Thursday, May 19, 2011

Sastra Sejarah dan Sejarah dalam Sastra


Membaca “Penangsang" karya NasSirun PurwOkartun sungguh membuat saya kagum terhadap pengarangnya. Bagaimana tidak, “Penangsang” disuguhkan kepada kita sebagai karya sastra yang mumpuni dilihat sebagai novel pertama lahir dari pengarangnya. Selama ini Kang Nass –panggilan akrabnya– lebih terkenal sebagai seorang kartunis. Sebagai sebuah novel karya pertama, “Penangsan”g menunjukkan kelas Kang Nass dalam dunia kesusastraan. Tak bisa dinihilkan bila di masa yang akan datang ia akan menjadi salah satu tokoh sastrawan penting Indonesia. Siapa tahu.


Membaca “Penangsang” adalah membaca ‘sejarah’. Kisah Pangeran Haryo Penangsang di masa Kerajaan Demak ‘didongengkan’ oleh Kang Nass agak berbeda –bahkan sangat berbeda– dengan teks sejarah dalam “Babad Tanah Jawi”. “Dalam Babad Tanah Jawi”, Haryo Penangsang digambarkan sebagai sosok yang gila kekuasaan dan sangat beringasan, hatinya selalu panas dan jiwanya mudah marah. Melalui novel ini, Kang Nass seperti ingin membalik kisah dalam “Babad Tanah Jawi”. Haryo Penangsang dalam novel ini adalah sosok pemberani, pembela kebenaran dan keadilan, serta penganut ajaran Islam yang bersih, sekaligus penentang sinkretisme di tanah Jawa yang gigih.

Tindakan Kang Nass tersebut membalikkan sejarah dalam “Babad Tanah Jawi” yang selama ini ‘diamini’ khalayak sebagai sebuah kebenaran. Penangsang telah melakukan dekonstruksi sejarah.

Sekali lagi, sejarah diutak-atik. Tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Contoh paling mudah adalah: Pangeran Diponegoro bagi sejarah bangsa Indonesia adalah seorang pahlawan yang sangat dihormati, sedangkan bagi sejarah Belanda, Pangeran Diponegoro adalah seorang ekstrimis, pembangkang dan pemberontak.

Dekontruksi Sejarah dalam Karya Sastra
Ngomong-ngomong soal dekonstruksi sejarah mengingatkan kita pada sosok Pramodya Ananta Toer. Karya-karya Pram memang erat berlilitkan dengan peristiwa sejarah, khususnya sejarah yang dikungkung oleh kekuasaan. Pram memandang sejarah sebagai sebuah perjuangan untuk menciptakan wacana baru dalam masyarakat yang telah dikungkung oleh wacana lain yang telah mapan. Sejarah harus disikapi sebagai sesuatu yang dialektis, sesuatu yang bisa dan boleh diubah karena nilai sebuah peristiwa dalam sejarah selalu tidak bisa lepas dari kekuasaan atau wacana tertentu yang mengukungnya (lihat: Satoto dan Fananie (edt), 2000: 285).

Dalam novel “Arok Dedes” kita juga dapati dekonstruksi sejarah. Satu hal yang mencolok yang didekonstruksi Pram adalah asal-usul, karakteristik, dan perjuangan tokoh Arok dalam merebut kekuasaan dari Tunggul Ametung. Dalam teks sejarah “Serat Pararaton Ken Arok”, asal-usul Ken Arok jelas yakni Putra Brahmana yang dititipkan melalui rahim Ken Endog. Sejarah asa-usul tersebut melegitasi kedudukan Ken Arok sebagai raja. Sedangkan bagi Pram, –melalui kisah “Arok Dedes”– Arok adalah tokoh yang silsilahnya tidak jelas. Arok adalah seorang bocah desa, wong cilik, rakyat kecil yang dengan perjuangannya mampu menjadi raja. Pram seolah ingin mengatakan bahwa wong cilik pun dapat menjadi orang besar.

Dalam beberapa teks sejarah memang terdapat beberapa cuil bagian peristiwa yang tidak ‘diunggah’ dan dikisahkan atau dengan kata lain ‘tidak disejarahkan’. Tentu saja hal tersebut dilakukan dengan pertimbangan dari pihak yang berkepentingan dalam menetapkan mana peristiwa yang patut dijadikan sejarah dan mana peristiwa yang harus dihilangkan. Dalam keadaan seperti itu, maka karya sastra menjadi alternatif untuk mensejarahkan peristiwa yang semestinya disejarahkan.

Ahmad Tohari melalui Trilogi “Ronggeng Dukuh Paruk” mencoba mensejarahkan peristiwa yang semestinya disejarahkan tersebut. Dalam RDP, Ahmad Tohari mengungkap peristiwa-peristiwa yang ditutupi oleh kekuasaan otoriter. Dalam RDP kita kenal ‘episode gelap’, yaitu beberapa naskah asli RDP yang terpaksa disimpan oleh penerbit karena berisikan hal-hal yang diperkirakan dapat menyulitkan penerbit maupun pengarangnya. Episode gelap tersebut mengisahkan kejadian-kejadian pahit yang harus dialami tahanan politik G.30S/PKI di suatu tempat di Jawa Tengah pada pertengahan tahun 1966 (lihat: Satoto dan Fananie (edt), 2000: 285).

Sejarah dalam Sastra
Diangkatnya peristiwa sejarah –sedikit maupun banyak– dalam karya sastra memunculkan pertanyaan bagi kita: Bisakah sastra sejarah dijadikan rujukan sejarah? Atau dengan kalimat tanya lain: Apakah sastra sejarah bisa dipertanggungjawabkan nilai kesejarahannya?

Menurut Kuntowijoyo (1995), sejarah itu berbeda dengan sastra dalam hal: cara kerja, kebenaran, hasil keseluruhan, dan kesimpulan. Sastra adalah pekerjaan imajinasi, kebenaran di tangan pengarang, dengan perkataan lain bersifat subjektif. Sastra bisa berakhir dengan pertanyaan, sedang sejarah harus memberikan informasi selengkap-lengkapnya.

Kita lihat karya Pram yang memang banyak mengangkat sejarah, yang terkenal adalah Tetralogi Pulau Buru. Menurut Teeuw, roman-roman Pulau Buru, yakni “Bumi Manusia”, “Anak Semua Bangsa”, “Rumah Kaca”, dan “Jejak Langkah” adalah roman yang mencitrakan sejarah. Tetralogi Pulau Buru mencitrakan sejarah karena roman ini ditulis berdasarkan peristiwa sejarah periode awal pergerakan nasionalisme Indonesia di satu sisi, tetapi di sisi lain ia sangat didominasi oleh imajinasi Pram sendiri sebagai seorang sastrawan.

Memang, substansi karya sastra tidaklah lepas dari unsur imajinatif sekaligus fiktif. Seorang pengarang mengolah karya sastra dari apa yang dialami dan dilihatnya dengan imajinasi dan kreativitasnya. Karya sastra adalah tiruan dunia nyata. Tiruan berbeda dengan yang ditiru. Semirip apapun dengan aslinya, tiruan tetaplah tiruan. Jika sebuah karya sastra sama persis 100% dengan sejarah, maka kita katakan itu bukanlah karya sastra. Karya sastra memang harus berbeda dengan kisah sejarah. Maka, sastra sejarah dapatlah kita jadikan sebagai salah satu alternatif dalam memahami sejarah.





 

Sukrisno,
Sukoharjo, 27 April 2011
00.30 WIB



Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra (7)

BAB VII
Teori dan Metode Penelitian Multidisiplin

Secara detinitif penelitian multidisiplin atau pluridisiplin adalah penelitian yang melibatkan lebih dari satu disiplin. Dasar perbedaannya adalah intensitas hubungan dan dengan sendirinya cirri-ciri ilmu yang bersangkutan. Dalam hubungan inilah dibedakan tiga macam multidisiplin, yaitu: a) multi disiplin itu sendiri, b) transdisiplin atau antardisiplin, dan c) krosdisiplin atau interdisiplin.

1. Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra atau sosiokritik dianggap sebagai disiplin yang baru. Sebagai disiplin yang berdiri sendiri, sosiologi sastra dianggap baru lahir abad ke-18, ditandai dengan tulisan madame de Stael (Albrecht, dkk., eds., 1970: ix; laurenson dan Swingewood, 1972: 25-27) yang berjudul De la litterature cinsideree dans ses rapports avec les institutions sociales (1800). Meskipun demikian, buku teks pertama baru terbit tahun 1970, berjudul The Sociology of Art and Literature: a Reader, yang dihimpun oleh Milton C. Albercht, dkk. Ada tiga indicator terpenting dalam kaitannya dengan lahirnya suatu disiplin yang baru, diantaranya: a) hadirnya sejumlah masalah baru yang menarik dan pelu dipecahkan, b) adanya metode dan teori yang relevan untuk memecahkannya, dan c) adanya pengakuan secara institusional.

Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat dan dengan demikian harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat, sebagai berikut.
1) Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, diselin oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut anggota masyarakat.
2) Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat.
3) Medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui kompetensi masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung masalah-masalah kemasyarakatan.
4) Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat-istiadat, dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetika, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat berkepentingan terhadap ketiga aspek tersebut.
5) Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat inter subjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya.

Dengan pertimbangan bahwa sosiologi sastra adalah analisis karya sastra dalam kaitannya dengan masyarakat, maka model analisis yang dapat dilakukan meliputi tiga macam, sebagai berikut.
1) Menganalisis masalah-masalah sosial yang terkandung di dalam karya sastra itu sendiri, kemudian menghubungkannya dengan kenyataan yang pernah terjadi. Pada umumnya disebut sebagai aspek ekstrinsik, model hubungan yang terjadi disebut refleksi.
2) Sama dengan di atas, tetapi dengan cara menemukan hubungan antar struktur, bukan aspek-aspek tertentu, denan model yang bersifat dialektika.
3) Menganalisis karya dengan tujuan untuk memperoleh informasi tertentu, dilakukan oleh disiplin tertentu. Model analisis inilah yang pada umumnya menghasilkan penelitian karya sastra sebagai gejala kedua.

2. Psikologi sastra
Dalam hal ini psikologi sastra menganalisis kaitannya dengan psike, dengan aspek-aspek kejiwaan pengarang. Perbedaan yang menonjol antara sosiologi sastra dengan psikologi sastra adalah subjek yang menghasilkan karya.Ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk memahami hubungan antara psikologi dengan sastra, yaitu:
- memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis,
- memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional dalam karya sastra, dan
- memahami unsur-unsur kejiwaan pembaca.

Psikologi sastra yang sebagaimana dimaksudkan dalam hal ini adalah cara-cara penelitian yang dilakukan dengan menempatkan karya sastra sebagai gejala yang dinamis.

3. Antropologi sastra
Salah satu faktor yang mendorong perkembangan antropologi sastra adalah hakikat manusia sebagaimana dikemukakan oleh Ernst Cassirer (1956: 44) manusia sebagai animal symbolicum, yang sekaligus menolak hakikat manusia sebagai semata-mata animal rationale.

