Wednesday, April 4, 2012

Skripsi: Kesantunan Berbahasa (Bab III - bag. 1)


BAB III
TEMUAN DAN ANALISIS DATA


3.1 Wujud Kesantunan Imperatif Dalam Interaksi Antarsantri Putri Pondok Pesantren Sunan Drajat Banjaranyar Paciran Lamongan

Sebelum sampai pada masalah makna dasar pragmatik imperatif dan strategi kesantunan antarsantri putri Pondok Pesantren Sunan Drajat dilihat dari tingkat ilmu dan status kelembagaan, akan dibicarakan terlebih dahulu tentang wujud pemakaian kesantunan imperatif antarsantri putri, karena keduanya merupakan bagian integral dari penelitian ini.

Peneliti membagi kesantunan imperatif dalam bahasa Jawa dialek Lamongan menjadi wujud imperatif dan kesantunan imperatif. Wujud imperatif meliputi wujud imperatif formal (imperatif aktif dan imperatif pasif) dan wujud imperatif pragmatik (tuturan bermakna pragmatik imperatif desakan, bujukan, himbauan, persilaan, larangan, perintah, permintaan, dan “ngelulu“). Sedangkan kesantunan imperatif meliputi kesantunan linguistik (faktor panjang pendek tuturan, faktor urutan tutur, faktor intonasi tuturan dan isyarat-isyarat kinesik, dan faktor ungkapan-ungkapan penanda kesantunan yang meliputi penanda kesantunan tulung, ayo, coba, mbok/mbokya, dan ndang) dan kesantunan pragmatik (kesantunan pragmatik imperatif dalam tuturan deklaratif dan kesantunan pragmatik imperatif dalam tuturan interogatif). Berikut akan diuraikan lebih lanjut.


3.1.1 Wujud Imperatif

3.1.1.1 Wujud Formal Imperatif
Tipe-tipe bentuk imperatif ini meliputi tipe imperatif aktif dan tipe imperatif pasif.

A. Imperatif Aktif
Imperatif aktif dalam bahasa Jawa dialek Lamongan pada penelitian ini dibedakan berdasarkan penggolongan verbanya menjadi dua macam, yakni imperatif aktif berciri tidak transitif dan imperatif aktif berciri transitif.

A.1 Imperatif Aktif Tidak Transitif

Dalam Moelijono (1992) dijelaskan bahwa kalimat tidak transitif atau tak transitif adalah kalimat yang tak berobjek. Penggunaan imperatif aktif berciri tidak transitif dalam interaksi antarsantri putri Pondok Pesantren Sunan Drajat bisa dilihat pada contoh di bawah ini.

(1)
a. Kowe dolan nang omahku mene!
’Kamu main ke rumahku besok!’
’Bermainlah ke rumahku besok!’

b. Dolan nang omahku mene!
’Main ke rumahku besok!’
’Bermainlah ke rumahku besok!’

c. Dolana nang omahku mene!
’Mainlah ke rumahku besok!’
’Bermainlah ke rumahku besok!’

Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan seorang santri kepada temannya yang sudah akrab. Ketika itu mereka akan berpisah pulang saat liburan pondok.

(2) 
a. Gak ngono. Sampeyan mudhun dhisik!
’Tidak begitu. Kamu turun dulu!’
’Tidak begitu caranya. Kamu turunlah dulu!’

b. Gak ngono. Mudhun dhisik!
’Tidak begitu. Turun dulu!’
’Tidak begitu caranya. Turunlah dulu!’

c. Gak ngono. Mudhuna dhisik!
’Tidak begitu. Turunlah dulu!’
’Tidak begitu caranya. Turunlah dulu!’

Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan seorang santri kepada temannya. Mereka sedang mendekorasi ruangan untuk acara muhadhoroh. Santri tersebut tidak puas dengan hasil dekorasi temannya dan menyuruh temannya turun dari kursi kemudian memberikan contoh cara mendekor seperti yang diinginkan.

(3) 
a. Sampeyan mulih, ojo mrene!
‘Kamu pulang, jangan kesini!’
’Pulang sana, jangan kesini!’

b. Mulih, ojo mrene!
’Pulang, jangan kesini!’
’Pulang sana, jangan kesini!’

c. Muliha, ojo mrene!
’Pulanglah, jangan kesini!’
’Pulang sana, jangan kesini!’

Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan santri saat latihan khitobah (lomba berpidato), yang saat itu latihan sendiri dan mendapati temannya mengintip kamar, sehingga santri tersebut menyuruh temannya untuk tidak ke kamarnya.

Contoh-contoh tuturan di atas menunjukkan bentuk-bentuk imperatif aktif yang tidak transitif. Verba tidak transitif tersebut berupa kata dasar seperti dolan, mudhun, dan mulih. Kata turunan seperti dolanan dalam kalimat ”Dolanana nang njaba!” tidaklah mengalami perubahan. Demikian pula apabila verba tidak transitif merupakan kata turunan yang didahului dengan N- seperti pada nyapu dalam kalimat ”Ndang nyapu!” maka verba itu tidak perlu ditanggalkan untuk membentuk tuturan imperatif aktif tidak transitif.

Bentuk imperatif tidak transitif dalam contoh di atas dapat dibentuk dengan ketentuan:

  1. Menghilangkan subjek yang lazimnya berupa persona kedua seperti koen, sampeyan, kowe, kowe kabeh, awakmu dan lain-lain. 
  2. Mempertahankan bentuk verba apa adanya. 
  3. Menambah partikel –a pada bagian tertentu untuk memperhalus maksud imperatif aktif tersebut.

A.2 Imperatif Aktif Transitif
Kalimat transitif adalah kalimat yang menuntut kehadiran objek atau pelengkap. Untuk membentuk tuturan imperatif aktif transitif, berlaku ketentuan yang telah diuraikan dalam membentuk tuturan tuturan aktif tak transitif.

(4) 
a. Sampeyan ngangkat bangku ini saiki!
‘Kamu mengangkat bangku ini sekarang!’
’Kamu angkatkan bangku ini sekarang!’

b.
Angkat bangku iki saiki!
’Angkat bangku ini sekarang!’
’Angkatkan bangku ini sekarang!’

c. Angkatna bangku iki saiki!
’Angkatkan bangku ini sekarang!’
’Angkatkan bangku ini sekarang!’

(5) 
a. Sampeyan nggolek ilmu mulai saiki mumpung sek enom!
’Kamu mencari ilmu mulai sekarang mumpung masih muda!’
’Carilah ilmu mulai dari sekarang mumpung masih muda!’

b. Golek ilmu mulai saiki mumpung sek enom!
’Cari ilmu mulai sekarang mumpung masih muda!’
’Carilah ilmu mulai dari sekarang mumpung masih muda!’

c. Goleka ilmu mulai saiki mumpung sek enom!
’Carilah ilmu mulai sekarang mumpung masih muda!’
’Carilah ilmu mulai dari sekarang mumpung masih muda!’

B. Imperatif Pasif
Yang dimaksud dengan wujud imperatif pasif adalah realisasi terhadap bentuk imperatif yang verbanya pasif. Berikut ini terdapat bentuk-bentuk imperatif yang verbanya pasif.

- Imperatif pasif dengan verba + -en
(6) Rin, jupu’en bukumu.
’Rin, ambillah bukumu’
’Rin, ambil bukumu’

(7) Dik, gawaen jajan iki kanggo konco-koncomu.
’Dik, bawalah jajan ini buat teman-temanmu’
’Dik, bawa jajan ini ke teman-temanmu’

(8) Mbak, tukuen jilbabku.
’Mbak, belilah jilbabku’
’Beli jilbabku mbak’

Tuturan pada contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa subjek imperatif di sini cenderung definitive. Hal ini dapat dibuktikan bahwa bentuk-bentuk berikut cenderung tidak berterima.

