BAB I
Sejarah Perkembangan Teori Sastra
Teori berasal dari kata theoria (bahasa Latin). Secara etimologi teori berarti kontemplasi terhadap kosmos dan realitas. Teori juga diartikan perangkat pengertian, konsep, proposisi yang mempunyai korelasi, dan telah teruji kebenarannya.
Menurut Fokkema dan Kunne-Ibsch (1977: 175), penelitan terhadap karya sastra pada umumnya memanfaatkan teori-teori yang sudah ada. Diduga bahwa kecenderungan ini didasarkan atas beberapa kenyataan, sebagai berikut:
- Teori-teori yang sudah ada dengan sendirinya sudah teruji, yaitu melalui kritik sepanjang sejarahnya.
- Teori dianggap sebagai unsur yang sangat penting, lebih dari semata-mata alat.
- Belum terciptanya sikap-sikap percaya diri atas hasil-hasil penemuan sendiri, khususnya dalam bidang teori.
Secara genesis dengan demikian dalam proses penelitian teori diperoleh dengan dua cara, sebagai berikut:
- Penelitian memanfaatkan teori terdahulu, pada umumnya disebut sebagai teori formal, dengan pertimbangan bahwa teori tersebut secara formal sudah ada sebelumnya. Teori formal seolah-olah bersifat deduksi dan apriori.
- Penelitian memanfaatkan teori yang ditemukannya sendiri,teori yang diperoleh melalui manfaat, hakikat, dan abstraksi data yang diteliti, yang pada umumnya disebut teori substantive sebab diperoleh melalui substansi data.
Kedua jenis teori masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya. Dari segi penelitian, teori formal seolah-olah merupakan teori yang siap pakai, sehingga dalam penelitian para peneliti hanya menerapkan. Kekurangannya adalah tidak adanya aktivitas untuk menemukan teori yang baru, sehingga terjadi stagnasi dalam bidang teori. Kelemahan teori formal ini terpenuhi oleh usaha penelitian yang mencoba menemukan teori substantive.
Pemanfaatan teori formal, menurut Vredenbreghat, memiliki kelebihan dalam kaitannya dengan usaha penelitian, sepanjang sejarahnya, untuk secara terus-menerus memperbaharui sekaligus mengujinya,melalui data yang berbeda-beda, sehingga teori makin lama makin sempurna. Dalam hubungan inilah disebutkan bahwa suatu teori tidak disajikan secara definitive, melainkan secara tentative.
Teori jelas merupakan klimaks dalam suatu penjelajahn keilmuan. Penemuan terhadap teori-teori beru dianggap sebagai kualitas akademis yang dapat dijadikan sebagi tolok ukur kemajuan ilmu pengetahun. Meskipun demikian, teori bukan merupakan tujuan utama. Teori adalah “alat” yang melaluinya suatu penelitian dapat dilakkukan secara lebih maksimal.
Teori jelas merupakan klimaks dalam suatu penjelajahn keilmuan. Penemuan terhadap teori-teori beru dianggap sebagai kualitas akademis yang dapat dijadikan sebagi tolok ukur kemajuan ilmu pengetahun. Meskipun demikian, teori bukan merupakan tujuan utama. Teori adalah “alat” yang melaluinya suatu penelitian dapat dilakkukan secara lebih maksimal.
Tujuan pokok teori tetap pemahaman terhadap objek. Oleh karena itulah, apabila terjadi ketidakseimbangan di antara teori dengan objek, maka yang dimodifikasi adalah teori, bukan objek. Dalam hubungan inilah dapat dikemukakan bahwa sebuah teori disebut baik apabila memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
- Mudah disesuaikan dengan ciri-ciri karya yang akan dianlisis.
- Mudah disesuaikan dengan metode dan teori yang menyertainya.
- Dapat dimanfaatkan untuk menganalisis baik ilmu yang sejenis maupun berbeda.
- Memiliki formula-formula yang sederhana, tetapi mengimplikasikan jaringan analisis yang kompleks.
- Memiliki prediksi yang dapat menjangkau objek jauh ke masa depan.
Teori dan metode berfungsi untuk membantu menjelaskan hubungan dua gejala atau lebih, sekaligus meramalkan model hubungan yang terjadi. Fungsi lain dari teori dan metode adalah kemampuannya untuk memotivasi, mengevokosi, sekaligus memodifikasi pikiran-pikiran peneliti. Sebagai alat teori berfungsi untuk mengarahkan suatu penelitian, sedangkan analisis secara langsung dilakukan melalui instrument yang lebih kongkret, yaitu metode dan teknik. Teori sastra dalam hal ini diterjemahkan sebagai seperangkat konsep yang saling berkaitan secara ilmiah, yang disajikan secara sistematis, yang berfungsi untuk menjelaskan sejumlah gejala sastra.
Apabila teori sastra memberikan intensitas pada konsep, prinsip, dan kategori (Wellek dan Werren, 1962: 38-40), kritik sastra memberikan intensitas pada penilaian, sedangkan sejarah sastra pada proses perkembangannya. Sebagai alat, tujuan utama teori, dengan metode dan tekniknya, adalah mempermudah pemahaman terhadap objek, sekaligus memberikan keluaran secara maksimal.
Dengan mempertimbangkan karya sastra merupakan bagian integral kebudayaan, penerapan teori dilakukan melalui dua tahapan, pertama, teori dalam kaitannya dengan sastra sebagai produk sosial tertentu, kedua, teori dalam kaitannya dengan karya sastra sebagai hakikat imajinasi dan kreativitas. Model pertama sama dengan penelitian ilmu humaniora dan ilmu sosial yang lain, artinya, karya sastra dianggap sebagai produk sosial, karya sosial sebagai fakta sosial, yang dengan sendirinya dipecahkan atas dasar kenyataan yang sesungguhnya.