Secara definitif antropologi sastra adalah studi mengenai karya sastra dengan relevansi manusia (anthropos). Antropologi dibagi menjadi dua macam, yaitu antropologi fisik dan antropologi kultural, maka antropologi sastra dibicarakan dalam kaitannya dengan antropologi kultural, dengan karya-karya yang dihasilkan manusia, seperti bahasa, religi, mitos, hukum, sejarah, adat istiadat, dan karya seni khususnya karya sastra.

Lahirnya model pendekatan antropologi sastra dipicu oleh tiga sebab utama, yaitu:
1) baik sastra maupun antropologi menganggap bahasa sebagai objek penting,
2) kedua disiplin mempermasalahkan relevansi manusia budaya,
3) kedua disiplin juga mempermasalahkan tradisi lisan, khususnya cerita rakyat dan mitos.

Sosiologi sastra, psikologi sastra, antropologi sastra, sebagai ilmu humaniora jelas mempermasalahkan manusia. Ketiga interdisiplin, sekaligus memberikan intensitas pada sastra dan teori sastra. Perbedaannya, psikologi sastra mempermasalahkan masyarakat, psikologi sastra pada aspek-aspek kejiwaan, antropologi sastra pada kebudayaan. Secara praktis antropologi sastra diharapkan dapat membantu memperkenalkan khazanah sastra yang terpencil dan terisolasi.


Referensi:
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme, Prespektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra (6)

BAB VI
Teori-teori Komunikasi dalam Karya Sastra

Secara etimologis komunikasi berarti hubungan. Sebagai gejala komunikasi karya sastra sastra menunjuk pada sistem yang menghubungkan karya dengan pengarang dan pembaca. Menurut Segers (1978: 24-25) komunikasi sastra lebih rumit dibandingkan dengan komunikasi mesin. Lebih jauh, menurut Ducan (1962: 56), untuk mempelajari komunikasi, kita mesti mempelajari seni.

Salah satu ciri karya sastra yang sangat penting adalah fungsinya sebagai sistem komunikasi. Karya sastra dihasilkan melalui imajinasi dan kreativitas, sebagai hasil kontemplasi secara individual, tetapi karya sastra ditujukan untuk menyampaikan suatu pesan kepada orang lain, sebagai komunikasi. Model Jakobson, dengan enam faktor bahasa (addresser, addressee, context, message, contact, dan code) beserta enam fungsinya (emotive, conative, referential, poetic, phatic, dan metalingual), demikian juga model pendekatan Abrams (ekspresif, pragmatik, mimetik, dan objektif), dianggap sebagai ciri-ciri komunikasi yang mendasari penelitian sastra selanjutnya.

Secara garis besar komunikasi dilakukan melalui:
a) interaksi sosial,
b) aktivitas bahasa (lisan dan tulisan),
c) mekanisme teknologi.

1. Pengarang: Ciri-ciri Anonimitas
Pengarang adalah anggota masyarakat biasa, sama seperti orang lain. Kemampuannya dalam menghasilkan karya sastra disebabkan oleh perbedaaan kualitas, yaitu kualitas dalam memanfaatkan emosionalitas dan intelektualitas, bukan perbedaaan jenis.

Ciri-ciri yang harus dimiliki oleh seorang pengarang, diantaranya:
a) pengarang harus memiliki keterampilan menulis,
b) pengarang dapat mengorganisasikan keseluruhan pengalaman,
c) pengarang harus memiliki ketajaman emosionalitas dan intelektualitas,
d) pengarang harus memiliki kecintaan terhadap masalah-masalah kehidupan, dan
e) pengarang harus memiliki kekuatan imajinasi.

Fluktuasi peranan pengarang sepanjang sejarah sastra Barat dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Abad pertama hingga abad ke-16, dengan diilhami oleh Longinus, memberikan intensitas pada ekspresi dan emosi.
3) Abad Pertengahan (500-1500) pengarang sebagai pencipta kedua, pengarang sebagai semata-mata meniru Maha Pencipta. Di Indonesia tampak dalam sastra Melayu Lama.
3) Abad Renaissance (1400-1700), pengarang sebagai kreator mulai dihargai.
4) Abad ke-18 hingga abad ke-19 pengarang sebagai kreator yang otonom, seniman mendewakan diri, di Indonesia tampak pada Pujangga Baru.
5) Abad ke-20 pengarang disembunyikan di balik fokalisasi, pengarang tersirat, bahkan pengarang dianggap sebagai anonimitas.

2. Karya Sastra: Fokalisasi atau Sudut Pandang
Fokalisasi, dari kata fokus, yang berarti kancah perhatian, perspektif cerita, atau sudut pandang. Istilah fokalisasi pertama kali dikemukakan oleh Genette (Luxemburg, dkk. 1984: 156) dalam bukunya yang berjudul Narrative Discourse (1972). Objek-objek yang dapat difokalisasi, di antaranya: orang, lembaga, dan lingkungan sekitar. Fokalisasi dapat dilakukan oleh seorang tokoh dalam cerita, atau oleh juru cerita itu sendiri. Artinya, menceritakan sesuatu pasti dilakukan melalui perspektif tertentu sesuai dengan sudut pandang fokalisator.

Membedakan antara pencerita dengan fokalisator penting dalam rangka:
a) memisahkan hegemoni subjek kreator terhadap subjek fiksional,
b) menampilkan hakikat intersubjektivitas.

Fokalisasi dapat meningkatkan pemahaman mengenai aspek-aspek kemasyarakatan sebuah karya sastra yang dianalisis. Sudut pandang, gaya bahasa, dan plot dianggap sebagai unsur-unsur utama keberhasilan karya sastra.

3. Pembaca: Jenis dan Peranan
Menurut Luxemburg, dkk. (1984: 76) pembaca dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
a) pembaca di dalam teks,
b) pembaca di luar teks.
c) Pembaca di dalam teks ada dua macam, yaitu:
d) pembaca implisit (cf. Iser, 1987:30-31) mengacu pada partisipasi aktif pembaca dalam memahami karya, pembaca yang dituju oleh pengarang.
e) Pembaca eksplisit adalah pembaca yang disapa secara langsung, pada umumnya menggunakan kalimat “pembaca yang budiman”.

Pembaca di luar teks juga dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
- Pembaca yang diandaikan adalah pembaca yang berada di luar teks, pembaca yang (seharusnya) disapa oleh pengarang, pembaca yang diumpamakan membaca suatu karya oleh pengarang.
- Pembaca yang sesungguhnya merupakan objek eksperimental.


Referensi:
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme, Prespektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra (5)

BAB V
Teori-teori Postrukturalisme

1. Hubungan antara Postmodernisme dengan Postrukturalisme
Paradigma postrukturalisme adalah cara-cara mutakhir, baik dalam bentuk teori maupun metode dan teknik, yang digunakan dalam mengkaji objek. Sebagai cara yang baru, teori postrukturalisme yang sudah berkembang selama kurang lebih setengah abad, sejak awal abad ke-20.

Postmodernisme, dari kata ‘post’ + modern + ’isme’, yang berarti paham sesudah modern, dan postrukturalisme, dari kata ‘post’ + struktur + ‘isme’, yang berarti paham sesudah struktur, baik secara historis pragmatis maupun intelektual akademis memiliki kaitan yang sangat erat. Postmodernisme berkembang dalam berbagai bidang ilmu, seperti: arsitektur, perencanaan kota, sejarah, ekonomi, politik, psikologi, teknologi media massa, filsafat, bahasa, dan seni, termasuk sastra. Sebagai gejala kultural, postrukturalisme dianggap bagian postmodernisme. Postrukturalisme merupakan tradisi intelektual postmodernisme.

Postmodernisme dan postrukturalisme berkembang dengan sangat pesat, dipicu paling sedikit oleh tiga indikator yang saling melengkapi sebagai berikut:
1) Postmodernisme dan postrukturalisme sebagai kecenderungan mutakhir peradaban manusia berkembang dalam situasi dan kondisi yang serba cepat.
2) Perkembangan pesat kajian wacana, baik dalam bidang sastra, sebagai teks, maupun nonsastra, sebagai diskursus.
3) Perkembangan pesat interdisipliner yang memungkinkan berbagai disiplin dalam kajian tunggal.

2. Teori-teori Postmodernisme
Postmodern pada dasarnya masih merupakan bagian integral Zaman Modern. Zaman Modern ditandai dengan dimanfaatkannya metode eksperimental dan matematis, sekaligus ditinggalkannya secara definitif visi Aristotelian. Beberapa perintis, di antaranya: Leonardo da Vinci (1452-1519), Nicolaus Copernicus (1473-1543), Johannes Kepler (1571-1630), Galileo Galilei (1564-1643) dsb. Bapak filsuf modern adalah Rene Descartes (1561-1623).

Timbulnya postmodernisme merupakan akibat ketidakmampuan modernism dalam menanggulangi kepuasan masyarakat, yaitu berbagai kebutuhan yang berkaitan dengan masalah sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan pada umumnya. Dunia postmodern dengan demikian diciptakan dengan cara memasukkan konsep-konsep ke dalamnya, bukan benda-benda dengan sifat-sifat yang sudah ada padanya. Sebuah teori tidak perlu dibuktikan kebenarannya, tetapi apakah teori tersebut dapat dimanfaatkan, dan bagaimana hasilnya kemudian.

Sains modern pada gilirannya didekonstruksi oleh Thomas S. Kuhn dalam bukunya yang berjudul The Structure of Scientific Revolutions (1962) dengan argumentasi bahwa perubahan dalam ilmu pengetahuan bukan semata-mata dengan cara memperbaiki atau menafsirkan kembali pengetahuan masa lalu (evolusi), tetapi melalui perubahan (paradigma) secara mendadak (revolusi).

3. Teori-teori Postrukturalisme
Dasar teori-teori postrukturalisme adalah strukturalisme, sedangkan strukturalisme itu sendiri lahir melalui formalisme Rusia, yang mulai berkembang awal abad ke-20 (1915-1930), dengan tokoh-tokoh Roman Jakobson, Victor Shklovsky, Boris Eichenbaum, dan Jurij Tynjanov. Hubungan antara strukturalisme dengan postrukturalisme sangat kompleks. Metode yang digunakan dalam postrukturalisme ialah metode dekonstruksi, tujuannya adalah pluralisme, perbedaan merupakan hakikat yang wajar, perbedaan justru untuk memberikan pengakuan pada unsur lain. Menurut kelompok postrukturalis (Selden, 1986: 101), kekuatan sejarah atau lingistik tidak dapat dikuasai. Postrukturalis lebih banyak menampilkan masalah dibandingkan dengan memberikan jawaban sekaligus menghindarkan logosentrisme. Postrukturalisme pada dasarnya identik dengan post-Saussurean.

Teori-teori yang dimasukkan ke dalam kelompok postrukturalisme adalah resepsi, interteks, feminis, postkolonial, dan dekonstruksi. Teori postrukturalisme diakhiri dengan teori naratologi postrukturalisme.

a. Teori Resepsi Sastra
Secara definitif resepsi sastra, berasal dari kata recipere (Latin), reception (Inggris), yang berarti penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam arti luas resepsi didefinisikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya, sehingga dapat memberikan respons terhadapnya. Dalam kaitannya dengan teori resepsi perlu disebutkan dua buah buku yang sangat relevan, yaitu: Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra (A. Teeuw, terbit pertama kali tahun 1984) dan Resepsi Sastra Sebuah Pengantar (Umar Junus, terbit pertama kali tahun 1985).

b. Teori Interteks
Secara luas interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks yng lain. Secara etimologis (textus, bahasa Latin) berarti tenunan, anyaman, penggabungan, susunan, dan jalinan. Produksi makna terjadi dalam interteks, yaitu melalui proses oposisi, permutasi, dan transformasi. Penelitian dilakukan dengan cara menemukan hubungan-hubungan bermakna di antara dua teks atau lebih. Interteks dapat dilakukan antara novel dengan novel, novel dengan puisi, novel dengan mitos.

