Friday, June 1, 2012

Pragmatik


Dalam komunikasi, satu maksud atau satu fungsi dapat diungkapkan dengan berbagai bentuk/struktur. Untuk maksud “menyuruh” orang lain, penutur dapat mengungkapkannya dengan kalimat imperatif, kalimat deklaratif, atau bahkan dengan kalimat interogatif. 

Dengan demikian, pragmatik lebih cenderung ke fungsionalisme daripada ke formalisme. Pragmatik berbeda dengan semantik dalam hal pragmatik mengkaji maksud ujaran dengan satuan analisisnya berupa tindak tutur (speech act), sedangkan semantik menelaah makna satuan lingual (kata atau kalimat) dengan satuan analisisnya berupa arti atau makna.

Kajian pragmatik lebih menitikberatkan pada ilokusi dan perlokusi daripada lokusi sebab di dalam ilokusi terdapat daya ujaran (maksud dan fungsi tuturan), perlokusi berarti terjadi tindakan sebagai akibat dari daya ujaran tersebut. Sementara itu, di dalam lokusi belum terlihat adanya fungsi ujaran, yang ada barulah makna kata/kalimat yang diujarkan.

Berbagai tindak tutur (TT) yang terjadi di masyarakat, baik TT representatif, direktif, ekspresif, komisif, dan deklaratif, TT langsung dan tidak langsung, maupun TT harafiah dan tidak harafiah, atau kombinasi dari dua/lebih TT tersebut, merupakan bahan sekaligus fenomena yang sangat menarik untuk dikaji secara pragmatis. Misalnya, bagaimanakah TT yang dilakukan oleh orang Jawa apabila ingin menyatakan suatu maksud tertentu, seperti ngongkon ‘menyuruh’, nyilih ‘meminjam’, njaluk ‘meminta’, ngelem ‘memuji’, janji ‘berjanji’, menging ‘melarang’, dan ngapura ‘memaafkan’. Pengkajian TT tersebut tentu menjadi semakin menarik apabila peneliti mau mempertimbangkan prinsip kerja sama Grice dengan empat maksim: kuantitas, kualitas, hubungan, dan cara; serta skala pragmatik dan derajat kesopansantunan yang dikembangkan oleh Leech (1983).

1. PRAGMATIK DAN FUNGSI BAHASA
Bidang “pragmatik” dalam linguistik dewasa ini mulai mendapat perhatian para peneliti dan pakar bahasa di Indonesia. Bidang ini cenderung mengkaji fungsi ujaran atau fungsi bahasa daripada bentuk atau strukturnya. Dengan kata lain, pragmatik lebih cenderung ke fungsionalisme daripada ke formalisme. Hal itu sesuai dengan pengertian pragmatik yang dikemukakan oleh Levinson (1987: 5 dan 7), pragmatik adalah kajian mengenai penggunaan bahasa atau kajian bahasa dan perspektif fungsional. Artinya, kajian ini mencoba menjelaskan aspek-aspek struktur bahasa dengan mengacu ke pengaruh-pengaruh dan sebab-sebab nonbahasa.

Fungsi bahasa yang paling utama adalah sebagai sarana komunikasi. Di dalam komunikasi, satu maksud atau satu fungsi dapat dituturkan dengan berbagai bentuk tuturan. Misalnya, seorang guru yang bermaksud menyuruh muridnya untuk mengambilkan kapur di kantor, dia dapat memilih satu di antara tuturan-tuturan berikut:

(1) Jupukna kapur!
(2) Kene ora ana kapur.
(3) Ibu ngersakake kapur.
(4) O, jebul ora ana kapur.
(5) Ing kene ora ana kapur, ya?
(6) Ngapa ora padha gelem njupuk kapur?

Dengan demikian untuk maksud “menyuruh” agar seseorang melakukan suatu tindakan dapat diungkapkan dengan menggunakan kalimat imperatif seperti tuturan (1), kalimat deklaratif seperti tuturan (2-4), atau kalimat interogatif seperti tuturan (5-6). Jadi, secara pragmatis, kalimat berita (deklaratif) dan kalimat tanya (interogatif) di samping berfungsi untuk memberitakan atau menanyakan sesuatu juga berfungsi untuk menyuruh (imperatif atau direktif).