(6a) Rin, jupu’en buku.
’Rin, ambillah buku’
’Rin, ambil buku’

(7a) Dik, gawaen jajan iki kanggo konco-konco.
’Dik, bawalah jajan ini buat teman-teman’
’Dik, bawa jajan ini ke teman-teman’

(8a) Mbak, tukuen jilbab.
’Mbak, belilah jilbab’
’Beli jilbab mbak’

Sedangkan pada contoh tuturan berikut ini justru menunjukkan kehadiran orang kedua yang dapat dikatakan cenderung tidak wajib. Hal ini dapat dibuktikan bahwa bentuk yang demikian ini lebih berterima.

(6b) Jupu’en bukumu.
’Ambillah bukumu’
’Ambil bukumu’

(7b) Gawaen jajan iki kanggo konco-koncomu.
’Bawalah jajan ini buat teman-temanmu’
’Bawa jajan ini ke teman-temanmu’

(8b) Tukuen jilbabku.
’Belilah jilbabku’.
’Beli jilbab mbak’

Atas dasar temuan bentuk-bentuk tuturan tersebut maka dapat dinyatakan bahwa:
Orang kedua pada bentuk imperatif pasif dengan verba + -en tidak wajib hadir.
Subjek bentuk imperatif pasif dengan verba + -en cenderung definit.
 
- Imperatif pasif dengan verba + -na
(9) Mir, wacakna kitabmu.
’Mir, bacakan kitabmu’
’Bacakan kitabmu Mir’

(10) Dik, Lia jupukna obat.
‘Dik, Lia ambilkan obat’
‘Dik, ambilkan obat untuk Lia’

(11) Mbak Is, setelna radio.
‘Mbak Is, nyalakan radio’
‘Nyalakan radionya mbak Is’
 
- Imperatif pasif dengan di- + verba + -ae
Bentuk-bentuk imperatif pasif yang verbanya berbentuk di- + verba + -ae seperti terdapat dalam contoh tuturan berikut:

(12) Dibuwak ae sampahe.
‘Dibuang saja sampahnya’
‘Sampahnya dibuang saja’

(13) Disetel ae radione.
‘Dinyala saja radionya’
‘Radionya dinyalakan saja’

(14) Kitabmu digawa ae.
‘Kitabmu dibawa saja’
‘Bawa saja kitabmu’

Tuturan pada contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa subjek cenderung wajib hadir dan definit. Subjek tersebut seperti –e pada sampahe, -ne pada radione, dan –mu pada kitabmu. Kehadiran subjek yang wajib ini dapat dibuktikan dengan tidak berterimanya contoh-contoh tuturan berikut dalam konstruksi bahasa Jawa.

(12a) Dibuwak ae sampah.
‘Dibuang saja sampah’
‘Sampah dibuang saja’

(13a) Disetel ae radio.
‘Dinyala saja radio’
‘Radio dinyalakan saja’

(14a) Kitab digawa ae.
‘Kitab dibawa saja’
‘Bawa saja kitab’

Walaupun bentuk-bentuk di atas dikatakan tidak berterima namun tidak menutup kemungkinan bentuk tuturan seperti itu mungkin ada atau dipakai dalam tuturan sehari-hari. Yang perlu diperhatikan bahwa bentuk tuturan yang semula diikuti subjek kemudian dihilangkan maka menjadikan tuturan itu berubah makna.

 
3.1.1.2 Wujud Pragmatik Imperatif
Wujud Pragmatik Imperatif adalah maksud imperatif, yakni apabila dikaitkan dengan konteks situasi tutur yang melatarbelakanginya. Makna tersebut sangat ditentukan konteksnya, baik konteks yang bersifat ekstralinguistik maupun intralinguistik.

Selain berwujud pragmatik, wujud pragmatik imperatif dalam bahasa Jawa dialek Lamongan ini dapat juga berupa tuturan dengan konstruksi nonimperatif. Dalam konstruksi yang bermacam-macam tersebut ditemukan pula makna-makna pragmatik imperatif yang langsung maupun tidak langsung. Selanjutnya masing-masing wujud makna pragmatik imperatif tersebut diuraikan sebagai berikut:

A. Tuturan Bermakna Pragmatik Imperatif Desakan
Dalam bahasa Jawa dialek Lamongan, tuturan imperatif dengan makna desakan biasanya menggunakan kata ayo atau cepat sebagai pemarkah makna. Kadang-kadang pula digunakan kata ndang untuk memberi penekanan maksud desakan. Tipe imperatif jenis ini dapat dilihat pada tuturan-tuturan berikut:

(15) Ayo cah dimari’na saiki! Engko selek bel.
‘Ayo nak diselesaikan sekarang! Nanti keburu bel.’
’Selesaikan sekarang kerajinan tangannya! Nanti keburu bel.’

Konteks tuturan:
Tuturan ini diungkapkan seorang santri kepada temannya pada saat mereka mengerjakan kerajinan tangan di kamar pondok. Sementara sebentar lagi bel sholat maghrib akan berbunyi.

(16) Ayo! Ndang diwaca nadhame.
’Ayo! Lekas dibaca nadhamnya.’
‘Ayo! Baca nadhamnya.’

Konteks tuturan:
Tuturan tersebut dituturkan seorang ustadzah kepada santri (murid)nya di kelas.

(17) Cepet jama’ah! Jama’ah! Engko kari lho.
’Cepat jama’ah! Jama’ah! Nanti ketinggalan lho.’
‘Cepat berangkat sholat jama’ah! Nanti ketinggalan jama’ah lho.’

Konteks tuturan:
Tuturan tersebut dituturkan oleh seorang pengurus kepada santri saat terdengar suara adzan.

Dalam komunikasi sehari-hari didapati tuturan yang menggunakan pemarkah imperatif desakan seperti ayo, cepet, dan ndang secara bersamaan. Makna pragmatik imperatif desakan dalam kegiatan bertutur santri dapat juga ditunjukkan dengan tuturan-tuturan tidak langsung yang berkonstruksi nonimperatif. Seperti dapat dilihat pada contoh berikut:

(18) Kapan PRe sampeyan kerjakna dik?
’Kapan PRnya kamu kerjakan dik?’
’PRnya kamu kerjakan kapan dik?’

Konteks tuturan:
Tuturan ini disampaikan seorang santri kepada adik kelasnya yang kebetulan tinggal satu kamar.

(19) Min, kitabe mene disila Lisa.
’Min, kitabnya besok dipinjam Lisa.’
’Besok kitabnya dipinjam Lisa Min.’

Konteks tuturan:
Tuturan ini diucapkan seorang santri kepada teman yang meminjam bukunya dan masih belum dikembalikan.

B. Tuturan Bermakna Imperatif Bujukan
Imperatif bermakna bujukan dalam bahasa Jawa dialek Lamongan biasanya disertai dengan penanda kesantunan coba, yang bisa dilihat pada contoh berikut:

(20) Coba buka’en lemari iku, lek iso tak wei hadiah tepuk tangan.
’Coba bukalah almari itu, kalau bisa aku beri hadiah tepuk tangan.’
’Coba buka almari itu, kalau bisa nanti aku beri hadiah tepuk tangan.’

Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan santri kepada teman sekamarnya. Dia menyuruh temannya untuk membuka pintu almari yang sulit dibuka.