Cara praktis aktivitas interteks terjadi melalui dua cara, yaitu:
a) membaca dua teks atau lebih secara berdampingan pada saat yang sama,
b) hanya membaca sebuah teks tetapi dilatarbelakangi oleh teks-teks lain yang sudah pernah dibaca sebelumnya.

Dalam kerangka multikultural, aktivitas intertekstualitas berfungsi untuk membangkitkan kesadaran masa lampau, baik sebagai citra primordial maupun nostalgia, yang pada umumnya disebut teks pastiche.

c. Teori Feminis
Secara etimologis feminis berasal dari kata femme (woman), berarti perempuan (tunggal) yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas sosial. Jadi, tujuan feminis adalah keseimbangan, interelasi gender.

Dalam pengertian yang luas, feminis adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik maupun ekonomi serta kehidupan sosial pada umumnya. Dalam arti sempit, yaitu dalam sastra, feminis dikaitkan dengan cara-cara memahami karya sastra baik dalam kaitannya dengan proses produksi maupun resepsi.

Sebagai gerakan modern, feminisme lahir awal abad ke-20, yang dipelopori oleh Virginia Woolf dalam bukunya yang berjudul A Room of One’s Own (1929). Perkembangan pesatnya terjadi pada tahun 1960-an. Tokoh-tokoh terpenting feminis kontemporer, yaitu: Luce Irigarai, Julia Kristeva, Helena Cixous, dan Donna J. Haraway.

Model analisisnya sangat beragam, sangat kontekstual, berkaitan dengan aspek-aspek sosial, politik, dan ekonomi. Menurut Teuww, beberapa indikator yang dianggap telah memicu lahirnya gerakan feminis di dunia barat tersebut, sebagai berikut:
1) Berkembangnya teknik kontrasepsi, yang memungkinkan perempuan melepaskan diri dari kekuasaan laki-laki.
2) Radikalisasi politik, khususnya sebagai akibat perang Vietnam.
3) Lahirnya gerakan pembebasan dari ikatan-ikatan tradisional.
4) Sekularisasi, menurunnya wibawa agama dalam segala bidang kehidupan.
5) Perkembangan pendidikan yang secara khusus dinikmati oleh perempuan.
6) Reaksi terhadap pendekatan sastra yang mengasingkan karya dari struktur sosial, seperti Kritik Baru dan strukturalisme.
7) Ketidakpuasan terhadap teori dan praktik ideology Marxis orthodox, tidak terbatas sebagai Marxis Sovyet atau Cina, tetapi Marxis di dunia Barat secara keseluruhan.

d. Teori Postkolonial
Secara etimologis postkolonial berasal dari kata ‘post’ dan kolonial, sedangkan kata kolonial itu sendiri berasal dari akar kata kolonial, bahasa Romawi, yang berarti tanah pertanian atau permukiman.

Paling sedikit terkandung empat alasan mengapa karya sastra dianggap tepat untuk dianalisis melalui teori-teori postkolonial.
1) Sebagai gejala kultural sastra menampilkan sistem komunikasi antara pengirim dan penerima, sebagai mediator anatara masa lampau dengan masa sekarang.
2) Karya sastra menampilkan berbagai problematika kehidupan, emosionalitis dan intelektualitis, fiksi dan fakta, karya sastra adalah masyarakat itu sendiri.
3) Karya sastra tidak terikat oleh ruang dan waktu, kontemporaritas adalah manifestasinya yang paling signifikan.
4) Berbagai masalah yang dimaksudkan dilukiskan secara simbolis, terselubung, sehingga tujuan-tujuan yang sesungguhnya tidak tampak. Di sinilah ideologi oriental ditanamkan, di sini pulalah analisis dekonstruksi postkolonial dilakukan.

Ciri khas postkolonialisme dibandingkan dengan teori-teori postmodernis yang lain adalah kenyataan bahwa objeknya adalah teks-teks yang berkaitan dengan wilayah bekas jajahan imperium Eropah, khususnya Indonesia.

e. Teori Dekonstruksi
Kristeva (1980:36-37), menjelaskan bahwa dekonstruksi merupakan gabungan antara hakikat destruksif dan konstruktif. Dekonstruksi adalah cara membaca teks, sebagai strategi. Dekonstruksi tidak semata-mata ditujukan terhadap tulisan, tetapi semua pernyataan kultural sebab keseluruhan pernyataan tersebut adalah teks yang dengan sendirinya sudah mengandung nilai-nilai, prasyarat, ideologi, kebenaran dan tujuan-tujuan tertentu.

Sebagai salah satu model pemahaman postrukturalis, Umar Junus (1996:109-109) memandang dekonstruksi sebagai perspektif baru dalam penelitian sastra. Dekonstruksi justru memberikan dorongan untuk menemukan segala sesuatu yang selama ini tidak memperoleh perhatian. Dekonstruksi memungkinkan untuk melakukan penjelajahan intelektual dengan apa saja, tanpa harus terikat dengan suatu aturan yang dianggap telah berlaku universal.

4. Teori Postrukturalisme Naratologi
Naratologi, seperti telah disinggung di depan adalah bidang ilmu mengenai narasi, studi mengenai bentuk dan fungsi naratif. Narasi meliputi narasi lisan dan tulisan, sastra maupun nonsastra. Secara definitif menurut (cf. Luxemburg, dkk., 1984: 119-120; Rimon-Kenan, 1983: 1-5) struktur wacana atau teks naratif adalah semua teks atau wacana yang isinya merupakan rangkaian peristiwa, yang dibedakan menjadi struktur naratif fiksi dan struktur naratif nonfiksi.

Dengan hadirnya strukturalisme dan postrukturalisme (Gerald Prince, 1982: 4), teori dan analisis naratif menyebar hamper ke seluruh dunia, dibicarakan dalam berbagai disiplin, seperti: filsafat, psikologi, psikoanalitik, semiotika, cerita rakyat, antropologi, dan pemahaman Injil, khususnya linguistik dan sastra.

a. Wacana dan Teks
Secara etimologis wacana berasal dari wacana (Sansekerta), berarti kata-kata atau cara berkata, ucapan, perintah, nasihat. Teks seperti telah disinggung di depan, berasal dari kata textum (Latin), yang berarti tenunan, jalinan, susunan.

Wacana merupakan konsep kunci dalam teori postmodernisme dan postrukturalisme. Wacana berfungsi untuk menyampaikan berbagai informasi, membangun ilmu pengetahuan, meraih kekuasaan, alih teknologi. Pada dasarnya wacana dan teks memiliki identitas yang sama. Meskipun demikian, wacana merupakan bagian dalam struktur naratif secara keseluruhan, sedangkan teks dibicarakan dalam struktur sastra.

b. Tokoh-tokoh Postrukturalisme Naratologi
Tokoh-tokoh postrukturalisme naratologi terdiri dari: Gerard Genette, Gerald Prince, Seymour Chatman, Jonathan Culler, Roland Barthes, Mikhail Mikhailovic Bakhtin, Hayden White, Mary Louise Pratt, Jacques-Marie Emile Lacan, Michel Foucault, Jean-Francois Lyotard, Jean Baudrillard.


Referensi:
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme, Prespektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra (4)

BAB IV
Teori-teori Strukturalisme

1. Prinsip-prinsip Antarhubungan
Dalam strukturalisme konsep fungsi memegang peranan penting. Artinya, unsur-unsur sebagai ciri khas teori tersebut dapat berperanan secara maksimal semata-mata dengan adanya fungsi, yaitu dalam rangka menunjukkan antarhubungan unsur-unsur yang terlibat. Antarhubungan merupakan kualitas energetis unsur. Durkheim (Johnson, 1988: 168) mengenai masyarakat, maka dalam karya, totalitas selalu lebih besar dan lebih berarti dari jumlah unsurnya. Menurut Craib (1994: 177), variasi unsur dalam suatu komunitas hubungan bisa sama, tetapi variasi hubungan akan menghasilkan sesuatu yang sama sekali berbeda.

Sebagai kualitas totalitas, antarhubungan merupakan energi, motivator terjadinya gejala yang baru, mekanisme yang baru, yang pada gilirannya menampilkan makna-makna yang baru. Tanpa antarhubungan sesungguhnya unsur tidak berarti, tanpa antarhubungan unsur-unsur hanya berfungsi sebagai agregasi.

Relevansi prinsip-prinsip antarhubungan dalam analisis karya sastra, di satu pihak mengarahkan peneliti agar secara terus menerus memperhatikan setiap unsure sebagai bagian yang tak terpisahkan dari unsur-unsur yang lain. Antarhubungan yang menyebabkan sebuah karya sastra, suatu masyarakat, dan gejala apa saja agar memiliki arti yang sesungguhnya.

2. Teori Formalisme
Teori formalisme sebagai teori modern mengenai sastra, secara historis kelahiran formalisme dipicu paling sedikit oleh tiga faktor, sebagai berikut :

- Formalisme lahir sebagai akibat penolakannya terhadap paradigm positivisme abad ke-19 yang memegang teguh prinsip-prinsip kausalitas, dalam hubungan ini sebagai reaksi terhadap studi biografi.
- Kecenderungan yang terjadi dalam ilmu humaniora, dimana terjadinya pergeseran dari paradigm diakronis ke sinkronis.
- Penolakkan terhadap pendekatan tradisional yang selalu memberikan perhatian terhadap hubungan karya sastra dengan sejarah, sosiologi, dan psikologi.

Peletak dasar formalisme adalah kelompok formalis Rusia, yang terdiri atas para pakar sastra dan linguistik. Ada dua pusat kegiatan, yaitu :

- Lingkaran Linguistik Moskow yang didirikan tahun 1915 oleh Roman Jakobson, Petr Bogatyrev, dan Grigorii Vinokur.
- Mazhab Opojaz (Masyarakat Studi Puitika Bahasa) Leningrad yang didirikan tahun 1916 oleh Boris Eichenbaum, Victor Sklovski, Osip Brik, dan Lev laukubinskii (Nina Kolesnikoff dalam Irena R Makaryk, ed., 1993: 53).

Tujuan pokok formalisme adalah studi ilmiah tentang sastra, dengan cara meneliti unsur-unsur kesastraan, puitika, asosiasi, oposisi. Metode yang digunakan adalah metode formal. Menurut Luxemburg, dkk. (1984: 35) formalisme dianggap sebagai peletak dasar ilmu sastra modern. Ada dua konsep formalis yang paling terkenal yaitu Fabula dan Sjuzet. Fabula adalah bahan kasar, kejadian yang tersusun secara kronologis. Sjuzet adalah mengorganisasikan keseluruhan kejadian ke dalam struktur penceritaan.

