaya, penerbit –termasuk media massa— sebagai pihak atau lembaga yang memungkinkan karya itu lahir dan menyebar, pembaca sebagai penikmat dan pemberi makna, serta pembaca kritis atau kritikus sebagai pihak yang dianggap mempunyai pengetahuan dan kompetensi dalam bidang sastra dengan berbagai aspeknya.

Tentu saja kita masih dapat menderetkan faktor lain lebih panjang, seperti soal sastra lisan, pengalihan atau pengangkatan bentuk karya sastra ke bidang seni lain, seperti film atau drama, atau juga persoalan yang menyangkut karya-karya terjemahan. Dalam hal ini, keseluruhan penelitian itu tercakup dalam apa yang disebut ilmu sastra atau dalam istilah teknisnya disebut kritik sastra (criticism). Istilah lain yang digunakan dalam pengertian itu adalah telaah sastra, kajian sastra, atau penelitian sastra.

Langkah apa saja yang perlu dilakukan ketika seseorang hendak meneliti salah satu aspek kesusastraan yang begitu berlimpah itu. Bagaimana pula kita dapat dengan mudah memilih dan menentukan objek penelitian sastra yang hendak kita lakukan. Lalu, apanya yang akan kita teliti mengingat dunia sastra dengan berbagai masalahnya itu, sungguh begitu luas dan berlimpah.

***

Penelitian sastra secara akademis termasuk ke dalam kegiatan ilmiah. Di sana ada sejumlah syarat dan prosedur yang terpaksa mesti kita ikuti. Kegiatan ilmiah mensyaratkan pemanfaatkan kerangka teoretis, metodologi, dan perangkat lain yang sering menjadi semacam kaidah dalam sebuah kegiatan ilmiah. Dalam hal ini, tentu saja kita perlu memilih, menggunakan dan mengoperasionalisasikan salah satu (atau salah dua) pendekatan —dari sejumlah pendekatan yang ada— yang dapat kita pandang tepat dan pas sebagai alat analisisnya.

Sejumlah hal itulah yang –barangkali—membuat kita –belum apa-apa—sudah cenderung berkutat dengan teori dan metodologi, tanpa merasa perlu bersentuhan dengan karyanya sendiri yang justru hendak dijadikan objek atau bahan penelitiannya. Kecenderungan itu pula yang membawa dunia akademis terkesan sebagai pihak yang begitu konservatif terhadap teori dan metodologi, tetapi acapkali atau bahkan cenderung mengabaikan keberadaan karya sastranya itu sendiri. Itulah salah satu problem penelitian sastra di lingkungan dunia akademi.

***

Sebelum kita memasuki pembicaraan mengenai langkah-langkah apa saja yang mesti dilakukan kalangan akademis dalam melakukan, menumbuhkan, mengembangkan, dan menggairahkan penelitian sastra, eloklah kita mencermati dahulu bagan berikut ini:

penelitian sastra

Berdasarkan bagan tersebut di atas, Ronald Tanaka membagi penelitian sastra atas dua sistem besar, yaitu sistem makro dan sistem mikro. Meskipun konsep ini sejalan dengan gagasan Rene Wellek dan Austin Warren mengenai apa yang disebutnya sebagai pendekatan esktrinsik dan pendekatan intrinsik, gagasan Tanaka, khasnya mengenai sistem makro, meliputi penelitian yang jauh lebih luas. Dalam hal ini, Tanaka mencoba memasalahkan keberadaan pengarang sebagai penghasil karya, peranan penerbit yang ditempatkannya dalam kerangka sistem produksi dan reproduksi, pembaca sebagai pemberi makna, dan kritikus yang terkadang ikut mempengaruhi citra pengarang. Untuk memberi gambaran lebih jauh, mari kita periksa duduk persoalannya.

Sistem Pengarang
Pengarang dalam sistem sastra makro ditempatkan tidak lebih penting dari pembaca. Harus diakui, bahwa lahir dan hidupnya dunia kesusastraan dimungkinkan oleh keberadaan pengarang. Jadi, meskipun pengarang yang memungkinkan lahirnya karya sastra, dalam konteks sistem sastra, ia diperlakukan sama pentingnya dengan pihak-pihak lain yang berperan dalam menghidupkan keberadaan dunia sastra. Pengarang sebagai kreator, penghasil karya sastra, di zaman modern ini, harus mendasari kemampuannya tidak lagi ada bakat alam, talenta, melainkan juga pada intelektualitas. Seorang pengarang modern, mutlak harus mempunyai kemampuan menciptakan sebuah dunia; dunia yang dibangunnya lewat bahasa. Kemampuan ini tentu saja akan berkutat pada dunia yang itu-itu saja, jika ia juga tidak meluaskan cakrawala pengetahuannya. Dengan demikian, seorang pengarang modern dituntut mempunyai pengetahuan yang luas, agar ia terus berkarya dan tidak kehabisan bahan.