Perbedaan objek, dalam hubungan ini sebagai sastra lama dan sastra modern, tidak berpengaruh terhadap teori dan metode penelitian. Artinya, baik sastra lama maupun sastra modern dapat diteliti dengan menggunakan metode yang sama. Teori structural, semiotika, dan resepsi, termasuk postrukturalisme, dapat digunakan untuk menganalisis baik sastra lama maupun sastra modern.
Dengan mempertimbangkan karya sastra merupakan bagian integral kebudayaan, penerapan teori dilakukan melalui dua tahapan, pertama, teori dalam kaitannya dengan sastra sebagai produk sosial tertentu, kedua, teori dalam kaitannya dengan karya sastra sebagai hakikat imajinasi dan kreativitas. Model pertama sama dengan penelitian ilmu humaniora dan ilmu sosial yang lain, artinya, karya sastra dianggap sebagai produk sosial, karya sosial sebagai fakta sosial, yang dengan sendirinya dipecahkan atas dasar kenyataan yang sesungguhnya.
Perbedaan objek, dalam hubungan ini sebagai sastra lama dan sastra modern, tidak berpengaruh terhadap teori dan metode penelitian. Artinya, baik sastra lama maupun sastra modern dapat diteliti dengan menggunakan metode yang sama. Teori structural, semiotika, dan resepsi, termasuk postrukturalisme, dapat digunakan untuk menganalisis baik sastra lama maupun sastra modern.
Dalam hal ini, berbeda dengan objek, aspek kebaruan dalam teori dan metode merupakan syarat pokok. Dengan kalimat ini, kualitas teori dan metode justru terletak dalam aspek kebaruannya, kemutakhirannya. Teori yang lama dengan sendirinya harus ditinggalkan, digantikan dengan teori yang terakhirlah yang dianggap paling relevan. Intensitas terhadap kebaruan teori disebabkan oleh hal-hal berikut ini:
- Teori dan metode adalah alat dan cara penelitian.
- Teori dan metode adalah hasil penemuan.
- Teori dan metode adalah ilmu pengetahuan.
Pesatnya perkembangan teori sastra selama satu abad sejak awal abad ke-20 hingga awal abad ke-21 dipicu oleh beberapa indicator, sebagai berikut: data, menganalisis data, dan menyajikan hasil penelitian.
- Medium utama sastra adalah bahasa, sedangkan dalam bahasa itu sendiri sudah terkandung problematika yang sangat luas.
- Sastra memasukkan berbagai dimensi kebudayaan, sedangkan dalam kebudayaan itu sendiri juga sudah terkandung permasalahan yang sangat beragam.
- Teori-teori utama dalam sastra sudah berkembang sejak zaman Plato dan Aristoteles, yang dengan sendirinya telah dimatangkan dalam berbagai disiplin, khususnya filsafat.
- Kesulitan dalam memahami gejala sastra memicu para ilmuwan untuk menemukan berbagai cara, berbagai teori-teori yang baru.
- Ragam sastra sangat banyak dan berkembang secara dinamis, kondisi-kondisi sastra yang juga memerlukan cara pemahaman yang berbeda-beda.
Dalam ilmu sastra, yang dimaksudkan dengan penelitian adalah kegiatan untuk mengumpulkan elitian dalam ilmu sosial dan ilmu humaniora yang lain, penelitian ilmu sastra merupakan usaha kongkret, dilakukan dengan sengaja, sistematis, dengan sendirinya menggunakan teori dan metode secara formal. Tujuannya adalah menemukan prinsip-prinsip baru yang belum ditemukan oleh orang lain. Dikaitkan dengan tujuannya, lokasi penelitian ada dua macam, yaitu penelitian lapangan dan penelitian perpustakaan.
Penelitian lapangan dilakukan dalam kaitannya dengan objek penelitian yang memanfaatkan kejadian langsung. Seperti penerbitan, pembacaan, penggunaan, dll. Penelitian perpustakaan dilakukan dalam kaitannya dengan objek dalam bentuk karya tertantu. Artinya, objek tersebtu dianggap sah, sudah cukup diri untuk mewakili keseluruahan data yang diperlukan. Dalam bidang ilmu sastra, sebuah novel, dan lain-lain.
Dalam hal ini, penelitian sastra mempertimbangkan ciri-ciri sebagai berikut:
Dalam hal ini, penelitian sastra mempertimbangkan ciri-ciri sebagai berikut:
- Hipotesis dan asumsi tidak diperlukan sebab analisis bersifat deskripsi, bukan generalisasiGejala sastra tidak berulang, makna tidak tetap yang justru merupakan hakikat.
- Populasi dan sampel tidak mutlak diperlukan, kecuali dalam penelitian tertentu, misalnya, penelitian yang melibatkan sejumlah karya, atau sejumlah konsumen.
- Kerangka penelitian tidak bersifat tertutup, korpus data bersifat terbuka, deskripsi dan pemahaman berkembang terus.
- Tidak diperlukan objektivitas dalam pengertian yang umum sebab penelitia terlibat secara terus-menerus, objektivitas terjadi pada saat penelitian dilakukan.
- Objek yang sesungguhnya bukanlah bahasa, tetapi wacana, teks, sebab sebagai hakikat diskusif bahasa sudah terikat dengan system model kedua dengan berbagai system komunikasinya.
Referensi:
Ratna, Nyoman Kutha. 2008.Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
No comments:
Post a Comment