Sunday, March 27, 2011

Masalah dalam Praktik Studi Sastra Bandingan

MASALAH DALAM PRAKTIK STUDI SASTRA BANDINGAN



Maman S. Mahayana

Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) yang anggotanya meliputi sastrawan dari negara-negara di kawasan Asia Tenggara, beberapa waktu yang lalu menyelenggarakan empat kali ceramah sastra bandingan di Pusat Bahasa, Jakarta. Para penceramahnya berasal dari negara-negara anggota. Mereka boleh dibilang merupakan pakar di bidang itu, seperti Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono (Indonesia), Prof. Saleh Jaffar (Malaysia), Dr. Luisa J. Malary-Hall (Filipina), dan Dr. Ampuan Haji Brahim bin Ampuan Haji Tengah (Brunei Darusalam). Lalu, seberapa penting studi sastra bandingan, sehingga Mastera merasa perlu menyelenggarakan serangkaian ceramah itu? Apakah studi sastra bandingan merupakan bidang baru dalam ilmu sastra? Manfaat apa yang dapat kita petik dalam mempelajari bidang itu? Deretan pertanyaan lain yang lebih panjang dapat saja kita ajukan. Dalam konteks itulah, tulisan ini berusaha menjawab beberapa pertanyaan tadi.

I
Sastra bandingan (comparative literature) dalam banyak rumusan atau definisi, umumnya menekankan perbandingan dua karya atau lebih dari sedikitnya dua negara yang berbeda. Jika kita mengamati karya-karya dari berbagai negara dan daerah, maka ternyatalah bahwa rumusan itu akan mengundang banyak masalah. Dalam konteks itulah, perlu kiranya kita mempertanyakan kembali rumusan-rumusan sastra bandingan yang pernah ada.

Sesungguhpun demikian, sebelum memasuki pada pembicaraan yang menyangkut masalah dalam studi sastra bandingan itu sendiri, alangkah baik jika kita memperhatikan dahulu sejumlah rumusan mengenai sastra bandingan. Dari rumusan itu, serta dengan mengungkapkan beberapa kasus, boleh jadi pula kita akan memperoleh rumusan yang lebih pas; atau paling sedikit, kita dapat meninjau sejauh mana rumusan sastra bandingan masih dapat kita pertahankan dan alternatif apa yang perlu kita kedepankan.

Dalam kamus Websters, dikemukakan bahwa sastra bandingan mempelajari hubungan timbal balik karya sastra dari dua atau lebih kebudayaan nasional yang biasanya berlainan bahasa, dan terutama pengaruh karya sastra yang satu terhadap karya sastra lain. Sementara itu, menurut Rene Wellek dan Austin Warren ada tiga pengertian mengenai sastra bandingan. Pertama, penelitian sastra lisan, terutama tema cerita rakyat dan penyebarannya. Kedua, penyelidikan mengenai hubungan antara dua atau lebih karya sastra, yang menjadi bahan dan objek penyelidikannya, di antaranya, soal reputasi dan penetrasi, pengaruh dan kemasyhuran karya besar. Ketiga, penelitian sastra dalam keseluruhan sastra dunia, sastra umum dan sastra universal. Sejalan dengan pendapat Wellek dan Warren, Holman mengungkapkan, bahwa sastra bandingan adalah studi sastra yang memiliki perbedaan bahasa dan asal negara dengan suatu tujuan untuk mengetahui dan menganalisis hubungan dan pengaruhnya antara karya yang satu terhadap karya yang lain, serta ciri-ciri yang dimilikinya.

Hal senada juga dikemukakan Remak yang mengungkapkannya sebagai berikut: “Sastra bandingan adalah studi sastra yang melewati batas-batas suatu negara serta hubungan antara sastra dan bidang pengetahuan dan kepercayaan lain.” Ringkasnya, sastra bandingan adalah perbandingan karya sastra yang satu dengan satu atau beberapa karya sastra lain, serta perbandingan karya sastra dengan ekspresi manusia dalam bidang lain. Lebih lanjut Remak menekankan, bahwa perbandingan antara karya sastra dan bidang di luar sastra hanya dapat diterima sebagai sastra bandingan, jika perbandingan keduanya dilakukan secara sistematis dan bidang di luar sastra itu dapat dipisahkan dan mempunyai pertalian logis.

Atas dasar sejumlah definisi atau pengertian tentang sastra bandingan, Robert J. Clements melihat sastra bandingan sebagai studi yang pendekatannya meliputi aspek: (1) tema/mitos, (2) jenis/bentuk, (3) aliran/zaman, (4) hubungan sastra dengan seni dan bidang lain, dan (5) sastra sebagai gambaran sejarah kritik dan teori sastra.

II
Definisi yang tertulis dalam kamus Websters, jelas hanya memberikan pengertian yang sangat umum. Pertama, kamus itu bukan kamus khusus mengenai kesusastraan. Kedua, kamus itu merupakan kamus umum yang memuat kosa kata dalam bahasa Inggris. Dengan demikian, terlalu riskan jika kita melandasi pengertian sastra bandingan hanya dari sebuah entri yang terdapat dalam kamus umum seperti itu. Sesungguhpun begitu, ternyata rumusan yang umum itu dikemukakan pula oleh Wellek dan Warren dan Remak. Dalam konteks ini, kita masih dapat memperkuat rumusan itu dengan menyinggung sejumlah kasus dalam kesusastraan beberapa negara.

Masalah yang menyangkut dua atau lebih kebudayaan nasional dan pengaruh karya sastra terhadap karya sastra lain, misalnya dalam kesusastraan Indonesia, bukan hal yang baru. Sebutlah kasus Hamka–Manfaluthi dan Chairil Anwar–Archibald Macleish. Sebenarnya, kita masih dapat menyebut kasus serupa yang belum banyak diungkapkan. Novel Angin Musim (1986) karya Mahbub Djunaedi, misalnya, ternyata mempunyai banyak persamaannya dengan novel Natsume Soseki, I’m a Cat (1972). Kedua novel ini menampilkan tokoh kucing yang menceritakan berbagai pengalaman manusia. Lewat tokoh yang lain, sastrawan Malaysia, Hassan Ibrahim dalam Tikus Rahmat (1963) menampilkan tokoh tikus berikut dunia pertikusannya. Dalam hal ini, Tikus Rahmat ternyata mempunyai kesamaan dengan Animal Farm (1945) karya George Orwell.

Untuk kasus-kasus yang disebut terakhir, boleh jadi kita masih dapat memasukkan persoalannya ke dalam wilayah sastra bandingan. Artinya, lewat studi sastra bandingan, kita masih dapat menerima bahwa sangat mungkin Mahbub Djunaedi terpengaruh oleh karya Natsume Soseki. Demikian pula dengan Hassan Ibrahim yang dari berbagai ulasan mengenai Tikus Rahmat, dianggap telah menyerap pengaruh Orwell. Tetapi bagaimana dengan kasus Hamka dan Chairil Anwar yang telah disebutkan tadi, hanya sebatas pengaruh-mempengaruhi yang masih termasuk wilayah sastra bandingan, atau bentuk lain dari saduran? Atau, apa yang oleh Sapardi Djoko Damono disebut sebagai pengkhianatan kreatif?

Persoalannya mungkin menjadi rumit jika ada sastrawan yang secara “main-main” sengaja menyerap pengaruh asing, seperti yang dilakukan Seno Gumira Ajidarma. Sebagai contoh perhatikan dua puisi berikut:
Haiku Jepang DOR!
Katak melompat mayat bertato
Plung! kecemplung kali
Plung!
(Haiku Indonesia–1983)

Apakah yang dilakukan Ajidarma merupakan saduran, pengaruh atau “main-main”? Kemudian jika keduanya diperbandingkan, apakah termasuk wilayah sastra bandingan atau tidak?

Jika soal pengaruh yang menjadi salah satu pengertian dalam studi sastra bandingan, kita dapat mengedepankan beberapa karya yang mempunyai persamaan tematis. Karya Putu Wijaya, Bila Malam Bertambah Malam, misalnya, mungkin sedikit banyak terpengaruh oleh Kebun Tjeri (1904; diindonesiakan, 1972) karya Anton P. Tjechov. Karya-karya Albert Camus atau Jean Paul Sartre jelas telah ikut mewarnai karya-karya Iwan Simatupang. Namun bagaimana dengan karya-karya Gabriel Garcia Marquez, Tumbangnya Seorang Diktator (1975; diindonesiakan, 1992), Frankie Sionil Jose, Sebuah Desa Bernama Po-on (1979; diindonesiakan, 1988), Miguel Asturias, Tuan Presiden (1948; diindonesiakan, 1985) –sekadar menyebut beberapa di antaranya, apakah juga telah mempengaruhi Mochtar Lubis seperti tampak dalam novelnya, Senja di Jakarta. Jika kemudian ternyata bahwa novel-novel itu mempunyai kesamaan tematis, apakah ia berarti ada di antara novel itu yang telah mempengaruhi pengarang lainnya. Masalah yang sama pun dapat kita kedepankan, seperti adanya persamaan bentuk dan tema prosa liris (atau ada pula yang memasukkannya sebagai puisi naratif) Okot p’Bitek, Afrika yang Resah dengan Pengakuan Pariyem (1981) karya Linus Suryadi.

Mengenai sastra bandingan sebagai studi sastra lisan dan penyebarannya, sebagaimana yang dikemukakan Wellek dan Warren, kita dapat mengajukan satu kasus yang pas untuk penelitian itu, yaitu dengan menelusuri cerita binatang Kalilah dan Damina yang di hampir semua negara selalu mempunyai berbagai jenis cerita binatang. Dalam hal ini, cerita-cerita rakyat juga barangkali dapat dimasukkan ke dalam wilayah ini. Sebutlah misalnya, si Pitung (Betawi), Bajing Ireng (Cirebon), dan Robinhood (Eropa). Kemudian kita juga masih dapat menyebut cerita klasik Oedipus (Yunani), Sangkuriang (Sunda), dan Puti Bungsu (Sumatra). Kini, masalahnya adalah mungkinkah cerita-cerita itu merupakan hasil penyebaran? Jika hasil penyebaran, manakah yang lebih dahulu, si Pitung, Bajing Ireng, atau Robinhood; Oedipus, Sangkuriang, atau Puti Bungsu?

Apabila studi sastra bandingan, dapat memasukkan cerita-cerita itu ke dalam rumusan yang dikemukakan Wellek dan Austin Warren, Remak, dan Clements, lalu bagaimana pula dengan bentuk transformasi; apakah studi mengenai itu juga termasuk sastra bandingan. Ambillah contoh, misalnya, Roro Mendut yang klasik kita perbandingkan dengan Roro Mendut (1961) Ajip Rosidi dan Roro Mendut (1983) Y.B. Mangunwijaya. Contoh serupa dapat kita sebut di sini, Hayy Ibn Yaqzan (diindonesiakan sebagai cerbung harian Pelita, 1991) karya Ibn Thufail (1106–1185), Robinson Crusoe (diindonesiakan, 1975) karya Daniel Defoe (±1661?1731) serta Kehidupan Liar (1971; diindonesiakan, 1992) karya Michel Tournier. Ketiga novel itu sama menceritakan kehidupan sosok manusia di pulau kosong. Malahan, dalam Kehidupan Liar tokoh-tokohnya sama dengan tokoh-tokoh Robinson Crusoe yaitu tokoh Robinson dan Jumat (Friday dalam Robinson Crusoe dan Vendredi dalam Kehidupan Liar). Jadi novel ini jelas merupakan transformasi dari Robinson Crusoe yang jika lebih jauh lagi merupakan transformasi dari Hayy Ibn Yaqzan.

Dilihat dari latar belakang kehidupan pengarang dan bahasa yang digunakannya, maka tentu saja perbandingan novel Hayy Ibn Yaqzan (Arab), Robinson Crusoe (Inggris), dan Kehidupan Liar (Perancis), termasuk ke dalam wilayah sastra bandingan, karena memenuhi syarat: berbeda negara, bahasa, dan kebudayaan. Jika perbandingan bentuk transformasi seperti itu termasuk sastra bandingan, lalu apa bedanya dengan pendekatan interteks atau disebut juga intertekstualitas.

Masalah transformasi tidak hanya menyangkut perubahan dari karya sastra yang satu menjadi karya sastra yang lain, tetapi juga perubahan dari jenis karya nonsastra menjadi karya sastra. Beberapa cerpen Ahmad Tohari, misalnya, seperti “Pencuri” (Panji Masyarakat, No. 458, 1982), “Nyanyian Malam” dan “Syukuran Sutabawor” ternyata menyerupai esainya “Priyayi Zaman Akhir” dan “Tetangga di Belakang Rumah” dalam rubrik Seloka dan Amanah No. 59, 20 Oktober 1988 dan No. 85, 7 Oktober 1989.

Masalah lainnya yang cukup menarik terjadi pada kasus Ajip Rosidi. Puisi naratif Ajip Rosidi yang berjudul “Jante Arkidam” semula ditulis dalam bahasa Sunda tahun 1956 kemudian ditulis kembali dalam bahasa Indonesia dan dimuat dalam antologi Cari Muatan tahun 1959. Dalam kasus ini, terjadi beberapa perubahan; ada beberapa larik versi Sundanya yang dihilangkan. Di samping itu, versi Sunda Jante Arkidam terasa lebih kuat dan mendalam, baik yang menyangkut persajakan, suasana yang ditampilkan maupun maknanya secara keseluruhan. Masalahnya kini apakah perbandingan Jante Arkidam versi itu (Sunda–Indonesia) termasuk sastra bandingan, mengingat kedua karya itu berbeda bahasanya atau intertekstualitas? Sastrawan-sastrawan seperti Arswendo Atmowiloto, Eddy D. Iskandar atau Ajatrohaedi, sekadar menyebut beberapa, termasuk sastrawan yang menguasai bahasa pertama (bahasa ibu) sama baiknya dengan bahasa Indonesia. Akibatnya mereka dapat “seenaknya” pulang-pergi dari bahasa Indonesia ke bahasa ibunya atau sebaliknya. Di Indonesia atau di negara-negara yang multietnik, keadaan seperti itu, bukanlah hal yang aneh. Tetapi lalu menjadi persoalan manakala kita hendak menempatkan analisis terhadap karya-karya yang seperti itu; apakah termasuk sastra bandingan atau tidak. Jika tidak, mengapa tidak, padahal karya-karya itu berbeda dalam bahasa dan budayanya. Pada saat Ajip menulis Jante Arkidam dalam bahasa Sunda, tentulah ia sebelumnya telah mempersiapkan dirinya dengan kerangka berpikir, ideologi, dan sikap budaya sebagai orang Sunda yang berbeda dengan pada saat ia menulis dalam bahasa Indonesia.

Demikianlah studi sastra bandingan terhadap khazanah sastra Nusantara sangat mungkin menjadi lahan yang subur mengingat sastrawan-sastrawan Indonesia tidak lahir dari kebudayaan Indonesia (nasional) melainkan lahir dari kebudayaan daerah. Jika kemudian masalah kebudayaan nasional atau batas negara yang menjadi prasyarat studi sastra bandingan, maka persoalan lain akan timbul jika dua atau lebih negara yang berbeda menggunakan bahasa yang sama sebagai bahasa nasionalnya. Sastrawan Inggris Raya, Australia, dan Amerika merupakan contoh yang jelas, bahwa betapapun negaranya berbeda, mereka juga menggunakan bahasa yang sama. Sastrawan-sastrawan Patani (Muangthai), Malaysia, Brunei Darussalam, dan Indonesia (Riau), juga menggunakan bahasa yang sama, walaupun secara politik dan geografi, negara-negara itu berbeda satu sama lain. Kasus yang serupa juga berlaku pada diri sastrawan-sastrawan Belanda–Belgia atau negara-negara Arab, seperti Irak, Mesir atau Saudi Arabia.

