KRITIK SASTRA
1. Pengertian
Menurut Rene Wellek dan Austin Warren, Studi sastra (ilmu sastra) mencakup tiga bidang, yakni: teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Ketiganya memiliki hubungan yang erat dan saling mengait. Kritik sastra dapat diartikan sebagai salah satu objek studi sastra (cabang ilmu sastra) yang melakukan analisis, penafsiran, dan penilaian terhadap teks sastra.
2. Manfaat Kritik Sastra
Setidaknya, ada 4 (empat) manfaat kritik sastra. Keempat manfaat tersebut adalah sebagai berikut.
Kritik sastra berguna bagi perkembangan sastra
dalam mengkritik, kritikus akan menunjukkan hal yang bernilai/tidak bernilai dari suatu karya sastra. Kritikus bisa jadi akan menunjukkan kebaruan-kebaruan dalam karya sastra, hal-hal apa saja yang belum digarap oleh sastrawan. Dengan demikian sastrawan dapat belajar dari kritik sastra untuk lebih meningkatkan kecakapannya dan memperluas cakrawala kreativitas, corak, dan mutu karya sastranya. Jika sastrawan-sastrawan dalam di negara tertentu menghasilkan karya-karya yang baru, kreatif, dan berbobot, maka perkembangan sastra negara tersebut juga akan meningkat pesat, baik secara kualitas maupun kuantitas.
Dengan kata lain, kritik yang dilakukan kritikus akan meningkatkan kualitas dan kreativitas sastrawan, dan pada gilirannya akan meningkatkan perkembangan sastra itu sendiri.
Kritik sastra berguna untuk penerangan bagi pembaca
Dalam melakukan kritik, kritikus akan memberikan ulasan, komentar, menafsirkan kerumitan-kerumitan, kegelapan-kegelapan makna dalam karya sastra yang dikritik. Dengan demikian, pembaca awam akan mudah memahami karya sastra yang dikritik oleh kritikus.
Di sisi lain, ketika masyarakat sudah terbiasa dengan apresiasi sastra, maka daya apresiasi masyarakat terhadap karya sastra akan semakin baik. Masyarakat dapat memilih karya sastra yang bermutu tinggi (karya sastra yang berisi nilai-nilai kehidupan, memperhalus budi, mempertajam pikiran, kemanusiaan, dan kebenaran).
Kritik sastra berguna bagi ilmu sastra itu sendiri
Analisis yang dulakukan kritikus dalam mengkritik tentulah didasarkan pada referensi-referensi, teori-teori yang akurat. Tidak jarang pula, perkembangan teori sastra lebih lambat dibandingkan dengan kemajuan proses kreatif pengarang. Untuk itu, dalam melakukan kritik, kritikus seringkali harus meramu teori-teori baru. Teori-teori sastra yang baru inilah yang justru akan semakin memperkembangkan ilmu sastra itu sendiri.
Memberi sumbangan pendapat untuk menyusun sejarah sastra
Dalam melakukan kritik, kritikus tentu akan menunjukkan ciri-ciri karya sastra yang dikritik secara struktural (ciri-ciri intrinsik). Tidak jarang pula kritikus akan mencoba mengelompokkan karya sastra yang dikritik ke dalam karya sastra yang berciri sama. Kenyataan inilah yang dapat disimpulkan bahwa kritik sastra sungguh membantu penyusunan sejarah sastra.
3. Aktivitas Kritik Sastra
Dari pengertian kritik sastra di depan, terkandung secara jelas aktivitas kritik sastra. Secara rinci, aktivitas kritik sastra mencakup 3 (tiga) hal, yakni menganalisis, menafsirkan, dan menilai.
