Wednesday, March 9, 2011

Kajian Fiksi

1. Hakikat Fiksi
Pengkajian terhadap karya fiksi, berarti penelaah, penyelidikan, atau mengkaji, menelaah, menyelidiki karya fiksi tersebut. Novel merupakan sebuah struktur organisme yang kompleks, unik, dan mengungkapkan segala sesuatu (lebih bersifat) secara tidak langsung. Tujuan utama analisis kesastraan, fiksi, puisi, ataupun yang lain adalah untuk memahami secara lebih baik karya sastra yang bersangkutan, di samping untuk membantu menjelaskan pembaca yang kurang dapat memahami karya itu.

Manfaat yang akan terasa dari kerja analisis itu adalah jika kita (segera) membaca ulang karya-karya kesastraan (novel,cerpen) yang dianalisis itu, baik karya-karya itu dianalisis sendiri maupun orang lain. Namun demikian adanya perbedaan penafsiran dan atau pendapat adalah sesuatu hal yang wajar dan biasa terjadi, dan itu tidak perlu dipersoalkan. Tentu saja masing-masing pendapat itu tak perlu memiliki latar belakang argumentasi yang dapat diterima.

Heuristik dan Hermeneutik
Heuristik merupakan pembacaan karya sastra pada system semiotik tingkat pertama, berupa pemahaman makna sebagaimana yang dikonvensikan oleh bahasa (yang bersangkutan) yaitu pengetahuan tentang bahasa itu, kompetensi terhadap kode bahasa. Hermeneutik merupakan pemahaman keseluruhan berdasarkan unsur-unsurnya dan sebaliknya, pemahaman unsur-unsur berdasarkan keseluruhannya. Dalam kajian kesastraan peda umumnya dikenal analisis struktural dan semiotik. Kajian analisis struktural menekankan pada adanya fungsi dan hubungan antarunsur (intrinsik) dalam sebuah karya sastra. Kajian semiotik merupakan usaha pendekatan yang muncul lebih kemudian, yang antara lain sebagai reaksi atas pendekatan struktural yang dianggap mempunyai kelemahan-kelemahan. Namun dalam praktik kedua pendekatan ini sulit dibedakan karena saling melengkapi.

2. Kajian Struktural
Sebuah karya sastra, fiksi, atau puisi, menurut kaum strukturalisme adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagai unsur (pembangunnya). Strukturalisme dapat dipandang sebagi salah satu pendekatan (baca: penelitian) kesastraan yang menekankan pada kajian hubungan antarunsur pembangun karya sastra yang bersangkkutan. Analisis struktural karya sastra dalam hal ini fiksi dapat dilakukan dengan mengidentifikasika, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik fiksi yang bersangkutan.
Analisis struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antarberbagai unsur karya sastra yang yang secara bersama menghasilakan sebuah keseluruhan. Analisis structural dapat berupa kajian yang menyangkut relasi unsur-unsur dalam microteks, satu keseluruhan wacana, dan relasi intertekstual (Hartoko dan Rahmanto, 1986: 136). Analisis struktural sebaiknya dilengkapi dengan analisis yang lain, yang dalam hal ini semiotik, sehingga menjadi analisis struktural-semiotik, atau analisis struktural yang dikaitkan dengan keadaan sosial budaya secara luas.

3. Kajian Semiotik
Peletak dasar teori semiotik ada dua orang yaitu Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Pierce. Semiotik adalah ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda (Hoed, 1992: 2). Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, gagasan, dll. Perkembangan teori semiotik hingga dewasa ini dapat dibedakan ke dalam dua jenis yaitu semiotik komunikasi yang menekankan pada teori produksi tanda dan semiotik signifikasi yang menekankan pada pemahaman atau pemberian makna suatu tanda.