3. Teori Strukturalisme Dinamik
Secara etimologis struktur berasal dari kata structura, bahasa Latin, yang berarti bentuk atau bangunan. Menurut Teeuw (1988: 131), khususnya dalam ilmu sastra, strukturalisme berkembang melalui tradisi formalisme. Artinya, hasil-hasil yang dicapai melalui tradisi formalis sebagian besar dilanjutkan dalam strukturalis. Robert Scholes (1977) menjelaskan keberadaan strukturalisme menjadi tiga tahap: pergeseran paradigma berpikir, metode, dan teori.

Secara definitife strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur, yaitu struktur itu sendiri, dengan mekanisme antarhubungannya, di satu pihak antarhubungan unsur yang satu dengan unsur lainnya, di pihak yang lain hubungan antara unsur (unsur) dengan totalitasnya. Tokoh-tokoh penting strukturalisme, di antaranya: Roman Jakobson, Jan Mukarovsky, Felix Vodicka, Rene Wellek, Jonathan Culler, Robert Scholes.

Lahirnya strukturalisme dinamik didasarkan atas kelemahan-kelemahan strukturalisme sebagaimana yang dianggap sebagai perkembangan kemudian formalisme di atas. Strukturalisme dinamik dimaksudkan sebagai penyempurnaan strukturalisme yang semata-mata memberikan intensitas terhadap struktur intrinsik, yang dengan sendirinya melupakan aspek-aspek ekstrinsiknya. Strukturalisme dinamik mula-mula dikemukakan oleh Mukarovsky dan Felix Vodicka (Fokkema, 1977: 31).

4. Teori Semiotika
Menurut Noth ada empat tradisi yang melatarbelakangi kelahiran semiotika, yaitu: semantik, logika, retorika, dan hermeneutika. Culler (1977: 6) menyebutkan strukturalisme dan semiotika sebagai dua teori yang identik, strukturalisme memusatkan perhatian pada karya sedangkan semiotika pada tanda. Selden (1986: 54) menganggap strukturalisme dan semiotika termasuk ke dalam bidang ilmu yang sama, sehingga keduanya dapat dioperasikan secara bersama-sama. Untuk menemukan makna suatu karya, analisis strukturalisme mesti dilanjutkan dengan analisis semiotika.

Secara definitif, menurut Paul Cobley dan Litza Janz (2002: 4) semiotika berasal dari kata seme, bahasa Yunani, yang berarti penafsir tanda. Literatur lain menjelaskan bahwa semiotika berasal dari kata semeion, yang berarti tanda. Dalam pengertian yang lebih luas, sebagai teori, semiotika berarti studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya, apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia.

Apabila konsep-konsep Saussure bersisi ganda, sebagai diadik, maka konsep-konsep Peirce bersisi tiga, sebagai triadik. Diadik Saussurean ditandai oleh ciri-ciri kesatuan internal, sedangkan triadik Peircean ditandai oleh dinamisme internal. Dilihat dari segi kerjanya, maka terdapat:

- Sintaksis semiotika, yaitu studi dengan memberikan intensitas hubungan tanda dengan tanda-tanda yang lain.
- Semantik semiotika, studi dengan memberikan perhatian pada hubungan tanda dengan acuannya.
- Pragmatik semiotika, studi dengan memberikan perhatian pada hubungan antara pengirim dan penerima.

Dilihat dari faktor yang menentukan adanya tanda, maka tanda dibedakan sebagai berikut.
1) Representamen, ground, tanda itu sendiri, sebagai perwujudan gejala umum:
- qualisigns, terbentuk oleh kualitas: warna hijau,
- sinsigns, tokens, terbentuk melalui ralitas fisik: rambu lalu lintas,
- legisigns, types, berupa hukum: suara wasit dalam pelanggaran.

2) Object (designatum, denotatum, referent), yaitu apa yang diacu:
- ikon, hubungan tanda dan objek karena serupa, misalnya foto,
- indeks, hubungan tanda dan objek karena sebab akibat, seperti: asap dan api,
- simbol, hubungan tanda dan objek karena kesepakatan, seperti bendera.

3) Interpretant, tanda-tanda baru yang terjadi dalam batin penerima:
- rheme, tanda sebagai kemungkinan: konsep,
- dicisigns, dicent signs, tanda sebagai fakta: pernyataan deskriptif,
- argument, tanda tampak sebagai nalar: proposisi.

Di antara representamen, object, dan interpretant, yang paling sering diulas adalah object. Menurut Aart van Zoest (1996: 6), di antara ikon, indeks, dan simbol yang terpenting adalah ikon sebab, di satu pihak, segala sesuatu merupakan ikon sebab segala sesuatu dapat dikaitkan dengan sesuatu yang lain.

Menurut Aart van Zoest (1993: 5-7), dikaitkan dengan bidang-bidang yang dikaji, pada umumnya semiotika dapat dibedakan paling sedikit menjadi tiga aliran, sebagai berikut.
1) Aliran semiotika komunikasi, dengan intensitas kualitas tanda dalam kaitannya dengan pengirim dan penerima, tanda yang disertai dengan maksud, yang digunakan secara sadar, sebagai signal, seperti rambu-rambu lalu lintas, dipelopori oleh Buyssens, Prieto, dan Mounin.
2) Aliran semiotika konotatif, atas dasar ciri-ciri denotasi kemudian diperoleh makna konotasinya, arti pada bahasa sebagai system model kedua, tanda-tanda tanpa maksud langsung, sebagai symtom, di samping sastra juga diterapkan dalam berbagai bidang kemasyarakatan, dipelopori oleh Roland Barthes.
3) Aliran semiotika ekspansif, diperluas dengan bidang ppsikologi (Freud) dan sosiologi (Marxis), termasuk filsafat, dipelopori oleh Julia Kristeva.

Ada banyak cara yang ditawarkan dalam rangka menganalisis karya sastra secara semiotis. Cara yang paling umum adalah oleh Wellek dan Warren (1962), yaitu:
1) analisis intrinsik (analisis mikrostruktur)
2) analisis ekstrinsik (analisis makrostruktur)

Cara yang lain, sebagaimana dikemukakan oleh Abrams (1976: 6-29), dilakukan dengan menggabungkan empat aspek, yaitu:
- pengarang (ekspresif)
- semestaan (mimetik)
- pembaca (pragmatik)
- objektif (karya sastra itu sendiri)

a. Bidang-bidang Penerapan
Sebagai ilmu, semiotika berfungsi untuk mengungkapkan secara ilmiah keseluruhan tanda dalam kehidupan manusia, baik tanda verbal maupun nonverbal. Secara praktis, pemahaman terhadap keberadaan tanda-tanda, khususnya yang dialami dalam kehidupan sehari-hari. Secara teoretis, misalnya dengan teori konflik.

Eco (1979: 9-14) menyebutkan beberapa bidang penerapan yang dianggap relevan, di antaranya:
- semiotika hewan, masyarakat nonhuman,
- semiotika penciuman,
- semiotika komunikasi dengan perasa,
- semiotika pencicipan, dalam masakan,
- semiotika paralinguistik, suprasegmental,
- semiotika medis, termasuk psikiatiri,
- semiotika kinesik, gerakan,
- semiotika musik,
- semiotika bahasa formal: Morse, aljabar,
- semiotika bahasa tertulis: alfabet kuno,
- semiotika bahasa alamiah,
- semiotika komunikasi visual,
- semiotika benda-benda,
- semiotika struktur cerita,
- semiotika kode-kode budaya,
- semiotika estetika dan pesan,
- semiotika komunikasi massa,
- semiotika retorika,
- semiotika teks.

Menurut Aart van Zoest (1993: 102-151), secara akademis semiotika dianggap sesuai diterapkan pada beberapa disiplin : arsitektur, perfilman, sandiwara, musik, kebudayaaan, interaksi sosial, psikologi, dan media massa.

b. Semiotika Sastra
Kehidupan manusia dibangun atas dasar bahasa, sedangkan bahasa itu sendiri adalah sistem tanda. Menurut Noth (1990: 42), tanda bukanlah kelas objek, tanda-tanda hanya hadir hanya dalam pikiran penafsir. Secara definitif tanda adalah sembarang apa yang mengatakan tentang sesuatu yang lain daripada dirinya sendiri.

Menurut van Zoest (1993: 86), dalam teks sastra, ikon yang paling menarik. Ada tiga macam ikon yaitu:

- ikon topografis, berdasarkan persamaan tata ruang,
- ikon diagramatis, berdasarkan persamaan struktur,
- ikon metaforis, berdasarkan persamaan dua kenyataan yang didenotasikan sekaligus, langsung atau tidak langsung.

c. Semiotika Sosial
Semiotika sosial, menurut Halliday (1992: 3-8) adalah semiotika itu sendiri, dengan memberikan penjelasan lebih detail dan menyeluruh tentang masyarakat sebagai makrostruktur. Halliday dalam hubungan ini menganggap bahwa istilah sosial sejajar dengan kebudayaan.

Dalam kaitannya dengan sistematika sosial, Halliday mendeskripsikan tiga model hubungan teks, yaitu:

- medan sebagai ciri-ciri semantis teks
- pelaku yaitu orang-orang yang terlibat
- sarana yaitu ciri-ciri yang diperankan oleh bahasa.

Menurut Marxis, bahwa ide, konsep, dan pandangan dunia individu ditentukan oleh keberadaan sosialnya. Menurut Berger dan Lucmann (1973: 13) kenyataan dibangun secara sosial, kenyataan dengan kualitas mandiri yang tak tergantung dari kehendak subjek.

5. Teori Strukturalisme Genetik
Sejajar dengan strukturalisme dinamik, strukturalisme genetik dikembangkan atas dasar penolakan terhadap strukturalisme murni, analisis terhadap unsur-unsur intrinsik. Strukturalisme genetik ditemukan oleh Lucien Goldmann, seorang filsuf dan sosiolog Rumania-Perancis. Teori tersebut dikemukakan dalam bukunya yang berjudul The Hidden God: a Study of Tragic Vision in the Pensees of Pascal and the Tragedies of Racine. Terbit dalam bahasa Perancis, terbit pertama kali tahun 1956.

Secara definitife strukturalisme genetik adalah analisis struktur dengan memberikan perhatian terhadap asal-usul karya. Secara ringkas strukturalisme genetik berarti bahwa sekaligus memberikan perhatian terhadap analisis intrinsik dan ekstrinsik. Strukturalisme genetik berada pada puncak kejayaannya sekitar tahun 1980an hingga tahun 1990an.

Secara definitife strukturalisme genetik harus menjelaskan struktur dan asal-usul struktur itu sendiri, dengan memperhatikan relevansi konsep homologi, kelas sosial, subjek transindividual, dan pandangan dunia. Dalam penelitian langkah-langkah yang dilakukan, diantaranya:

- meneliti unsur-unsur karya sastra,
- hubungan unsur-unsur karya sastra dengan totalitas karya sastra,
- meneliti unsur-unsur masyarakat yang berfungsi sebagai genesisi karya sastra,
- hubungan unsur-unsur masyarakat dengan totalitas masyarakat,
- hubungan karya sastra secara keseluruhan dengan masyarakat secara keseluruhan.