(21) Coba Irma, maknanana bab terusane!
’Coba Irma, maknai bab selanjutnya!’
’Coba Irma, maknailah bab selanjutnya!’

Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan ustadzah kepada santri yang dianggap pintar ketika dalam kegiatan belajar mengajar di kelas.

(22) Ncul, sapuen tangga kene! Ben enak disawang.
’Ayolah, sapulah tangga disini! Biar enak dilihat.’
’Sapu tangga ini agar terlihat bersih.’

Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan pengurus ketika bertemu santri di tangga yang saat itu kotor.

Dalam percakapan santri ponpes putri Sunan Drajat, sering ditemukan juga imperatif yang mengandung makna pragmatik bujukan yang tidak diwujudkan dalam bentuk tuturan imperatif. Tuturan tersebut bisa diwujudkan dengan tuturan yang berbentuk deklaratif ataupun interogatif. Tuturan tersebut dapat dilihat pada contoh berikut:

(23) Masio gagal SPMB, engko lak iso melu liyane
’Meskipun gagal SPMB, nanti kan bisa ikut lainnya.’
’Meskipun nanti gagal test SPMB, kan masih bisa ikut tes lainnya.’

Konteks tuturan:
Tuturan ini disampaikan pengurus pondok kepada santri yang akan lulus dan akan mengikuti tes SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru).

(24) Sampeyan gak kepingin tampil beda ta?
‘Kamu tidak ingin tampil beda ta?’
’Apakah kamu tidak ingin tampil beda?’

Konteks tuturan:
Tuturan ini disampaikan seorang santri kepada temannya di koperasi pondok ketika keduanya melihat-lihat baju.

C. Tuturan Bermakna Imperatif Himbauan
Dalam percakapan sehari-hari santri, tuturan yang bermakna imperatif himbauan sering menggunakan partikel –a. Selain itu, imperatif jenis ini sering digunakan bersama dengan ungkapan penanda kesantunan mbok atau mbokya, seperti tampak pada contoh tuturan berikut:

(25) Nggawea jam lek ujian.
’Pakailah jam kalau ujian.’
’Kalau ujian pakailah jam tangan.’

Konteks tuturan:
Tuturan tersebut terjadi antarsantri ketika akan berangkat ujian.

(26) Lek gurune nerangna, mbok diperhatikna.
’Kalau gurunya menerangkan hendaknya diperhatikan’
’Kalau guru sedang menerangkan pelajaran hendaknya diperhatikan’

Konteks tuturan:
Tuturan ini diucapkan seorang ustadzah kepada santri yang berbicara dengan temannya ketika sedang mengaji.

(27) Lek ana acara muhadhoroh kados ngeten niki, sampeyan ya melua kabeh!
’Kalau ada acara muhadhoroh seperti ini, kamu ya ikut semua!’
’Kalau ada acara muhadhoroh seperti ini, kalian semua hendaknya ikut!’

Konteks tuturan:
Tuturan ini diucapkan seorang pengurus pondok ketika berpidato dalam acara muhadhoroh.

(28) Lek ana rapat mbokya tekaa.
’Kalau ada rapat diharap datanglah.’
’Kalau ada rapat sebaiknya kamu datang.’

Konteks tuturan:
Tuturan ini diucapkan seorang pengurus pondok kepada sesama pengurus pondok yang tidak ikut rapat pada hari sebelumnya.

Tuturan bermakna imperatif himbauan dapat juga diwujudkan dalam bentuk-bentuk tuturan nonimperatif seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Seperti pada tuturan berikut:

(29) Tugase santri iku nomer siji sinau lan ngamalna ilmune.
’Tugas santri itu nomer satu belajar dan mengamalkan ilmunya.’
’Tugas santri yang pertama yaitu belajar danmengamalkan ilmunya.’

Konteks tuturan:
Tuturan tersebut disampaikan ustadzah kepada para santri (murid) ketika mengaji. Tuturan itu dimaksudkan sebagai himbauan agar murid-muridnya belajar dengan rajin dan mengamalkan ilmu mereka.

(30) Wis dadi kewajibane santri kabeh njaga kebersihan pondok supoyo resik.
’Sudah menjadi kewajibannya santri semua menjaga kebersihan pondok supaya bersih.’
’Sudah menjadi kewajiban semua santri untuk menjaga kebersihan pondok supaya terlihat bersih.’

Konteks tuturan:
Tuturan tersebut disampaikan pengurus kepada santri dalam acara muhadhoroh. Tuturan itu dimaksudkan sebagai himbauan agar seluruh santri menjaga kebersihan pondok.

(31) Mene atene ujian saiki gak sinau, iso ngerjakna ta?
’Besok akan ujian sekarang tidak belajar, bisa mengerjakan?’
’Besok akan ujian sekarang tidak belajar, apakah besok bisa mengerjakan soal?’

Konteks tuturan:
Tuturan tersebut disampaikan santri kepada teman setingkat di bawahnya ketika satu hari menjelang ujian di pondok. Tuturan itu dimaksudkan sebagai himbauan agar mitra tutur belajar jauh hari sebelum ujian.

D. Tuturan Bermakna Pragmatik Imperatif Persilaan
Dalam tuturan ini, biasanya para santri menggunakan penanda kesantunan monggo. Selain itu juga ditemukan penggunaan ayo dalam percakapan sehari-hari. Perbedaannya terletak pada siapa persilaan tersebut disampaikan. Tuturan tersebut bisa dilihat sebagai berikut:

(32) Ayo mlebu kamarku dhisik, engko budhal bareng.
’Ayo masuk kamarku dulu, nanti berangkat bersama.’
’Masuklah kamarku dulu, nanti kita berangkat bersama.’

Konteks tuturan:
Tuturan ini diucapkan santri kepada temannya di depan kamar ketika akan berangkat sekolah.

(33) Ayo lenggah sing rapi!
’Ayo duduk yang rapi!’
‘Ayo semuanya duduk yang rapi!’

Konteks tuturan:
Tuturan ini diucapkan ustadzah kepada santri-santrinya di kelas saat akan dibagikan hasil ujian.

(34) Santri-santri mangke jam enem ro’an sedanten! Annadhofatu minal iman.
’Santri-santri nanti jam enam kerja bakti semua! Kebersihan itu sebagian dari iman.’
’Bagi para santri nanti jam enam diharapkan kerja bakti! Kebersihan itu sebagian dari iman.’

Konteks tuturan:
Tuturan ini diucapkan pengurus melalui mikrofon kepada semua santri saat akan diadakan kerja bakti masal.

(35) Mbak Dwi, monggo!
’Mbak Dwi, silahkan!’
’Silahkan makan bersama kita mbak Dwi!’

Konteks Tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan santri yang sedang makan di dalam kamar bersama teman-temannya, dan melihat ketua pondok lewat di depan kamar.

Tuturan jenis ini terkadang penanda kesantunan ayo dan monggo secara bersamaan. Hal ini dilakukan sebagai bentuk persilaan yang menunjukkan kesantunan berlebih, namun kecenderungan ini bersifat penegasan saja seperti tampak pada tuturan berikut:

(36) Ayo monggo diincipi. Enak kok dik.
’Ayo silahkan dicicipi. Enak kok dik.’
’Silahkan dicicipi. Rasanya enak dik.’

Konteks tuturan:
Tuturan tersebut disampaikan seorang santri yang baru mendapatkan kiriman makanan dari keluarganya. Dia menawarkan kepada temannya sesama santri yang kebetulan adik kelasnya.