2. PRAGMATIK VS SEMANTIK
Sebelum dikemukakan batasan pragmatik kiranya perlu dijelaskan lebih dahulu perbedaan antara pragmatik dengan semantik.
  • Semantik mempelajari makna, yaitu makna kata dan makna kalimat, sedangkan pragmatik mempelajari maksud ujaran, yaitu untuk apa ujaran itu dilakukan. 
  • Kalau semantik bertanya “Apa makna X?” maka pragmatik bertanya “Apa yang Anda maksudkan dengan X?”
  • Makna di dalam semantik ditentukan oleh koteks, sedangkan makna di dalam pragmatik ditentukan oleh konteks, yakni siapa yang berbicara, kepada siapa, di mana, bilamana, bagaimana, dan apa fungsi ujaran itu. Berkaitan dengan perbedaan ini, Kaswanti Purwo (1990: 16) merumuskan secara singkat “semantik bersifat bebas konteks (context independent), sedangkan pragmatik bersifat terikat konteks (context dependent)” (bandingkan Wijana, 1996: 3).
Cukup banyak kiranya batasan atau definisi mengenai pragmatik. Levinson (1987: 1-53), misalnya, membutuhkan 53 halaman hanya untuk menerangkan apakah pragmatik itu dan apa saja yang menjadi cakupannya. Di sini dikutipkan beberapa di antaranya yang dianggap cukup penting.
  1. Pragmatik adalah kajian mengenai hubungan antara tanda (lambang) dengan penafsirnya, sedangkan semantik adalah kajian mengenai hubungan antara tanda (lambang) dengan objek yang diacu oleh tanda tersebut. 
  2. Pragmatik adalah kajian mengenai penggunaan bahasa, sedangkan semantik adalah kajian mengenai makna.
  3. Pragmatik adalah kajian bahasa dan perspektif fungsional, artinya kajian ini mencoba menjelaskan aspek-aspek struktur linguistik dengan mengacu ke pengaruh-pengaruh dan sebab-sebab nonlinguistik.
  4. Pragmatik adalah kajian mengenai hubungan antara bahasa dengan konteks yang menjadi dasar dari penjelasan tentang pemahaman bahasa.
  5. Pragmatik adalah kajian mengenai deiksis, implikatur, praanggapan, tindak tutur, dan aspek-aspek struktur wacana. 
  6. Pragmatik adalah kajian mengenai bagaimana bahasa dipakai untuk berkomunikasi, terutama hubungan antara kalimat dengan konteks dan situasi pemakaiannya.

Dari beberapa definisi tersebut dapat dipahami bahwa cakupan kajian pragmatik sangat luas sehingga sering dianggap tumpang tindih dengan kajian wacana atau kajian sosiolinguistik. Yang jelas disepakati ialah bahwa satuan kajian pragmatik bukanlah kata atau kalimat, melainkan tindak tutur atau tindak ujaran (speech act).

3. TINDAK TUTUR DAN JENIS-JENISNYA
Tindak tutur (selanjutnya TT) atau tindak ujaran (speech act) mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam pragmatik karena TT adalah satuan analisisnya. Uraian berikut memaparkan klasifikasi dari berbagai jenis TT.

3.1 Lokusi, Ilokusi, dan Perlokusi
Austin (1962) dalam How to do Things with Words mengemukakan bahwa mengujarkan sebuah kalimat tertentu dapat dipandang sebagai melakukan tindakan (act), di samping memang mengucapkan kalimat tersebut. Ia membedakan tiga jenis tindakan yang berkaitan dengan ujaran, yaitu lokusi, ilokusi, dan perlokusi.

Lokusi adalah semata-mata tindak berbicara, yaitu tindak mengucapkan sesuatu dengan kata dan kalimat sesuai dengan makna kata itu (di dalam kamus) dan makna kalimat itu sesuai dengan kaidah sintaksisnya. Di sini maksud atau fungsi ujaran itu belum menjadi perhatian. Jadi, apabila seorang penutur (selanjutnya disingkat P) Jawa mengujarkan “Aku ngelak” dalam tindak lokusi kita akan mengartikan “aku” sebagai ‘pronomina persona tunggal’ (yaitu si P) dan “ngelak” mengacu ke ‘tenggorokan kering dan perlu dibasahi’, tanpa bermaksud untuk minta minum.

Ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu. Di sini kita mulai berbicara tentang maksud dan fungsi atau daya ujaran yang bersangkutan, untuk apa ujaran itu dilakukan. Jadi, “Aku ngelak” yang diujarkan oleh P dengan maksud ‘minta minum’ adalah sebuah tindak ilokusi.
Perlokusi mengacu ke efek yang ditimbulkan oleh ujaran yang dihasilkan oleh P. Secara singkat, perlokusi adalah efek dari TT itu bagi mitra-tutur (selanjutnya MT). Jadi, jika MT melakukan tindakan mengambilkan air minum untuk P sebagai akibat dari TT itu maka di sini dapat dikatakan terjadi tindak perlokusi.

3.2 TT Representatif, Direktif, Ekspresif, Komisif, dan Deklaratif
Searle (1975) mengembangkan teori TT dan membaginya menjadi lima jenis TT (dalam Ibrahim, 1993: 11-54). Kelima TT itu sebagai berikut:
  1. TT representatif yaitu TT yang mengikat P-nya kepada kebenaran atas apa yang dikatakannya, misalnya menyatakan, melaporkan, menunjukkan, dan menyebutkan. 
  2. TT direktif yaitu TT yang dilakukan P-nya dengan maksud agar si pendengar atau MT melakukan tindakan yang disebutkan di dalam ujaran itu, misalnya menyuruh, memohon, menuntut, menyarankan, dan menantang.
  3. TT ekspresif ialah TT yang dilakukan dengan maksud agar ujarannya diartikan sebagai evaluasi mengenai hal yang disebutkan di dalam ujaran itu, misalnya memuji, mengucapkan terima kasih, mengritik, dan mengeluh.
  4. TT komisif adalah TT yang mengikat P-nya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam ujarannya, misalnya berjanji dan bersumpah.
  5. TT deklaratif merupakan TT yang dilakukan P dengan maksud untuk menciptakan hal (status, keadaan, dan sebagainya) yang baru, misalnya memutuskan, membatalkan, melarang, mengizinkan, dan memberi maaf.

Pada bagian terdahulu telah disinggung bahwa di dalam komunikasi satu fungsi dapat dinyatakan atau diutarakan melalui berbagai bentuk ujaran. Untuk maksud atau fungsi “menyuruh”, misalnya, menurut Blum-Kulka (1987) (lihat Gunarwan, 1993: 8) dapat diungkapkan dengan menggunakan berbagai ujaran sebagai berikut.

(1) Kalimat bermodus imperatif : Pindhahen meja iki!
(2) Performatif eksplisit : Dakjaluk sliramu mindhahke meja iki!
(3) Performatif berpagar : Aku jan-jane arep njaluk tulung sliramu mindhahke meja iki.
(4) Pernyataan keharusan : Sliramu kudu mindhahke meja iki!
(5) Pernyataan keinginan : Aku kepengin meja iki dipindhah.
(6) Rumusan saran : Piye yen meja iki dipindhah?
(7) Persiapan pertanyaan : Kowe bisa mindhah meja iki?
(8) Isyarat kuat : Yen meja iki ana ing kene, kamar iki katon rupek.
(9) Isyarat halus : Kamar iki kok katone sesak ngono ya?

3.3 TT Langsung vs TT Tidak Langsung
Dari sembilan bentuk ujaran tersebut diperoleh sembilan TT yang berbeda-beda derajat kelangsungannya dalam menyampaikan maksud ‘menyuruh memindahkan meja’ itu. Hal ini berkaitan dengan tindak tutur langsung (TT-L) dan tindak tutur tidak langsung (TT-TL).
 Derajat kelangsungan TT dapat diukur berdasarkan “jarak tempuh” antara titik ilokusi ( di benak P) ke titik tujuan ilokusi (di benak MT). Derajat kelangsungan dapat pula diukur berdasarkan kejelasan pragmatisnya: makin jelas maksud ujaran makin langsunglah ujaran itu, dan sebaliknya. Dari kesembilan bentuk ujaran tersebut, yang paling samar-samar maksudnya ialah bentuk ujaran (9), berupa isyarat halus. Karena kata “meja” sama sekali tidak disebutkan oleh P dalam ujaran (9), maka MT harus mencari-cari konteks yang relevan untuk dapat menangkap maksud P.