III
Dari sejumlah kasus yang telah dipaparkan itu, yang perlu mendapat perhatian, barangkali– bukanlah pada perbedaan bahasa, geografi, politik atau negara, tradisi dan kebudayaan, melainkan pada metodologi. Jika yang diperbandingkan sebatas teks semata-mata tanpa menghubungkannya dengan faktor-faktor ekstrinsik, maka sebut saja itu sebagai sastra bandingan dengan pendekatan intertekstualitas. Tetapi jika perbandingannya itu dilanjutkan dengan penjelasan mengenai hal yang menyangkut perbedaan sosiokultural yang melingkari diri pengarang masing-masing maka sebut saja itu sebagai studi sastra bandingan dengan pendekatan sosio-kultural. Justru dalam hal inilah, studi sastra bandingan, tidak hanya akan menjadi studi interdisipliner tetapi juga, pada gilirannya, menuntut kritikus melebarluaskan wawasan dan pengkajiannya sekaligus.

Dalam kasus Oedipus dan Sangkuriang, misalnya, mengapa Oedipus sempat menjadi suami perempuan yang sebenarnya ibunya sendiri, sedangkan Sangkuriang, menikah pun dengan Dayang Sumbi belum sempat? Tentu saja persoalannya akan menjadi jelas jika kita menghubungkan kultur Sunda pada diri Sangkuriang dengan kultur Barat pada diri Oedipus. Sangat boleh jadi, Oedipus tidak mengenal.Konsep “anak durhaka” dan “surga berada di bawah telapak kaki ibu.” Mengapa konflik Magdalena Al-Manfaluthi lebih banyak dilatarbelakangi oleh persoalan harta kekayaan dan harkat dan derajat keluarga, sedangkan konflik Tenggelamnya Kapal van der Wijck Hamka, dilatarbelakangi oleh masalah adat (Minang). Masalah yang sama dapat kita kemukakan pada kasus Pariyem dan Nyanyian Lawino. Mengapa Lawino tampil sebagai sosok perempuan kasar, pemberang dan berangasan dibandingkan Pariyem yang sumarah, minder, manut. Mengapa pula dalam cerita-cerita fabel di Eropa, tokoh Serigala selalu tampil sebagai tokoh yang cerdik dan sering muncul sebagai “mesias”, dewa penolong, sedangkan dalam cerita fabel Nusantara, tokoh seperti itu diwakili oleh tokoh kancil, sebaliknya tokoh Serigala tampil sebagai tokoh jahat, rakus, dan serakah? Apakah ini juga erat kaitannya dengan latar belakang sosiokultural yang berlaku di masyarakat masing-masing?

Banyak contoh serupa masih dapat kita perpanjang. Namun, yang jelas bahwa penjelasan sosiokultural dalam studi sastra bandingan agaknya, perlu mendapat tekanan, betapapun itu memerlukan disiplin ilmu lain. Dengan cara ini, niscaya studi sastra bandingan akan memberi sumbangan berarti bagi usaha memahami kebudayaan suatu bangsa. Dengan cara itu pula, terbuktilah bahwa bahasa (:sastra) merupakan juga cerminan identitas bangsa.

DAFTAR PUSTAKA
Clement, Robert J. 1978. Comparative Literature as Academic Discipline. New York: The Modern Language Association of America.

Damono, Sapardi Djoko. 1990. “Sastra Bandingan di Indonesia: Beberapa Masalah.” Makalah Seminar Sastra Bandingan, Depok; FSUI, 19–20 Januari.

Holman, C. Hugh. 1984. “The Nonfiction-Novel.” American Fiction 1940-1980: A Comprehensive History and Critical Evaluation. New York: Harper & Row.

Junus, Umar. 1971. Ikhtisar dan Analisa Novel-novel Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Mahyana, Maman S. 1986. “Sastra Bandingan dalam Kritik Sastra Indonesia.” Suara Karya, 21 September.

———————–. 1987. “Sastra Bandingan: Telaah Sastra Mancanegara.” Angkatan Bersenjata, 2 Mei.

Marshall, Brenda K. 1992. Teaching the Postmodern: Fiction and Theory. London: Routledge..

Hasan, Mohd. Yusuf. 1974. Tikus Rahmat hampir menyerupai novel Animal Farm?, Berita Minggu, 12 Mei.

Stallnecht, P dan Horst Frenz. 1971. Contemporary Literature: Method & perspective. Carbondale & Edwardsville: Southern Illinois University Press.

Webster’s Third New International of English Language Unabridged. 1966. Massachusetts: Prentice Hall Press.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan, terj. Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.
———————–

Webster’s Third New International of English Language Unabridged, (Massachusetts, 1966), hlm. 462.

Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, terj. Melani Budianta, (Jakarta, 1989), hlm. 46-49.

C. Hugh Holman, “The Nonfiction-Novel,” American Fiction 1940-1980: A Comprehensive History and Critical Evaluation, (New York, 1984), hlm. 94.

Henry H. Remak. “Comparative Literature,” Newton P. Stalltnech and Horst Prenz (Ed.), Contemporarry Literature: Methode & Perspective, (Carbondale & Edwardsville, 1971), hlm. 1–7.

Robert J. Clement, Comparative Literature as Academic Discipline, (New York, 1978), hlm. 8.

Bandingkan novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck (1939) dan Di Bawah Lindungan Kabah karya Hamka, dengan novel Magdalena (1964) dan Al-Yatim karya Al-Manfaluthi.

Bandingkan puisi Chairil Anwar, “Krawang Bekasi” dengan puisi Archibald Macleish, “The Young Dead Soldier”. Periksa juga H.B. Jassin, Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45, (Djakarta, 1956).

Novel karya Natsume Soseki ini aslinya berjudul Wagahai wa Neko de Aru. Terbit pertama kali tahun 1905 di majalah Hototogisu (Cuckoo). Aiko Ito dan Greeme Wilson kemudian menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris tahun 1972.

Mohd. Yusuf Hasan, Tikus Rahmat hampir menyerupai novel Animal Farm? Berita Minggu, 12 Mei 1974. Lihat juga, Umar Junus, Ikhtisar dan Analisa Novel-novel Melayu, (Kuala Lumpur, 1971), hlm. 60-68.

Sapardi Djoko Damono menyebut “penerjemahan” karya sastra sebagai “pengkhianatan kreatif”, sebab menurutnya, penerjemahan karya sastra memerlukan kreativitas penerjemahnya, sehingga boleh jadi karya terjemahannya itu menjadi lebih baik daripada karya aslinya, sebagaimana yang dilakukan Chairil Anwar. Jika begitu, mestinya masalah saduran juga termasuk wilayah sastra bandingan.

Seno Gumira Ajidarma, Penembak Misterius (Jakarta, 1983), hlm ii.

Senja di Jakarta terbit pertama kali dalam bahasa Inggris, 1963. Setelah diterbitkan dalam bahasa Belanda dan Malaysia, tahun 1970 baru diindonesiakan dan diterbitkan penerbit Badan Penerbit Indonesia Raya.

Karya ini pertama kali diterbitkan dalam bahasa Inggris tahun 1966 kemudian diterbitkan dalam bahasa Lwo asli tahun 1969. Pada tahun 1988, Sapardi Djoko Damono menerjemahkan karya ini ke dalam bahasa Indonesia dan sekaligus memberi kata pengantar pada buku itu.

Novel karya Michel Tourner ini aslinya berbahasa Perancis, Vendredi on la vic Sauvage. Edisi Inggris berjudul Friday, diambil dari nama tokoh Vendredi (Jumat) tokoh penting dalam Robinson Crusoe.

Brenda K. Marshall, Teaching the Postmodern: Fiction and Theory, (London, 1992), hlm. 120–146. Marshall menempatkan analisis Robinson Crusoe dan Friday sebagai pendekatan intertekstualitas.

Cerpen ini tidak dimasukkan ke dalam kumpulan cerpen Senyum Karyamin (1989).

“Nyanyian Malam” dimuat di majalah Kartini, No. 443, 1992. Bersama cerpen-cerpen lainnya, Maman S. Mahayana kemudian mengumpulkan, menerbitkan, dan memberi Kata Penutup antologi Nyanyian Malam (Jakarta: Grasindo, 2000).

Ajip Rosidi, Jante Arkidam, (Bandung, 1989), hlm. 1–5.

Sumber: MAHAYANA-MAHADEWA.COM http://mahayana-mahadewa.com

Dakwah Agama dalam Sastra Indonesia

DAKWAH AGAMA DALAM SASTRA INDONESIA


Maman S. Mahayana

Majalah Sastra, Agustus 1968, pernah memuat sebuah cerpen karya Kipanji-kusmin, berjudul “Langit Makin Mendung”. Belakangan, cerpen ini dianggap menghi-na Nabi Muhammad, dan dengan begitu, sekaligus juga berarti melecehkan agama Islam. Reaksi keras dari umat Islam pun mengalir. Pada tanggal 22 Oktober 1968, Kipanjikusmin kemudian menyatakan mencabut cerpennya itu. Tetapi persoalannya tidaklah berhenti sampai di situ. H.B. Jassin, selaku penanggung jawab majalah itu diminta mempertanggungjawabkannya. Paus Sastra itupun lalu diadili di pengadilan.

Itulah salah satu peristiwa penting dalam sejarah kesusastraan Indonesia. Perta-nyaannya kini: mengapa terjadi peristiwa semacam itu; bagaimana hubungan antara sastra dan agama dan di mana pula tempat kebebasan berkreasi (licentia poetica), sehingga masyarakat menolak cerpen (:karya sastra) yang seperti itu? Pertanyaan lain tentu saja dapat kita ajukan lebih panjang lagi. Tetapi, dalam konteks ini, kita melihat, bahwa sastra tidak terlepas dari kehidupan sosio-kultural. Ketika sastra menyinggung-nyinggung soal agama, ia dapat menimbulkan masalah atau justru sengaja dijadikan sebagai alat berdakwah. Sesungguhnya, persoalannya sangat bergantung pada cara penyajian dan kemasan yang digunakannya; bagaimana pesan-pesan agama dikemas dan disajikan dalam karya sastra.

Jika ia menampilkan catatan kritis atas penyalahgunaan simbol-simbol agama tanpa memberi ruang bagi penafsiran yang lain, maka sangat mungkin akan muncul reaksi dari masyarakat penganut agama yang bersangkutan. Kasus cerpen “Langit Makin Mendung” adalah contoh, bagaimana simbol-simbol agama disajikan dan dike-mas secara eksplisit dan artifisial. Sebaliknya, jika ia dikemas rapi dan disajikan secara mendalam, hasilnya sangat mungkin justru menjadi karya agung. Jalaluddin Rumi, Rabiah Al-Adawiyah, Fariduddin Attar, Mohammad Iqbal dan sastrawan sufi lainnya adalah sastrawan yang berhasil mengemas pesan agama ke dalam estetika sastra.
***

Dalam sejarah sastra Indonesia, sejumlah pujangga besar yang juga pernah menyampaikan pesan agama tanpa harus meninggalkan estetika sastra, dapatlah disebutkan beberapa di antaranya, Hamzah Fansuri, Raja Ali Haji, Yasadipura I. Dalam deretan sastrawan modern, Amir Hamzah termasuk salah satunya. Belakangan, terutama selepas memasuki dasawarsa tahun 1970-an, kecenderungan mengangkat sastra yang bernafaskan agama, tampak makin semarak. Maka tidak heran jika kemudian muncul usaha-usaha untuk merumuskan karya mereka sebagai sastra religius, sufisme, atau sastra yang berdimensi transendental.

Di bidang drama, misalnya, kita dapat menunjuk karya-karya Arifin C. Noer. Sejumlah besar dramanya, jelas sangat dipengaruhi oleh tradisi keagamaan kaum sufi. Dan Arifin mengangkatnya dalam kemasan keterasingan manusia dalam berhadapan dengan problem masyarakat modern. Lunturnya nilai-nilai keagamaan, dekadensi moral, atau bahaya pencemaran lingkungan merupakan tema-tema dramanya. Simak saja, Kapai-Kapai, Sumur Tanpa Dasar, atau Ozon, terkandung misi keagamaan yang hendak ditawarkannya.

Di bidang prosa, kita juga dapat menemukan dakwah keagamaan pada karya Mohammad Diponegoro (Siklus, 1975), Kuntowijoyo (Khotbah di atas Bukit, 1976), Ahmad Tohari (Kubah, 1980), Motinggo Busye (Sanu, Infinita-Kembar, 1985), dan teristimewa pula pada karya-karya sastrawan sebelumnya. Novel-novel Hamka, Djamil Suherman, Muhammad Ali, El hakim, Idrus, Achdiat Karta Mihardja, secera jelas banyak dipengaruhi oleh sikap religiusitas pengarangnya.

Di Bawah Lindungan Kabah, karya Hamka, misalnya, mengambil latar di Mekah, dan di dalamnya kita dibawa pada suasana keagamaan yang intens. Begitu pula novel Djamil Suherman, Perjalanan ke Akherat (1963) yang menggambarkan alam kubur dan keadaan di surga dan neraka. Suasana keagamaan itu juga terasa begitu kuat pada novel Di Bawah Naungan Al-Quran (1957) karya Muhammad Ali dan Atheis (1948) karya Achdiat Karta Mihardja, meskipun Atheis lebihbanyak mengungkapkan kegelisahan dan ketakutan tokoh Hasan dalam menghadapi akhirat. Sejumlah drama serta novel-novel yang bernapaskan keagamaan, tentu masih dapat kita sebutkan lebih banyak lagi. Itu artinya, baik di bidang drama, maupun prosa, para sastrawan kita secara sadar tak pernah melepaskan diri dari tanggung jawabnya sebagai makhluk Tuhan. Dan dakwah keagamaannya diselusupkan ke dalam karya-karyanya sebagai manifestasi pengabdian kepada Tuhan dan kepada umatnya.

Penyair Taufiq Ismail, misalnya, secara sadar berusaha konsisten dengan sikap keagamaannya. Ia mengatakan bahwa berkarya mesti didasarkan pada “Niat karena Allah, diperuntukkan bagi manusia.” Oleh karena itu, ia menyarankan: “Buatlah kesenian atau kesusastraan yang membuat orang jadi ingat Allah senantiasa. Ciptakan bentuk dan isi keindahan yang membuhul orang dalam hubungan tak putus-putus dengan Allah.”
***

Yang menarik dalam hal menyimak dakwah keagamaan yang dilakukan para sastrawan Indonesia, justru di bidang puisi. Boleh jadi karena bahasa puisi lebih dapat mewakili ekspresi jiwa si penyair, atau mungkin juga karena pengaruh sikap keagamannya yang begitu kuat. Yang jelas, sikap religiusitas sastrawan Indonesia, justru lebih banyak terlihat dalam puisi, dibandingkan dalam drama atau prosa. Di samping itu, para penyairnya juga tidak terbatas pada mereka yang beragama Islam, tetapi juga mereka yang beragama Kristen. J.E. Tatengkeng, misalnya, lewat kumpulan sajaknya, Rindu Dendam (1934), banyak menyuarakan nafas Kristiani. Dan oleh karena itu pula karyanya dipandang lebih berdimensi transendental.