Persoalan itu, dalam sistem pengarang, akan membawa seorang peneliti menelusuri lebih jauh pada latar belakang pendidikan pengarang, kultur yang telah melahirkan dan membesarkannya, lingkungan masyarakat, profesi kepengarangannya, ideologi yang dianut, dan masalah patronase (pengayoman). Jika kita hendak mempersempit masalahnya dan menghubungkannya dengan karya sastra (teks) yang dihasilkannya, maka kita dapat melakukan penelitian mengenai (a) pengarang dan karya-karyanya dengan fokus pada salah satu karyanya, (b) latar belakang pendidikan pengarang dan hubungannya dengan teks yang dihasilkannya, (c) kecenderungan pengarang tertentu –atau sejumlah pengarang—dalam satu komunitas sosial, (d) kecenderungan pengarang tertentu dalam hubungannya dengan kultur masyarakat yang telah melahirkan dan membesarkannya, (e) kepengarangan sebagai sebuah profesi, (f) masalah ideologi pengarang dalam kaitannya dengan teks yang dihasilkannya, (g) teks dalam hubungannya dengan sistem pengayoman.

Sesungguhnya, penelitian mengenai persoalan tersebut di atas, termasuk ke dalam tema-tema umum yang masih mungkin dikerucutkan lebih tajam lagi. Gambaran tersebut sekadar hendak menegaskan, bahwa dari satu aspek saja –sistem pengarang—kita dapat melakukan berbagai macam penelitian sastra.

Sistem Penerbit
Dalam sastra modern, penerbit adalah pihak atau lembaga yang memungkinkan terjadinya produksi dan reproduksi karya sastra. Dalam pengertian ini, di dalamnya termasuk media massa (majalah dan suratkabar) yang juga berperan sama. Dalam hubungannya dengan teks sastra, penerbit dan media massa sering kali terikat oleh kepentingan-kepentingan tertentu (ideologi, ekonomi). Oleh karena itu, di dalam proses penerbitan atau publikasi sebuah karya sastra, tidak terhindarkan adanya pihak lain yang terlibat dalam proses produksi atau reproduksi karya. Dalam hubungan itulah, keterlibatan pihak-pihak itu, seringkali ikut mempengaruhi struktur formal karya.

Hal lain yang berkaitan dengan sistem penerbit menyangkut persoalan distribusi dan penyebaran karya. Penerbit besar atau media massa nasional yang punya jaringan luas dalam soal distribusi akan lain pengaruhnya dibandingkan dengan penerbit swadaya atau media massa lokal. Dalam hal ini, tentu saja tugas peneliti menjadi sangat penting dalam usaha membuat pemetaan konstelasi kesusastraan sebuah komunitas.

Penelitian lain yang dapat dilakukan berkaitan dengan sistem penerbit, berurusan dengan beberapa hal berikut: (a) ideologi dan kepentingan penerbit, (b) peranan dan pengaruh penerbit terhadap struktur formal karya sastra, (c) sistem pengayoman yang dilakukan penerbit, (d) faktor sosial-politik-ekonomi yang mempengaruhi penerbit, (e) jaringan distribusi, dan (f) sasaran pembaca.

Dalam hubungan itu, keberadaan dan peranan penerbit dan media massa penting artinya dalam penelitian sastra, baik yang bersifat sinkronis, maupun diakronis.

Sistem Pembaca
Dalam sistem sastra makro, tidak dibedakan antara penikmat atau pembaca biasa, pembaca ahli dan pembaca kritis atau kritikus (: peneliti). Ronald Tanaka menempatkan pembaca ahli dan pembaca kritis atau kritikus ini dalam sistem kritik. Meski demikian, keberadaan pembaca dalam sistem ini tetap dianggap penting, karena dalam banyak hal, pembaca sering kali ikut mempengaruhi situasi dan kondisi kehidupan kesusastraan. Jadi, keberadaan pembaca tidak dapat diabaikan begitu saja. Mereka tak jarang, justru menjadi bahan pertimbangan pengarang dan penerbit. Dengan demikian, karya sastra yang ditulis dengan sasaran pembaca tertentu, tidak hanya memaksa dan menyeret pengarang untuk mempertimbangkan masalah di luar teks, tetapi juga memaksa penerbit melakukan semacam kompromi, khasnya dengan pengarang. Akibat kompromi itulah, pengarang sering berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Memperbaiki, bahkan mengubah teks sejalan dengan keinginan penerbit yang berorientasi pada (selera) pembaca. Karya sastra populer –yang menekankan pada pemanjaan selera pembaca—dan sastra propaganda –yang berorientasi pada tujuan mempengaruhi ideologi pembaca— misalnya, merupakan contoh kasus ini.