Selain TT-L dan TT-TL, P dapat juga menggunakan tindak tutur harafiah (TT-H) atau tindak tutur tidak harafiah (TT-TH) di dalam mengutarakan maksudnya. Jika kedua hal itu, kelangsungan dan keharafiahan ujaran, digabungkan maka akan didapatkan empat macam ujaran, yaitu:
  1. TT-LH : “Buka mulut”, misalnya diucapkan oleh dokter gigi kepada pasiennya. 
  2. TT-LTH : “Tutup mulut”, misalnya diucapkan oleh seseorang yang jengkel kepada MT-nya yang selalu “cerewet”.
  3. TT-TLH : “Bagaimana kalau mulutnya dibuka?”, misalnya diucapkan oleh dokter gigi kepada pasien yang masih kecil agar anak itu tidak takut.
  4. TT-TLTH : “Untuk menjaga rahasia, lebih baik jika kita semua sepakat menutup mulut kita masing-masing”, misalnya diucapkan oleh P yang mengajak MT-nya untuk tidak membuka rahasia.

Dengan demikian, secara ringkas, berdasarkan uraian dan contoh-contoh di atas dapat dicatat ada delapan TT sebagai berikut (bandingkan Wijana, 1996: 36).
  1. Tindak tutur langsung (TT-L) 
  2. Tindak tutur tidak langsung (TT-TL)
  3. Tindak tutur harafiah (TT-H)
  4. Tindak tutur tidak harafiah (TT-TH)
  5. Tindak tutur langsung harafiah (TT-LH)
  6. Tindak tutur tidak langsung harafiah (TT-TLH)
  7. Tindak tutur langsung tidak harafiah (TT-LTH)
(8) Tindak tutur tidak langsung tidak harafiah (TT-TLTH)

4. IMPLIKATUR
Sebuah ujaran dapat mengimplikasikan proposisi, yang sebenarnya bukan merupakan bagian dari ujaran tersebut dan bukan pula merupakan konsekuensi logis dari ujaran itu. Grice menamakan proposisi itu implikatur, sedangkan Gumpers menyebutnya inferensi (periksa Lubis, 1993: 75). Agar lebih jelas perhatikan tuturan berikut.

A : Piye makalahe Dr. X ?
B : Wah, bahasa Indonesiane apik banget.

Jawaban B tersebut mengimplikasikan bahwa makalah Dr. X dari segi isi mungkin tidak baik, yang baik hanyalah bahasanya.

Ada tiga hal yang perlu diperhatikan pada cotoh implikatur tersebut: (1) implikatur bahwa makalah Dr. X tidak baik itu bukanlah bagian dari tuturan B sebab ia tidak menuturkan hal yang demikian, (2) implikatur tersebut bukanlah konsekuensi logis dari tuturan B itu, (3) sangat mungkin sebuah tuturan mempunyai lebih dari satu implikatur, hal ini bergantung pada konteksnya. Dari jawaban B itu dapat pula ditarik inferensi bahwa makalah Dr. X berbeda dengan makalah-makalah lainnya, yang bahasa Indonesianya jelek. Jadi, jawaban B juga mengimplikasikan bahwa makalah-makalah yang disajikan dalam sebuah seminar itu bahasa Indonesianya tidak sebaik makalah Dr. X.

Hampir setiap tuturan mempunyai makna atau informasi tambahan yang tidak diujarkan oleh P-nya. Walaupun tidak diujarkan oleh P-nya, makna ekstra itu dapat ditangkap oleh pendengar atau MT sejauh ia memiliki kompetensi komunikatif dalam bahasa yang bersangkutan. Anda pun dapat menangkap berbagai makna ekstra atau implikatur dari tuturan-tuturan B, C, dan D berikut.

(1) 
A : E, Rony rene lho!
B : Rokoke dhelikna!

(2) 
A : E, Rony rene lho!
C : Aku tak mulih dhisik.

(3) 
A : E, Rony rene lho!
D : Bukune beresana!

5. PRINSIP KERJA SAMA DALAM KOMUNIKASI
Di dalam berkomunikasi, antara P dengan MT harus saling menjaga prinsip kerja sama (cooperative principle) agar proses komunikasi berjalan dengan lancar. Tanpa adanya prinsip kerja sama komunikasi akan terganggu. Prinsip kerja sama ini terealisasi dalam berbagai kaidah percakapan. Secara lebih rinci, Grice menjabarkan prinsip kerja sama itu menjadi empat maksim percakapan (periksa Gunarwan, 1993: 11; Lubis, 1993: 73; dan bandingkan pula Wijana, 1996: 46-53). Keempat maksim percakapan itu ialah sebagai berikut.