Tuturan jenis ini juga bisa berbentuk tuturan nonimperatif, yakni deklaratif dan interogatif. Contoh:

(37) Santri 1: Nang njobo rame.
’Di luar ramai.’
’Suasana di luar ramai.’

Santri 2: Iya, lek ngono aku tak mlebu.
’Iya, kalau begitu aku masuk.’
’Kalau begitu aku masuk ke kamarmu dulu.’

Konteks tuturan:
Tuturan ini diucapkan oleh dua orang santri yang sedang belajar bersama di depan kamar. Sedangkan di luar kamar ramai.

(38) Santri 1: Kitab sing mok silik gek ingi durung mari tak waca.
’Kitab yang kamu pinjam kemaren belum selesai aku baca.’
’Kitabku yang kamu pinjam kemaren belum selesai aku baca.’

Santri 2: Lek ngono engko sore tak terna nang kamarmu.
’Kalau begitu nanti sore aku antar ke kamarmu.’
’Kalau begitu nanti sore bukunya aku antarkan ke kamarmu.’

Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan antarsantri di kelas saat keduanya akan kembali ke kamar masing-masing.

(39) Santri 1: Wis bengi, sampeyan turu kene ta mbak?.
’Sudah malam, kamu tidur sini ta mbak?’
’Sudah malam sekarang, apa tidur sini mbak?’

Santri 2: Lho kok wis yaene. Lek ngono aku tak mulih.
’Lho kok sudah waktu sekarang. Kalau begitu aku pulang.’
’Lho kok sudah jam segini. Kalau begitu aku pulang sekarang.’

Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan santri kepada temannya yang pada malam hari ke kamarnya.

E. Tuturan Bermakna Pragmatik Imperatif Larangan
Dalam bahasa Jawa dialek Lamongan, imperatif larangan biasanya menggunakan penanda kesantunan ojo yang berarti jangan. Pemakaian tuturan dengan penanda kesantunan itu dapat dilihat pada contoh berikut:

(40) Ojo ndele buku neng kono.
’Jangan menaruh buku di situ.’
’Jangan menaruh buku di tempat itu.’

Konteks tuturan:
Tuturan ini disampaikan santri kepada teman sekamarnya di kamar asrama.

(41) Lek diterangna, mpun rameh.
‘Kalau diterangkan, jangan ramai.’
‘Kalau gurunya sedang menerangkan, kalian jangan ramai.’

Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan ustadzah kepada murid-muridnya di kelas.

(42) Ojo ijin bolak-balik!
’Jangan ijin bolak-balik!’
’Jangan minta ijin terlalu sering!’

Konteks tuturan:
Tuturan ini disampaikan pengurus kepada santri di kantor pengurus saat ada santri minta ijin. 
Tuturan jenis ini juga bisa berbentuk tuturan nonimperatif, yakni deklaratif dan interogatif. Contoh:

(43) Ruangane koyo pasar.
’Ruangannya seperti pasar’
’Ruangan ini ramai seperti pasar’

Konteks tuturan:
Tuturan ini disampaikan pengurus kepada santri di ruangan saat acara khitobah akan dimulai.

(44) Tempat sampahe gak ana ta?
’Tempat sampahnya tidak ada ta?’
‘Apakah tidak ada tempat sampahnya?’

Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan pengurus kepada santri saat mendapati ada santri yang membuang sanpah sembarangan.

F. Tuturan Bermakna Pragmatik Imperatif Perintah
Jenis tuturan ini bisa dilihat pda contoh tuturan berikut:

(45) Menenga! Ana adzan.
’Diam! Ada adzan.’
‘Diam! Sedang ada suara adzan berkumandang.’

Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan santri kepada temannya yang berbicara saat terdengar suara adzan.

(46) Disemak kitabe! Ojo ngomong dewe.
‘Dilihat kitabnya! Jangan ngomong sendiri.’
‘Lihat kitab! Kalian jangan ngomong sendiri.’

Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan ustadzah kepada santri ketika sedang mengajar dan mendapati dua santri yang sedang bicara sendiri.

(47) Lungguh! Kene’ ta’zir kok terus.
’Duduk! Kena hukuman kok terus.’
’Duduk! Masa kena hukuman kok terus.’

Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan pengurus keamanan kepada santri yang sering melanggar peraturan pondok.

(48) Mrenea! Karo sampeyan gawakna buku syahriyah iku!
‘Kesinilah! Sekalian kamu bawakan buku SPP itu!’
’Kesini! Sekalian sambil bawakan buku SPP itu!’

Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan pengurus kepada temannya yang posisinya agak jauh dari dia.

Dalam pemahaman bahasa Jawa santri sehari-hari ditemukan juga beberapa makna pragmatik imperatif perintah yang diwujudkan dengan tuturan nonimperatif. Imperatif ini maknanya hanya dapat diketahui melalui konteks situasi tutur yang melatarbelakanginya. Seperti tampak pada contoh berikut:

(49) Lek sampeyan njaluk dita’zir terus, yo monggo.
‘Kalau kamu meminta dihukum terus, ya silahkan.’
’Kalau kamu minta dihukum terus karena sering melanggar peraturan ya terserah.’

Konteks tuturan:
Tuturan ini disampaikan pengurus keamanan yang menasehati santri yang sering kena hukuman karena sering melanggar peraturan pondok.

Tuturan di atas bisa ditafsirkan menjadi bermacam-macam kemungkinan makna oleh orang yang mendengarnya. Di bagian akhir tuturan tersebut terdapat kata ya monggo yang kemungkinan besar akan ditafsirkan sebagai sebuah imperatif bermakna persilaan. Sedangkan bagi sebagian orang, tuturan tersebut dapat ditafsirkan sebagai sebuah perintah walaupun secara tidak langsung di dalamnya mengandung maksud agar santri tersebut tidak selalu dita’zir dengan tidak selalu melanggar peraturan pondok.

Dari contoh di atas kita bisa mengetahui bahwa konteks situasi tutur dapat menentukan kapan sebuah tuturan dapat ditafsirkan sebagai imperatif perintah dan kapan pula ditafsirkan sebagai makna pragmatik imperatif yang lain.

(50) Gak pegel nganjir terus?
’Tidak capek berdiri terus?’
’Apakah kamu tidak capek berdiri terus?’

Konteks tuturan:
Tuturan ini disampaikan santri kepada sesama temannya di kamar ketika sudah lama disuruh duduk masih tidak mau.

G. Tuturan Bermakna Pragmatik Imperatif permintaan
Tuturan imperatif yang mengandung makna permintaan lazimnya terdapat ungkapan penanda kesantunan tulung atau frasa lain yang bemakna minta. Penggunaan penanda kesantunan tulung dalam tuturan pragmatik jenis ini bisa memperhalus suatu tuturan.

(51) Tulung jupukna disketku ijo iku!
’Tolong, ambilkan disketku hijau itu!’
’Tolong, ambilkan disketku warna hijau itu!’

Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan santri kepada temannya di ruang kelas.

(52) Ra, tulung jupukna kitabku nang mejo kantor!
’Ra, tolong ambilkan kitabku di meja kantor!’
’Ra, tolong ambilkan kitabku di atas meja kantor!’

Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan ustadzah kepada santrinya di ruang kelas.

(53) Dik, tulung jalukna es teh rong gelas nang kantin!
’Dik, tolong mintakan es teh dua gelas ke kantin!’
’Dik, tolong mintakan es teh dua gelas ke penjaga kantin!’

Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan pengurus kepada santri. Saat itu ada tamu dari luar kota.