Penelitian yang dapat dilakukan berkaitan dengan sistem pembaca ini, beberapa di antaranya, menyangkut: (a) latar belakang dan kultur pembaca, (b) usia dan jenis kelamin pembaca, (c) pendidikan dan ideologi pembaca, (d) pemaknaan sebuah teks yang ditentukan oleh penguasaan (i) konvensi bahasa, (ii) konvensi budaya, (iii) konvensi sastra, dan (e) penerimaan pembaca terhadap sebuah teks (resepsi sastra) dalam kurun waktu yang sezaman (sinkronis) dan dalam rentang waktu tertentu (diakronis).

Sistem Kritik
Praktik kritik sastra yang membicarakan sebuah karya, penelitian serius terhadap karya sastra, seperti makalah ilmiah, skripsi, tesis, disertasi, atau esai dan resensi buku sastra yang dimuat media massa, merupakan salah satu bahan penelitian yang termasuk ke dalam sistem kritik. Karya-karya itu merupakan pandangan kritikus atau pembaca ahli. Di Indonesia para penulis kritik ini datang dari latar belakang pendidikan yang heterogen. Sesiapa pun yang merasa mempunyai kemampuan untuk menulis kritik dan tulisan-tulisan kritiknya telah banyak dipublikasikan, sering kali ditempatkan dalam posisi sebagai kritikus. Masyarakat pendukung kesusastraan itu sendiri cenderung tidak memasalahkan latar belakang pendidikan penulis kritik. Oleh karena itu, kritik sastra di Indonesia dapat dibagi ke dalam dua bagian besar yaitu kritik akademis dan kritik umum.

Dalam kritik sastra akademis yang sering juga disebut kritik ilmiah, penekanan pada apresiasi mesti didukung oleh alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, objektivitas atas nilai yang dikemukakan, menjadi landasan. Artinya, ia mesti dapat diterima berdasarkan ketentuan ilmiah; persyaratan atau teori tertentu yang di dunia akademis, mutlak perlu karena tuntutannya memang demikian. Sementara itu, dalam kritik umum, ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam dunia ilmiah, mungkin saja tidak dianggap penting. Oleh karena itu, kerangka teoretis dan metodologi yang di dalam kritik akademis sangat penting, dalam kritik umum justru sering diabaikan. Hampir semua media massa (majalah dan suratkabar) lebih menyukai memuat kritik umum daripada kritik akademis. Masalahnya, kritik umum ditulis dalam bahasa yang sangat cair yang memungkinkan dapat dipahami oleh berbagai macam kalangan masyarakat.

Penelitian sastra yang berkaitan dengan sistem kritik ini, menyangkut beberapa hal berikut ini: (a) jenis media yang memuat tulisan kritik, (b) latar belakang pendidikan kritikus, (c) profesi penulis kritik, (d) ideologi yang dianut, (e) model penilaian yang digunakan, yaitu (i) penilaian absolut, (ii) relatif, (iii) perspektif.

***

Selain sistem sastra makro, Ronald Tanaka membicarakan juga ihwal sistem sastra mikro yang dalam istilah Rene Wellek dan Austin Warren disebut pendekatan intrinsik. Dalam sistem ini, teks sastra menjadi pusat perhatian. Teks diperlakukan tidak lagi terikat pada pengarangnya, mengingat teks dianggap otonom, unik, dan berbeda, baik dengan teks sastra yang lain maupun teks nonsastra. Secara ekstrem, pandangan ini membawa pada anggapan bahwa teks sastra hadir ke hadapan pembaca dalam keadaan yang sudah lengkap. Oleh karena itu, di sana tak ada lagi hubungannya dengan pengarang. “Pengarang telah mati!” begitu Roland Barthes, tokoh penting strukturalisme menegaskan pendiriannya.

Pandangan Tanaka tidak seekstrem itu. Dalam hal ini, teks diperlakukan sebagai jembatan yang menghubungkan pengarang dengan pembaca. Ia masih memberi peluang adanya keterkaitan antara teks dan konteksnya. Teks sastra boleh saja dikaitkan dengan pengarang, sejarah, sosio-budaya, filsafat, dan unsur ekstrinsik lainnya.

***

Demikianlah, sesungguhnya begitu berlimpah objek penelitian sastra yang dapat kita lakukan. Penelitian terhadap sejumlah unsur intrinsik sebuah karya sastra yang selama ini banyak dilakukan kalangan akademis –khasnya skripsi—misalnya, merupakan salah satu contoh, betapa tak terhitung banyaknya penelitian mengenai itu. Jadi, sungguh ironis rasanya jika kaum akademis sendiri, kehilangan gairah untuk melakukan penelitian sejenis atau penelitian lain yang belum banyak digarap orang.

Di luar hal itu, masih ada pula kemungkinan penelitian dengan membandingkan satu karya sastra dengan karya sastra lain atau dengan karya nonsastra (intertekstualitas). Mungkin saja karya sastra dibandingkan dengan sejarah, filsafat, sosiologi, psikologi atau bahkan antropologi. Model ini dapat pula dilakukan dengan membandingkan satu karya dari satu negara dengan karya lain dari negara yang berbeda atau satu karya yang berasal dari kultur etnik tertentu dengan kultur etnik lain (studi sastra bandingan).
***

Sejumlah Kendala
Jika berbagai kemungkinan penelitian sastra terbuka luas dan lempang dan objek-objek penelitian sastra begitu berlimpahnya, pertanyaannya kini: Mengapa –seperti telah disinggung—kaum akademis seperti kehilangan gairah untuk melakukan penelitian? Kendala apa saja yang menyebabkan masalah itu seperti penyakit kronis yang tak dapat disembuhkan. Bahwa kaum akademis menyadari adanya penyakit kronis itu, mengapakah penyakit itu dibiarkan hidup dan terus-menerus menggerayangi kegiatan kesehariannya.

Marilah kita coba membuat anatomi!

Pertama, terjebak rutinitas. Kecenderungan kaum akademis tidak (sempat) melakukan penelitian, karena mereka menikmati betul hidup dalam lingkaran rutinitas. Masalah pengajaran dan kegiatan administratif –di lingkungan kampus—sering kali menjadi kambing hitam. Pertanyaannya kini: tidak adakah waktu untuk membaca sesuatu (: buku) baru atau karya sastra terbitan baru? Jika masih sempat melakukan itu, tulislah! Tulisan inilah yang kelak dapat menjadi salah satu cikal-bakal objek penelitian.

Kedua, sergapan ketakutan. Dalam banyak kasus, ada kesan bahwa kaum akademis ini hidup dalam sergapan ketakutan berbuat salah, jika hendak melakukan penelitian. Inilah bahaya yang sebenarnya ditanamkan sendiri. Penelitian sastra sesungguhnya tidak berurusan dengan persoalan benar—salah. Dalam penelitian kualitatif, argumen menjadi sesuatu yang penting. Terterima atau tidak argumen itu, itu soal lain. Jadi, tumpahkan saja gagasan itu, baik atau buruk, itu persoalan nanti.

Ketiga, mengajar seperti kaset yang dapat diputar berulang-ulang. Benar atau tidak asumsi ini, suka atau tidak terhadap anggapan ini, kenyataannya tidak sedikit kaum akademis yang mengajar dengan pola seperti kaset. Dari semester ke semester, ia terus- menerus mengulang hal yang itu-itu saja, tanpa ada usaha untuk melakukan inovasi. Revisi silabus dan satuan acara perkuliahan dalam setiap dua atau tiga tahun, sebenarnya dimaksudkan agar pola pengajaran tidak seperti kaset. Di samping itu, materi kuliah yang dipersiapkan, sering hanya ditulis pokok-pokoknya saja, tanpa berusaha menyusunnya kembali sebagai sebuah tulisan yang utuh. Menyusun kembali pokok-pokok kuliah itu sebenarnya dapat menjadi bahan ajar yang penting yang mungkin suatu saat dapat menjadi sebuah diktat, atau bahkan buku teks yang dapat juga dipelajari masyarakat luas.

Keempat, penelitian sekadar mengejar kum. Satu bahaya lain datang ketika kaum akademis melakukan penelitian sekadar mengejar kum sebagai usaha untuk kenaikan pangkat atau golongan. Cara amatiran model ini tentu saja sangat berbahaya, karena lambat laun, tidak mustahil bakal membunuh profesionalitas. Maka, bekerjalah secara profesional, sesuai dengan profesi dan kewajiban untuk melakukan penelitian.

Kelima, penghargaan tak manusiawi dan tak berbudaya. Karya-karya penelitian di dunia akademi, sering kali tidak mendapat penghargaan yang sewajarnya. Bahkan, tidak jarang pula sama sekali tidak dihargai, untuk tidak mengatakan tidak manusiawi dan tidak berbudaya. Institusi mestinya memberi penghargaan yang lebih beradab, baik penghargaan yang berupa materi, mapun nonmateri.

Keenam, pudarnya tradisi diskusi. Salah satu cara yang memungkinkan tumbuhnya kegairahan melakukan penelitian, kiranya dapat dimulai dengan menciptakan tradisi berdiskusi. Jurusan atau fakultas dapat memfasilitasinya atas nama seminar kecil. Jika tradisi ini rutin dilaksanakan dalam setiap semester dan dalam satu tahun diangkat ke dalam forum yang lebih luas berupa seminar, maka sangat mungkin kegiatan diskusi dan seminar menjadi sebuah kegiatan rutin. Kondisi ini pada gilirannya akan menumbuhkan kegairahan melakukan penelitian. Jika hasil seminar itu dikumpulkan kembali dan coba dipublikasikan dalam bentuk buku, maka dalam setiap tahun akan terbit sebuah buku yang berisi tulisan-tulisan para pengajar itu.

Ketujuh, menikmati otoritas sebagai jago kandang. Bahaya lain yang secara laten datang dan memudarkan kegairahan melakukan penelitian adalah adanya sikap merasa besar di lingkungan sendiri. Oleh karena itu, kebiasaan mengirimkan makalah dalam seminar yang diselenggarakan di luar institusinya, seyogianya menjadi sasaran berikutnya jika tradisi diskusi dan seminar di lingkungan sendiri telah berjalan jadi kegiatan rutin

Kedelapan, keengganan menulis resensi atau esai untuk media massa. Salah satu kewajiban kaum akademi adalah membaca buku. Jika yang dibacanya itu buku baru, informasi tentang buku itu sering kali disampaikan hanya kepada mahasiswanya sendiri. Padahal, jika buku baru itu dibuat resensinya atau esai mengenai buku itu dan coba dipublikasikan di media massa, pengaruh informasi itu jauh lebih luas dan berwibawa. Jika resensi atau esai itu dikembangkan lebih luas dengan membandingkannya dengan buku lain dan sekaligus mencoba menggunakan kerangka teori dan metodologi, maka ia telah masuk kategori karya penelitian. Sayangnya, kaum akademi kurang menyadari pentingnya resensi atau esai ini sebagai salah satu usaha membuat tradisi penelitian.

Itulah beberapa kendala yang sering menghantui kaum akademis kita. Masalahnya kini terpulang pada diri masing-masing. Jika kita menyadari, betapa kegiatan penelitian itu sebagai bagian dari tanggung jawab moral dan profesional kita, maka lakukanlah. Niscaya, kita akan merasakan sendiri bahwa sesungguhnya, penelitian itu memang asyik dan mengasyikkan. Percayalah, hasil penelitian kita itu, sangat mungkin suatu saat kelak, justru bakal ikut membesarkan kita sendiri. Apapun hasilnya, itu soal lain. Sebaliknya, jika Anda masih juga enggan melakukan penelitian, maka dalam kesempatan ini, saya hanya dapat berdoa: “Kembalilah ke jalan yang benar!” ***

Mklh/lokakarya/stba-lia/3—4 Juni 2003

DAFTAR PUSTAKA

Bradbury, Malcolm. 1972. The Social Context of Modern English Literature. London: Compton Printing Ltd.

Damono, Sapardi Djoko. 1993. Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah, Fungsi dan Struktur. Jakarta: Pusat Bahasa.

Luxemburg, Jan van., dkk. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Terj. Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia.

_____________________. 1992. Tentang Sastra. Terj. Achadiati Ikram. Jakarta: Intermasa.

Mahayana, Maman S. 2001. Akar Melayu. Magelang: Indonesia Tera.

Storey, Jhon (Ed.). 1996. Cultural Theory and Popular Culture: A Reader. New York: Harvester Wheatsheaf.

Tanaka, Ronald. 1976. System Models for Literary Macro-theory. Lisse: Peter de Rider Press.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Terj. Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.

Sumber: MAHAYANA-MAHADEWA.COM http://mahayana-mahadewa.com

No comments:

Post a Comment