(1) Maksim kuantitas:
a. Berikan informasi Anda secukupnya atau sejumlah yang diperlukan oleh MT.
b. Bicaralah seperlunya saja, jangan mengatakan sesuatu yang tidak perlu.

(2) Maksim kualitas:
a. Katakanlah hal yang sebenarnya.
b. Jangan katakan sesuatu yang Anda tahu bahwa sesuatu itu tidak benar.
c. Jangan katakan sesuatu tanpa bukti yang cukup.

(3) Maksim relevansi:
a. Katakan yang relevan.
b. Bicaralah sesuai dengan permasalahan.

(4) Maksim cara:
a. Katakan dengan jelas.
b. Hindari kekaburanan ujaran.
c. Hindari ketaksaan.
d. Bicaralah secara singkat, tidak bertele-tele.
e. Berkatalah secara sistematis.

Kenyataan membuktikan, di dalam percakapan sehari-hari tidak jarang kita temukan praktik-praktik pelanggaran terhadap maksim-maksim Grice tersebut. Akan tetapi, bagi pengamat pragmatik, justeru pelanggaran-pelanggaran itulah yang menarik untuk dikaji: mengapa P melakukan pelanggaran terhadap maksim tertentu, ada maksud apa di balik pelanggaran maksim tersebut? Misalnya, mengapa P yang bermaksud meminjam uang atau memerlukan bantuan kepada MT biasanya diawali dengan menceritakan secara panjang lebar keadaan dirinya seraya disertai dengan janji-janji? Apakah itu berlaku secara universal? Bukankah tindakan tersebut melanggar maksim kuantitas?
Pada hemat saya, di antara empat maksim itu, maksim ketiga atau maksim relevansilah yang paling penting sebab betapa pun informasi yang kita sampaikan itu cukup serta disampaikan dengan cara yang jelas, sistematis, dan tidak ambigu, kalau informasi itu tidak relevan dengan permasalahan toh tidak akan membawa manfaat. Sejauh mana asumsi ini benar juga masih memerlukan pengkajian secara pragmatis.

6. SOPAN-SANTUN BERBAHASA
Untuk menjalin hubungan yang “mesra” dan demi “keselamatan” dalam berkomunikasi kita perlu mempertimbangkan segi sopan-santun berbahasa. Sopan-santun dalam berkomunikasi dapat dipandang sebagai usaha untuk menghindari konflik antara P dengan MT. Dalam hal ini, kesopansantunan merupakan (1) hasil pelaksanaan kaidah, yaitu kaidah sosial, dan (2) hasil pemilihan strategi komunikasi.

Dalam berkomunikasi terdapat dua kaidah kompetensi pragmatik yang sangat penting, yakni “buatlah perkataan Anda jelas” (make yourself clear), dan “bersopan-santunlah” (be polite). Dalam hubungannya dengan kesopansantunan, R. Lakoff mengusulkan tiga kaidah sopan-santun (seperti dituturkan oleh Gunarwan, 1993: 8; dan Ibrahim, 1993: 320) sebagai berikut.
  1. Formalitas, artinya jangan menyela, tetaplah bersabar, dan jangan memaksa. 
  2. Kebebasan pilihan (keluwesan), artinya buatlah sedemikian rupa sehingga MT Anda dapat menentukan pilihan dari berbagai tindakan.
  3. Kesekawanan (kesederajatan), artinya bertindaklah seolah-olah antara Anda dengan MT Anda sama atau sederajat, dan buatlah agar MT Anda merasa enak/senang.
Dengan demikian, sebuah ujaran akan dinilai santun apabila P tidak terkesan memaksa, ujaran itu memberikan alternatif pilihan tindakan kepada MT, dan MT merasa senang. Dalam hal ini, berbagai bentuk strategi komunikasi dapat kita tempuh agar ujaran kita bernilai sopan-santun tinggi. Bandingkanlah ujaran-ujaran berikut ini, dan mengapa ujaran yang satu terasa lebih santun daripada yang lain.

(1) 
a. Panjenengan pundhutaken tas menika!
b. Nuwun sewu, panjenengan pundhutaken tas kula menika.
c. Menapa kula saged nyuwun tulung, panjenengan pundhutaken tas kula menika.