(54) Ncul ta mbak, gantikna aku qiro’ah!
’Ayolah mbak, gantikan aku qiro’ah!’
’Mbak gantikan aku qiro’ah!’

Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan pengurus kepada pengurus untuk menggantikan qiro’ah pada acara muhadhoroh, dikarenakan santri tersebut berhalangan.

Dari penelitian didapatkan bahwa makna pragmatik imperatif permintaan banyak diungkapkan dengan konstruksi nonimperatif. Seperti pada contoh berikut.

(55) Santri 1: Buku sing sampeyan silih minggu wingi durung mari tak waca
’Buku yang kamu pinjam minggu kemarin belum selesai aku baca.’
’Buku yang kami pinjam minggu kemarin belum selesai aku baca.’

Santri 2: Oh iya, engko tak balikna.
‘Oh iya, nanti aku kembalikan.’
’Oh iya, nanti aku kembalikan ke kamarmu.’

Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan santri kepada temannya di asrama.

(56) Pengurus 1: Sampeyan nganggur ta?
’Kamu menganggur ta?’
’Apakah kamu sedang menganggur?’

Pengurus 2: Iya mbak, tak rewangi ngangkat.
‘Iya mbak, aku bantu mengangkat’
’Iya mbak, aku bantu mengangkat meja’

Konteks tuturan:
Tuturan tersebut dituturkan pengurus kepada temannya sesama pengurus untuk membantu dia mengangkatkan meja untuk acara haul akbar.

H. Tuturan Bermakna Pragmatik Imperatif ”ngelulu”
Kata ”ngelulu” berasal dari bahasa Jawa, yang bermakna seperti menyuruh mitra tutur melakukan sesuatu namun sebenarnya yang dimaksud adalah melarang melakukan sesuatu. Sebagaimana dalam penelitian Kunjana Rahardi, dalam penelitian ini penulis juga menggunakan istilah ”ngelulu” semata-mata karena tidak dapat ditemukan kata bahasa Indonesia yang tepat sebagai pedanannya. Dalam tuturan jenis ini makna imperatif yang lazimnya diungkapkan dengan penanda kesantunan ojo justru tidak digunakan. Tuturan bermakna pragmatik imperatif ”ngelulu” dapat dilihat pada contoh berikut:

(57) Ncul terusna!
’Ayo teruskan!’
’Ayo teruskan!

Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan santri kepada temannya ketika didapati sedang mencoret-coret buku santri tersebut.

(58) Mene lek ngaji gak usah nyemak maneh ya!
’Besok kalau mengaji tidak usah melihat lagi ya!’
’Besok kalau sedang mengaji tidak usah memperhatikan guruya ya!’

Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan ustadzah kepada santri karena tidak lancar membaca kitab kuning.

(59) Sesuk lek mbalik nang pondok nelato maneh ya!
’Nanti kalau kembali ke pondok telatlah lagi ya!’
’Lain kali kalau kembali ke pondok datang telat lagi saja ya!’

Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan pengurus kepada seorang santri yang sering telat datang ke pondok selesai pulang.

Jenis tuturan pragmatik imperatif ini bisa juga diwujudkan dengan tuturan nonimperatif.

(60) Santri 1: Gak menisan mbalik sa’ulan engkas ae? Rugi lho.
’Tidak sekalian kembali sebulan lagi saja? Rugi lho.’
’Apakah tidak kembali ke pondok sebulan lagi saja? Rugi lho.’

Santri 2: Lah, justru iku sing tak pingini. (tertawa)
‘Nah, justru itu yang saya inginkan.’
’Nah, justru saya ingin seperti itu.’

Santri 1: (mencibir)

Konteks tuturan:
Tuturan itu diucapkan santri kepada temannya yang baru saja terlambat kembali ke pondok selama tiga hari.

(61) Malah lebih resik lek gak disaponi.
’Malah lebih bersih kalau tidak disapui.’
’Lantainya malah terlihat lebih bersih kalau tidak disapu.’

Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan santri kepada teman-temannya sekamar.

 
3.1.2 Kesantunan Imperatif
Dalam pembahasan bagian ini, akan diuraikan dua hal pokok mencakup wujud-wujud kesantunan berkaitan dengan pemakaian tuturan imperatif bahasa Jawa dialek Lamongan, yaitu kesantunan linguistik dan kesantunan pragmatiknya. Kesantunan linguistik membahas mengenai ciri linguistik yang selanjutnya mewujudkan kesantunan linguistik, sedangkan kesantunan pragmatik membahas mengenai ciri nonlinguistik tuturan imperatif yang selanjutnya mewujudkan kesantunan pragmatik.

3.1.2.1 Kesantunan Linguistik
Data yang diperoleh menunjukkan bahwa ada beberapa pemarkah linguistik yang menentukan kesantunan linguistik dalam tuturan imperatif bahasa Jawa dialek Lamongan, yaitu panjang pendek tuturan, urutan tutur, intonasi tuturan dan isyarat-isyarat kinesik, dan pemakaian ungkapan penanda kesantunan. Kesemuanya itu dipandang sebagai faktor penentu kesantunan linguistik tuturan imperatif dalam penelitian ini.

A. Faktor Panjang Pendek Tuturan
Hasil penelitian Kunjana Rahardi menunjukkan bahwa panjang pendek suatu tuturan bisa mempengaruhi tingkat kesantunan. Semakin panjang tuturan yang digunakan akan semakin santunlah tuturan itu. Sebaliknya, semakin pendek sebuah tuturan akan cenderung menjadi semakin tidak santunlah tuturan itu. Panjang pendeknya suatu tuturan berhubungan sangat erat dengan masalah kelangsungan dan ketidaklangsungan dalam bertutur. Sedangkan kelangsungan dan ketidaklangsungan bertutur berkaitan dengan masalah kesantunan (Kunjana 2000: 120).

Untuk lebih jelasnya mari kita lihat pada contoh berikut:

(62) Pulpen biru iku!
’Pulpen biru itu!’
’Ambilkan pulpe biru itu!’

(63) Jupukna pulpen biru iku!
’Ambilkan pulpen biru itu!’
’Ambilkan pulpen biru itu!’

(64) Tulung jupukna pulpen biru iku!
’Tolong ambilkan pulpen biru itu!’
‘Tolong ambilkan pulpen biru itu!’

(65) Tulung sampeyan jupukna pulpen biru iku!
’Tolong kamu ambilkan pulpen biru itu!’
’Tolong ambilkan pulpen biru itu!’

Konteks tuturan:
Tuturan di atas dituturkan oleh seorang santri kepada temannya dalam situasi yang berbeda-beda pada saat mereka berada dalam kelas.

Tuturan 62, 63, 64 dan 65 di atas memiliki makna yang intinya sama. Yang membedakan yaitu masing-masing tuturan memiliki jumlah kata dan ukuran panjang pendek yang tidak sama, yaitu secara berurutan semakin memanjang wujud tuturannya.

Tuturan (62) : terdiri atas tiga kata.
Tuturan (63) : terdiri atas empat kata.
Tuturan (64) : terdiri atas lima kata.
Tuturan (65) : terdiri atas enam kata.

Dari segi kesantunan dapat dikatakan bahwa dari keempat tuturan itu, tuturan (62) secara linguistik berkadar kesantunan paling rendah, sedangkan tuturan (65) memiliki kadar kesantunan paling tinggi.

Namun dalam Pondok Pesantren Sunan Drajat hal tersebut hanya berlaku untuk tuturan santri terhadap santri, ustadzah terhadap ustadzah, dan pengurus terhadap pengurus. Sedangkan interaksi santri terhadap ustadzah dan pengurus berlaku sebaliknya, dimana tuturan pendek dinilai lebih santun sedangkan tuturan yang lebih panjang dinilai kurang santun, bahkan tidak santun. Perilaku santri yang tidak banyak bicara justru semakin menunjukkan bahwa santri tersebut semakin santun terhadap ustadzah maupun pengurus pondok. Perhatikan contoh tuturan berikut ini.

(35) Mbak Dwi, monggo!
’Mbak Dwi, silahkan!’
’Silahkan makan bersama kita mbak Dwi.’

Konteks Tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan santri yang sedang makan di dalam kamar bersama teman-temannya, dan melihat ketua pondok lewat di depan kamar.

Dalam Ponpes Sunan Drajat hampir bisa dipastikan bahwa tuturan bermakna imperatif tidak ada dalam komunikasi santri terhadap ustadzah dan pengurus. Jika ada itu pun jarang sekali.

B. Faktor Urutan Tutur
Urutan tutur sebuah tuturan berpengaruh besar terhadap tinggi rendahnya peringkat kesantunan tuturan yang digunakan pada saat bertutur. Dapat terjadi bahwa tuturan yang digunakan kurang santun, dapat menjadi jauh lebih santun ketika tuturan itu ditata kembali urutannya. Seperti pada contoh berikut:

(66) Wis jam 7 kurang seperempat, diluk engkas bel! Cepet!
’Sudah jam 7 kurang seperempat, sebentar lagi bel! Cepat!’
’Sudah jam 7 kurang seperempat, sebentar lagi bel berbunyi! Cepat mandinya!’

(67) Cepet! Diluk engkas bel! Wis jam 7 kurang seperempat.
’Cepat! Sebentar lagi bel! Sudah jam 7 kurang seperempat.’
’Cepat mandinya! Sudah jam 7 kurang seperempat, sebentar lagi bel berbunyi!’

Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan seorang santri yang sedang antri mandi kepada temannya di kamar mandi.

Dari kedua tuturan di atas, tuturan (66) dianggap lebih santun daripada tuturan (67) meskipun pada intinya kedua tuturan tersebut memiliki maksud yang sama. Dengan demikian tuturan imperatif yang diawali dengan informasi nonimperatif didepannya memiliki kadar kesantunan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tuturan imperatif yang tanpa diawali informasi nonimperatif di depannya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Rahadi (2000) dalam penelitiannya.

C. Faktor Intonasi Tuturan dan Isyarat-isyarat Kinesik
Menurut Kridalaksana (2001: 85) intonasi yaitu suatu pola perubahan nada yang dihasilkan pembicara pada waktu mengucapkan ujaran atau bagian-bagiannya. Menurut Sunaryati dalam Rahardi (2000), intonasi dapat dibedakan menjadi intonasi berita, intonasi tanya, dan intonasi seruan. Intonasi memiliki peranan besar dalam menentukan tinggi rendahnya peringkat kesantunan sebuah tuturan imperatif. Bisa dilihat pada tuturan berikut:

Ditimbali mbak Nafi’
’Dipanggili mbak Nafi’’
’Kamu dipanggil mbak Nafi’’

Tuturan di atas bisa berintonasi berita, beintonasi tanya, maupun berintonasi seruan. Selain itu tuturan tersebut juga berintonasi tinggi atau rendah (datar) yang mana hal tersebut menentukan tingkat kesantunan.

Di samping intonasi, kesantunan penggunaan tuturan imperatif dalam bahasa Jawa di Ponpes Putri Sunan Drajat juga dipengaruhi oleh isyarat-isyarat kinesik, meliputi ekspresi wajah, sikap tubuh, gerakan jari jemari, gerakan tangan, ayunan lengan, gerakan pundak, dan gelengan kepala. Misalnya seorang santri/murid mencium tangan seorang pengurus pondok maupun ustadzah ketika bertemu dinilai lebih santun daripada tidak melakukan tindakan itu, begitu pula dengan menundukkan kepala dan tubuh ketika di depan pengurus atau ustadzah dinilai merupakan tindakan yang santun. Isyarat-isyarat kinesik ini berfungsi untuk mempertegas maksud tuturan.

D. Faktor Ungkapan-ungkapan Penanda Kesantunan
Pemakaian penanda kesantunan dalam bertutur juga merupakan faktor penentu kesantunan lingusitik. Beberapa macam ungkapan penanda kesantunan dalam pemakaian tuturan bahasa Jawa di Ponpes Putri Sunan Drajat akan dijelaskan sebagai berikut:

1) Penanda kesantunan tulung
Penggunaan penanda kesantunan tulung sebagai penentuan kesantunan linguistik bertujuan untuk memperhalus maksud tuturan imperatifnya. Dengan digunakannya penanda kesantunan ini tuturan tidak dianggap semata-semata hanya sebagai imperatif yang bermakna permintaan. Seperti terlihat pada contoh berikut:

(68) Tulung gawana rukuhku
’Tolong bawakan mukenahku’
’Tolong bawakan mukenahku’

2) Penanda kesantunan ayo
Biasanya penanda kesantunan ayo digunakan di awal tuturan, namun ada pula yang menggunakan ayo di akhir tuturan. Makna imperatif yang dikandung dalam tuturan dengan menggunakan tuturan ayo mempunyai makna ajakan, seperti pada tuturan berikut:

(69) Ayo sarapan dhisik!
’Ayo sarapan dulu!’
’Ayo kita sarapan dulu!’

Tuturan tersebut akan dianggap lebih sopan daripada tuturan berikut:

(70) Sarapan dhisik!
‘Sarapan dulu!’
’Kita sarapan dulu!’

Kedua tuturan tersebut sebenarnya mempunyai maksud sama, yakni mengajak mitra tutur untuk sarapan. Namun ayo dalan tuturan tersebut mempengaruhi tingkat kesantunan.

3) Penanda kesantunan coba
Dengan menggunakan penanda kesantunan coba sebagai penentu kesantunan linguistik tuturan imperatif, maka akan menjadikan tuturan tersebut bermakna lebih halus dan lebih santun daripada yang tanpa menggunakan kata coba. Seperti pada tuturan berikut:

(71) Coba delo’en metu
’Coba lihatlah keluar’
’Coba, keluarlah’

(72) Delo’en metu
’Lihatlah keluar’
’Keluarlah’

Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan santri kepada temannya di dalam kamar ketika mendengar ada suara benda jatuh di luar kamar.

Tuturan (71) mengandung makna imperatif lebih halus dan lebih santun jika dibandingkan dengan tuturan (72).

4) Penanda kesantunan mbokya
Dengan digunakannya penanda kesantunan mbokya, tuturan imperatif yang semula merupakan imperatif suruhan dapat berubah menjadi imperatif yang bermakna himbauan atau saran. Seperti tampak pada contoh berikut:

(73) Mangan sak ono’e!
’Makan seadanya!’
’Makan seadanya saja!’

(74) Mbokya mangan sak ono’e!
’Hendaklah makan seadanya!’
’Sebaiknya makan seadanya saja!’

Konteks tuturan:
Tuturan di atas disampaikan seorang pengurus pondok kepada temannya yang akan membeli makan di luar pondok karena merasa bosan dengan lauknya.

Dari kedua tuturan di atas, tuturan (74) mempunyai kadar kesantunan yang tinggi jika dibandingkan dengan tuturan (73).