Amir Hamzah, Raja Penyair Pujangga Baru, banyak mengungkapkan kerindu-annya untuk jumpa dengan Tuhan, sebagaimana dapat kita simak dalam Nyanyi Sunyi (1937) dan Buah Rindu (1941). Sajak-sajak Amir Hamzah ini mengesankan adanya pengaruh kuat para penyair sufi, seperti Hamzah Fansuri atau Jalaluddin Rumi.

Ternyata, para penyair kita dewasa ini –sadar atau tidak– banyak pula mengikuti jejak Amir Hamzah. Atau setidak-tidaknya mempunyai kecenderungan yang sama, sungguhpun dalam bentuk, gaya, dan pengucapan yang berbeda. Sekedar menyebut beberapa di antaranya yang menonjol, Mustopa Bisri, Emha Ainun Nadjib, Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabbar, D. Zawawi Imron, Abdul Hadi WM, Taufiq Ismail, dan sederetan nama lain yang tentu akan sangat panjang jika dituliskan di sini.

Perhatikanlah, misalnya, sebait puisi karya Abdul Hadi WM yang berjudul “Tuhan, Kita Begitu Dekat” berikut ini:
Tuhan
Kita begitu dekat
Sebagai api dengan panas.
Aku panas dalam apimu.

Perhatikan pula larik-larik terakhir puisi Taufiq Ismail yang berjudul “Ya Rasul” berikut ini:
Dari sela-sela daunan
Sejarah
melintas bayang sosokmu
di antara tahiyat
gerisik gamismu lewat!
Lamat
Lamat
Ya Rasul, Rasulku!

Jika puisi Abdul Hadi memperlihatkan pengagungan si aku liris pada Sang Khalik, maka puisi Taufiq Ismail mengungkapkan kedekatan dan sekaligus kerinduan pada Rasul, meskipun jarak waktu yang panjang memisahkannya.
***

Menyinggung cerpen-cerpen Indonesia yang bernafaskan keagamaan, tentulah kita dapat dengan mudah menyebutkan sejumlah nama, seperti Danarto, Muhammad Diponegoro, Muhammad Fudoli, Djamil Suherman, Kuntowijoyo atau Ahmad Tohari, bahkan tidak hanya menyerap tradisi pesantren yang pernah digelutinya, tetapi juga se-dikit banyak, terpengaruh pemikiran para sastrawan besar Islam dan karya kaum sufi.

Sementara itu, pengaruh tradisi pesantren serta tradisi budaya setempat, seperti Jawa, Sunda, atau Minangkabau, tak dapat mereka lepaskan begitu saja. Maka, karya-karya mereka sudah merupakan percampuran dari berbagai pengaruh. Mohammad Diponegoro, Muhammad Fudoli, dan Djamil Suherman, dibesarkan dalam suasana pesantren dan pendidikan agama yang kuat. Sedangkan Danarto banyak dipengaruhi oleh cerita-cerita wayang dan kebudayaan Jawa, sebagaimana yang tampak dalam kumpulan cerpen Godlob.

Cerpen-cerpen Danarto yang terkumpul dalam Adam Ma’rifat (1982), Godlob (1975) dan Berhala (1987), banyak sekali menampilkan tokoh-tokoh wayang atau yang berkarakter wayang. Oleh karena itu, untuk melihat misi keagamaan dalam cerpen-cerpen Danarto, sedikitnya kita memerlukan acuan dunia pewayangan dan kebudayaan Jawa. Bahkan, cerpennya yang berjudul “Lempengan-Lempengan Cahaya” menampilkan Al-Fatihah sebagai tokoh utamanya.
***

Begitulah, sebenarnya karya sastra Indonesia (cerpen, novel, puisi, dan drama) sangat kaya dengan tema atau nafas keagamaan. Dan tema-tema keagamaan itu niscaya akan terus menyemarakkan khazanah kesusastraan Indonesia. Sebab, bagaimanapun juga, seperti yang dikatakan Seldon Norman Grebstein –kritikus sosio-kultural– bahwa setiap karya sastra adalah hasil dari suatu interaksi sosial dan faktor-faktor kultural yang kompleks, dan karya sastra itu sendiri merupakan objek kultural yang kompleks. Ia tidak akan dapat dipahami sepenuhnya, jika karya itu dipisahkan dari lingkungan kebudayaan dan masyarakat yang menghasilkannya, termasuk di dalamnya tanggung jawabnya sebagai makhluk Tuhan.

(Maman S. Mahayana, Pengajar FSUI, Depok).

Sumber: MAHAYANA-MAHADEWA.COM http://mahayana-mahadewa.com

Kriteria untuk Menilai Karya Sastra

KRITERIA UNTUK MENILAI KARYA SASTRA


Maman S. Mahayana

(BAGIAN PERTAMA)
Ketika seorang pembaca berhadapan dengan karya sastra, apakah ia dapat lang-sung mengatakan bahwa karya itu baik atau tidak? Tentu saja penilaian dengan cara demi-kian ngawur dan tidak objektif . Pertama-tama yang harus dilakukan adalah membaca kar-ya itu dahulu. Jika sudah kita cermati benar, barulah kita dapat memberi penilaian atas karya yang bersangkutan. Tetapi persoalannya kemudian, bagaimana kita memberi penilai-an terhadapnya? Atas dasar apa pula karya itu dikatakan berhasil atau tidak? Apakah kita dapat mengatakan bahwa karya itu baik, bagus atau berhasil, karena kita menyukai tema-nya; kagum dan terpesona terhadap tokoh-tokoh yang digambarkannya atau karena kita mengagumi pengarangnya?

Guna menghasilkan penilaian yang objektif dan dapat dipertanggungjawabkan, ten-tu saja cara penilaian yang seperti itu tidaklah tepat. Bahkan terkesan sangat subjektif. Pe-nilaian demikian jelas sangat bergantung pada kesan dan sikap suka atau tidak suka. Ia akan menghasilkan penilaian yang relatif, karena sangat ditentukan oleh subjektivitas pem-baca. Jika demikian, dasar apa yang dapat kita gunakan untuk menentukan sebuah karya sastra dikatakan baik atau buruk, berhasil atau tidak? Kriteria apa yang kita gunakan untuk menentukannya, sehingga ada genre sastra garda depan (avant garde), sastra serius, dan sastra populer.

Ketika ada orang bertanya, mengapa dan atas dasar apa sebuah karya dikatakan populer atau serius, tentu saja kita tidak dapat menjawab dan menghubungkannya dengan nama pengarangnya. Hal yang sama juga berlaku untuk karya-karya Pramoedya Ananta Toer atau para pengarang lainnya. Kita hanya dapat memberi penilaian terhadap karya-karyanya jika kita sudah membaca karya pengarang bersangkutan.

Sebagai contoh, sebutlah, misalnya, nama Motinggo Busje. Apakah semua karya-nya termasuk karya pornografi atau populer? Sejumlah novelnya yang dihasilkan tahun 1970-an, memang dapat dimasukkan sebagai novel populer. Tetapi, karya-karya awalnya, seperti dramanya Malam Jahanam atau sebagian besar cerpennya, tidak dapat dikatakan populer. Demikian juga novel terakhirnya, Sanu Infinita Kembar (1985) dikatakan H.B. Jassin sebagai “novel mistik–falsafi yang mencapai kedalaman yang belum pernah kita saksikan dalam roman-romannya terdahulu. Satu buku yang memerlukan kesadaran total untuk memahamina.”

Demikianlah untuk menentukan sebuah karya berhasil atau tidak, kita mesti memi-sahkannya dahulu dari nama pengarangnya. Oleh karena itu, kita mesti menjawabnya ber-dasarkan karyanya itu sendiri dan bukan karena pengarangnya atau latar belakang diri pengarang bersangkutan. Untuk menghasilkan penilaian yang objektif dan dapat dipertang-gungjawabkan, pusat perhatian kita mesti jatuh pada karya itu sendiri. Inilah yang disebut ergosentrisme, yaitu penilaian yang berangkat dan berpusat pada karyanya itu sendiri, dan bukan pada pengarangnya, temanya atau tokoh-tokoh yang digambarkannya. Itulah pula sebabnya, kita perlu mengetahui kriteria-kriteria apa saja yang dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan baik-buruknya, berhasil-tidaknya atau populer tidaknya karya sastra yang bersangkutan.

Adapun kriteria yang dapat digunakan untuk membuat penilaian terhadap keber-hasilan atau kegagalan sebuah karya sastra, dapat dilakukan dengan mencermati sedikitnya enam kriteria, yaitu kriteria kebaruan (inovasi), kepaduan (koherensi), kompleksitas (keru-mitan), orisinalitas (keaslian), kematangan (berwawasan atau intelektualitas), dan keda-laman (eksploratif).
***

Kriteria pertama adalah apakah karya sastra yang bersangkutan itu memperlihatkan adanya kebaruan (inovasi). Dalam hal ini, acuan yang dapat dijadikan sebagai dasar kriteria adalah kenyataan bahwa sastra selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan inovasi. Artinya, bahwa dalam kesusastraan modern, apakah kebebasan berkreasi sebagai hak “istimewa” pengarang, telah dimanfaatkan pengarang untuk memajukan mutu dunia sastra atau menggunakan hak istimewa itu hanya sebagai usaha untuk menghasilkan karya sastra yang biasa-biasa saja, atau bahkan untuk sekadar “main-main” agar kelihatan sebagai karya avant garde?

Untuk melihat adanya kebaruan atau inovasi dalam karya yang bersangkutan, tidak dapat lain, kita mesti mencermati semua unsur intrinsik yang melekat dalam karya tersebut.
Dalam hal ini, acuan untuk menentukannya bukan pada tema karya bersangkutan, melain-kan pada semua unsur intrinsik yang terdapat pada karya-karya yang terbit sebelumnya. Sebagai contoh, apakah tema novel Sitti Nurbaya (1922) atau Salah Asuhan (1928) mem-perlihatkan kebaruannya atau tidak? Untuk memperoleh jawabannya, maka kita harus me-lihat dahulu karya yang terbit sebelumnya; Azab dan Sengsara (1920) misalnya.

Lalu dalam hal apa kebaruannya? Dalam Azab dan Sengsara, adat dan peranan kaum lelaki memperoleh kemenangan, sedangkan dalam Sitti Nurbaya, adat dan peranan kaum lelaki sama-sama kalah, meskipun Sitti Nurbaya juga mengalami nasib yang sama. Tetapi, dalam Salah Asuhan, kaum lelaki (Hanafi) kalah, karena yang dihadapi adalah perkawinan antarbangsa (Hanafi, Padang dan Corrie, Indo-Perancis).

Contoh lain yang lebih jelas dapat kita lihat dalam puisi-puisi Chairil Anwar. Bagai-mana bahasa sehari-hari yang dalam zaman Pujangga Baru tidak digunakan, dimanfaatkan Chairil Anwar dengan sangat mengagumkan; bagaimana pula pola bait yang dalam puisi sebelumnya masih sangat mendominasi, tidak begitu dipentingkan lagi. Ringkasnya, makna puisi bagi Chairil Anwar tidak ditentukan oleh bait, melainkan oleh kata-kata itu sendiri, dan pemanfaatan hanya digunakan jika makna puisi itu sendiri memang memerlukannya.

Itulah beberapa contoh karya sastra yang memperlihatkan adanya kebaruan. Jika demikian, dari aspek kebaruannya, karya itu boleh dikatakan berhasil!

Kriteria berikutnya yang dapat kita gunakan untuk membuat penilaian adalah masa-lah yang menyangkut aspek kepaduan (koherensi). Pada karya-karya Chairil Anwar, kepaduan itu terlihat dari pilihan kata (diksi) yang digunakannya dalam setiap larik puisi. Dan keseluruh-annya membangun sebuah tema. Puisi Chairil yang berjudul “1943” atau “Aku”, misalnya, mengapa larik-lariknya tidak dibangun oleh bait-bait (“1943”), mengapa pula satu baitnya kadang kala hanya terdiri dari satu kata (“Aku”)? Perhatikan beberapa larik puisi “1943” berikut ini:

Jalan kaku-lurus. Putus
Candu
Tumbang
Tanganku menadah patah
Luluh Terbenam
Hilang
Lumpuh,

Rata
Rata
Rata
Dunia
Kau
Aku
Terpaku.

Timbul Pertanyaan: di manakah letak kepaduannya? Kepaduan dalam puisi “1943” justru tampak lantaran makna keseluruhan puisi itu memang tak memerlukan adanya pemisahan makna lewat bait-bait. Dengan cara demikian, larik yang dibangun oleh satu atau dua kata itu, justru tampak padat dan lugas yang mengesankan kegelisahan dan penderitaan luar biasa si aku lirik. Penghilangan bait memperlihatkan kepaduannya karena ia benar-benar fungsional mendukung tema.

Contoh lain dapat kita lihat pada novel Hamka, Tenggelamnya Kapal van der Wijck (1939). Dari segi tema, novel ini masih mengangkat persoalan adat. Tetapi ada ke-baruannya dalam novel ini, yaitu adat yang dibenturkan dengan masalah keturunan dan orang dagang (perantau). Tema ini digambarkan tidak berdiri sendiri atau lepas dari unsur lainnya. Latar tempat (Minangkabau), latar sosial (lingkungan keluarga dan status sosial tokoh-tokohnya) serta karakter tokoh-tokohnya, menciptakan peristiwa demi peristiwa yang penuh dengan tegangan. Demikian juga bentuk surat-menyurat yang digunakan to-koh-tokohnya (Zainuddin dan Hayati), tidak hanya menciptakan serangkaian peristiwa yang berkelanjutan, tetapi juga membina tegangan demi tegangan dari satu peristiwa ke peristiwa berikutnya. Tampak di sini, tema, tokoh, latar, dan alur, saling mendukung dan menciptakan kepaduan dalam keseluruhan cerita novel itu.

Perhatikan juga fragmen berikut ini:
Fredy sempoyongan. Langkahnya berat menapaki gang kumuh yang menuju ru-mahnya. Kakinya kadang kala tak kuasa menahan beban tubuhnya. Sesekali ia ambruk. Di antara ocehannya yang tak keruan, lelehan lendirnya menetes menjijikkan. Tangannya erat memegang botol minuman keras.
Sampai di kamarnya, Fredy langsung melemparkan tubuhnya ke tempat tidurnya yang tertata rapi. Di dinding tergantung sebuah kaligrafi. Kamar itu tampak nyaman.

Fragmen di atas jelas tidak memperlihatkan kepaduannya, karena ada dua hal yang bertolak belakang. Tokoh Fredy yang mabuk, ternyata menempati sebuah kamar yang tidak sesuai dengan tingkah lakunya. Kepaduan akan tampak jika kamar itu digambarkan kotor, dengan puntung rokok berserakan; dinding penuh coretan grafiti; lalu tempat tidur tampak berantakan, kumal, dan menjijikkan.