(2) 
a. Dilarang merokok!
b. Dilarang merokok di dalam ruangan ini.
c. Tidak dibenarkan merokok di dalam ruangan ber-AC.

Di samping tiga kaidah sopan-santun yang diusulkan Lakoff tersebut, Leech (1983: 123; 1993: 194-195) mengemukakan adanya tiga skala yang perlu dipertimbangkan untuk menilai derajat kesopansantunan suatu ujaran, yaitu yang disebut “skala pragmatik”. Ketiga skala pragmatik itu adalah (1) skala biaya-keuntungan (cost and benefit), (2) skala keopsionalan, dan (3) skala ketaklangsungan. Penerapan skala pragmatik dalam bahasa Jawa serta kaitannya dengan derajat kesopansantunan ujaran dapat diamati pada contoh berikut.

Skala pertama, skala biaya-keuntungan atau skala untung-rugi digunakan untuk menghitung biaya yang diperlukan dan keuntungan yang diperoleh MT untuk melakukan tindakan sebagai akibat dari daya ilokusi TT direktif yang diperintahkan oleh P. Agar lebih jelas perhatikan ujaran-ujaran direktif berikut ini. Makin ke bawah ujaran ini dinilai makin santun sebab makin sedikit biaya yang diperlukan untuk melakukan tindakan tersebut dan makin banyak keuntungan yang diperoleh oleh MT.

(1) Kurasna kolahku!
(2) Oncekna pelem iki!
(3) Jupukna koran neng meja kae!
(4) Ngasoa!
(5) Rungokna lagu pop Jawa kesenanganmu iki!
(6) Ombenen kopimu mumpung isih panas!

Dari keenam tuturan di atas tampak bahwa untuk ‘membersihkan bak mandi’ (tuturan (1)) diperlukan biaya/tenaga lebih banyak bagi MT dalam melakukan tindakan tersebut, dan sebaliknya sangat sedikit keuntungan yang diperolehnya sehingga tuturan itu bernilai kurang santun. Sementara itu, untuk ‘minum kopi’ (tuturan (6)) MT hanya memerlukan biaya sangat sedikit dengan keuntungan yang sangat besar, sehingga tuturan (6) dinilai oleh MT lebih santun daripada tuturan (1).

Skala kedua, skala keopsionalan digunakan untuk menghitung berapa banyak pilihan yang diberikan oleh P kepada MT untuk melaksanakan tindakan. Perhatikan ujaran-ujaran berikut, makin banyak jumlah pilihan makin santun tindak ujaran tersebut.

(1) Pindhahen kursi iki!
(2) Yen kowe, longgar pindhahen kursi iki!
(3) Yen kowe longgar lan ora kesel, pindhahen kursi iki!
(4) Yen kowe longgar lan ora kesel, pindhahen kursi iki, kuwi yen kowe gelem lho!
(5) Yen kowe longgar lan ora kesel, pindhahen kursi iki, kuwi yen kowe gelem tur ora kabotan lho!

Berdasarkan banyak sedikitnya pilihan, MT dapat menilai suatu tuturan kurang santun atau lebih santun. Dengan demikian tuturan (2) dinilai lebih santun daripada tuturan (1), tuturan (3) lebih santun daripada tuturan (2), tuturan (4) lebih santun daripada tuturan (3), dan tuturan (5) dinilai paling santun dibandingkan dengan empat tuturan lainnya. Tuturan (1) dinilai paling tidak santun dari semua tuturan yang ada sebab P tidak memberikan pilihan apa pun kepada MT-nya, kecuali hanya ‘menyuruh agar MT memindahkan kursi itu’. Sebaliknya, tuturan (5) dinilai paling santun sebab P memberikan empat pilihan kepada MT untuk ‘memindahkan kursi itu’, yaitu bila MT longgar (ada waktu), ora kesel ‘tidak payah/capek’, gelem ‘mau, sanggup’, dan ora kabotan ‘tidak keberatan’. Jadi, dalam hal ini derajat kesopansantunan TT direktif tersebut ditentukan oleh skala pragmatik keopsionalannya.