5) Penanda kesantunan ndang

Penggunaan penanda kesantunan ndang dalam bahasa Jawa dialek Lamongan mempunyai makna ’segera’ atau ’lekas’. Penanda kesantunan ini sering dipakai untuk memperhalus maksud tuturan imperatif. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada tuturan berikut:

(75) Adus! Selek jama’ah!
’Mandi! Keburu jama’ah!’
’Cepat mandi! Keburu waktunya sholat jama’ah!’

Konteks tuturan:
Tuturan ini diucapkan santri kepada teman sebayanya di kamar/asrama.

(76) Ndang adus! Selek jama’ah!
’Segera mandi! Keburu jama’ah!
‘Cepat mandi! Keburu waktunya sholat jama’ah!’

Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan seorang santri kepada adik angkatannya di kamar/asrama.

Tuturan (75) kadar tuntutannya lebih tinggi jika dibandingkan dengan tuturan (76), sehingga tuturan (75) memiliki kesantunan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan tuturan (76).

 
3.1.2.2 Kesantunan Pragmatik
Pada pembahasan sebelumnya sudah dijelaskan bahwa makna pragmatik imperatif di dalam bahasa Jawa dialek Lamongan dapat diwujudkan dengan tuturan yang bermacam-macam. Dari data yang diperoleh, ditemukan bahwa makna pragmatik imperatif banyak diungkapkan dalam tuturan tidak langsung yang berwujud nonimperatif, yaitu tuturan deklaratif dan tuturan interogatif. Penggunaan tuturan nonimperatif untuk menyatakan makna pragmatik imperatif itu biasanya mengandung unsur ketidaklangsungan. Dengan demikian dalam tuturan-tuturan nonimperatif itu terkandung aspek kesantunan pragmatik imperatif.

A. Kesantunan Pragmatik Imperatif Dalam Tuturan Deklaratif
Kesantunan pragmatik imperatif dalam tuturan deklaratif dapat dibedakan menjadi bermacam-macam.

A.1 Tuturan Deklaratif Bermakna Pragmatik Imperatif Perintah
Tuturan dengan konstruksi deklaratif banyak digunakan untuk menyatakan makna pragmatik imperatif suruhan karena dengan tuturan itu muka si mitra tutur dapat terselamatkan. Cara menyatakan yang demikian dapat dianggap sebagai alat penyelamat muka karena maksud itu tidak ditujukan secara langsung kepada si mitra tutur. Coba perhatikan contoh berikut:

(77) Kerjakna dhewe-dhewe!
‘Kerjakan sendiri-sendiri!’
’Kerjakan soalnya sendiri-sendiri!’

Konteks tuturan:
Tuturan tersebut disampaikan ustadzah kepada santri (murid)nya saat ulangan harian.

Tuturan di atas merupakan tuturan imperatif yang digunakan untuk menyatakan makna suruhan. Selain itu penutur juga bisa menggunakan tuturan yang berkonstruksi deklaratif seperti tampak pada contoh berikut:

(78) Sapa sing contohan kalih kancane dianggap gagal
’Siapa yang contekan dengan temannya dianggap gagal’
‘Siapa diantara kalian yang contekan dengan temannya, dianggap gagal!’

Konteks tuturan:
Sama dengan konteks tuturan (77).

A.2 Tuturan deklaratif bermakna pragmatik imperatif ajakan
Tuturan deklaratif bermakna pragmatik imperatif ajakan sering dituturkan dengan menggunakan tuturan imperatif dengan penanda kesantunan ayo. Hal ini dapat dilihat pada contoh berikut:

(79) Ayo njupuk sarapan nang kantin
’Ayo mengambil sarapan ke kantin’
’Ayo kita ambil sarapan ke kantin’

Konteks tuturan:
Tuturan ini diucapkan santri kepada teman sekamarnya yang saat itu belum mengambil makanan di kantin untuk sarapan.

Dalam kegiatan bertutur sehari-hari, makna pragmatik imperatif ajakan ternyata banyak diwujudkan dengan menggunakan tuturan yang berkonstruksi deklaratif. Seperti pada dialog berikut:

(80) Santri 1: Mbak, aku durung sarapan iki. Kepingin nang kantin males gak ana kancane.
’Mbak, aku belum sarapan ini. Ingin ke kantin malas tidak ada temannya.’
’Aku sekarang belum sarapan mbak. Ingin mengambil sarapan ke kantin tapi malas tidak ada temannya.

Santri 2: Iya, aku yo durung jupuk sarapan nang kantin.
’Iya, aku juga belum mengambil sarapan ke kantin.’
’Iya, aku juga belum mengambil sarapan ke kantin.’

A.3 Tuturan deklaratif bermakna pragmatik imperatif larangan
Tuturan bermakna imperatif larangan imperatif dengan penanda kesantunan “ojo” yang maknanya ‘jangan’. Selain itu imperatif larangan juga ditandai oleh pemakain bentuk pasif gak oleh ‘tidak boleh’ dan’gak diolehi’ tidak diperbolehkan pada tuturan. Seperti pada contoh berikut:

(81) Ojo nganjir ae neng kono lek atene ngaji
‘Jangan berdiri saja di situ kalau akan mengaji’
’Jangan berdiri saja di situ kalau mau mengaji di kelas’

Konteks tuturan:
Tuturan tersebut disampaikan ketua pondok saat mendapati ada seorang santri yang akan mengaji dan masih berdiri di depan pintu kamar.

(82) Lek poso gak oleh ngrasani
’Kalau puasa tidak boleh menggunjing’
’Kalau sedang puasa tidak boleh menggunjing’

Konteks tuturan:
Tuturan tersebut disampaikan ustadz kepada murid-muridnya saat mengajar.

Kedua tuturan di atas berbeda dengan imperatif larangan secara pragmatik berikut ini:

(83) Babi iku panganan haram
‘Babi itu makanan haram’
‘Babi itu kalau dimakan haram hukumnya’

Konteks tuturan:
Tuturan tersebut disampaikan seorang ustadz kepada santri di ruang kelas saat mengaji.

Ketidaklangsungan pada tuturan (83) lebih jelas daripada tuturan (81) dan (82). Dengan demikian tuturan tersebut tingkat kesantunannya lebih tinggi jika dibandingkan dengan tuturan sebelumnya.

B. Kesantunan Pragmatik Imperatif Dalam Tuturan Interogatif
Selain dapat diwujudkan dengan tuturan deklaratif, makna pragmatik imperatif juga dapat diwujudkan dengan tuturan interogatif. Hal ini banyak ditemukan dalam percakapan sehari-hari santri.

Dengan digunakannya tuturan kerkonstruksi interogatif dalam menyatakan makna pragmatik imperatif itu dapat mengandung makna ketidaklangsungan yang cukup besar. Hal ini dapat dilihat pada bermacam-macam tuturan berikut:

B.1 Tuturan interogatif bermakna pragmatik imperatif perintah
Dalam kegiatan bertutur yang sebenarnya, tuturan interogatif dapat pula digunakan untuk menyatakan maksud atau makna pragmatik imperatif. Makna pragmatik imperatif perintah dapat diungkapkan dengan tuturan interogatif ini. Seperti tampak pada contoh berikut:

(84) Santri 1: Lek ngajine wis mari tipe dipateni ae.
’Kalau mengajinya sudah selesai tape-nya dimatikan saja.’
’Kalau pengajiannya sudah selesai sebaiknya tapenya dimatikan saja.’

Santri 2: Iya mbak.
’Iya mbak.’
’Iya mbak.’

Konteks tuturan:
Dituturkan oleh sesama pengurus di kamar pengurus setelah mendengarkan pengajian kiai Ghofur melalui radio.