Analisis adalah menguraikan unsur-unsur yang membangun karya sastra dan menarik hubungan antarnsur-unsur tersebut. Sementara menafsirkan (interpretasi) dapat diartikan sebagai memperjelas/memperjernih maksud karya sastra dengan cara: (a) memusatkan interpretasi pada ambiguitas, kias, atau kegelapan dalam karya sastra, (b) memperjelas makna karya sastra dengan jalan menjelaskan unsur-unsur dan jenis karya sastra. Sedangkan penilaian dapat diartikan menunjukkan nilai karya sastra dengan bertitik tolak dari analisis dan penafsiran yang telah dilakukan. Penilaian seorang kritikus sangat bergantung pada aliran-aliran, jenis-jenis, dan dasar-dasar kritik sastra yang dianut/dipakai/dipahami seorang kritikus
4. Aliran-aliran Kritik Sastra
Menurut Rene Wellek dan Austin Warrent, ada 3 (tiga) aliran kritik sastra, yakni: (a) relativisme, (b) absolutisme, dan (c) perspektivisme.
(a) Relativisme adalah paham penilaian yang didasarkan pada tempat dan waktu terbitnya karya sastra (penilaian karya sastra tidak sama di semua tempat dan waktu. Paham ini berkeyakinan bahwa nilai karya sastra melekat pada karya itu sendiri. Bila ada karya sastra yang dianggap bernilai oleh masyarakat di suatu tempat dan periode tertentu, karya sastra tersebut terus dianggap bernilai di jaman dan tempat yang lain (dulu dianggap baik, sekarang harus dipandang baik pula. Paham ini merupakan reaksi terhadap penilaian karya sastra yang menganut paham abslutisme.
(b) Absolutisme adalah paham penilaian karya sastra yang didasarkan pada paham-paham di luar sastra seperti: politik, moral, atau ukuran-ukuran tertentu. Dengan kata lain, paham ini menilai karya sastra tidak didasarkan pada hakikat sastra. Sastra yang baik menurut paham ini adalah karya sastra yang memiliki tendensi politis, memiliki nilai moral, dsb. Sehingga paham ini cenderung menilai karya sastra secara dogmatis dan statis. Contoh kritik sastra dengan paham ini adalah kritikus penganut paham humanis baru dan marxis. Di Indonesia, kritik model ini berkembang pada tahun 60-an seperti penganut paham bahwa sastra adalah seni bertendensi (seni untuk seni).
(c) Perspektivisme adalah paham penilaian karya sastra dari berbagai perspektif tempat, waktu, dan sudut pandang sehingga karya sastra bisa dinilai dari waktu terbitnya dan pada masa berikutnya. Paham ini berpendapat bahwa karya sastra bersifat abadi dan historis. Abadi karena memelihara ciri-ciri tertentu, historis karena karya sastra itu melampaui suatu proses yang dapat dirunut jejaknya. Dengan kata lain, karya sastra dapat dibandingkan sepanjang masa berkembang, berubah penuh kemungkinan penilaian. Karya sastra itu strukturnya dinamis melalui penafsirnya sepanjang jaman (berubah menurut tanggapan penafsirnya). Wellek-Warren menganjurkan, hendaknya para kritikus memilih aliran ini dalam menilai karya sastra.
5. Jenis-jenis Kritik Sastra
(a) Menurut BENTUKNYA, ada 2 jenis kritik sastra, yakni kritik teoretis (theoritical criticism) dan kritik terapan (practical/applied criticism).
Kritik teoretis adalah jenis kritik sastra yang berusaha menerapkan kriteria-kriteria tertentu(teori) untuk menilai karya sastra dan pengarangnya. Kritik teoretis mencoba menerapkan prinsip-prinsip umum, menetapkan suatu perangkat istilah yang mengkait, perbedaan-perbedaan, kategori-kategori untuk diterapkan pada pertimbangan-pertimbangan, interpretasi-interpretasi karya sastra. Beberapa buku kritik sastra jenis ini antara lain:
Ø Beberapa Gagasan Dalam Bidang Kritik Sastra Indonesia Modern karya Rahmad Djoko Pradopo
Ø Kritik Sastra Sebuah Pengantar, Andre Hardjana
2) Kritik terapan berupaya menerapkan teori sastra berdasarkan keperluannya. Kritik ini berupaya agar prinsip dan kriteria yang digunakan disesuaikan dengan karakteristik karya sastra yang bersangkutan.
Contoh buku kritik sastra jenis ini antara lain:
Ø Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei karya HB Jassin.
Ø Buku dan Penulis karya R. Sutia S.
(b) Menurut PELAKSANAANNYA, ada 3 jenis kritik sastra, yakni kritik judisial (judicial criticism), kritik impresionistik (impresionistic criticism), dan kritik induktif (inductive criticism).
1) Kritik Judisial menurut Abrams adalah kritik sastra yang berusaha menganalisis dan menerangkan efek-efek karya sastra berdasarkan pokoknya, organisasinya, teknik, serta gayanya; dan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan individual kritikus atas dasar yg umum tentang kehebatan dan keluarbiasaan
2) Kritik Impresionistik adalah kritik sastra yang berusaha menggambarkan dengan kata-kata sifat yang terasa dalam berdasarkan kesan-kesan/tanggapan-tanggapan (impresi) kritikus yg ditimbulkan secara langsung oleh karya sastra. Pelaksanaan Kritik model ini biasanya kritikus melakukan kritik praktis. Contoh paling konkrit adalah kritik sastra yang sering dilakukan HB Jassin.
3) Kritik induktif adalah kritik sastra yang menguraikan bagian-bagian karya sastra berdasarkan fenomena-fenomena yang ada secara objektif.
Kritikus pada paham ini meneliti karya sastra seperti ahli ilmu alam meneliti gejala alam secara objektif tanpa menggunakan standar yang berasal dari luar dirinya.
Contoh kritik model ini di Indonesia adalah kritik sastra aliran Rawamangun (akademisi UI).
(c) Menurut PENDEKATANNYA thd. Karya sastra, ada 4 jenis kritik sastra, yakni kritik mimetik (mimetic criticism), kritik pragmatik (pragmatic criticism), kritik ekspresif (ekspresive criticism) dan kritik objektif (objective criticism).
1) Kritik mimetik
Menurut Abrams, kritikus pada jenis ini memandang karya sastra sebagai tiruan aspek-aspek alam. Sastra merupakan pencerminan/penggambaran dunia kehidupan. Sehingga kriteria yang digunakan kritikus sejauh mana karya sastra mampu menggambarkan objek yang sebenarnya. Semakin jelas karya sastra menggambarkan realita semakin baguslah karya sastra itu.
Kritik jenis ini jelas dipengaruhi oleh paham Aristoteles dan Plato yang menyatakan bahwa sastra adalah tiruan kenyataan.
Di Indonesia, kritik jenis ini banyak digunakan pada Angk. 45. Contoh lain misalnya:
Ø Novel Indonesia Mutakhir: Sebuah Kritik, Jakob Sumardjo
Ø Novel Indonesia Populer, Jakob Sumardjo
Ø Fiksi Indonesia Dewasa Ini, Jakob Sumardjo
Ø Novel Sastra Indonesia Sebelum Perang, Sapardi Joko Damono
2) Kritik pragmatik
Kritikus jenis ini memandang karya sastra terutama sebagai alat untuk mencapai tujuan (mendapatkan sesuatu yang daharapkan). Sementara tujuan karya sastra pada umumnya: edukatif, estetis, atau politis.
Dengan kata lain, kritik ini cenderung menilai karya sastra atas keberhasilannya mencapai tujuan.
Ada yang berpendapat, bahwa kritik jenis ini lebih bergantung pada pembacanya (reseptif)
Kritik jenis ini berkembang pada Angkatan Balai Pustaka. STA pernah menulis kritik jenis ini yang dibukukan dengan judul Perjuangan dan Tanggung Jawab dalam Kesusastraan.
3 Kritik ekspresif
Kritik ekspresif menitikberatkan pada pengarang. Kritikus ekspresif meyakini bahwa sastrawan (pengarang) karya sastra merupakan unsur pokok yang melahirkan pikiran-pikiran, persepsi-persepsi dan perasaan yang dikombinasikan dalam karya sastra. Kritikus cenderung menimba karya sastra berdasarkan kemulusan, kesejatian, kecocokan pengelihatan mata batin pengarang/keadaan pikirannya.
Pendekatan ini sering mencari fakta tentang watak khusus dan pengalaman-pengalaman sastrawan yang sadar/tidak, telah membuka dirinya dalam karyanya.
Umumnya, sastrawan romantik jaman BP/PB menggunakan orientasi ekspresif ini dalam teori-teori kritikannya. Di Indonesia, contoh kritik sastra jenis ini antara lain:
Ø Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan, karya Arif Budiman
Ø Di Balik Sejumlah Nama, Linus Suryadi
Ø Sosok Pribadi Dalam Sajak, Subagio Sastro Wardoyo
Ø WS Rendra dan Imajinasinya, Anton J. Lake
Ø Cerita Pendek Indonesia: Sebuah Pembicaraan, Korrie Layun Rampan
4) Kritik objektif
Kritikus jenis ini memandang karya sastra sebagai sesuatu yang mandiri, bebas terhadap sekitarnya, bebas dari penyair, pembaca, dan dunia sekitarnya. Karya sastra merupakan sebuah keseluruhan yang mencakupi dirinya, tersusun dari bagian-bagian yang saling berjalinan erat secara batiniah dan mengehndaki pertimbangan dan analitis dengan kriteria-kriteria intrinsik berdasarkan keberadaan (kompleksitas, koherensi, keseimbangan, integritas, dan saling berhubungan antarunsur-unsur pembentuknya) – ingat pengertian/paham strukturalisme yang pernah diterangkan di kelas X.
Jadi, unsur intrinsik (objektif)) tidak hanya terbatas pada alur, tema, tokoh, dsb; tetapi juga mencakup kompleksitas, koherensi, kesinambungan, integritas, dsb.
Pendekatan kritik sastra jenis ini menitikberatkan pada karya-karya itu sendiri.
Kritik jenis ini mulai berkembang sejak tahun 20-an dan melahirkan teori-teori:
Ø New Critics (Kritikus Baru di AS)
Ø Kritikus formalis di Eropa
Ø Para strukturalis Perancis
Di Indonesia, kritik jenis ini dikembangkan oleh kelompok aliran Rawamangun.
Ø Bentuk Lakon Dalam Sastra Indonesia, Boen S. Oemaryati
Ø Novel Baru Iwan Simatupang, Dami N. Toda
Ø Pengarang-pengarang Wanita Indonesia, Th. Rahayu Prihatmi
Ø PerkembanganNovel-Novel di Indonesia, Umar Yunus
Ø Perkembangan Puisi Indonesia dan Melayu Modern, Umar Yunus
Ø Tergantung Pada Kata, Teeuw
6. Ketegangan antarKritikus di Indonesia
Ø Para pakar sastra (akademisi-kampus): Rahmat Joko Pradopo (UGM), Panuti Sudjiman, MS. Hutagalung, Saleh Saat, Boen S. Oemarjati, Roman Ali, S. Effendi (UI), Th. Rahayu Prihatmi (Undip), Buyung Saleh (UNHAS)
Ø Seniman sekaligus pakar sastra: Sapardi Joko Damono, Arif Budiman, Subagio Sastro Wardoyo, Yakob Sumardjo, Darmanto Yatman, Gunawan Mohammad, Taufiq Ismail, Rendra, HB. Jassin, Budi Darma, Suripan
Ø Kritikus seniman: Sutardji Calzoum Bachri, Linus Suryadi, Abdul Hadi WM, MH Ainun Najib, Korrie Layun Rampan
Ø Anatar pakar sastra VS Kritikus seniman saling bertentangan. Para pakar menyatakan bahwa ketika membuat kritik, kritikus perlu membuat jarak sehingga lebih objektif, sementara para seniman menyatakan bahwa pakar melihat sastra seperti benda yang dipilah-pilah.
7. Penutup
Bertolak dari perkembangan kritik sastra ini berkembang pula teori-teori sastra seperti: strukturalisme (intrinsik-ekstrinsik), psikologi sastra, sosiologi sastra, semiotika sastra, resepsi sastra, dsb.
Sumber: http://goesprih.blogspot.com
No comments:
Post a Comment