6. Teori Strukturalisme Naratologi
Naratologi, dari kata narration (bahasa Latin, berarti cerita, perkataaan, kisah, hikayat) dan logos (ilmu). Naratologi juga disebut teori wacana (teks) naratif. Baik naratologi maupun wacana (teks) naratif diartikan sebagai seperangkat konsep mengenai cerita dan pen (cerita) an. Naratologi berkembang atas dasar analogi linguistik, seperti model sintaksis, sebagaimana hubungan antara subjek, predikat, dan objek penderita.

Narasi, baik sebagai cerita maupun penceritaan didefinisikan sebagai representasi paling sedikit dua peristiwa faktual atau fiksional dalam urutan waktu. Secara historis, menurut Marie-Laureryan dan van Alphen (Makaryk, ed,. 1990: 110-114) naratologi dapat dibagi menjadi tiga periode:

- Periode prastrukturalis (hingga tahun 1960-an),
- Periode strukturalis (tahun 1960-an hingga tahun 1980-an), dan
- Periode pascastrukturalis (tahun 1980-an hingga sekarang).


Referensi:
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme, Prespektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra (3)

BAB III
Metode, Metodologi, Teknik, dan Pendekatan

1. Metode, Metodologi, dan Teknik
Metode berasal dari kata methodos, bahasa Latin, methodos berasal dari akar kata meta dan hodos. Meta berarti menuju, melalui, mengikuti, sesudah, sedangkan hodos berarti jalan, cara, arah. Secara luas, metode diartikan sebagai cara-cara, strategi untuk memahami realitas, langkah-langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat. Metode berfungsi untuk menyederhanakan masalah, sehingga lebih mudah untuk dipecahkan dan dipahami. Klasifikasi, deskripsi, komparasi, sampling, induksi dan deduksi, eksplanasi dan interpretasi, kuantitatif dan kualitatif adalah sejumplah metode yang sudah sangat umum penggunaannya.

Metode sering dikacaukan penggunaannya dengan metodologi. Secara etimologis metodologi berasal dari methodos dan logos, yaitu filsafat atau ilmu mengenai metode. Metodologi dengan demikian membahas prosedur intelektual dalam totalitas komunitas ilmiah. Prosedur yang dimaksukan terjadi sejak peneliti menaruh minat terhadap objek tertentu, menyusun proposal, membangun konsep dan model, merumuskan hipotesis dan permasalahan, mengadakan pengujian teori, menganalisis data, dan akhirnya menarik kesimpulan.

Ada tiga cara yang dapat membedakan antara metode dan teknik, bahkan juga dengan teori, sebagai berikut :
- Dengan cara membedakan tingkat abstraksinya.
- Dengan cara memperhatikan faktor mana yang lebih luas ruang lingkup pemakaiannya.
- Dengan cara memperhatikan hubungannya dengan objek.

Atas dasar kekhasan sifat karya sastra, maka sejumlah metode yang perlu dibicarakan dalam analisis karya sastra, diantaranya : metode intuitif, metode hermeneutika, metode formal, analisis isi, dialektik, deskriptif analisis, deskriptif komparatif, dan deskrptif induktif.

a. Metode Intuitif
Metode intuitif dianggap sebagai kemampuan dasar manusia dalam memahami unsur-unsur kebudayaan. Sebagai metode filsafat, menurut Anton Bakker (1984: 39-42), metode intuitif digunakan oleh pendiri neo-Platonisme, yaitu Plotinos (205-270 M). Dasar metodenya ialah filsafat Yunani, khususnya Plato dan Aristoteles. Ciri-ciri khas metode intuitif adalah kontemplasi, pemahaman terhadap gejala-gejala kultural dengan mempertimbangkan keseimbangan antara individu dengan alam semesta.

b. Metode Hermeneutika
Secara etimologis hermeneutika berasal dari kata hermeneuein, bahasa Yunani, yang berarti menafsirkan atau menginterpretasikan. Fungsi utama hermeneutika sebagai metode untuk memahami agama, maka metode ini dianggap tepat untuk memahami karya sastra dengan pertimbangan bahwa di antara karya tulis, yang paling dekat dengan agama adalah karya sastra.

c. Metode Kualitatif
Metode kualitatif ini mempertahankan hakikat nilai-nilai serta memberikan perhatian terhadap data alamiah. Ciri-ciri terpenting metode kualitatif, sebagai berikut :
- Memberikan perhatian utama pada makna dan pesan, sesuai dengan hakikat objek, yaitu studi kultural.
- Lebih mengutamakan proses dibandingkan dengan hasil penelitian sehingga makna selalu berubah.
- Tidak ada jarak antara subjek peneliti dengan objek penelitian, subjek peneliti sebagai instrument utama, sehingga terjadi interaksi langsung diantaranya.
- Desain dan kerangka penelitian bersifat sementara sebab penelitian bersifat terbuka.
- Penelitian bersifat alamiah, terjadi dalam konteks sosial budayanya masing-masing.

d. Metode Analisis Isi
Menurut Vredenbreght (1983: 66-68), secara eksplisit metode analisis isi pertama kali digunakan di Amerika Serikat tahun 1926. Isi dalam metode analisis isi terdiri atas dua macam, yaitu isi laten dan isi komunikasi. Isi laten adalah isi yang terkandung dalam dokumen dan naskah. Isi komunikasi adalah pesan yang terkandung sebagai akibat komunikasi yang terjadi. Objek formal metode analisis ini adalah isi komunikasi. Analisis isi laten menghasilkan arti, analisis komunikasi menghasilkan makna.

d. Metode Formal
Secara etimologis formal berasal dari kata forma (latin), berarti bentuk, wujud. Metode formal adalah analisis dengan mempertimbangkan aspek-aspek formal, aspek-aspek bentuk, yaitu unsur-unsur karya sastra. Tujuan metode formal adalah studi ilmiah mengenai sastra dengan memperhatikan sifat-sifat teks yang dianggap artistik. Ciri-ciri metode formal adalah analisis terhadap unsur-unsur karya sastra, kemudian bagaimana hubungan antara unsur-unsur tersebut dengan totalitasnya. Tugas utama metode formal adalah menganalisis unsur-unsur, sesuai dengan peralatan yang terkandung dalam karya sastra.

e. Metode Dialektika
Secara etimologis dialektika berasal dari kata dialectica, bahasa Latin, berarti cara membahas. Secara historis metode dialektik sudah ada sejak zaman Plato, tetapi diperkenalkan secara formal oleh Hegel. Menurut Hauser (1985: 333-334), dalam dialektika unsur yang satu tidak harus lebur ke dalam unsur yang lain, individualitas justru dipertahankan di samping interdependensinya. Prinsip-prinsip dialektika dikembangkan oleh Friedrich Hegel atas dasar dialektika spiritual, dan Karl Marx atas dasar pertentangan kelas.

f. Metode Deskriptif Analisis
Secara etimologis deskripsi dan analisis berarti menguraikan. Namun, analisis yang berasal dari bahasa Yunani, analyein (‘ana’ = atas, ‘lyein’ = lepas, urai). Metode deskriptif analitik dilakukan dengan cara mendiskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis.

2. Pendekatan dan Problematikanya
Pendekatan didefinisikan sebagai cara-cara menghampiri objek. Pendekatan perlu dikemukakan secara agak luas dengan pertimbangan bahwa pendekatan mengimplikasikan cara-cara memahami hakikat keilmuan tertentu. Pendekatan merupakan langkah pertama dalam mewujudkan tujuan. Pada dasarnya dalam rangka melaksanakan suatu penelitian, pendekatan mendahului teori maupun metode artinya pemahaman mengenai pendekatanlah yang seharusnya diselesaikan lebih dulu, kemudian diikuti dengan penentuan masalah teori, metode, dan tekniknya.

a. Pendekatan Biografis
Menurut Wellek dan Warren (1962: 75), model biografis dianggap sebagai pendekatan yang tertua. Pendekatan biografis merupakan studi yang sistematis mengenai proses kreativitas. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan aktivitas kreatif dibedakan tiga macam pengarang, yaitu :

- Pengarang yang mengarang berdasarkan pengalaman langsung.
- Pengarang yang mengarang berdasarkan keterampilan dalam penyusunan kembali unsur-unsur penceritaan.
- Pengarang yang mengarang berdasarkan kekuatan imajinasi.

b. Pendekatan Sosiologis
Pendekatan sosiologis menganalisis manusia dalam masyarakat, dengan proses pemahaman mulai dari masyarakat ke individu. Dasar filosofis pendekatan sosiologis adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat. Hubungan-hubungan yang dimaksudkan disebabkan oleh :

- Karya sastra dihasilkan oleh pengarang.
- Pengarang itu sendiri adalah angggota masyarakat.
- Pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat.
- Hasil karya sastra itu dimanfaatkan kembali oleh masyarakat.

Pendekatan sosiologis, khususnya untuk sastra Indonesia, baik lama maupun modern menjanjikan lahan penelitian yang tidak akan pernah kering. Setiap hasil karya, baik dalam skala angkatan maupun individual, memiliki aspek-aspek sosial tertentu yang dapat dibicarakan melalui model-model pemahaman sosial. Teori sosial modern oleh kelompok Marxis, seperti Lukacs, Goldmann, Eagleton, Bakhtin, Althusser, Medvedev, dan Jameson, termasuk Marx sendiri.

c. Pendekatan Psikologis
Rene Wellek dan Austin Warren (1962: 81-82) menunjukkan empat model pendekatan psikologis, yang dikaitkan dengan pengarang, proses kreatif, karya sastra, dan pembaca. Pendekatan psikologis kontemporer, sebagaimana dilakukan oleh Mead, Cooley, Lewin, dan Skinner (Schellenberg, 1977), mulai memberikan perhatian pada interaksi antarindividu, sebagai interaksi simbolis, sehingga disebutkan sebagai analisis psikologi sosial. Teori yang paling banyak diacu dalam pendekatan psikologis adalah determinisme psikologi Sigmund Freud (1856-1939). Menurutnya, semua gejala yang bersifat mental, bersifat tak sadar yang tertutup oleh alam kesadaran (Schellenberg, 1997: 18).

d. Pendekatan Antropologis
Antropologi adalah ilmu pengetahuan mengenai manusia dalam masyarakat. Pendekatan antropologi sastra lebih banyak berkaitan dengan objek verbal. Lahirnya pendekatan antropologi karena adanya hubungan ilmu antropologi dengan bahasa, tradisi lisan. Pokok-pokok bahasan yang ditawarkan dalam pendekatan antropologis adalah bahasa sebagaimana dimanfaatkan dalam karya sastra, sebagai struktur naratif, di antaranya:

- Aspek-aspek naratif karya sastra dari kebudayaan yang berbeda-beda.
- Penelitian aspek naratif sejak epik yang paling awal hingga novel yang paling modern.
- Bentuk-bentuk arkhais dalam karya sastra, baik dalam konteks karya individual maupun generasi.
- Bentuk-bentuk mitos dan sistem religi dalam karya sastra.
- Pengaruh mitos, sistem religi, dan citra primordial yang lain dalam kebudayaaan populer.

e. Pendekatan Historis
Pendekatan historis mempertimbangkan historisitas karya sastra yang diteliti, yang dibedakan dengan sejarah sastra sebagai perkembangan sastra sejak awal hingga sekarang, sastra sejarah sebagai karya sastra yang mengandung unsur-unsur sejarah, dan novel sejarah, novel dengan unsur-unsur sejarah. Pendekatan historis pada umumnya lebih relevan dalam kerangka sejarah sastra tradisional.

Objek sasaran pendekatan historis, di antaranya, sebagai berikut :
- Perubahan karya sastra dengan bahasanya sebagai akibat proses penerbitan ulang.
- Fungsi dan tujuan karya sastra pada saat diterbitkan.
- Kedudukan pengarang pada saat menulis.
- Karya sastra sebagai wakil tradisi zamannya.

f. Pendekatan Mitopoik
Secara etimologis mythopoic berasal dari myth. Mitos dalam pengertian tradisional memiliki kesejajaran dengan fabel dan legenda. Pendekatan mitopoik dianggap paling pluralis sebab memasukkan hampir semua unsur kebudayaaan, seperti: sejarah, sosiologi, antropologi, psikologi, agama, filsafat, dan kesenian. Vredenbreght (1983: 5) menyebutnya sebagai pendekatan holistis. Cara penelitian ini sudah dimulai sejak lama, sebelum lahirnya pendekatan objektif dengan teori strukturalisme.

g. Pendekatan Ekspresif
Pendekatan ekspresif berkaitan dengan hal, fungsi, dan kedudukan karya sastra sebagai manifestasi subjek kreator. Pendekatan ekspresif lebih banyak memanfaatkan data sekunder, data yang sudah diangkat melalui aktivitas pengarang sebagai subjek pencipta, jadi sebagai data literer. Wilayah studi ekspresif adalah diri penyair, pikiran, perasaan, dan hasil-hasil ciptaannya. Pendekatan ekspresif juga dapat dimanfaatkan untuk menggali ciri-ciri individualisme, nasionalisme, komunisme, dan feminisme dalam karya, baik karya sastra individual maupun karya sastra dalam kerangka produksi. Pendekatan ekspresif dominan abad ke-19, pada zaman Romantik.

h. Pendekatan Mimesis
Menurut Abrams (1976: 8-9) pendekatan mimesis merupakan pendekatan estetis yang paling primitif. Akar sejarahnya terdapat dalam pandangan Plato dan Aristoteles. Menurut Plato, dasar pertimbangannya adalah dunia pengalaman, yaitu karya sastra itu sendiri tidak bisa mewakili karya sastra sesungguhnya, melainkan hanya sebagai peniruan. Secara hirearkhis karya seni berada di bawah kenyataan. Pendekatan mimesis, khususnya dalam kerangka Abrams bertumpu pada karya sastra.

i. Pendekatan Pragmatik
Pendekatan pragmatis memberikan perhatian utama terhadap peranan pembaca. Subjek pragmatis dan subjek ekspresif, sebagai pembaca dan pengarang berbagi objek yang sama yaitu karya sastra. Secara historis (Abrams, 1976:16) pendekatan pragmatik telah ada tahun 14 SM, terkandung dalam Ars Poetica (Horatius). Secara teoretis dimulai dengan lahirnya strukturalisme dinamik. Pendekatan pragmatis secara keseluruhan berfungsi untuk menopang teori resepsi, teori sastra yang memungkinkan pemahaman hakikat karya tanpa batas.

j. Pendekatan Objektif
Pendekatan objektif mengindikasikan perkembangan pikiran manusia sebagai evolusi teori selama lebih kurang 2.500 tahun. Pendekatan objektif merupakan pendekatan yang terpenting sebab pendekatan apapun yang dilakukan pada dasarnya bertumpu atas karya sastra itu sendiri. Secara historis pendekatan ini dapat ditelusuri pada zaman Aristoteles dengan pertimbangan bahwa sebuah tragedy terdiri atas unsur-unsur kesatuan, keseluruhan, kebulatan, dan keterjalinan. Masuknya pendekatan objektif ke Indonesia sekitar tahun 1960-an, yaitu dengan diperkenalkannya teori strukturalisme, memberikan hasil-hasil yang baru sekaligus maksimal dalam rangka memahami karya sastra.


Referensi:
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme, Prespektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Sunday, May 15, 2011

Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra (2)

BAB II
Paradigma Penelitian Sastra

Secara etimologis paradigm berasal dari bahasa Latin (paradigma), bararti contoh, model, pola. Prinsip-prinsip paradigma dikembangkan oleh Thomas Kuhn dalam buku berjudul The Structure of Scientific Revolution terbit pertama tahun 1962. Menurut Ritzer (1980:2-24) paradigma, yaitu konsep-konsep dasar Kuhn itu sendiri, dibicarakan secara luas dalam barbagai ilmu pengetahuan sejak tahun 1970-an, dengan sendirinya dengan pokok permasalahan yang berbeda-beda, sesuai dengan disiplin yang bersangkutan. Inti permasalah yang dikemukankan oleh Kuhn adalah revolusi ilmiah dalam dunia ilmu pengetahuan. Perkembangan ilmu pengetahuan tidak terjadi secara kumulatif, melainkan secara evolusionis sejak preparadigmatis, paradigmatic itu sendiri, dan proses pengujian melalui kritik dan saran, yang diakibatkan oleh timbulnya paradigma-paradigma lain sebagai tandingan. Adanya perbedaan paradigma oleh para ilmuwan, disebabkan oleh:
1) Unsur dalam diri sendiri.
2) Unsur luar berupa llingkungan fisik.
3)Unsur luar berupa penjelajahan metodologi dan teori.

Menurut Ritzer (1980: 2-24), ada empat factor yang mempengaruhi metode kualitatif:
1) Faktor ontologism, keberadaan objek, yang dengan sendirinya berbeda di antara masing-masing ilmuwan.
2) Faktor epistemologis, bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan. Secara kualitataif, jarak antara subjek dengan objek dipersempit, bahkan seolah-olah tidak ada jarak.
3) Faktor aksiologis, peneltian adalah penilaian, berbeda dengan penelitian kuantitatif yang bebas nilai.
4) Faktor metodologi, keseluruhan proses penelitian, termasuk metode, teori, dan teknik.

Keterlibatan berbagai disiplin dengan berbagai paradigma memiliki segi positif, dengan pertimbangan sebagai berikut:
1) Multiparadigma membuak cakrawala yang lebih luas, cara pemahaman ternyata tidak bersifat tunggal, melainkan plural.
2) Menghilangkan anggapan bahwa sebuah paradigma seperti juga sebuah teori, dapat menjawab semua permasalahan
3) Menciptakan terjadinya saling menghargai pendapat, kelebihan, dan kekurangan orang lain.
4) Keberagaman paradigma jelas mengevokasi keberagaman-keberagaman khazanah cultural.
5) Pluralitas paradigma sesuai dengan semangat postrukturalisme, teori modern yang memberikan perhatian pada hakikat multicultural, dengan memberikan perhatian terhadap kearifan local.


Referensi:
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Wednesday, May 4, 2011

Teori Sastra (11): Intertekstualitas

BAB XI
INTERTEKSTUALITAS

Kajian intertekstualitas dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks (sastra), yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu, misalnya untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik seperti ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan, (gaya) bahasa, dan lainnya, di antara teks yang dikaji. Secara khusus dapat dikatakan bahwa kajian interteks berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya pada karya yang muncul lebih kemudian. Tujuan kajian interteks itu sendiri adalah untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap karya tersebut. Penulisan dan atau pemunculan sebuah karya sering ada kaitannya dengan unsur kesejarahannya sehingga pemberian makna itu akan lebih lengkap jika dikaitkan dengan unsur kesejarahan itu (Teeuw, 1983: 62-5).

Masalah ada tidaknya hubungan antarteks ada kaitannya dengan niatan pengarang dan tafsiran pembaca. Dalam kaitan ini Luxemburg dkk (1989: 10) mengartikan intertekstualitas sebagai: kita menulis dan membaca dalam suatu interteks suatu tradisi budaya, sosial, dan sastra yang tertuang dalam teks-teks. Setiap teks sebagian bertumpu pada konvensi sastra dan bahasa dan dipengaruhi oleh teks-teks sebelumnya.

Kajian intertekstual berangkat dari asumsi bahwa kapan pun karya tulis, ia tidak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya. Unsur budaya, termasuk semua konvensi dan tradisi di masyarakat, dalam wujudnya yang khusus berupa teks-teks kesastraan yang ditulis sebelumya. Dalam hal ini kita dapat mengambil contoh, misalnya, sebelum para pengarang Balai Pustaka menulis novel, di masyarakat telah ada hikayat dan berbagai cerita lisan lainnya seperti pelipur lara. Sebelum para penyair Pujangga Baru menulis puisi-puisi moderennya, di masyarakat telah ada berbagai bentuk puisi lama, seperti pantun dan syair, di samping mereka juga berkenalan dengan puisi angkatan 80-an di negeri Belanda yang telah mentradisi. Kemudian, sebelum Chairil Anwar dan kawan-kawan seangkatannya menulis puisi dan prosa di masyarakat juga telah ada puisi-puisi modern ala Pujangga baru, berbagai puisi drama, di samping tentu saja puisi-puisi lama. Demikian pula halnya dengan penulisan prosa, dan begitu seterusnya, terlihat adanya kaitan mata rantai antara penulisan karya sastra dengan unsur kesejarahannya. Penulisan suatu karya sastra tak mungkin dilepaskan dari unsur kesejarahannya, dan pemahaman terhadapnya pun haruslah mempertimbangkan unsur kesejarahan itu. Makna keseluruhan sebuah karya, biasanya, secara penuh baru dapat digali dan diungkap secara tuntas dalam kaitannya dengan unsur kesejarahan tersebut.

Karya sastra yang ditulis lebih kemudian, biasanya mendasarkan diri pada karya-karya lain yang telah ada sebelumnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, baik dengan cara meneruskan maupun menyimpang (menolak, memutarbalikkan esensi) konvensi. Riffaterre mengatakan bahwa karya sastra selalu merupakan tantangan, tantangan yang terkandung dalam perkembangan sastra sebelumnya, yang secara konkret mungkin berupa sebuah atau sejumlah karya. Hal itu, sekali lagi, menunjukkan keterikatan suatu karya dari karya-karya lain yang melatarbelakanginya.

Karya sastra yang dijadikan dasar penulisan bagi karya yang kemudian disebut sebagai hipogram. Istilah hipogram, barangkali dapat diindonesiakan menjadi latar, yaitu dasar, walau mungkin tak tampak secara eksplisit, bagi penulisan karya yang lain. wujud hipogram mungkin berupa penerusan konvensi, sesuatu yang telah bereksistensi, penyimpangan dan pemberontakan konvensi, pemutarbalikan esensi dan amanat teks sebelumnya (Teeuw, 1983: 65). Dalam istilah lain, penerusan tradisi dapat juga disebut sebagai mitos pengukuhan, sedangkan penolakan tradisi sebagai mitos pemberontakan. Kedua hal tersebut boleh dikatakan sebagai sesuatu yang wajib hadir dalam penulisan teks kesastraan, sesuai dengan hakikat kesastraan itu yang selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan invensi, mitos pengukuhan dan mitos pemberontakan.

Adanya karya-karya yang ditransformasikan dalam penulisan karya sesudahnya ini menjadi perhatian utama kajian intertekstual misalnya lewat pengontrasan antara sebuah karya dengan karya lain yang diduga menjadi hipogramnya. Adanyanya unsur hipogram dalam suatu karya, hal itu mungkin disadari mungkin tidak disadari oleh pengarang. Kesadaran pengarang terhadap karya yang menjadi hipogramnya, mungkin berwujud dalam sikapnya yang meneruskan atau sebaliknya menolak, konvensi yang berlaku sebelumnya. Kita lihat misalnya, Chairil Anwar menolak wawasan estetika sajak-sajak angkatan sebelumnya dan menawarkan wawasan estetika baru yang ternyata mendapat sambutan secara luas. Hal itu terlihat, misalnya, dengan banyaknya penyair sesudahnya yang berguru pada puisi-puisinya sehingga hal itu pun akibatnya menjadi konvensi pula.

Dalam kaitannya dengan hipogram itu, Julia Kristeva mengemukakan bahwa tiap teks merupakan sebuah mosaik kutipan-kutipan, tiap teks merupakan penyerapan dan transformasi dari teks-teks lain. hal itu berarti, bahwa tiap teks yang lebih kemudian mengambil unsur-unsurtertentu yang dipandang baik dari teks sebelumnya, yang kemudian diolah dalam karya sendiri berdasarkan tanggapan pengarang yang bersangkutan. Dengan demikian, walau sebuah karya berupa dan mengandung unsur ambilan dari berbagai teks lain, karena telah diolah dengan pandangan dan daya kreativitasnya sendiri, dengan konsep estetika dan pikiran-pikirannya, karya yang dihasilkan tetap mengandung dan mencerminkan sifat kepribadian penulisnya.

Sebuah teks kesastraan yang dihasilkan dengan kerja yang demikian dapat dipandang sebagai karya yang baru. Pengarang dengan kekuatan imajinasi, wawasan estetika, dan horison harapannya sendiri, telah mengolah dan mentransformasikan karya-karya lain ke dalam karya sendiri. Namun, unsur-unsur tertentu dari karya-karya lain tersebut, yang mungkin berupa konvensi, bentuk formal tertentu, gagasan, tentulah masih dapat dikenali (Pradopo, 1987: 228). Usaha pengidentifikasian hal-hal itu dapat dilakukan dengan memperbandingkan antara teks-teks tersebut.

Dalam penulisan teks kesastraan, orang membutuhkan konvensi, aturan, namun hal itu sekaligus akan disimpanginya. Levin bahkan mengatakan bahwa pengakuan konvensi dalam sejarah bertepatan dengan penolakannya. Penulisan sebuah teks kesastraan tidak mungkin tunduk seratus persen pada konvensi. Pengarang yang notabene memiliki daya kreativitas tinggi menciptakan yang baru, yang asli. Namun, pembaharuan yang ekstrem dengan menolak semua konvensi akan berakibat karya yang dihasilkankurang dapat dipahami dan tidak komunikatif. Penyimpangan memang perlu dilakukan namun ia tentunya masih dalam batas-batas tertentu, masih ada unsur konvensi di dalamnya, sehingga masih ada celah yang dapat dimanfaatkan pembaca yang memang telah berada dalam konvensi dan tradisi tertentu.

Prinsip intertekstualitas yang utama adalah prinsip memahami dan memberikan makna karya yang bersangkutan. Karya itu diprediksikan sebagai reaksi, penyerapan, atau transformasi dari karya yang lain. masalah intertekstual lebih dari sekedar pengaruh, ambilan, atau jiplakan, melainkan bagaimana kita memperoleh makna sebuah karya secara penuh dalam kontrasnya dengan karya yang lain yang menjadi hipogramnya, baik berupa teks fiksi maupun puisi. Adanya hubungan intertekstualitas dapat dikaitkan dengan teori resepsi. Pada dasarnya pembacalah yang menentukan ada atau tidak adanya kaitan antara teks yang satu dengan teks yang lain itu, unsur-unsur hipogram itu, berdasarkan persepsi, pemahaman, pengetahuan, dan pengalamannya membaca teks-teks lain sebelumnya. Penunjukan terhadap adanya unsur-unsur hipogram pada suatu karya dari karya-karya lain pada hakikatnya merupakan penerimaan atau reaksi pembaca.


DAFTAR PUSTAKA
Abrams, M. H. 1981. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt, Rinehart and Winston

Adams, Hazard. 1971. Critical Theory Since Plato. New York: Harcout Brace Jovanovich, Inc.

Al-Mausu’ah al-syi’riyyah. tt. Abu Dabi: Al Majma’ al Tsaqafiy lil Imarat al Arabiyyah al Muttahidah. Versi CD.

Badawi, M. M. 1975. A Critical Introduction to Modern Arabic Poetry. Cambridge: Cambridge University Press.

Bartens, Kees. 1985. Filsafat Barat Abad XX, jilid II, Perancis. Jakarta: Gramedia

Beeston A.F.L. dkk. 1983. Arabic Literature to The End of The Umayyad Period. Cambridge: Cambridge University Press.

Culler, Jonathan. 1981. Structuralist Poetics: Structuralism, Linguistics and the Study of Literature. London: Routledge & Kegan Paul.

Damono, Sapardi Djoko. 1977. Sosiologi Sastra. Jakarta: Dikti Depdikbud.

Darma, Budi. 2004. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas.

Eagletton, Terry. 1983. Literary Theory: an Introduction. Great Britain: TJ Press.

Fokkema, D.W dan Elurd Kunne-Ibsch. 1977. Theories of Literature in the Twentieth Century. London: C. Hurst & Company.

Hartoko, Dick. 1982. “Pencerapan Estetik dalam Sastra Indonesia” dalam Basis, XXXV 1 Januari. Yogyakarta: Andi Offset.

Hartoko, Dick. 1986. Kamus Populer Filsafat. Jakarta: CV Rajawali.

Holland, Norman. 1968. The Dynamics od Literary Response. New York: State University Press.

Iser, Wolfgang. 1978. The Act of Reading: a Theoru of Aesthetic Response.

Balitmore and Londong: The John Hopkins University Press.

Jauss, HR. 1982. Toward an Aesthetic of Reception. Minneapolis: University of Minnesota Press.

Juwairiyah. 2004. Sejarah Sastra Arab Masa Jahili. Surabaya: Fakultas Adab IAIN Surabaya dan Penerbit Sumbangsih.

Lesser, Simon O. 1962. Fiction and The Unconscious. New York: State Universitu Press.

Mawardi, Muhammad Ja’far. 2003. Perbandingan Syair Jarir, Farozdaq, dan Akhtol. Surabaya: Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel.

Nasr, Muhammad Ibrahim. 1994. Al-Adab. Riyad: Jami’ah al-Imam Muhammad ibn Saud al-Islamiyyah.

Noth, W.1990. Handbook of Semiotics. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press.

Pradopo, Rachmat Djoko.1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: UGM Press

Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry: Bloomington and London: Indiana University Press.

Santoso, Puji.2003. Bahtera Kandas di Bukit: Kajian Semiotika Sajak-Sajak Nuh. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri

Sarhan, Muhammad. 1978. Al-Adab al-Arab wa Tarikhuhu fi al-Ashr al-Jahili. Beirut: Dar al-Fikr.

Selden, Rahman. 1991. Panduan Pembaca Teori Sastra masa Kini. Diterjemahkan oleh Rachmat D. Pradopo. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Suwondo, Tirto.2003. Studi Sastra: Beberapa Alternatif. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.

Taum, Yoseph Yapi. 1997. Pengantar Teori Sastra. Flores: Nusa Indah.

Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Teeuw, A.1980. “Estetik, Semiotik, dan Sejarah Sastra” dalam Basis No. 301. Bulan Oktober.

Teeuw, A.1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Van Luxemburg, Jan, dkk. 1986. Pengantar Ilmu Sastra. Diindonesikan oleh Dick Hartono. Jakarta: Gramedia.

Wellek, Rena dan Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.


Sumber:
Yusuf, Kamal. 2009. Teori Sastra: Modul Kuliah. Fakultas Adab, Jurusan Bahasa dan Sastra Arab, IAIN Sunan Ampel Surabaya

Teori Sastra (10): Teori Resepsi Sastra II

BAB X
TEORI RESEPSI SASTRA II

Psikoanalisis: Norman Holland dan Simon Lesser
Holland dan Lesser menggunakan terminologi psikoanalisis sebagai alat mendeskripsikan tanggapan pembaca terhadap teks sastra. Norman Holland pertama-tama menempatkan sastra sebagai sebuah pengalaman (bukan sebagai bentuk komunikasi, sebagai bentuk ekspresi, atau sebagai karya seni). Pokok perhatiannya adalah pengalaman pembaca yang dipengaruhi oleh sastra. Menurut dia, semua karya sastra mentransformasikan fantasi-fantasi tak sadar (menurut psikoanalisa) kepada makna-makna kesadaran yang dapat ditemukan dalam interpretasi konvensional. Jadi, makna psikoanalisis merupakan sumber bagi makna-makna lain. makna psikoanalisis harus dicari karena tingkatan makna lain hanyalah manifestasi historis atau sosial.

Bagi Holland, sastra memiliki efek pembebasan sehingga akhir dari semua analisis seni adalah suatu kesenangan hidup. Kesenangan hidup diperoleh melalui pelepasan. Sekalipun karya sastra membuat perasaan kita sakit, bersalah, atau cemas, perasaan-perasaan itu (yang sesungguhnya hanyalah fantasi belaka) kita terima dan kita kuasai sedemikian rupa untuk menjadi pengalaman yang menyenangkan. Gagasan bahwa sastra akan menimbulkan kenikmatan muncul sebagai akibat alternasi ritmik antara “gangguan” dan “penguasaan”.

Simon Lesser dalam bukunya Fiction and the Unconscious (1962) mengembangkan teori emotif melalui model komunikasi yang memungkinkan dia mendeskripsikan efek-efek pembebasan yang dirasakan pembaca. Untuk keperluan ini, Lesser memanfaatkan sarana analisis psikoanalisis: superego, ego, dan id. Seperti Holland, Lesser juga beranggapan bahwa sastra memberikan pembebasan. Akan tetapi, pembebasan ini hanya memadai bila karya sastra itu memberikan kepuasan yang berbeda-beda pada suatu kurun waktu yang sama.

Komponen-komponen kejiwaan itu harus ditempatkan dalam suatu gerakan. Setiap karya sastra memiliki efek-efek superego, ego, dan id yang perlu direfleksikan oleh pembaca. Keterlibatan pembaca ke dalam komponen52 komponen kejiwaan itu hanya dapat terpenuhi bila karya sastra mengandung aspek-aspek yang kontradiktif, ambigu, tumpang-tindih, dan samar. Dengan kata lain, irama konflik (dalam teks) dan solusi (oleh pembaca). Di dalam proses membaca, pembaca menyusun dan menciptakan cerita dalam imajinasi yang terstruktur. Cerita ini sendiri bersifat eliptis (ada sebagiannya yang dihilangkan). Bagian inilah yang harus dihidupkan dengan pengalaman subjektif masing-masing pembaca.