Skala ketiga, yaitu skala ketaklangsungan TT, yakni seberapa panjang jarak yang “ditempuh” oleh daya ujaran itu untuk sampai pada tujuan ujaran. Dalam hal ini, semakin langsung TT itu maka dipandang semakin kurang santun, dan sebaliknya, semakin tidak langsung TT itu semakin santun. Marilah kita perhatikan contoh-contoh ujaran berikut.
 
(1) Wiyaken wewadi kuwi!
(2) Aku pengin sliramu miyak wewadi kuwi.
(3) Apa sliramu gelem miyak wewadi kuwi?
(4) Kepiye yen wewadi kuwi kokwiyak?
(5) Apa sajake sliramu kabotan miyak wewadi kuwi?
(6) Kahanan negara iki ora bakal tentrem ta wewadi kuwi ora enggal kawiyak.

Di sini, tuturan (1) adalah tuturan yang bermodus paling langsung dan, karena itu, dianggap paling kurang santun menurut MT. Sebaliknya, tuturan-tuturan yang lain, (2-6), yang lebih tidak langsung akan terasa lebih santun.

7. SIMPULAN
Berdasarkan uraian singkat dan contoh-contoh yang dipaparkan pada bagian terdahulu dapat dikemukakan beberapa pertimbangan sebagai pegangan ke arah pemahaman dan kajian pragmatik sebagai berikut.
  1. Tindak tutur (speech act) mempunyai kedudukan yang amat penting dalam bidang pragmatik sebab TT inilah yang menjadi objek kajian pragmatik dengan berbagai konteks dan implikaturnya. Setiap jenis TT, bahkan subjenis TT pun, dapat diangkat menjadi topik yang menarik dalam penelitian-penelitian pragmatik mendatang. 
  2. Prinsip kerja sama Grice yang dijabarkan ke dalam maksim-maksim itu tidak selalu dipatuhi P dan MT, terbukti antara lain dengan adanya TT-TL. Mengamati faktor-faktor penyebab terjadinya pelanggaran maksim kuantitas, kualitas, relevansi, atau cara, merupakan daya tarik tersendiri dalam penelitian pragmatik.
  3. Pemilihan TT-TL adalah sebagai akibat pengambilan strategi komunikasi untuk menjaga muka, atau karena untuk memenuhi tuntutan terhadap kaidah sosial berbahasa.
  4. Kesopansantunan ujaran sangat bergantung kepada penafsiran MT. Artinya, ujaran yang dianggap santun oleh P belum tentu santun pula bagi MT. Akan tetapi, dengan memperhatikan kaidah-kaidah sosial dan memilih strategi komunikasi yang tepat serta mempertimbangkan ketiga skala pragmatik Leech dapat membantu memilih ujaran-ujaran mana yang nilai kesopansantunannya lebih tinggi bagi MT.



DAFTAR ACUAN

Austin, J.L. 1962. How to do Things with Words. Cambridge: Harvard University Press.

Gunarwan, Asim. 1993. “Kesantunan Negatif di Kalangan Dwibahasawan Indonesia-Jawa di Jakarta: Kajian Sosiopragmatik”. Makalah PELLBA VII, Unika Atma Jaya, Jakarta, 26-27 Oktober 1993.

______. 1993. “Pragmatik: Pandangan Mata Burung”. Bahan Penataran Linguistik I, Unika Atma Jaya, Jakarta, 4-17 November 1993.

Ibrahim, Abd. Syukur. 1993. Kajian Tindak Tutur. Surabaya: Penerbit Usaha Nasional.

Kaswanti Purwo, Bambang. 1990. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa: Menyibak Kurikulum 1984. Yogyakarta: Kanisius.

Leech, Geoffrey. 1983. The Principles of Pragmatics. New York: Longman Group Limited.

______. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. (terjemahan M.D.D. Oka). Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Levinson, Stephen C. 1987. Pragmatics. (cetakan kedua). Cambridge: Cambridge University Press.

Lubis, A. Hamid Hasan. 1993. Analisis Wacana Pragmatik. Bandung: Penerbit Angkasa.

Sumarlam. 1995. “Skala Pragmatik dan Derajat Kesopansantunan dalam Tindak Tutur Direktif”. Dalam Komunikasi Ilmiah Linguistik dan Sastra (KLITIKA). No. 2 Th. II, Agustus 1995. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, FKIP Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo.

Wijana, I. Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Penerbit Andi.


*Oleh: Sumarlam
Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret

2 comments: