BAB VIII
Stilistika dan Semantik dalam Kajian Sastra
Stilistika dan Semantik dalam Kajian Sastra
Karya sastra merupakan salah satu bentuk idiosyncratic yakni tebaran kata yang digunakan merupakan hasil pengolahan dan ekspresi individual pengarangnya (Lyons, 1979: 108).
Karya sastra juga telah kehilangan identitas sumber tuturan, kepastian referen yang diacu, konteks tuturan yang secara pasti menunjang pesan yang ingin direpresentasikan, dan keterbatasan tulisan itu sendiri dalam mewakili bunyi ujaran (Aminuddin, 2001: 25). Kode bahasa dalam sastra memiliki dua lapis, yakni lapis bunyi (bentuk) dan lapis makna.
Lapis makna dapat dibagi menjadi beberapa stratum, yakni unit makna literal yang secara tersurat direpresentasikan bentuk kebahasaan yang digunakan, dunia rekaan pngarang, dunia yang dipandang dari titik pandang tertentu, dan lapis dunia atau pesan yang bersifat metafisis (Aminuddin, 2001: 25).
Menghadapi realitas akan kompleksitas makna dalam karya sastra, pembaca yang ingin memahami karya sastra secara sungguh-sungguh dan benar tentunya juga harus memahami ilmu tentang makna (semantik). Peran semantik yang sangat penting dalam kajian sastra terutama pada telaah makna dalam gaya bahasa (style) dan latar proses kehadirannya (Amminuddin, 2001: 25). Bollinger menyatakan bahwa teori semantik harus dipertimbangkan dalam proses invensi metaforis (Ching dkk, 1981: 44).
Hal ini sejalan dengan pandangan Saussure yang mengintroduksi istilah signifient yakni gambaran bunyi abstrak dalam kesadaran, dan signifier yakni gambaran luar dalam abstrak kesadaran yang diacu oleh signifient (Labov dan Weinrich, 1980: 4). Untuk sampai ketahap komunikasi, unsur signfient harus memiliki wujud yang konkret, memiliki relasi dan kombinasi sesuai dengan sistem yang melandasinya.
Makna dalam pengertian yang luas yakni semua yang dikomunikasikan melalui bahasa, menurut Leech (2003: 12-26) dapat diklasifikasikan menjadi tujuh macam. Pertama, makna konseptual merupakan makna murni, asli sesuai dengan isinya misalnya: woman: + human, male, + adul: (manusia dewasa dan berjenis kelamin perempuan). Kedua, makna konotatif merupakan makna komunikatif dari suatu ungkapan menurut apa yang akan diacu melebihi dari dan atas isinya yang murni konseptual.
Menghadapi realitas akan kompleksitas makna dalam karya sastra, pembaca yang ingin memahami karya sastra secara sungguh-sungguh dan benar tentunya juga harus memahami ilmu tentang makna (semantik). Peran semantik yang sangat penting dalam kajian sastra terutama pada telaah makna dalam gaya bahasa (style) dan latar proses kehadirannya (Amminuddin, 2001: 25). Bollinger menyatakan bahwa teori semantik harus dipertimbangkan dalam proses invensi metaforis (Ching dkk, 1981: 44).
Hal ini sejalan dengan pandangan Saussure yang mengintroduksi istilah signifient yakni gambaran bunyi abstrak dalam kesadaran, dan signifier yakni gambaran luar dalam abstrak kesadaran yang diacu oleh signifient (Labov dan Weinrich, 1980: 4). Untuk sampai ketahap komunikasi, unsur signfient harus memiliki wujud yang konkret, memiliki relasi dan kombinasi sesuai dengan sistem yang melandasinya.
Makna dalam pengertian yang luas yakni semua yang dikomunikasikan melalui bahasa, menurut Leech (2003: 12-26) dapat diklasifikasikan menjadi tujuh macam. Pertama, makna konseptual merupakan makna murni, asli sesuai dengan isinya misalnya: woman: + human, male, + adul: (manusia dewasa dan berjenis kelamin perempuan). Kedua, makna konotatif merupakan makna komunikatif dari suatu ungkapan menurut apa yang akan diacu melebihi dari dan atas isinya yang murni konseptual.
Misalnya kata penanda tajam dalam kalimat: “Penanya tajam sekali”. Pena dalam kalimat tersebut berarti “tulisan” sedangkan bagus berarti bagus atau sarat dengan kritik. Ketiga, makna stilistik yakni makna sebuah kata yang menunjukkan lingkungan sosial penggunaannya dan berhubungan dengan situasi terjadinya ucapan itu.
Missal: “Ketiganya kemudian sibuk mengupasi bagiannya dengan gigi masing-masing, dan langsung mengunyahnya. Asinnya tanah. Sangaknya kencing sendiri.” Kata sangaknya tidak dapat diganti dengan kata lain, misalnya, “Bau tak sedap”, sebab kata tersebut memiliki arti khas yang mengandunng setting budaya masyarakat pemakainya.
Keempat, makna afektif yakni makna yang memiliki kandungan konseptual dari kata-kata yang dipergunakan, yang mencerminkan perasaan dan sikap pribadi si penutur terhadap mitra bicaranya. Misal: ketika seorang ditegur dengan kata-kata “Anda adalah bajingan tengik yang selama ini diburu polisi!”, maka dia akan tahu bagaimana perasaan si penutur kepadanya.
Keempat, makna afektif yakni makna yang memiliki kandungan konseptual dari kata-kata yang dipergunakan, yang mencerminkan perasaan dan sikap pribadi si penutur terhadap mitra bicaranya. Misal: ketika seorang ditegur dengan kata-kata “Anda adalah bajingan tengik yang selama ini diburu polisi!”, maka dia akan tahu bagaimana perasaan si penutur kepadanya.
Kelima, makna refleksi adalah makna yang timbul dalam hal makna konseptual ganda, jika suatu pengertian kata membentuk sebagian dari respon kita terhadap pengertian lain. Jika di dalam gereja kita mendengar ungkapan sinonim Yang Mahakuasa dan Sang Pengasih, maka keduanya menunjuk Tuhan. Makna refleksi menghendaki kepekaan yang tinggi karena arti kata satu tampaknya “menghapus” arti kata yang lain.
Keenam, makna kolokatif adalah makna yang timbul dari asosiai-asosiasi yang diperoleh suatu kata yang muncul di dalam lingkungannya. Misal: kata pretty dan handsome memiliki dasar yang sama dalam arti sedap dipandang. Tetapi keduanya dapat dibedakan menurut beberapa kata benda yang menyertainya. Makna reflektif dan makna kolokatif, makna afektif dan makna stilistik, kesemuanya lebih merupakan makna konotatif dan memiliki karakter terbuka, tanpa batas dan memungkinkan dilakukan.
Referensi:
Al-Ma’ruf, Ali Imron. 2009. Stilistika: Teori, Metode, dan Aplikasi Pengkajian Estetika Bahasa. Surakarta: Cakra Books Solo
Keenam, makna kolokatif adalah makna yang timbul dari asosiai-asosiasi yang diperoleh suatu kata yang muncul di dalam lingkungannya. Misal: kata pretty dan handsome memiliki dasar yang sama dalam arti sedap dipandang. Tetapi keduanya dapat dibedakan menurut beberapa kata benda yang menyertainya. Makna reflektif dan makna kolokatif, makna afektif dan makna stilistik, kesemuanya lebih merupakan makna konotatif dan memiliki karakter terbuka, tanpa batas dan memungkinkan dilakukan.
Referensi:
Al-Ma’ruf, Ali Imron. 2009. Stilistika: Teori, Metode, dan Aplikasi Pengkajian Estetika Bahasa. Surakarta: Cakra Books Solo
No comments:
Post a Comment