3.1 Teori Semiotik Pierce
Teori Pierce mengatakan bahwa sesuatu itu dapat disebut sebagai tanda jika ia mewakili sesuatu yang lain. Sebuah tanda yang representamen haruslah mengacu atau mewakili sesuatu yang disebut objek. Agar berfungsi tanda harus dipahami atau ditangkap misalnya dengan bantuan suatu kode. Interpretant yaitu pemahaman makna yang timbul dalam kognisi (penerima tanda) lewat interpretasi. Proses perwakilan tanda disebut semiosis.Pierce membedakan hubungan antara tanda dengan acuannya ke dalam tiga jenis hubungan yaitu:
 Ikon, jika ia berupa hubungan kemiripan.
 Indeks, jika ia berupa hubungan kedekatan eksistensi.
 Simbol, jika ia brupa hubungan yang sudah terbentuk secara konvensi.

3.2 Teori Semiotik Saussure
Teori ini sebenarnya berkaitan dengan pengembangan teori linguistik secara umum. Bahasa sebagai sebuah sistem tanda, menurut Saussure memiliki dua unsur yang tak terpisahkan: signifier dan signified, signifiant dan signifie, atau penanda dan petanda. Kenyataannya bahwa bahasa merupakan sebuah sistem, mengandung arti bahwa ia terdiri dari sejumlah unsur, dan unsur itu saling berhubungan secara teratur dan berfungsi sesuai dengan kaidah, sehingga ia dapat dipakai untuk berkomunikasi.Kajian semiotik karya sastra, dengan demikian, dapat dimulai dengan mengkaji kebahasaannya dengan menggunakan tataran-tataran seperti dalam stidi linguistik. Bahasa sebagai aspek material atau alat dalam karya sastra, lain halnya dengan, misalnya cat dalam seni lukis, telah memiliki konsep makna tertentu sesuai dengan konvensi masyarakat pemakainya.

4. Kajian Intertekstual
Kajian intertekstual dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks (teks kesastraan), yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu, misalnya menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik seperti ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan, (gaya) bahasa, dan lain-lain, di antara teks-teks yang dikaji. Masalah ada tidaknya hubungan antarteks ada kaitannya dengan niatan pengarang dantafsiran pembaca. Kajian intertekstual berangkat dari asumsi bahwa kapan pun karya ditulis, ia tidak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya.
Karya sastra yang ditulis lebih kemudian, biasanya mendasarkan diri pada karya-karya yang lain yang telah ada sebelumnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, baik dengan cara meneruskan maupun menyimpangi(menolak, memutarbalikkan esensi) kovensi. Karya sastra yang dijadikan dasar penulisan bagi karya yang kemudian disebut sebagai hipogram. Adanya karya-karya yang ditranformasikan dalam penulisan karya sesudahnya ini menjadi perhatian utama kajian intertekstual, misalnya lewat pengontrasan antara sebuah karya dengan karya-karya yang lain yang diduga menjadi hipogramnya. Prinsip intertekstual yang utama adalah prinsip memahami dan memberikan makna karya yang bersangkutan. Misalnya hubungan intertekstual dalam teks fiksi, antara penokohan tokoh wanita Tuti dalam Layar Terkembang dan Tini dalam Belenggu dengan tokoh-tokoh perempuan pada sejumlah novel Balai Pustaka. Pada tokoh perempuan novel Balai Pustaka dapat dilihat bahwa masih diperempuankan belum diwanitakan, mereka adalah tokoh yang hanya diobsesikan sebagai ibu rumah tangga, wanita di pihak lain menyaran kepada pertentangan makna negatif dari perempuan.

5. Dekonstruksi
Model pendekatan dekonstruksi dalam bidang kesastraan fiksi, dewasa ini terlihat banyak diminati orang sebagai salah satu model atau alternative dalam kegiatan pengkajian kesastraan. Teori dekonstruksi menolak pandangan bahwa bahasa telah memiliki makna yang pasti, tentu dan konstan, sebagaimana halnya pandangan strukturalisme klasik. Pembacaan karya sastra, menurut paham dekonstruksi, tidak dimaksudkan untuk menegaskan makna sebagaimana halnya yang lazim dilakukan sebab, sekali lagi, tak ada lagi makna yang dihadirkan sesuatu yang sudah menentu, melainkan justru untuk menemukan makna kontradiktifnya, makna ironinya.


Referensi:
Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada university Press.

No comments:

Post a Comment