Thursday, May 8, 2014

Teori Semiotik, interteks, Resepsi Sastra, dan Hermeneutika dalam Pengkajian Stilistika (Stilistika: Teori, Metode, dan Aplikasi Pengkajian Estetika Bahasa Bab 10)


BAB X
Teori Semiotik, interteks, Resepsi Sastra, dan Hermeneutika dalam Pengkajian Stilistika

A. Teori Semiotik
Pendekatan Semiotik berpijak pada pandangan bahwa karya sastra sebagai karya seni merupakan suatu sistem tanda (sign) yang terjalin secara bulat dan utuh. Sebagai sistem tanda ia mengenal dua aspek yakni penanda (signifier) dan petanda (signified). Karya sastra bukan merupakan media komunikasi biasa, karena itu karya sastra dapat dipandang sebagai gejala semiotik (Teeuw, 1984: 43).
 
  • Ikon (icon) adalah suatu tanda yang menggunakan kesamaan dengan apa yang dimaksudkannya. 
  • Indeks (index) adalah suatu tanda yang mempunyai kaitan kausal dengan apa yang diwakilinya.
  • Simbol (symbol) adalah hubungan antara hal/sesuatu (item) penanda dengan item yang ditandainya yang sudah menjadi konvensi masyarakat.

Semiotik merupakan ilmu tentang tanda atau ilmu yang mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut memiliki arti. Penanda (signifier) adalah aspek formal atau bunyi atau coretan pada tanda yang bermakna itu, yakni apa yang dikatakan atau yang ditulis atau dibaca. Petanda (signified) adalah aspek konseptual yakni gambaran mental, pikiran atau konsep dari bahasa.

Makna karya sastra sebagai tanda adalah makna semiotiknya, yakni makna yang bertautan dengan dunia nyata (Chamamah Soeranto, 1991: 18). Adapun dasar pemahaman terhadap karya sastra sebagai gejala semiotik adalah pandangan bahwa karya sastra merupakan fenomena dialektik antara teks dan pembaca. Tegasnya, untuk menemukan “petanda” itu saja, tetapi ditentukan pula oleh pembaca yang berpijak pada atau diarahkan oleh “penanda”. Oleh karena itu, dasar pemahaman stilistika karya sastra yang merupakan gejala semiotik adalah pandangan bahwa fenomena bahasa sastra merupakan suatu dialekta antara teks dengan pembacanya dan antara teks dengan konteks penciptannya (Riffaterre, 1978: 1).

B. Teori Interteks
Teori intertekstual memandang setiap teks sastra perlu dibaca dengan latar belakang teks-teks lain, dalam arti bahwa penciptaan dan pembacaan sastra tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks lain sebagai acuan. Hubungan intertekstual adalah hubungan antarkarya dan juga penandaan partisipasinya dalam lingkup diskursif budaya. Laurent Jenny menyatakan bahwa intertekstualitas menandai segala yang memungkinkan seseorang untuk mengenali pola dan makna dalam teks. Junus (1988: 108-117) merumuskan hubungan intertekstual dalam beberapa wujud:
  1. Teks yang dimasukkan itu mungkin teks yang kongkret, atau mungkin teks yang abstrak. 
  2. Kehadiran suatu teks tertentu tertentu dalam teks lain secara fisikal.
  3. Penggunaan nama tokoh yang sama.
  4. Kehadiran unsur dari suatu teks dalam teks lain.
  5. Kehadiran kebiasaan berbahasa tertentu dalam dalam suatu teks.
  6. Yang hadir mungkin teks kata-kata, yaitu kata atau kata-kata atau paling tidak ambigu maknanya.

C. Teori Resepsi Sastra
Resepsi sastra berasal dari kata rezeptionaesthetic, yang dapat disamakan dengan literary response (penerimaan estetik) sesuai dengan aesthetic of reception (Junus, 1984: 2) dan disebut estetika resepsi oleh Pradopo (2002: 23).

Menurut Pradopo (2002: 23) dalam metode estetika resepsi, akan diteliti resepsi-resepsi setiap periode yaitu tanggapan-tanggapan sebuah karya sastra oleh pembacanya. Rezeptiongeschichte adalah sebuah pendekatan yang khusus memperhatikan resepsi karya sastra dalam rangka kesusastraan, dalam keterlibatannya dengan karya lain, berdasarkan horison harapan pembaca.

D. Teori Hermeneutik
Kata ‘hermeneutik’ berasal dari kata hermeneuein (Yunani) menjadi hermeneutics (Inggris) yang berarti ‘mengungkapkan pikiran-pikiran seseorang dalam kata-kata’ (Hardiman, 2003: 37). Hermeneutik adalah sebuah upaya untuk membuat sesuatu yang gelap, remang-remang. Teori heremeneutik mencakup tiga konsep utama, yakni: 


1) Konsep Simbol dan Kata
Kata juga sebuah simbol karena keduannya menghadirkan sesuatu yang lain, kata memiliki konotasi yang berbeda bergantung pada beberapa faktor (Sumaryono, 2003: 196). Menurut Ricoeur, tujuan hermeneutik adalah menghilangkan misteri yang terdapat dalam sebuah simbol dengan cara membuka selubung daya-daya yang belum diketahui dan tersembunyi di dalam simbol-simbol tersebut.

2) Konsep Interpretasi dan Pemahaman
Setiap penafsiran harus mampu membedakan antara pemahaman, penjelasan, dan interpretasi. Penafsiran harus dapat membuat sirkularitas ketiganya secara berkelinda sehingga ketiganya saling terkait satu dengan yang lainnya. Dalam pemahaman kata sebagai simbol terdapat tiga langkah utama yang berlangsung dari ‘penghayatan atas simbol-simbol’ ke gagasan tentang ‘berpikir dari ‘simbol-simbol’. Pertama, adalah langkah simbolik atas pemahaman dari simbol ke simbol. Kedua, adalah pemberian makna. Ketiga, adalah langkah filosofis.

3) Konsep Teks
Teks merupakan korpus yang otonom. Artinya, teks memiliki kemandirian, totalitas yang berciri khas empat hal berikut. (1) Dalam teks, makna yang terdapat pada ‘apa yang dikatakan’ terlepas dari proses pengungkapannya. (2) Teks juga tidak lagi terikat kepada pembicara. (3) Sebuah teks tidak lagi terikat kepada konteks semula (ostensive reference). (4) Teks tidak lagi terikat kepada audien awal, seperti bahasa lisan terikat kepada pendengarannya.


Referensi:
Al-Ma’ruf, Ali Imron. 2009. Stilistika: Teori, Metode, dan Aplikasi Pengkajian Estetika Bahasa. Surakarta: Cakra Books Solo


No comments:

Post a Comment