(BAGIAN KEDUA)
Kriteria lainnya adalah kompleksitas (kerumitan). Puisi Chairil Anwar “1943”, mi-salnya, memberi gambaran dan pencitraan yang sangat kompleks, rumit, dan problematik yang dihadapi aku lirik yang gelisah dan meradang. Persoalan yang dihadapi tokoh Siti Nurbaya, Hanafi, atau Zainuddin, juga bukanlah persoalan yang sederhana. Mereka harus berhadapan dengan masalah sosio-kultural yang tentu hanya mungkin dapat diselesaikan melalui proses penyadaran yang juga menyangkut masalah sosio-kultural.

Dilihat dari sudut pengarang, kompleksitas itu juga sangat bergantung pada pema-haman sastrawan bersangkutan mengenai masalah budaya yang melingkarinya. Pemahaman kultural itulah yang kemudian disajikan dan berusaha diselesaikan pengarang, juga melalui pendekatan budaya. Dengan begitu, penyelesaiannya juga tentu saja tidak sederhana, dan tidak mungkin dapat dilakukan secara hitam putih.

Kriteria kompleksitas atau kerumitan ini akan lebih jelas jika kita membandingkan-nya dengan novel populer. Di dalam novel populer, semua persoalan akan diselesaikan se-cara gampangan, hitam-putih. Dalam novel Ali Topan Anak Jalanan, misalnya, dengan mudah saja Ali Topan membawa kabur kekasihnya, tanpa proses yang rumit yang melibat-kan konflik batin atau problem kultural. Kemudian, orang tua kekasihnya yang semula ti-dak merestui hubungan anaknya dengan Ali Topan, dengan mudah saja terpaksa merestui hubungan itu. Mereka pun akhirnya menikah. Selesai, happy ending!

Dalam Sitti Nurbaya, sesungguhnya bisa saja pengarang tidak mematikan Sitti Nurbaya dan Samsul Bahri. Bisa juga dalam duel antara Datuk Meringgih dan Samsul Bahri, yang mati Datuk Meringgih. Dengan cara demikian, maka terbukalah peluang bagi Samsul Bahri untuk menikahi pujaan hatinya, Sitti Nurbaya. Tetapi ternyata penyelesaian-nya tidak demikian. Ketiga tokoh itu, semuanya akhirnya mati. Dengan cara penggambaran seperti itu, pembaca secara langsung diajak untuk ikut berpikir memaknai akhir cerita yang tragis itu. Dan secara tidak langsung pula, pembaca “digiring” untuk berpihak; simpati atau antipati kepada tokoh-tokoh tersebut.

Dalam hal kriteria kompleksitas ini, seperti telah disinggung, pembaca diajak juga untuk merefleksikan atau ikut memikirkan persoalan yang dihadapi tokoh-tokoh dalam novel bersangkutan. Jadi, bisa saja masalahnya sederhana, tetapi penyajiannya begitu rumit yang menyangkut masalah sosial budaya yang pada akhirnya bermuara pada masalah ma-nusia dan kemanusiaan secara universal.

Kriteria berikutnya menyangkut orisinalitas (keaslian). Kriteria ini tentu saja tidak harus didasarkan pada keseluruhan unsurnya yang memperlihatkan keaslian atau orisinali-tasnya. Bagaimanapun juga tidak ada satu pun karya yang 100 persen memperlihatkan orisinalitasnya. Selalu saja ada persamaannya dengan karya-karya yang terbit sebelumnya Oleh karena itu pula, untuk menentukan orisinalitas karya yang bersangkutan, kita harus juga melihat karya-karya yang terbit sebelumnya. Mengingat kriteria orisinalitas sangat di-tentukan oleh keberadaan karya-karya yang terbit sebelumnya, maka di dalam pelaksana-annya kriteria orisinalitas kadang kala bertumpang tindih dengan kriteria kebaruan.

Banyak aspek yang dapat digunakan untuk menilai orisinalitas karya sastra. Perta-ma, dilihat dari salah satu unsurnya yang membangun karya sastra yang bersangkutan; tema, latar, tokoh, alur, atau sudut pandang (jika novel); bait, larik, diksi, atau majas (jika puisi), atau tokoh, tema, latar, alur, bentuk dialog atau petunjuk pemanggungan (jika drama). Kedua, dilihat dari cara penyajiannya; bagaimana pengarang menyampaikan kisah-annya (novel), citraannya (puisi) atau dialog dan petunjuk pemanggungannya (drama)

Sebagai contoh, perhatikan puisi “1943” karya Chairil Anwar itu. Meskipun ia menggunakan bahasa Indonesia seperti juga para penyair sebelumnya, keaslian atau orisi-nalitas puisi Chairil –salah satunya– terletak pada pemakaian bahasa Indonesia sehari-hari yang oleh para penyair sebelumnya tidak digunakan. Demikian juga, bentuk larik yang digunakan Chairil, merupakan sesuatu yang khas dan orisinal karya Chairil. Contoh yang lebih ekstrem lagi dapat kita lihat pada beberapa puisi Sutardji Calzoum Bachri seperti “Tragedi Winka & Sihka”, “Q”, “Luka” yang hanya berisi satu larik: ha ha atau puisi “Kalian” yang juga berisi satu larik yan lebih pendek lagi: pun.

Ketika kita membaca puisi-puisi Sutardji seperti tersebut di atas, maka komentar yang sering kali muncul adalah pernyataan berikut: “Ah, jika itu puisi, maka kita juga dapat membuat puisi yang seperti itu.” Tetapi, apakah pernyataan yang sama itu akan muncul sebelum kita tahu ada puisi yang demikian? Dalam hal ini, orisinalitas terletak pada orsinalitas gagasannya yang justru pada waktu itu tidak terpikirkan oleh penyair lain. Jadi, apakah karya yang seperti itu sebelumnya telah ada? Jika ada, apakah polanya persis sama? Dalam hal tersebut, selalu saja kita akan menemukan sesuatu yang baru, yang orsinil.

Satu contoh lagi dapat disebutkan di sini sebuah puisi karya Agus R. Sardjono yang berjudul “Sajak Palsu”. Bagaimana penyair ini memotret kehidupan masyarakat bang-sa ini yang penuh kepura-puraan dan kepalsuan. Bahwa kehidupan seperti itu setiap saat kita saksikan, lalu siapa yang kemudian merefleksikan peristiwa itu ke dalam sebuah puisi yang lalu diberi judul “Sajak Palsu”? Gagasan tentang kehidupan yang penuh kepalsuan dan kemudian mengungkapkannya lewat sebuah puisi dengan penyajian yang ringan, terkesan berseloroh, tetapi justru mengangkat sebuah persoalan besar yang menyangkut kehidupan sebuah bangsa. Dalam hal inilah “Sajak Palsu” memperlihatkan orisinalitasnya yang khas lahir dari gagasan penyairnya.

Kriteria berikutnya menyangkut pertanyaan: apakah karya itu memperlihatkan ke-matangan pengarangnya menyajikan dan menyelesaikan persoalannya atau tidak. Ringkas-nya, kriteria ini berkaitan dengan bagaimana pengarang mengolah kenyataan faktual, baik peristiwa besar atau biasa, menjadi sesuatu yang memukau, mempesona dan sekaligus juga merangsang emosi pembaca, meskipun pengarangnya sendiri mungkin tidak mempunyai pretensi untuk itu.

“Sajak Palsu” karya Agus R. Sarjono, jelas merupakan karya yang berhasil. Perha-tikan beberapa larik terakhir puisi itu: … Lalu orang-orang palsu/meneriakkan kegembira-an palsu dan mendebatkan/gagasan-gagasan palsu di tengah seminar/dan dialog-dialog palsu menyambut tibanya/demokrasi palsu yang berkibar-kibar begitu nyaring/dan palsu.
Dalam hal ini, puisi itu cenderung mengangkat potret sosial. Dengan gaya penyajian seperti itu, Agus hendak menertawakan kehidupan sosial kita yang serba palsu dan penuh kepura-puraan. Mengingat potret sosial itu disajikan secara berseloroh dan apa adanya, maka re-fleksi evaluatif atas peristiwa itu sendiri tidak muncul sebagai keprihatinan yang dapat merangsang emosi pembaca.

Bandingkanlah dengan cara penyajian yang dilakukan Taufiq Ismail dalam salah satu puisinya, “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia”. Perhatikan bait terakhir puisi itu:
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak

Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia

Baik Agus Sarjono maupun Taufiq Ismail, secara tematis mengangkat persoalan yang sama yang menimpa moral bangsa Indonesia. Tetapi ada kedalaman yang dapat kita tangkap dari puisi Taufiq Ismail, yaitu refleksi evaluasinya tentang masalah yang melanda bangsanya. Larik terakhir: Malu aku jadi orang Indonesia merupakan ungkapan yang menggambarkan kepedihan mendalam atas berantakannya akhlak bangsa ini. Dengan cara begitu, meskipun Taufiq juga sekadar memotret problem sosial kita, secara langsung kita (pembaca) disentuh hati nuraninya; dirangsang emosi kebangsaannya; masih patutkah kita mengaku sebagai bangsa yang beradab, jika kehancuran akhlak terjadi di mana-mana?

Demikianlah, kriteria kematangan (wawasan dan intelektualitas) ini dapat kita gunakan sebagai salah satu alat untuk melihat kematangan seorang pengarang dalam menangkap dan menyajikan sebuah persoalan. Satu persoalan yang sama akan dimaknai secara bereda oleh para penyair, bergantung pada tingkat kematangan masing-masing. Per-hatikan juga sebait puisi Sapardi Djoko Damono, berjudul “Layang-Layang” berikut ini:
Layang-layang barulah layang-layang jika ada angin
memainkannya. Sementara terikat pada benang panjang,
ia tak boleh diam –menggeleng ke kiri ke kanan, menukik,
menyambar, atau menghindar dari layang-layang lain.

Puisi di atas jelas temanya berbeda dengan puisi karya Agus Sarjono dan Taufiq Ismail. Demikian juga cara penyajiannya. Terkesan puisi itu begitu sederhana. Namun, di balik kesederhaannya itu, ada kedalaman yang tersembunyi. Bahasanya yang jernih itu, justru sangat kuat menampilkan serangkaian citraan. Dalam hal inilah, emosi pembaca di-bawa hanyut dalam keterpesonaan pada citraan-citraannya.

Kriteria terakhir menyangkut kedalaman makna yang terkandung dalam sebuah karya sastra. Larik terakhir puisi Taufiq: Malu aku jadi orang Indonesia atau citraan yang ditampilkan Sapardi dalam puisi “Layang-Layang” sesungguhnya memantulkan kedalaman gagasan kedua penyair itu dalam mengangkat masalah yang dihadapi umat manusia. Apa yang dikatakan Taufiq, Malu aku jadi orang Indonesia, sungguh mewakili kedukaan luar biasa, kepedihan yang perih, sekaligus juga kegeramannya pada kebejatan moral. Di balik sikap itu, ia justru sangat peduli pada nasib masa depan bangsanya.

Yang disajikan Sapardi lain lagi. Dalam puisinya yang tampak sederhana itu, ada makna simbolik yang hendak ditawarkannya. Gambaran tentang layang-layang itu, sebe-narnya merupakan analogi kehidupan manusia. Manusia, baru jadi manusia jika ia mempu-nyai semangat, gairah, keinginan, elan yang membawanya hidup menjadi lebih bermakna. Semua itulah yang membentang serangkaian harapan. Dan ketika manusia berusaha meraih harapan-harapan itu, ia akan berhadapan dengan berbagai masalah yang harus dapat disele-saikannya. Termasuk konflik-konflik dengan pihak-pihak lain.

Demikianlah, kriteria kedalaman ini cenderung merupakan refleksi dari berbagai gejolak kegelisahan pengarang yang mengkristal dan kemudian diejawantahkan ke dalam larik-larik dalam puisi atau narasi dalam novel atau cerpen. Semakin karya itu memperli-hatkan kedalamannya, semakin terbuka peluang lahirnya berbagai tafsiran dan pemaknaan. Dengan demikian, karya sastra yang demikian, akan memberi tidak sekadar kenikmatan estetik, tetapi juga pencerahan batin dan pemerkayaan gagasan bagi pembacanya. Ia meng-eksplorasi serangkaian kegelisahan pengarangnya, dan sekaligus juga mengeksplorasi emo-si dan gagasan pembaca untuk mencoba memahami kedalaman makna karya bersangkutan.
***

Karya-karya agung biasanya mengandung keenam kriteria tersebut di atas. Lalu bagaimana jika ada karya sastra yang hanya mengandung beberapa dari kriteria tersebut? Apakah kemudian karya tersebut dapat dikatakan berhasil atau tidak? Keenam kriteria pe-nilaian ini sebenarnya hanyalah sekadar alat. Sebagai alat, ia dapat dimanfaatkan untuk menilai karya sastra secara objektif dan dapat dipertanggungjawabkan. Mungkin saja ada karya yang hanya mengandung dua atau tiga kriteria. Tetapi lalu tidak berarti karya itu ga-gal. Tiadanya salah satu kriteria, dapatlah kita anggap sebagai salah satu kelemahan karya bersangkutan. Tetapi secara keseluruhan, kita tetap dapat mengatakannya bahwa karya itu berhasil. Dalam hal apa keberhasilannya? Penjelasannya dapat dilakukan lewat kriteria-kriteia itu.

Pemahaman mengenai keenam kriteria itu, sangat mungkin akan memudahkan kita untuk menilai karya sastra. Bagaimanapun juga, dengan keenam kriteria itu, kita mempu-nyai ukuran, parameter, atau dasar objektivitas untuk menilai keberhasilan atau kelemahan karya yang bersangkutan. Paling tidak, penilaian kita terhadap karya sastra tertentu, mem-punyai landasan yang dapat dipertanggungjawabkan, objektif, dan beralasan.

(Maman S. Mahayana, Pengajar FSUI, Depok)

Sumber: MAHAYANA-MAHADEWA.COM http://mahayana-mahadewa.com

Novel Populer dan Novel Serius

*Maman S. Mahayana

Pertanyaan yang banyak muncul di kalangan guru sastra yang menyangkut novel populer adalah: kriteria apa yang menjadi ciri pembeda antara novel serius dan novel populer; bagaimana menangkap dan menentukan perbedaan-perbedaan kedua jenis novel itu Pertanyaan berikutnya menyangkut keraguan: apakah para siswa dibolehkan juga membaca novel-novel populer atau hanya novel serius saja? Pertanyaan terakhir berhu-bungan dengan kemungkinan bacaan itu berdampak negatif: apakah novel populer dapat mendatangkan pengaruh buruk bagi siswa atau tidak?

Sebagai usaha untuk menumbuhkan minat membaca dan meningkatkan apresiasi sastra para siswa, guru sastra hendaklah bersikap arif. Seyogianya kita tidak melarang para siswa untuk membaca novel jenis apapun, karena masalah itu akan dapat disikapi oleh para siswa sendiri sejalan dengan bertambahnya wawasan dan meningkatnya apre-siasi mereka terhadap karya sastra. Semakin luas wawasan seseorang dan semakin tinggi tingkat apresiasinya, semakin selektif dan mendalam pula tuntutan seseorang dalam me-nentukan bahan bacaannya.

Demikianlah, jika ada seorang siswa yang membaca novel-novel populer, kita tak perlu terlalu mengkhawatirkan dampak negatifnya. Tugas kita tinggal menawarkan, kar-ya-karya sastra apa dan karya siapa saja yang sepantasnya dibaca. Mengapa karya-karya tertentu yang sepantasnya dibaca dan mengapa pula yang lainnya tidak? Apa manfaatnya dan apa pula alasannya? Untuk menjawab beberapa pertanyaan itulah, kita perlu me-ngetahui beberapa ciri yang membedakan novel serius dan novel populer.

Seperti juga novel serius, novel populer pun ada yang disajikan secara baik, ada pula yang tidak. Ada novel populer yang bagus, ada pula yang buruk. Meskipun demiki-an, menurut para pakar kebudayaan populer (popular culture), novel populer dan semua karya kebudayaan populer, berangkat dari niat komersial. Tujuan utamanya adalah meng-hasilkan sesuatu yang bersifat materi. Mengingat tujuan utamanya komersial, maka kar-ya-karya populer ditujukan untuk berbagai lapisan masyarakat. Guna mencapai sasaran itu, unsur hiburan menduduki tempat yang sangat penting.

Akibat unsur hiburan begitu ditonjolkan, maka unsur lainnya sering diabaikan. Pe-nekanan yang sedemikian rupa terhadap unsur hiburan inilah yang kemudian banyak men-jerumuskan pengarangnya untuk mengobrol hiburan murahan, bahkan cenderung rendah dan mengabaikan norma-norma kesusilaan. Novel-novel yang mengeksploitasi pornografi misalnya, termasuk ke dalam jenis novel populer yang buruk yang menampilan hiburan dengan selera rendah.

Apakah novel-novel karya Mira W., Marga T., Ike Soepomo, V. Lestari -sekadar menyebut beberapa nama- termasuk jenis novel seperti itu? Seperti telah disebutkan, novel populer ada yang baik ada pula yang buruk. Karya-karya para pengarang di atas, dapatlah dikatakan sebagai novel populer yang baik. Lalu atas dasar apa novel itu disebut populer dan mengapa tidak dimasukkan ke dalam novel serius?

Ciri umum yang paling mudah kita tangkap dalam novel populer adalah bentuk covernya yang sering menonjolkan warna cerah, ilustrasi agak ramai, gambar wanita de-ngan tetesan air mata atau gambar pemuda yang sedang memeluk kekasihnya. Indikator luar ini tentu saja belum dapat sepenuhnya untuk menentukan sebuah novel populer atau tidak. Oleh karena itu, perlu kita mencermati pula indikator dalamnya yang menyangkut unsur-unsur intrinsik novel yang bersangkutan. Mari kita periksa!

Dari segi penokohan, novel populer umumnya menampilkan tokoh-tokoh yang tidak jelas identitas tradisi-kulturalnya. Hal tersebut dapat dilihat dari nama tokohnya, seperti Fredy, Sisca, Frans, Boy, Vera, Tommy atau Yance. Mengingat nama-nama itu ti-dak berakar pada kultur daerah, maka identitas sebagian besar tokohnya ditandai dengan latar perkotaan. Adapun tema-tema yang diangkat umumnya menyangkut percintaan para remaja yang masih bersekolah atau mahasiswa. Jika tokoh-tokohnya seperti itu, maka konflik yang muncul di antara tokoh itu berkisar pada status sosial orang tua masing-masing, perebutan pacar, atau persoalan-persoalan remeh-temeh di sekitar usia pubertas.

Dari segi latar tempat dan latar peristiwa, novel populer cenderung menampilkan latar kontemporer dengan berbagai peristiwa yang aktual. Karena mengejar aktualitas dan kontemporer itu, maka latar dalam novel-novel populer akan terus berubah sesuai dengan zamannya. Cintaku di Kampus Biru (dunia kampus), Ali Topan Anak Jalanan (dunia SMA) atau Lupus (dunia SMP/SMA), merupakan contoh latar novel populer yang berubah sesuai dengan kondisi dan suasana zamannya. Sebelum itu, novel-novel tahun 1970-an karya Motinggo Busye, Ali Shahab, Abdullah Harahap, menampilkan latar kehi-dupan rumah tangga yang berantakan.

Ciri lain yang cukup menonjol dalam sastra populer adalah tampilnya tokoh-to-koh yang stereotipe. Tokoh ibu tiri, misalnya, akan tampil dengan sifat-sifatnya yang pilih kasih, kejam, judes, munafik, dan sifat buruk lainnya. Tokoh anak-anak remaja, tampil dengan hura-huranya, pesta, rebutan pacar, darmawisata, dan kebiasaan-kebiasaan para remaja, termasuk mungkin juga dengan tawurannya. Dalam kenyataannya, tidak semua ibu tiri berperilaku buruk yang seperti itu. Demikian juga, tidak semua remaja mempu-nyai kebiasaan demikian. Akibatnya, tidak ada kemungkinan lain bagi pembaca untuk memperoleh gambaran yang khas, unik, dan berbeda dengan kelaziman umum.

Tipe tokoh yang stereotipe itu akan dihadapkan dengan problem yang sederhana, tanpa pendalaman. Tujuannya memang agar pembaca tidak perlu berkerut dahi, berpikir kritis, karena ia lebih menekankan pada unsur hiburannya. Bahkan, tidak jarang novel po-puler menyajikan mimpi-mimpi indah dan semu yang menggoda perasaan pembaca.

Dalam hal itu, perasaan pembaca sengaja dimanfaatkan dan dieksploitasi, agar pembaca seolah-olah menjadi bagian dari tokoh-tokoh yang digambarkannya. Itulah sebabnya, pemihakan pengarang kepada tokoh-tokoh yang digambarkannya, sering kali begitu jelas. Pembaca tidak diberi peluang untuk memperoleh penafsiran lain, karena memang tidak ada kemungkinan munculnya ambiguitas atau tafsir ganda. Makna dan amanat yang ditampilkannya bersifat tunggal. Itulah amanat yang banyak terdapat dalam novel populer. Dengan begitu, akhir cerita tidaklah terlalu sulit untuk ditebak, karena memang sengaja dibuat demikian.

Mengingat sastra populer lebih mementingkan kesenangan, kesederhanaan, pe-nyelesaian persoalan yang gampang dan selalu tuntas, dan tidak merangsang pembacanya untuk berpikir, maka dikatakan pula bahwa sastra populer sebagai bacaan untuk mereka yang tidak memiliki pengetahuan; bacaan untuk pembantu rumah tangga, anak-anak atau remaja, dan bukan untuk kaum terpelajar.
***

Apa yang menjadi ciri-ciri novel populer, justru bertentangan dengan ciri-ciri novel serius. Dalam novel serius, pembaca dirangsang untuk berpikir, diperdayai dengan menyelimuti amanat dan pesan pengarangnya. Karena tersembunyinya pesan itu, terbuka peluang bagi pembaca untuk memberi penafsiran yang bermacam-macam. Tema cerita yang rumit, tokoh-tokoh yang mengalami konflik batin dan perubahan sikap. serta latar cerita yang turut mendukung problem yang dihadapi tokoh-tokohnya, justru memberikan banyak hal kepada pembaca. Mungkin pembaca mendapatkan informasi kesejarahan, pe-ngetahuan, pendalaman, dan makna kehidupan manusia.

Secara ringkas, novel serius umumnya menampilkan tema yang kompleks. Meski-pun tak bertema besar atau universal, persoalannya disajikan secara rumit, sehingga me-merlukan penyelesaian yang juga rumit, tidak gampangan, atau mungkin juga tidak ada penyelesaian (open ending). Selain itu, hubungan antar-unsur, seperti tema, latar, tokoh, dan alur, memperlihatkan kepaduannya (koherensi). Dengan demikian, setiap unsurnya hadir secara fungsional; saling mendukung. Dalam novel serius, pengarang cenderung memanfaatkan kebebasan berkreasi (licentia poetica). Dengan kebebasan itu, pengarang akan selalu berusaha menampilkan hal yang baru dengan tetap menjaga orisinalitasnya.

Dalam studi kebudayaan (cultural study), novel serius termasuk ke dalam katego-ri produk kebudayaan tinggi atau elite (high culture), sedangkan novel populer termasuk ke dalam produk kebudayaan massa atau populer (mass culture/popular culture). Kebu-dayaan tinggi atau elite dihasilkan dan diminati hanya oleh kalangan yang sangat terbatas. Pemahaman terhadap produk kebudayaan elite menuntut khalayak yang terlatih, berwa-wasan, dan mempunyai tingkat apresiasi yang tinggi. Mengingat tuntutannya yang demi-kian, maka novel serius dianggap hanya dapat dinikmati oleh kalangan terpelajar.
***

Adanya ciri-ciri yang membedakan novel serius dengan novel populer, tidak ber-arti kita harus mempertentangkan keberadaan kedua jenis novel itu. Tidak perlu pula kita memusuhi keberadaan novel populer, karena novel populer dan novel serius, masing-ma-sing berada dalam kedudukan dan tempatnya sendiri. Yang penting bagi kita adalah pe-mahaman mengenai tempat dan kedudukan masing-masingnya. Dengan pemahaman ini, persoalannya tinggal terserah kepada khalayak pembaca; membaca novel populer akan memperoleh hiburan semata-mata, dan mungkin juga hiburan dengan selera rendah jika novel populer itu tidak baik; dan membaca novel serius, tidak hanya akan memperoleh kenikmatan estetik, tetapi juga pencerahan pikiran dan rasa kemanusiaan.

Dalam konteks apresiasi sastra, tentu saja seyogianya kita memilih novel serius, karena di dalamnya sangat mungkin kita akan memperoleh banyak hal; sangat mungkin pula terjadi beraneka ragam penafsiran. Dengan demikian, terbuka peluang untuk berbe-da pendapat, berargumen, dan menemukan alasan-alasan yang logis. Meskipun demikian, jika kita hendak menggunakan novel populer, maka sepatutnya karya itu termasuk novel populer yang baik. Pemanfaatannya sebaiknya bukan untuk apresiasi, melainkan untuk meningkatkan minat membaca atau sekadar memperoleh hiburan semata-mata.

(Maman S. Mahayana, Pengajar FSUI, Depok)


------------------------------------------------------------------

Sumber: MAHAYANA-MAHADEWA.COM http://mahayana-mahadewa.com/2008/12/05/novel-populer-dan-novel-serius/#ixzz1HoVpP03t



Pengelanaan Sitor Situmorang

PENGELANAAN SITOR SITUMORANG


Maman S. Mahayana

Sitor Situmorang tercatat sebagai salah seorang dari empat tokoh sastrawan Angkatan 45 yang masih hidup. Mereka adalah Mochtar Lubis (lahir 7 Maret 1922), Sitor Situmorang (lahir 2 Oktober 1924), Pramoedya Ananta Toer (lahir 6 Februari 1925), dan Asrul Sani (lahir 10 Juni 1926). Entah mengapa, di antara keempat tokoh itu, penyebutan tarikh kelahiran Sitor kadangkala ditulis salah. A. Teeuw dan J.U. Nasution, misalnya, menyebut tahun 1923. Sementara Ajip Rosidi dan Linus Suryadi menyebut tanggal 21 Oktober 1924 sebagai kelahiran Sitor Situmorang. Terlepas dari persoalan itu, peranan dan kontribusi mereka dalam memperkaya perkembangan khazanah kesusastraan Indonesia telah menempatkan nama dan karya-karya mereka dalam posisi yang khas dan terhormat.

Mencermati riwayat kehidupan keempat tokoh Angkatan 45 itu, kehidupan Sitor agaknya yang paling banyak pengembaraannya di luar negeri. Setelah menyelesaikan pendidikannya di HIS di Balige dan Sibolga, MULO di Tarutung, dan AMS di Jakarta (tidak tamat), ia pada tahun 1943 pergi ke Singapura dan tinggal di sana sampai tahun 1945. Selepas Indonesia merdeka, ia kembali ke Tarutung, Sumatra, dan memimpin surat kabar Suara Nasional (1945—1946). Dua tahun kemudian ia hijrah ke Medan, menjadi Pemimpin Redaksi harian Waspada (1947). Pada saat bekerja di harian itulah, Sitor mengikuti perundingan Indonesia—Belanda di Yogyakarta (1948) dan bertugas sebagai koresponden harian itu. Terjadinya Agresi kedua Belanda menyeret Sitor dalam kemelut peperangan. Ia ditangkap Belanda dan dimasukkan ke penjara Wirogunan, Yogyakarta.

Pada tahun 1950, Sitor Situmorang pergi ke Belanda dan tinggal di Amsterdam selama setahun (1950—1951). Setelah itu, ia bekerja di Kedutaan Indonesia di Paris dan bermukim di sana lebih dari setahun. Pada tahun 1953, ia kembali ke Indonesia. Sepulang dari Paris itulah kiprahnya dalam kesusastraan Indonesia mendapat sorotan banyak pihak. Ia dipandang menyodorkan sesuatu yang baru dalam bentuk dan gaya penulisan puisi dan cerpen Indonesia modern. Selama setahun (1956—1957), ia berkesempatan pergi ke Amerika untuk memperdalam pengetahuan di bidang sinematografi di Universitas California. Kembali ke Indonesia tahun 1957, ia bekerja di harian Berita Nasional dan Warta Dunia. Pernah pula tercatat sebagai pegawai Jawatan Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Selain itu, ia juga menjadi dosen ATNI Jakarta, Anggota Dewan Perancang Nasional, Anggota Badan Pertimbangan Ilmu Pengetahuan (1961—1962), Ketua Lembaga Kebudayaan Nasional (1959—1965). Sebagai wakil seniman, Sitor pun pernah menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).
***

Pada dasawarsa tahun 1950-an, pengaruh Chairil Anwar begitu kuat memasuki gaya, nada (tone), suasana (atmosphere), dan diksi sejumlah penyair Indonesia. Pada saat itulah Sitor Situmorang tampil dengan gaya dan suasana yang berbeda dengan model Chairil Anwar. Sitor seolah-olah hendak mengembalikan lagi bentuk soneta –bahkan lebih jauh lagi, pantun, sebagaimana yang dapat kita cermati dalam antologi pertamanya, Surat Kertas Hijau (1953). Tidak hanya itu, kepenyairannya menjadi sangat menonjol ketika ia juga menyelusupkan filsafat eksistensialisme di dalamnya. Tema keterasingan dan kesepian yang disodorkannya jadi terasa lebih menukik dalam dan bernas.

Belum senyap keterpesonaan orang atas puisi-puisinya, Sitor Situmorang kembali membuat kejutan. Antologi Dalam Sajak (1955) muncul dengan sejumlah besar puisi pendek. Belakangan, banyak pengamat sastra yang menempatkan puisi-puisi pendek itu sebagai salah satu terminal atas keterpengaruhan Sitor pada Haiku (Jepang) dan Imagism (Inggris). Ketika muncul puisi “Malam Lebaran,” yang cuma berisi satu larik: Bulan di atas kuburan, orang pun dibikin makin heboh.

Dari sana, terjadilah kontroversi. Sitor dianggap tidak memahami penanggalan Islam. Meskipun dunia puisi mementingkan imajinasi, bagaimanapun, puisi tetap bertanggung jawab atas logika puisi itu sendiri. Fakta alam menyatakan, bahwa pada malam lebaran, bulan belum muncul. Oleh karena itu, pernyataan Malam Lebaran/ Bulan di atas kuburan, melanggar logika umum. Ia menyatakan sesuatu yang tak mungkin terjadi.

Meskipun demikian, ada juga yang berpandangan lain. Bagaimanapun juga, kadangkala puisi itu lahir secara spontan, tak dapat diduga, bergantung pada bagaimana perasaan tertentu, seperti marah, cinta, rindu, dan berbagai kegelisahan lain, tiba-tiba menggelegak. Ia tak dapat lagi dibendung. Dan penyair merasa perlu untuk menumpahkannya dalam larik-larik puisi.

Dalam kasus puisi Malam Lebaran, latar belakang peristiwanya terjadi pada malam lebaran ketika Sitor hendak berkunjung ke rumah Pramoedya Ananta Toer. Ia lewat dekat kuburan. Jadilah kemudian ada “Malam Lebaran” dan “kuburan”. Di tangan penyair sekelas Sitor, peristiwa itu niscaya sangat menggoda dan menggelisahkannya. Dengan kepiawaiannya membangun simbolisme dan kekuatan menciptakan citraan, peristiwa itu mesti direkam dan dinyatakan menjadi sesuatu yang mempesona dan menakjubkan. Maka, untuk memperkuat kesan yang lebih dalam, diperlukan sebuah simbol yang dapat mendukung citraan yang mewartakan kesepian dan keterasingan sebagai pesannya. Dan kata bulan itulah pilihannya. Maka, lahirlah kemudian sebuah puisi pendek: Bulan di atas kuburan// Sebuah puisi yang memancarkan kekuatan citraan yang begitu hidup dan sekaligus juga menyimpan kekayaan simbolisme.
***

Awal kepenyairan Sitor Situmorang dimulai ketika dua buah puisinya “Kini Diam Segala Makhluk” dan “Terdengar” dimuat Siasat, No. 2, 1948. Selepas itu, Sitor mulai menunjukkan kecerdasan kepenyairannya. Sampai tahun 1951, di antara sejumlah esai yang ditulisnya sejak tahun 1948, ia menghasilkan sekitar 30-an puisi dan sebuah cerpen berjudul “Gerbera” (Mimbar Indonesia, No. 10, 4, 1950). Sejauh pengamatan, pada tahun 1952, tidak ada karya Sitor yang muncul di media massa. Boleh jadi itu disebabkan oleh kesibukannya bekerja di Kedutaan Indonesia di Paris.

Pada tahun 1953, Sitor kembali ke tanah air. Pengalamannya di Eropa dan teristimewa di Prancis dan Italia, laksana membuatnya kerasukan. Mengalirlah puisi-puisinya mengisi lembaran berbagai media massa waktu itu. Menurut J.U. Nasution (Sitor Situmorang sebagai Penyair dan Pengarang Cerita Pendek, 1963: 5) “Sitor sebagai penyair dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern seorang yang terbanyak menghasilkan sanjak.” Ajip Rosidi (1979: 116) yang dalam dasawarsa tahun 1950-an termasuk pengarang yang sangat produktif, menyatakan pula pujiannya. “Pada tahun 1953, Sitor menarik perhatian dunia sastra Indonesia dengan tulisan-tulisannya. Bukan saja karena jumlah tulisan-tulisannya yang melimpah-limpah, tetapi juga karena gayanya yang khas dan memberikan udara segar kepada penulisan puisi waktu itu dan karena filsafat “iseng” yang dibawakannya.”

Antara tahun 1953 sampai 1961, di luar esai-esainya, sekitar 100-an puisi, 20-an cerpen, dan dua buah drama, “Jalan Mutiara” (Zenith, No. 3, 3, 1953) dan “Pulo Batu” (Pujangga Baru, No. 8, 1953), telah dihasilkan Sitor. Kedua drama itu, ditambah satu drama, “Pertahanan Terakhir” kemudian diterbitkan sebagai buku berjudul Jalan Mutiara (1954). Pada periode itu pula, terbit antologi puisinya Surat Kertas Hijau (1953), Dalam Sajak (1955), dan Wajah tak Bernama (1955). Sebuah antologi cerpennya, Pertempuran dan Salju di Paris (1956) memperoleh penghargaan Hadiah Sastra BMKN 1955/1956.

Memasuki tahun 1960-an, kegiatan Sitor Situmorang dalam politik praktis makin banyak menyita waktunya. Kunjungannya ke Cina dan Korea Utara ketika itu, tentu saja dalam rangka kegiatan itu pula. Meskipun demikian, ia masih sempat menulis puisi dan mengumpulkannya dalam antologi, berjudul Zaman Baru (1962). Dalam kata pengantar buku itu, dinyatakan, bahwa antologi ini sebagai …sebuah “dokumen kecil tentang perkembangan kerohanian…” Sesungguhnya, kerohanian yang dimaksud adalah perkembangan kepenyairannya yang waktu itu cenderung mengusung ideologi tertentu.

Selain menghasilkan karya sendiri, Sitor Situmorang juga banyak menerjemahan karya asing. Antara tahun 1953—1957 tercatat sedikitnya delapan karya terjemahan telah dipublikasikannya, yaitu cerpen Shen Chi Chi, “Jenshih Putri Serigala” (Siasat, No. 5, Juli 1951), novel John Wyndham, Triffid Mengancam Dunia (1953), drama John Galswarthy & Robert Midlemans, Hanya Satu Kali (1954), drama M. Nijhoff, Hari Kemenangan (1955) dan Bethlehem (1955), drama R.S. Macnocol, Perwira Tuhan (1955), drama D.I. Sayersm, Jalan ke Joljuta, kulpulan esai E. du Perron, Menentukan Sikap (1957), dan sebuah karya W.S. Bronson, Perjalanan si Pinto (1960).
***

Setahun setelah kerusuhan politik (1966) yang lebih dikenal dengan nama Gerakan 30 September, Sitor Situmorang ditahan dan baru dibebaskan tahun 1974. Dengan kebebasan itulah, penyair kelahiran Harianboho, Tapanuli Utara itu, kembali menekuni –dan menikmati—dunia kepenyairannya. Ia pun mencatat pengelanaannya dalam antologi puisi Dinding Waktu (1976), Peta Perjalanan (1977) –yang mendapat Hadiah Puisi Dewan Kesenian Jakarta 1976-1977— dan Angin Danau (1982).

Pada tahun 1981, terbit pula sebuah antologi cerpennya, berjudul Danau Toba, serta sebuah otobiografi berjudul Sitor Situmorang Seorang Sastrawan 45 Penyair Danau Toba (1981). Sejumlah puisinya yang pernah dihasilkan Sitor Situmorang –kecuali puisinya dalam antologi Zaman Baru (1962)—, dihimpun dan dikumpulkan dalam antologi Bunga di Atas Batu (1989). Belakangan, antologi Bunga di Atas Batu dipilih dan diseleksi kembali menjadi hanya 100 puisi yang dianggap paling mewakili kepenyairannya selama empat dasawarsa (1948—1988). Ke-100 puisi itu diterbitkan dalam antologi Rindu Kelana (1994).

Pada tahun 1984, Sitor Situmorang bermukim di Leiden dan Den Haag, Belanda. Belakangan ia tinggal di Islamabad, Pakistan. Dalam kehidupannya menjadi orang asing, ia ternyata tidak melupakan dunia kepenyairannya.
***

Demikian pengelanaan seorang Sitor Situmorang. Dan segala pengalaman –pahit-getir dan manis-madunya— itu, sesungguhnya dapat kita telusuri kembali melalui karya-karya yang telah dihasilkannya. Boleh jadi, dalam perjalanan hidupnya itu Sitor lebih banyak merasakan kegelisahan, keterasingan, dan kesepian, seperti yang dikatakannya: Bunga di atas batu/dibakar sepi//. Meskipun demikian, kita tak dapat menafikan, peranan Sitor Situmorang yang telah memberi kontribusi penting dalam penggalan perjalanan kesusastraan Indonesia. Bahwa di dalam perjalanannya itu ada warna abu-abu, sepatutnya pula kita menempatkannya dalam konteks kehidupan manusia yang tidak dapat melepaskan dirinya dari fitrah kemanusiaannya. Barangkali, hanya dengan cara itulah kita dapat menempatkan segala apapun secara proporsional, sesuai dengan kotaknya, tanpa harus mengurangi atau melebih-lebihkan.

Itulah Sitor Situmorang, “Si anak hilang (yang) kini kembali” meski “Tak seorang dikenalnya lagi,” kami tetap menempatkannya sebagai tokoh tangguh Angkatan 45 yang lantang berkata: “Kegelisahan tanda hidup!”

Sumber: MAHAYANA-MAHADEWA.COM http://mahayana-mahadewa.com

Penelitian Sastra: Lahan yang Luas dan Berlimpah

PENELITIAN SASTRA: LAHAN YANG LUAS DAN BERLIMPAH

Maman S. Mahayana

Lahan atau objek kajian dalam penelitian kesusastraan sesungguhnya begitu berlimpah. Barangkali juga, selama manusia memerlukan sastra, selama itu pula terbuka peluang bagi sesiapa pun untuk melakukan penelitian terhadap berbagai aspek yang berkaitan dengan keberadaan sastra. Keadaan tersebut tentu saja dimungkinkan oleh banyak faktor. Beberapa di antaranya, dapatlah disebutkan berikut ini.

MSM"Pertama, penelitian sastra meliputi cakupan yang begitu luas dan beragam. Dilihat dari rentang pembagian batas waktunya, penelitian sastra dapat melalui penelusuran secara paradigmatik, atau karya-karya yang sezaman dengan penelusuran secara sinkronik. Baik penelusuran secara paradigmatik, maupun sinkronik, mencakupi penelitian terhadap sastra tradisional –sastra lisan dan naskah-naskah lama— maupun sastra modern.

Kedua, penelitian sastra berhadapan dengan sejumlah karya berlimpah. Dilihat dari ragamnya, penelitian sastra dapat dilakukan terhadap ragam puisi, prosa –novel dan cerpen—, drama, dan esai kritik. Begitu juga perkara yang menyangkut media yang digunakannya: buku, majalah, suratkabar, atau naskah-naskah yang ditulis tangan, sebagaimana yang dilakukan para penulis naskah-naskah lama.

Ketiga, penelitian sastra berurusan dengan berbagai masalah yang tidak pernah selesai, mengingat sastra selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan inovasi. Dilihat dari objek kajiannya, penelitian sastra dapat menumpukan diri pada masalah teks sastra yang sejak zaman entah kapan selalu lahir dan terus lahir, tanpa pernah mati. Kalaupun nyaris mati, ia justru dihidupkan oleh penelitian itu sendiri. Resepsi pembaca tentang karya sastra yang sezaman (sinkronis) dan yang tidak sezaman sesuai perkembangannya (diakronik) dapat pula menjadi lahan penelitian.

Keempat, penelitian sastra dapat dilakukan dengan kesengajaan memasalahkan apa pun yang berhubungan dengan perjalanan dan perkembangan sastra. Sejarah kesusastraan dengan berbagai masalahnya, berikut gejolak masyarakatnya, juga dapat menjadi lahan garapan penelitian sastra. Dilihat dari kelahiran dan perjalanannya, penelitian sastra dapat mengkhususkan diri pada sebuah karya atau sejumlah karya yang dilahirkan dalam kurun waktu tertentu. Peneliti boleh memusatkan perhatiannya hanya pada satu karya, tetapi boleh juga menempatkannya dalam rentang waktu sejarah perjalanannya. Dalam hal itu, peneliti menempatkan salah satu karya sastra dalam konteks sejarahnya.

Kelima, penelitian sastra dapat dilakukan dengan menempatkan teks dalam konteksnya. Dilihat dari sistem sastra, penelitian sastra dapat berorientasi pada keberadaan pengarang sebagai penghasil karya, teks sastra sebagai produk budaya, penerbit –termasuk media massa— sebagai pihak atau lembaga yang memungkinkan karya itu lahir dan menyebar, pembaca sebagai penikmat dan pemberi makna, serta pembaca kritis atau kritikus sebagai pihak yang dianggap mempunyai pengetahuan dan kompetensi dalam bidang sastra dengan berbagai aspeknya.

Tentu saja kita masih dapat menderetkan faktor lain lebih panjang, seperti soal sastra lisan, pengalihan atau pengangkatan bentuk karya sastra ke bidang seni lain, seperti film atau drama, atau juga persoalan yang menyangkut karya-karya terjemahan. Dalam hal ini, keseluruhan penelitian itu tercakup dalam apa yang disebut ilmu sastra atau dalam istilah teknisnya disebut kritik sastra (criticism). Istilah lain yang digunakan dalam pengertian itu adalah telaah sastra, kajian sastra, atau penelitian sastra.

Langkah apa saja yang perlu dilakukan ketika seseorang hendak meneliti salah satu aspek kesusastraan yang begitu berlimpah itu. Bagaimana pula kita dapat dengan mudah memilih dan menentukan objek penelitian sastra yang hendak kita lakukan. Lalu, apanya yang akan kita teliti mengingat dunia sastra dengan berbagai masalahnya itu, sungguh begitu luas dan berlimpah.

***

Penelitian sastra secara akademis termasuk ke dalam kegiatan ilmiah. Di sana ada sejumlah syarat dan prosedur yang terpaksa mesti kita ikuti. Kegiatan ilmiah mensyaratkan pemanfaatkan kerangka teoretis, metodologi, dan perangkat lain yang sering menjadi semacam kaidah dalam sebuah kegiatan ilmiah. Dalam hal ini, tentu saja kita perlu memilih, menggunakan dan mengoperasionalisasikan salah satu (atau salah dua) pendekatan —dari sejumlah pendekatan yang ada— yang dapat kita pandang tepat dan pas sebagai alat analisisnya.

Sejumlah hal itulah yang –barangkali—membuat kita –belum apa-apa—sudah cenderung berkutat dengan teori dan metodologi, tanpa merasa perlu bersentuhan dengan karyanya sendiri yang justru hendak dijadikan objek atau bahan penelitiannya. Kecenderungan itu pula yang membawa dunia akademis terkesan sebagai pihak yang begitu konservatif terhadap teori dan metodologi, tetapi acapkali atau bahkan cenderung mengabaikan keberadaan karya sastranya itu sendiri. Itulah salah satu problem penelitian sastra di lingkungan dunia akademi.

***

Sebelum kita memasuki pembicaraan mengenai langkah-langkah apa saja yang mesti dilakukan kalangan akademis dalam melakukan, menumbuhkan, mengembangkan, dan menggairahkan penelitian sastra, eloklah kita mencermati dahulu bagan berikut ini:

penelitian sastra

Berdasarkan bagan tersebut di atas, Ronald Tanaka membagi penelitian sastra atas dua sistem besar, yaitu sistem makro dan sistem mikro. Meskipun konsep ini sejalan dengan gagasan Rene Wellek dan Austin Warren mengenai apa yang disebutnya sebagai pendekatan esktrinsik dan pendekatan intrinsik, gagasan Tanaka, khasnya mengenai sistem makro, meliputi penelitian yang jauh lebih luas. Dalam hal ini, Tanaka mencoba memasalahkan keberadaan pengarang sebagai penghasil karya, peranan penerbit yang ditempatkannya dalam kerangka sistem produksi dan reproduksi, pembaca sebagai pemberi makna, dan kritikus yang terkadang ikut mempengaruhi citra pengarang. Untuk memberi gambaran lebih jauh, mari kita periksa duduk persoalannya.

Sistem Pengarang
Pengarang dalam sistem sastra makro ditempatkan tidak lebih penting dari pembaca. Harus diakui, bahwa lahir dan hidupnya dunia kesusastraan dimungkinkan oleh keberadaan pengarang. Jadi, meskipun pengarang yang memungkinkan lahirnya karya sastra, dalam konteks sistem sastra, ia diperlakukan sama pentingnya dengan pihak-pihak lain yang berperan dalam menghidupkan keberadaan dunia sastra. Pengarang sebagai kreator, penghasil karya sastra, di zaman modern ini, harus mendasari kemampuannya tidak lagi ada bakat alam, talenta, melainkan juga pada intelektualitas. Seorang pengarang modern, mutlak harus mempunyai kemampuan menciptakan sebuah dunia; dunia yang dibangunnya lewat bahasa. Kemampuan ini tentu saja akan berkutat pada dunia yang itu-itu saja, jika ia juga tidak meluaskan cakrawala pengetahuannya. Dengan demikian, seorang pengarang modern dituntut mempunyai pengetahuan yang luas, agar ia terus berkarya dan tidak kehabisan bahan.

Persoalan itu, dalam sistem pengarang, akan membawa seorang peneliti menelusuri lebih jauh pada latar belakang pendidikan pengarang, kultur yang telah melahirkan dan membesarkannya, lingkungan masyarakat, profesi kepengarangannya, ideologi yang dianut, dan masalah patronase (pengayoman). Jika kita hendak mempersempit masalahnya dan menghubungkannya dengan karya sastra (teks) yang dihasilkannya, maka kita dapat melakukan penelitian mengenai (a) pengarang dan karya-karyanya dengan fokus pada salah satu karyanya, (b) latar belakang pendidikan pengarang dan hubungannya dengan teks yang dihasilkannya, (c) kecenderungan pengarang tertentu –atau sejumlah pengarang—dalam satu komunitas sosial, (d) kecenderungan pengarang tertentu dalam hubungannya dengan kultur masyarakat yang telah melahirkan dan membesarkannya, (e) kepengarangan sebagai sebuah profesi, (f) masalah ideologi pengarang dalam kaitannya dengan teks yang dihasilkannya, (g) teks dalam hubungannya dengan sistem pengayoman.

Sesungguhnya, penelitian mengenai persoalan tersebut di atas, termasuk ke dalam tema-tema umum yang masih mungkin dikerucutkan lebih tajam lagi. Gambaran tersebut sekadar hendak menegaskan, bahwa dari satu aspek saja –sistem pengarang—kita dapat melakukan berbagai macam penelitian sastra.

Sistem Penerbit
Dalam sastra modern, penerbit adalah pihak atau lembaga yang memungkinkan terjadinya produksi dan reproduksi karya sastra. Dalam pengertian ini, di dalamnya termasuk media massa (majalah dan suratkabar) yang juga berperan sama. Dalam hubungannya dengan teks sastra, penerbit dan media massa sering kali terikat oleh kepentingan-kepentingan tertentu (ideologi, ekonomi). Oleh karena itu, di dalam proses penerbitan atau publikasi sebuah karya sastra, tidak terhindarkan adanya pihak lain yang terlibat dalam proses produksi atau reproduksi karya. Dalam hubungan itulah, keterlibatan pihak-pihak itu, seringkali ikut mempengaruhi struktur formal karya.

Hal lain yang berkaitan dengan sistem penerbit menyangkut persoalan distribusi dan penyebaran karya. Penerbit besar atau media massa nasional yang punya jaringan luas dalam soal distribusi akan lain pengaruhnya dibandingkan dengan penerbit swadaya atau media massa lokal. Dalam hal ini, tentu saja tugas peneliti menjadi sangat penting dalam usaha membuat pemetaan konstelasi kesusastraan sebuah komunitas.

Penelitian lain yang dapat dilakukan berkaitan dengan sistem penerbit, berurusan dengan beberapa hal berikut: (a) ideologi dan kepentingan penerbit, (b) peranan dan pengaruh penerbit terhadap struktur formal karya sastra, (c) sistem pengayoman yang dilakukan penerbit, (d) faktor sosial-politik-ekonomi yang mempengaruhi penerbit, (e) jaringan distribusi, dan (f) sasaran pembaca.

Dalam hubungan itu, keberadaan dan peranan penerbit dan media massa penting artinya dalam penelitian sastra, baik yang bersifat sinkronis, maupun diakronis.

Sistem Pembaca
Dalam sistem sastra makro, tidak dibedakan antara penikmat atau pembaca biasa, pembaca ahli dan pembaca kritis atau kritikus (: peneliti). Ronald Tanaka menempatkan pembaca ahli dan pembaca kritis atau kritikus ini dalam sistem kritik. Meski demikian, keberadaan pembaca dalam sistem ini tetap dianggap penting, karena dalam banyak hal, pembaca sering kali ikut mempengaruhi situasi dan kondisi kehidupan kesusastraan. Jadi, keberadaan pembaca tidak dapat diabaikan begitu saja. Mereka tak jarang, justru menjadi bahan pertimbangan pengarang dan penerbit. Dengan demikian, karya sastra yang ditulis dengan sasaran pembaca tertentu, tidak hanya memaksa dan menyeret pengarang untuk mempertimbangkan masalah di luar teks, tetapi juga memaksa penerbit melakukan semacam kompromi, khasnya dengan pengarang. Akibat kompromi itulah, pengarang sering berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Memperbaiki, bahkan mengubah teks sejalan dengan keinginan penerbit yang berorientasi pada (selera) pembaca. Karya sastra populer –yang menekankan pada pemanjaan selera pembaca—dan sastra propaganda –yang berorientasi pada tujuan mempengaruhi ideologi pembaca— misalnya, merupakan contoh kasus ini.

Penelitian yang dapat dilakukan berkaitan dengan sistem pembaca ini, beberapa di antaranya, menyangkut: (a) latar belakang dan kultur pembaca, (b) usia dan jenis kelamin pembaca, (c) pendidikan dan ideologi pembaca, (d) pemaknaan sebuah teks yang ditentukan oleh penguasaan (i) konvensi bahasa, (ii) konvensi budaya, (iii) konvensi sastra, dan (e) penerimaan pembaca terhadap sebuah teks (resepsi sastra) dalam kurun waktu yang sezaman (sinkronis) dan dalam rentang waktu tertentu (diakronis).

Sistem Kritik
Praktik kritik sastra yang membicarakan sebuah karya, penelitian serius terhadap karya sastra, seperti makalah ilmiah, skripsi, tesis, disertasi, atau esai dan resensi buku sastra yang dimuat media massa, merupakan salah satu bahan penelitian yang termasuk ke dalam sistem kritik. Karya-karya itu merupakan pandangan kritikus atau pembaca ahli. Di Indonesia para penulis kritik ini datang dari latar belakang pendidikan yang heterogen. Sesiapa pun yang merasa mempunyai kemampuan untuk menulis kritik dan tulisan-tulisan kritiknya telah banyak dipublikasikan, sering kali ditempatkan dalam posisi sebagai kritikus. Masyarakat pendukung kesusastraan itu sendiri cenderung tidak memasalahkan latar belakang pendidikan penulis kritik. Oleh karena itu, kritik sastra di Indonesia dapat dibagi ke dalam dua bagian besar yaitu kritik akademis dan kritik umum.

Dalam kritik sastra akademis yang sering juga disebut kritik ilmiah, penekanan pada apresiasi mesti didukung oleh alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, objektivitas atas nilai yang dikemukakan, menjadi landasan. Artinya, ia mesti dapat diterima berdasarkan ketentuan ilmiah; persyaratan atau teori tertentu yang di dunia akademis, mutlak perlu karena tuntutannya memang demikian. Sementara itu, dalam kritik umum, ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam dunia ilmiah, mungkin saja tidak dianggap penting. Oleh karena itu, kerangka teoretis dan metodologi yang di dalam kritik akademis sangat penting, dalam kritik umum justru sering diabaikan. Hampir semua media massa (majalah dan suratkabar) lebih menyukai memuat kritik umum daripada kritik akademis. Masalahnya, kritik umum ditulis dalam bahasa yang sangat cair yang memungkinkan dapat dipahami oleh berbagai macam kalangan masyarakat.

Penelitian sastra yang berkaitan dengan sistem kritik ini, menyangkut beberapa hal berikut ini: (a) jenis media yang memuat tulisan kritik, (b) latar belakang pendidikan kritikus, (c) profesi penulis kritik, (d) ideologi yang dianut, (e) model penilaian yang digunakan, yaitu (i) penilaian absolut, (ii) relatif, (iii) perspektif.

***

Selain sistem sastra makro, Ronald Tanaka membicarakan juga ihwal sistem sastra mikro yang dalam istilah Rene Wellek dan Austin Warren disebut pendekatan intrinsik. Dalam sistem ini, teks sastra menjadi pusat perhatian. Teks diperlakukan tidak lagi terikat pada pengarangnya, mengingat teks dianggap otonom, unik, dan berbeda, baik dengan teks sastra yang lain maupun teks nonsastra. Secara ekstrem, pandangan ini membawa pada anggapan bahwa teks sastra hadir ke hadapan pembaca dalam keadaan yang sudah lengkap. Oleh karena itu, di sana tak ada lagi hubungannya dengan pengarang. “Pengarang telah mati!” begitu Roland Barthes, tokoh penting strukturalisme menegaskan pendiriannya.

Pandangan Tanaka tidak seekstrem itu. Dalam hal ini, teks diperlakukan sebagai jembatan yang menghubungkan pengarang dengan pembaca. Ia masih memberi peluang adanya keterkaitan antara teks dan konteksnya. Teks sastra boleh saja dikaitkan dengan pengarang, sejarah, sosio-budaya, filsafat, dan unsur ekstrinsik lainnya.

***

Demikianlah, sesungguhnya begitu berlimpah objek penelitian sastra yang dapat kita lakukan. Penelitian terhadap sejumlah unsur intrinsik sebuah karya sastra yang selama ini banyak dilakukan kalangan akademis –khasnya skripsi—misalnya, merupakan salah satu contoh, betapa tak terhitung banyaknya penelitian mengenai itu. Jadi, sungguh ironis rasanya jika kaum akademis sendiri, kehilangan gairah untuk melakukan penelitian sejenis atau penelitian lain yang belum banyak digarap orang.

Di luar hal itu, masih ada pula kemungkinan penelitian dengan membandingkan satu karya sastra dengan karya sastra lain atau dengan karya nonsastra (intertekstualitas). Mungkin saja karya sastra dibandingkan dengan sejarah, filsafat, sosiologi, psikologi atau bahkan antropologi. Model ini dapat pula dilakukan dengan membandingkan satu karya dari satu negara dengan karya lain dari negara yang berbeda atau satu karya yang berasal dari kultur etnik tertentu dengan kultur etnik lain (studi sastra bandingan).
***

Sejumlah Kendala
Jika berbagai kemungkinan penelitian sastra terbuka luas dan lempang dan objek-objek penelitian sastra begitu berlimpahnya, pertanyaannya kini: Mengapa –seperti telah disinggung—kaum akademis seperti kehilangan gairah untuk melakukan penelitian? Kendala apa saja yang menyebabkan masalah itu seperti penyakit kronis yang tak dapat disembuhkan. Bahwa kaum akademis menyadari adanya penyakit kronis itu, mengapakah penyakit itu dibiarkan hidup dan terus-menerus menggerayangi kegiatan kesehariannya.

Marilah kita coba membuat anatomi!

Pertama, terjebak rutinitas. Kecenderungan kaum akademis tidak (sempat) melakukan penelitian, karena mereka menikmati betul hidup dalam lingkaran rutinitas. Masalah pengajaran dan kegiatan administratif –di lingkungan kampus—sering kali menjadi kambing hitam. Pertanyaannya kini: tidak adakah waktu untuk membaca sesuatu (: buku) baru atau karya sastra terbitan baru? Jika masih sempat melakukan itu, tulislah! Tulisan inilah yang kelak dapat menjadi salah satu cikal-bakal objek penelitian.

Kedua, sergapan ketakutan. Dalam banyak kasus, ada kesan bahwa kaum akademis ini hidup dalam sergapan ketakutan berbuat salah, jika hendak melakukan penelitian. Inilah bahaya yang sebenarnya ditanamkan sendiri. Penelitian sastra sesungguhnya tidak berurusan dengan persoalan benar—salah. Dalam penelitian kualitatif, argumen menjadi sesuatu yang penting. Terterima atau tidak argumen itu, itu soal lain. Jadi, tumpahkan saja gagasan itu, baik atau buruk, itu persoalan nanti.

Ketiga, mengajar seperti kaset yang dapat diputar berulang-ulang. Benar atau tidak asumsi ini, suka atau tidak terhadap anggapan ini, kenyataannya tidak sedikit kaum akademis yang mengajar dengan pola seperti kaset. Dari semester ke semester, ia terus- menerus mengulang hal yang itu-itu saja, tanpa ada usaha untuk melakukan inovasi. Revisi silabus dan satuan acara perkuliahan dalam setiap dua atau tiga tahun, sebenarnya dimaksudkan agar pola pengajaran tidak seperti kaset. Di samping itu, materi kuliah yang dipersiapkan, sering hanya ditulis pokok-pokoknya saja, tanpa berusaha menyusunnya kembali sebagai sebuah tulisan yang utuh. Menyusun kembali pokok-pokok kuliah itu sebenarnya dapat menjadi bahan ajar yang penting yang mungkin suatu saat dapat menjadi sebuah diktat, atau bahkan buku teks yang dapat juga dipelajari masyarakat luas.

Keempat, penelitian sekadar mengejar kum. Satu bahaya lain datang ketika kaum akademis melakukan penelitian sekadar mengejar kum sebagai usaha untuk kenaikan pangkat atau golongan. Cara amatiran model ini tentu saja sangat berbahaya, karena lambat laun, tidak mustahil bakal membunuh profesionalitas. Maka, bekerjalah secara profesional, sesuai dengan profesi dan kewajiban untuk melakukan penelitian.

Kelima, penghargaan tak manusiawi dan tak berbudaya. Karya-karya penelitian di dunia akademi, sering kali tidak mendapat penghargaan yang sewajarnya. Bahkan, tidak jarang pula sama sekali tidak dihargai, untuk tidak mengatakan tidak manusiawi dan tidak berbudaya. Institusi mestinya memberi penghargaan yang lebih beradab, baik penghargaan yang berupa materi, mapun nonmateri.

Keenam, pudarnya tradisi diskusi. Salah satu cara yang memungkinkan tumbuhnya kegairahan melakukan penelitian, kiranya dapat dimulai dengan menciptakan tradisi berdiskusi. Jurusan atau fakultas dapat memfasilitasinya atas nama seminar kecil. Jika tradisi ini rutin dilaksanakan dalam setiap semester dan dalam satu tahun diangkat ke dalam forum yang lebih luas berupa seminar, maka sangat mungkin kegiatan diskusi dan seminar menjadi sebuah kegiatan rutin. Kondisi ini pada gilirannya akan menumbuhkan kegairahan melakukan penelitian. Jika hasil seminar itu dikumpulkan kembali dan coba dipublikasikan dalam bentuk buku, maka dalam setiap tahun akan terbit sebuah buku yang berisi tulisan-tulisan para pengajar itu.

Ketujuh, menikmati otoritas sebagai jago kandang. Bahaya lain yang secara laten datang dan memudarkan kegairahan melakukan penelitian adalah adanya sikap merasa besar di lingkungan sendiri. Oleh karena itu, kebiasaan mengirimkan makalah dalam seminar yang diselenggarakan di luar institusinya, seyogianya menjadi sasaran berikutnya jika tradisi diskusi dan seminar di lingkungan sendiri telah berjalan jadi kegiatan rutin

Kedelapan, keengganan menulis resensi atau esai untuk media massa. Salah satu kewajiban kaum akademi adalah membaca buku. Jika yang dibacanya itu buku baru, informasi tentang buku itu sering kali disampaikan hanya kepada mahasiswanya sendiri. Padahal, jika buku baru itu dibuat resensinya atau esai mengenai buku itu dan coba dipublikasikan di media massa, pengaruh informasi itu jauh lebih luas dan berwibawa. Jika resensi atau esai itu dikembangkan lebih luas dengan membandingkannya dengan buku lain dan sekaligus mencoba menggunakan kerangka teori dan metodologi, maka ia telah masuk kategori karya penelitian. Sayangnya, kaum akademi kurang menyadari pentingnya resensi atau esai ini sebagai salah satu usaha membuat tradisi penelitian.

Itulah beberapa kendala yang sering menghantui kaum akademis kita. Masalahnya kini terpulang pada diri masing-masing. Jika kita menyadari, betapa kegiatan penelitian itu sebagai bagian dari tanggung jawab moral dan profesional kita, maka lakukanlah. Niscaya, kita akan merasakan sendiri bahwa sesungguhnya, penelitian itu memang asyik dan mengasyikkan. Percayalah, hasil penelitian kita itu, sangat mungkin suatu saat kelak, justru bakal ikut membesarkan kita sendiri. Apapun hasilnya, itu soal lain. Sebaliknya, jika Anda masih juga enggan melakukan penelitian, maka dalam kesempatan ini, saya hanya dapat berdoa: “Kembalilah ke jalan yang benar!” ***

Mklh/lokakarya/stba-lia/3—4 Juni 2003

DAFTAR PUSTAKA

Bradbury, Malcolm. 1972. The Social Context of Modern English Literature. London: Compton Printing Ltd.

Damono, Sapardi Djoko. 1993. Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah, Fungsi dan Struktur. Jakarta: Pusat Bahasa.

Luxemburg, Jan van., dkk. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Terj. Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia.

_____________________. 1992. Tentang Sastra. Terj. Achadiati Ikram. Jakarta: Intermasa.

Mahayana, Maman S. 2001. Akar Melayu. Magelang: Indonesia Tera.

Storey, Jhon (Ed.). 1996. Cultural Theory and Popular Culture: A Reader. New York: Harvester Wheatsheaf.

Tanaka, Ronald. 1976. System Models for Literary Macro-theory. Lisse: Peter de Rider Press.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Terj. Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.

Sumber: MAHAYANA-MAHADEWA.COM http://mahayana-mahadewa.com

Biodata Ringkas Sastrawan Indonesia

BIODATA RINGKAS SASTRAWAN INDONESIA

Oleh Maman S. Mahayana

klr“Tidak ada satu pun kamus yang sempurna!” Demikianlah pernyataan ini ibarat sebuah rumus yang diberlakukan dalam bidang leksikografi; sebuah ilmu yang mempela-jari selok-belok dunia perkamusan. Ketika sebuah kamus selesai disusun dan kemudian masuk dalam proses penerbitan, ketika itu pula muncul entri-entri (butir masukan) baru yang harusnya tercatat dalam kamus yang bersangkutan. Jadilah kamus itu meninggalkan sejumlah entri. Mereka itu tercecer lantaran berbagai hal: kemunculannya belakangan, terlupakan, terlalaikan, sengaja diluputkan karena alasan subjektif atau karena kelelahan (atau kemalasan?) penyusun untuk mengorek lebih jauh data-data mutakhir. Itulah yang terjadi dalam setiap penerbitan kamus. Tidak terkecuali juga Leksikon Susastra Indone-sia1 (selanjutnya disingkat LSI) yang disusun Korrie Layun Rampan ini.

Meski begitu, tentu saja LSI menempati kedudukan yang khas. Ia tetap dapat ber-fungsi sebagai panduan awal untuk mengetahui serba sedikit riwayat hidup sastrawan-sastrawan Indonesia -sejak Tirto Adhi Soerjo2 dan Mas Marco Kartodikromo- sampai ke sastrawan Indonesia yang muncul awal tahun 2000. Selain itu, ia juga punya arti penting sebagai dokumentasi data atas munculnya sastrawan, karya, dan berbagai hal -nama surat kabar, majalah, lembaga, istilah atau peristiwa- yang berkaitan langsung dengan kehidupan dan perjalanan sastra Indonesia. Kelak, jika ia terus direvisi, dimasukkan nama dan data mutakhir, ia akan menjadi semacam alat pengakuan, atau bahkan legitimasi bagi kehadiran dan peranan kesastrawanan seseorang.

Dalam kesusastraan negara mana pun di dunia ini, buku sejenis yang memuat se-jumlah nama pengarang berikut karya-karya yang dihasilkannya, juga sering kali diposisi-kan demikian. Buku Twentieth Century Authors A Biographical Dictionary of Modern Literature yang disusun Stanley J. Kunitz dan Howard Haycraft (1963), misalnya, meru-pakan contoh yang baik, bagaimana buku itu hingga kini dipandang sebagai buku yang berwibawa dan penting yang memuat nama para pengarang Amerika berikut bioadata ringkas dan karya-karya yang telah dihasilkannya. Secara periodik dalam waktu selam-batnya lima atau 10 tahun, buku itu akan mengalami revisi dan penambahan entri. Tidak mengherankan jika dalam setiap edisi, jumlah halaman buku itu akan terus membengkak. Jangan lupa, di dalamnya tidak hanya dimuat nama-nama baru, melainkan juga data dan karya-karya mutakhir.

Dalam leksikografi, buku jenis ini termasuk kategori sebagai kamus khusus yang memuat semacam dokumen biografis. Dan dalam sejarahnya, -seperti telah dinyatakan di atas- tidak ada satu pun kamus yang lengkap. Selalu saja ada yang tercecer dan luput di-masukkan sebagai entrinya. Jadi, jika dalam LSI kita menemukan sejumlah nama yang lu-put, maka anggaplah masalah itu sebagai kealpaan manusiawi belaka.

Jika LSI hendak ditempatkan dalam perjalanan sejarah sastra Indonesia, maka ini-lah buku yang paling banyak memuat nama-nama sastrawan Indonesia. Amal Hamzah3 meskipun hanya memuat beberapa pembicaraan novel dan drama, berikut pengarangnya, dapatlah dianggap sebagai perintis. Kemudian Teeuw dan R. Roolvink,4 yang diikuti pula Zuber Usman,5 Bakri Siregar,6 belakangan H.B. Jassin7 dan Ajip Rosidi.8 Mereka lebih banyak memberi tempat pada perbincangan sejarah sastra Indonesia. Yang nyaris tak ber-beda dengan penyusunan LSI pernah dilakukan Pamusuk Eneste, Leksikon Kesusastraan Indonesia Modern (LKIM) (Jakarta: Gramedia, 1982; Edisi Baru, Djambatan, 1990).

Memperhatikan LSI dan membandingkannya dengan LKIM, yang segera tampak ke hadapan kita adalah adanya pola penyusunan yang sama. Sejumlah entri dalam LKIM yang hampir semuanya termuat dalam LSI,9 sedikit sekali yang mengalami penambahan data. Bahkan dalam soal penyusunan entri yang mendasarinya pada urutan alfabetis, da-lam beberapa bagian, Korrie cenderung tidak taat asas, termasuk di dalamnya menyang-kut penyusunan indeks.10

Sementara itu dilihat dari jumlah entrinya, mengingat LSI terbit belakangan, maka LSI jauh lebih banyak, yaitu memuat 1382 entri yang terdiri dari 1231 biodata sastrawan dan 151 nama lembaga, majalah, novel, dan hal lain yang berkaitan dengan peristiwa sejarah sastra Indonesia. Lalu apa kelebihan LSI dibandingkan LKIM yang disusun Pamu-suk? LKIM yang terbit tahun 1982 memuat 309 entri, termasuk 47 nama istilah, lembaga atau peristiwa. Dalam LKIM edisi baru, termuat 582 entri dengan 499 biodata sastrawan. Dengan begitu, buku LSI memuat lebih dari dua kali lipat entri dalam LKIM edisi baru yang disusun Pamusuk. Jadi, dari segi jumlah data, Korrie telah berhasil mencatat presta-si yang sekaligus menunjukkan ketekunan dan keuletannya yang patut benar kita hargai.

Demikianlah sebagai buku yang memuat nama sejumlah sastrawan kita, tentu saja buku LSI cukup representatif. Nama-nama baru, teristimewa yang berasal dari daerah, seperti menyerbu dan memaksa masuk sebagai entri. Barangkali, kita akan kaget sendiri, betapa jumlah sastrawan daerah jauh melebihi jumlah sastrawan ibukota. Data ini meng-indikasikan bahwa sastrawan daerah tidak lagi bangun dan hanya ngulet, tetapi langsung dengan membuat gerakan menerbitkan karya-karyanya sendiri. Dari sudut itu, fenomena itu dapat dimaknai sebagai petunjuk adanya hasrat besar sastrawan daerah untuk tidak lagi bergantung pada dominasi Jakarta.

Sesungguhnya, sebagaimana telah disinggung tadi, LSI seperti juga buku yang di-susun Stanley J. Kunitz dan Howard Haycraft, dapat menjadi semacam alat legitimasi; cap peran kesastrawan seseorang diakui kiprahnya. Untuk sampai ke arah sana, salah satu syarat yang mutlak disampaikan penyusunnya menyangkut pertanggungjawaban. Apa kriterianya dan atas pertimbangan apa seseorang pantas namanya tercatat dalam buku itu. Dalam hal yang menyangkut pemilihan dan pemilahan, subjektivitas penyusun harus di-akui ikut memainkan peranan. Namun, sejauh ada pertanggungjawaban, sejauh itu pula, siapa pun atau apa pun yang menjadi entri buku itu, tidak akan menjadi persoalan.

Dalam konteks itu, sayang sekali Korrie melakukan kelalaian yang sama, seperti yang juga pernah dilakukan Pamusuk Eneste. Tidak ada ktiteria, tidak ada argumen, dan tidak ada pula pertanggungjawabannya. Di situlah kemudian muncul berbagai masalah. Sekadar mencatat nama-nama atau apapun dan memasukkannya sebagai entri, tentu boleh-boleh saja, dan tidak ada sesiapa pun yang melarang itu. Namun, sebagai sebuah karya penting yang niscaya berdampak pada persoalan legitimasi dan cap peran kesastra-wanan seseorang, bagaimanapun juga pertanggungjawabannya menjadi sangat signifikan. Apalagi kemudian jika persoalannya dikaithubungkan dengan kualitas dan otoritas. Mari kita bincangkan duduk perkaranya.

Ada sejumlah peneliti atau penerjemah asing yang namanya tercatat dalam LSI, tetapi tokoh penting yang sudah cukup lama tinggal di Indonesia dan banyak menerjemahkan karya sastra kita dan membuat film dokumenter tentang sastrawan-sastrawan senior, John H. Mac-Glynn, tidak tercatat dalam LSI. Tentu masih ada nama lain yang juga patut dipertimbangkan, semisal Tinneke Helwig (Belanda) yang mondar-mandir ke Indonesia guna meneliti citra wanita Indonesia dalam sejumlah novel kita. Begitupun George Quinn (Australia) yang meski disertasinya mengenai novel berbahasa Jawa, ia juga pengamat sastra Indonesia yang andal.

Mengenai para peneliti asing ini, sungguh mengherankan tidak ada satu pun yang berasal dari negara tetangga Malaysia. Yahaya Ismail yang penelitiannya mengenai keja-tuhan Lekra, Baha Zain yang mengupas sejumlah novel Indonesia yang terbit pada perio-de 1966–1971, dan A. Wahab Ali yang membandingkan novel-novel awal Malaysia dan novel awal terbitan Balai Pustaka, juga luput dalam LSI.

Kealpaan lain menyangkut nama Aryanti (pseud. Prof. Dr. Haryati Subadio) yang telah menghasilkan empat novel dan satu antologi cerpen.11 Hal yang sama juga terjadi pada sejumlah nama penyair Riau, semisal Syaukani Al Karim dan Hoesnizar Hood.12 Tentu kita masih dapat menderetkan nama-nama lain, teristimewa sastrawan dari berba-gai daerah yang karya-karyanya mungkin saja luput dari perhatian kita.

Di luar persoalan itu, terutama yang menyangkut butir masukannya, ada beberapa hal yang agaknya justru akan sangat baik jika disimpan saja di tempat lain. Pertama, soal adanya sinopsis novel. Ini akan menjadi masalah ketika kita mempertanyakan kriteria dan argumen yang mendasarinya. Pertanyaan: Mengapa Keluarga Gerilya atau Para Priyayi tak terdapat di sana, misalnya, dapat berlanjut dengan pertanyaan serupa untuk novel yang lain yang juga penting mewakili zaman atau periode tertentu. Kedua, soal pemuatan nama majalah, penerbit, dan lembaga. Sedikitnya nama majalah, penerbit, dan lembaga yang menjadi butir masukan LSI, dapat ditafsirkan bahwa “hanya” itu majalah, penerbit dan lembaga yang langsung berhubungan dengan kehidupan sastra Indonesia. Jika tetap hendak dimasukkan sebagai entri, maka boleh jadi nama majalah, penerbit, dan lembaga yang pantas menjadi butir masukan LSI akan mencapai jumlah ratusan. Ketiga, kesan subjektif penyusun terasa agak menonjol jika kita mencermati entri Korrie Layun Ram-pan (hlm. 244–247) yang begitu lengkap dan panjang. Bandingkanlah entri ini dengan 1231 entri lain yang berisi biodata sastrawan.

Bahwa pertanyaan-pertanyaan itu muncul semata-mata lantaran penyusun meng-hindar dari pertanggungjawaban. Jika saja ada keterangan dan argumen yang mendasari penyusunannya, niscaya pertanyaan-pertanyaan itu akan kita simpan saja di dalam laci. Jadi, kembali lagi, muara persoalan itu jatuh pada soal pertanggungjawaban.13

Di luar kelalaian kecil itu, bagaimanapun juga LSI tetap mesti kita tempatkan se-bagai sebuah tonggak penting. Tanpa usaha Korrie, sangat mungkin sejumlah nama yang berkarya “sekali tidak berarti, sesudah itu mati” akan benar-benar mati sebelum ia hidup. Oleh karena itu, dari sudut pendokumentasian, LSI telah menempati posisinya yang khas. Bahkan, jika karya sejenis ini digarap secara sungguh-sungguh, ia akan menjadi sebuah monumen yang sangat mungkin tidak dapat lagi dipisahkan dari perjalanan sejarah kesu-sastraan Indonesia.14 Dengan ketelatenan dan keuletan seorang Korrie Layun Rampan, rasanya kita percaya, Korrie niscaya mampu melakukan itu. Tahniah! ***

Sumber: MAHAYANA-MAHADEWA.COM http://mahayana-mahadewa.com