(85) Santri 1: Ngajinya wis mari ta? (sambil melirik ke radio)
’Mengajinya sudah selesai ta?’
’Apakah mengajinya sudah selesai?’

Santri 2: Iya mbak tak patenane.
‘Iya mbak, aku matikan.’
’Iya mbak, aku matikan radionya.’

Konteks tuturan:
Sama dengan konteks tuturan (84).

Dari tuturan di atas bisa dilihat bahwa tuturan dengan maksud imperatif perintah dapat diungkapkan dengan menggunakan kosntruksi interogatif. Tuturan (85) mempunyai ciri ketidaklangsungan, sehingga tuturan (85) dianggap lebih sopan daripada tuturan (84).


B.2 Tuturan interogatif bermakna pragmatik imperatif ajakan
Untuk lebih jelasnya dilahkan perhatikan contoh berikut:

(86) Ayo sarapan dhisik!
’Ayo sarapan dulu!’
’Ayo sarapan dulu!’

Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan santri kepada temannya yang saat itu mengerjakan PR dan dia masih belum sarapan.

Tuturan di atas bisa diketahui bahwa maksud imperatif ajakan dinyatakan dengan bentuk tuturan imperatif. Digunakannya penanda kesantunan ayo jelas menandakan bahwa tuturan itu secara linguistik bermakna ajakan. Tuturan dengan maksud yang sama bila diwujudkan dalam tuturan nonimperatif mengandung ketidaklangsungan yang tinggi. Dengan demikian maka tuturan tersebut memiliki kadar kesantunanyang tinggi pula. Seperti pada contoh bentuk tuturan interogatif di bawah ini:

(87) Wetengku lesu, sampeyan wis sarapan?
’Perutku lapar, kamu sudah sarapan?’
’Perutku lapar, apakah kamu sudah sarapan?’

Konteks tuturan:
Sama dengan konteks tuturan (86).

B.3 Tuturan interogatif bermakna pragmatik imperatif permintaan
Dalam kegiatan bertutur santri sehari-hari, banyak ditemukan bahwa tuturan interogatif dapat digunakan untuk menyatakan maksud imperatif permohonan. Dengan demikian maka makna kesantunan yang dimunculkan dari tuturan itu lebih tinggi daripada tuturan imperatif.

(88) Bu, sampeyan ngajara ambek aku semester ngarep.
‘Bu, anda mengajarlah bersama saya semester depan.’
‘Bu mengajarlah bersama saya ya semester depan.’

Konteks tuturan:
Tuturan tersebut dituturkan ustadzah kepada temannya sesama ustadzah di kantor Diniyah.

(89) Aku njaluk sepura ya, sampeyan ojo muring-muring maneh.
‘Aku meminta maaf ya, kamu jangan marah lagi.’
’Aku minta maaf ya, kamu jangan marah lagi ke aku.’

Konteks tuturan:
Tuturan tersebut dituturkan seorang santri kepada temannya karena telah memecahkan gelas kesayangannya. 

Dengan digunakannya tuturan interogatif seperti pada tuturan berikut ini maksud imperatif permohonan yang sama akan dapat diungkapkan lebih santun lagi.

(88a) Bu, sampeyan iso ngajar ambek aku semester ngarep?
‘Bu, Anda bisa mengajar bersama saya semester depan?’
‘Apakah semester depan anda bisa mengajar bersama saya?’

Konteks tuturan:
Sama dengan konteks tuturan (88).

(89a) Apa aku sek disepura mbak Rini? InsyaAllah mene-mene gak tak baleni.
‘Apa aku masih dimaafkanmbak Rini? InsyaAllah besok-besok tidak aku ulangi.’
‘Apakah mbak Rini masih memaafkan aku? InsyaAllah nanti tidak aku ulangi.’

Konteks tuturan:
Sama dengan konteks tuturan (89).

B.4 Tuturan interogatif bermakna pragmatik imperatif larangan
Pada lazimnya makna imperatif larangan dalam bahasa Jawa dengan menggunakan kata ”ojo” atau ”gak oleh” untuk menyatakan imperatif larangan dalam sebuah tuturan. Namun dalam komunikasi keseharian santri, banyak dijumpai makna imperatif larangan dengan konstruksi tuturan nonimperatif. Seperti tampak pada contoh berikut:

(90) Apa sampeyan pengen kamare sampeyan berantakan ngene terus?
’Apa kamu ingin kamarnya kamu berantakan seperti ini terus?’
’Apakah kamu ingin kamarmu terlihat berantakan seperti ini terus?’

Konteks tuturan:
Tuturan tersebut dituturkan oleh seorang pengurus pondok yang mendapati kamar santri yang berantakan dan masih belum disapu.

(91) Sapa sing kepingin dita’zir mergo kari jama’ah?
’Siapa yang ingin dihukum karena terlambat jama’ah?’
’Siapa yang ingin dihukum karena terlambat ikut sholat jama’ah?’

Konteks tuturan:
Tuturan tersebut dituturkan oleh seorang pengurus kepada pada santri ketika memberi pidato dalam acara khitobah.

Bentuk imperatif santri terhadap ustadzah dan pengurus hampir bisa dipastikan tidak ada. Salah satu faktor penyebabnya yaitu norma-norma di pesantren yang mengharuskan santri untuk selalu hormat dan patuh kepada ustadzah dan pengurus, mengingat status ustadzah dan pengurus yang lebih tinggi daripada santri. Selain itu juga santri diharuskan mepunyai sikap isin, wedi dan sungkan ketika berkomunikasi dengan ustadzah dan pengurus. Hal inilah yang mengharuskan santri untuk menggunakan strategi kesantunan. Ulasan mengenai strategi kesantunan dilihat dari tingkat ilmu dan status kelembagaan akan dibahas lebih lanjut pada pembahasan selanjutnya.

Wujud kesantunan imperatif antarsantri putri Pondok Pesantren Sunan Drajat bisa dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1. Wujud kesantunan imperatif antarsantri putri Pondok Pesantren Sunan Drajat
W
U
J
U
D
K
E
S
A
N
T
U
N
A
N
I
M
P
E
R
A
T
I
F
Wujud Imperatif
Imperatif formal
Imperatif Aktif
- Imperatif aktif tidak transitif
- Imperatif aktif transitif
Imperatif Pasif
- verba + -en
- verba + -na
- di- + verba + -ae
Imperatif Pragmatik
- Tuturan bermakna imperatif desakan
- Tuturan bermakna imperatif bujukan
- Tuturan bermakna imperatif himbauan
- Tuturan bermakna imperatif persilaan
- Tuturan bermakna imperatif larangan
- Tuturan bermakna imperatif perintah
- Tuturan bermakna imperatif permintaan
- Tuturan bermakna imperatif ”ngelulu”
Kesantunan Imperatif
Kesantunan Linguistik
- Faktor panjang pendek tuturan
- Faktor urutan tutur
- Faktor intonasi tuturan
- Faktor isyarat kinesik
- Faktor ungkapan penanda kesantunan (tulung, ayo, coba, mbok/mbokya, ojo, ndang)
Kesantunan Pragmatik
- Kesantunan imperatif dalam tuturan deklaratif
- Kesantunan imperatif dalam tuturan interogatif


*Luthfiaytin, Ida. 2007. "Kesantunan Imperatif dalam Interaksi Antarsantri Putri Pondok Pesantren Sunan Drajat Banjaranyar Paciran Lamongan Jawa Timur". (Skripsi S-1) Fakultas Sastra, Universitas Airlangga

Sumber:
http://kesantunanberbahasa.wordpress.com

 

No comments:

Post a Comment