Konvensi Pembacaan: Jonathan Culler
Jonathan Culler menekankan pentingnya perspektif linguistik untuk teori sastra. Ia menerima premis bahwa linguistik memberikan model pengetahuan yang paling baik bagi ilmu pengetahuan, kemanusiaan, dan kemasyarakatan (Culler, 1975: 4-9). Ia menerima pembagian Chomsky tentang kompetensi (sebagai titik mula suatu pengertian dalam sistem bahasa) dan performansi (penggunaan kalimat sesuai dengan pengetahuan mengenai sistem bahasa). Jika diterapkan untuk teori sastra, maka objek poetika yang nyata bukan karya sastra melainkan kemampuan pembaca dalam memahaminya. Yang dimaksud dengan kompetensi adalah sebuah perangkat konvensi untuk membaca teks sastra.

Keinginan Culler yang utama adalah menggeser fokus perhatian dari teks kepada pembaca. Culler menyatakan bahwa suatu teori pembacaan harus mengungkap norma dan prosedur yang menuntun pembaca kepada suatu penafsiran. Kita semua tahu bahwa setiap pembaca memiliki variasi penafsiran yang berbeda-beda mengenai sebuah teks yang sama. Berbagai penafsiran itu harus dapat dijelaskan oleh teori. Sekalipun penafsiran itu berbeda-beda tetapi mungkin saha mereka mengikuti satu konvensi penafsiran yang sama (Selden, 1991: 127).

Studi Sastra harus menerangkan konvensi-konvensi yang memungkinkan suatu karya sastra dapat dipahami. Dalam menghadapi sebuah teks, seorang pembaca yang berkompeten dapat merumuskan cara-cara untuk menafsirkan maknanya, berdasarkan konvensi bahasa dan sastra yang berlaku. Culler melihat struktur tidak menurut sistem yang mendasari teks melainkan menurut sistem yang mendasari tindak penafsiran pembaca. Untuk dapat membaca teks sebagai karya sastra, kita harus memiliki kompetensi sastra yang lebih umum untuk memberi arti kepada aspek-aspek kebahasaan yang kita hadapi.

Kompetensi sastra merupakan salah satu prinsip signifikasi yang terpenting. Kompetensi sastra berkaitan dengan pemahaman terhadap konvensi dalam perwujudan sastra dan karya sastra. Konvensi-konvensi itu sangat beragam sifatnya: ada yang sangat umum, ada pula yang khas dan spesifik, dan ada yang terbatas pada jenis atau tipologi sastra tertentu. Misalnya ada konvensi umum mengenai drama dan lirik. Ada konvensi yang spesifik seperti konvensi pantun dan soneta. Konvensi-konvensi itu yang berfungsi sebagai dasar pemahaman karya sastra bagi seorang pembaca. Kita hanya dapat memahami sebuah puisi misalnya, jika kita tahu apakah puisi itu dalam sebuah konteks bahasa dan budaya tertentu (Teeuw, 1988: 95-106).

Rangkuman Teori Resepsi Sastra
Tumbuhnya teori-teori resepsi sastra dipicu oleh alam pemikiran filsafat (fenomenologi) yang bekembang pada masa itu. Pergeseran orientasi kritik sastra, dari pengarang kepada teks, dan dari teks kepada pembaca diilhami oleh pandangan bahwa teks-teks sastra merupakan salah satu gejala yang hanya menjadi aktual jika sudah dibaca dan ditanggapi pembacanya. Teks hanya sebuah pralogik dan logika yang sesungguhnya justru ada pada benak pembacanya. Teori ini juga muncul sebagai reaksi terhadap sejarah sastra yang tertutup dan hanya menyajikan deretan pengarang dan jenis sastra. Sejarah sastra seolaholah suatu momentum mati yang tidak bisa lagi dinikmati dan dihayati oleh pembaca-oembaca masa kini. Faktor inilah yang menyebabkan Jauss, perintis teori resepsi sastra, memperkenalkan konsep penerimaan sebuah teks. Menurut dia, karya sastra agung adalah karya sastra yang masih dapat dinikmati sekalipun ada jarak estetik yang memisahkannya dari pembaca.

Melalui ketujuh tesisnya, Jauss meletakkan dasar-dasar resepsi sastra dalam kaitannya dengan sejumlah estetika penerimaan. Teori resepsi ini pun segera mendapat perhatian berbagai ahli ilmu sastra. Iser mengkhususkan dirinya pada penerimaan dan pencerapan karya sastra oleh pembaca implisit. Culler beranggapan bahwa pemahaman karya sastra sangat ditentukan oleh kompetensi sastra, yakni kemampuan pembaca mewujudkan konvensi-konvensi sastra dalam suatu jenis sastra tertentu.


DAFTAR PUSTAKA
Abrams, M. H. 1981. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt, Rinehart and Winston

Adams, Hazard. 1971. Critical Theory Since Plato. New York: Harcout Brace Jovanovich, Inc.

Al-Mausu’ah al-syi’riyyah. tt. Abu Dabi: Al Majma’ al Tsaqafiy lil Imarat al Arabiyyah al Muttahidah. Versi CD.

Badawi, M. M. 1975. A Critical Introduction to Modern Arabic Poetry. Cambridge: Cambridge University Press.

Bartens, Kees. 1985. Filsafat Barat Abad XX, jilid II, Perancis. Jakarta: Gramedia

Beeston A.F.L. dkk. 1983. Arabic Literature to The End of The Umayyad Period. Cambridge: Cambridge University Press.

Culler, Jonathan. 1981. Structuralist Poetics: Structuralism, Linguistics and the Study of Literature. London: Routledge & Kegan Paul.

Damono, Sapardi Djoko. 1977. Sosiologi Sastra. Jakarta: Dikti Depdikbud.

Darma, Budi. 2004. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas.

Eagletton, Terry. 1983. Literary Theory: an Introduction. Great Britain: TJ Press.

Fokkema, D.W dan Elurd Kunne-Ibsch. 1977. Theories of Literature in the Twentieth Century. London: C. Hurst & Company.

Hartoko, Dick. 1982. “Pencerapan Estetik dalam Sastra Indonesia” dalam Basis, XXXV 1 Januari. Yogyakarta: Andi Offset.

Hartoko, Dick. 1986. Kamus Populer Filsafat. Jakarta: CV Rajawali.

Holland, Norman. 1968. The Dynamics od Literary Response. New York: State University Press.

Iser, Wolfgang. 1978. The Act of Reading: a Theoru of Aesthetic Response.

Balitmore and Londong: The John Hopkins University Press.

Jauss, HR. 1982. Toward an Aesthetic of Reception. Minneapolis: University of Minnesota Press.

Juwairiyah. 2004. Sejarah Sastra Arab Masa Jahili. Surabaya: Fakultas Adab IAIN Surabaya dan Penerbit Sumbangsih.

Lesser, Simon O. 1962. Fiction and The Unconscious. New York: State Universitu Press.

Mawardi, Muhammad Ja’far. 2003. Perbandingan Syair Jarir, Farozdaq, dan Akhtol. Surabaya: Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel.

Nasr, Muhammad Ibrahim. 1994. Al-Adab. Riyad: Jami’ah al-Imam Muhammad ibn Saud al-Islamiyyah.

Noth, W.1990. Handbook of Semiotics. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press.

Pradopo, Rachmat Djoko.1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: UGM Press

Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry: Bloomington and London: Indiana University Press.

Santoso, Puji.2003. Bahtera Kandas di Bukit: Kajian Semiotika Sajak-Sajak Nuh. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri

Sarhan, Muhammad. 1978. Al-Adab al-Arab wa Tarikhuhu fi al-Ashr al-Jahili. Beirut: Dar al-Fikr.

Selden, Rahman. 1991. Panduan Pembaca Teori Sastra masa Kini. Diterjemahkan oleh Rachmat D. Pradopo. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Suwondo, Tirto.2003. Studi Sastra: Beberapa Alternatif. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.

Taum, Yoseph Yapi. 1997. Pengantar Teori Sastra. Flores: Nusa Indah.

Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Teeuw, A.1980. “Estetik, Semiotik, dan Sejarah Sastra” dalam Basis No. 301. Bulan Oktober.

Teeuw, A.1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Van Luxemburg, Jan, dkk. 1986. Pengantar Ilmu Sastra. Diindonesikan oleh Dick Hartono. Jakarta: Gramedia.

Wellek, Rena dan Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.


Sumber:
Yusuf, Kamal. 2009. Teori Sastra: Modul Kuliah. Fakultas Adab, Jurusan Bahasa dan Sastra Arab, IAIN Sunan Ampel Surabaya

Teori Sastra (9): Teori Resepsi Sastra I

BAB IX
TEORI RESEPSI SASTRA I

Teori resepsi sastra merupakan salah satu aliran dalam penelitian sastra yang terutama dikembangkan oleh mazhab Konstanz tahun 1960-an di jerman. Teori ini menggeserkan fokus penelitian dari struktur teks ke arah penerimaan atau penikmatan pembaca. Mazhab Konstanz meneruskan penelitian fenomenologi, strukturalisme Praha, dan hermeneutika. Untuk memahami latar belakang teori-teori resepsi, terlebih dahulu dijelaskan secara singkat pandangan-pandangan yang berperan mendorong tumbuhnya pandangan resepsionistik itu, terutama fenomenologi dah hermeunetika.

Fenomenologi dirintis oleh Edmund Husserl sebagai aliran filsafat yang menekankan bahwa gejala-gejala harus diajak berbicara dan diberi kesempatan memperlihatkan diri. Bagi husserl, objek penelitian filosofis yang sebenarnya adalah isi kesadaran kita dan bukan objek dunia. Kita menemukan sifat-sifat universal atau esensial dalam benda-benda yang tampak justru di dalam kesadaran kita. Dengan demikian, makna gejala-gejala hanya dapat disimpulkan berdasarkan pengalaman kita mengenai gejala-gejala itu. Ketika Roman Ingarden mencoba menggambarkan cara khas penerimaan sebuah karya seni, dia menggunakan kerangka acuan fenomenologi untuk menjelaskannya. Menurut Ingarden, setiap karya sastra secara prinsip belum lengkap karena hanya menghadirkan bentuk skematik dan sejumlah tempat tanpa batas yang perlu dilengkapi secara individual menurut pengalamannya akan karya-karya lain. Namun demikian, sejauh menyangkut teks, kelengkapan itu tak pernah dapat sempurna. Yang dapat dilakukan untuk melengkapi struktur karya sastra itu adalah melakukan konkretisasi (penyelarasan atau pengisian makna oleh pembaca).

Hermeneutika semula terbatas pada teori dan kaidah menafsirkan sebuah teks, khususnya kitab suci agama Yahudi dan Kristen secara filologis, historis, dan teologis. Schleiermacher memperluas istilah itu untuk menyebut cara kita memahami dan menafsirkan sesuatu yang selalu dipengaruhi oleh konteks historis. Gadamer memperluas lagi lingkup hermeneutik. Menurut dia istilah itu mengacu pada proses mengetahui, memahami, dan menafsirkan sesuatu tidak hanya melibatkan subjek dan objek, melainkan merupakan sebuah proses sejarah. Cakrawala kesadaran sejarah yang meliputi si penafsir menentukan pengetahuannya (Hartoko, 1986: 38).

Berikut ini akan dikemukakan teori-teori resepsi yang paling menonjol dalam lingkup teori sastra.

1. Hans Robert Jauss: Horison Harapan
Teori resepsi, yang merupakan sebuah aplikasi historis dari tanggapan pembaca terutama berkembang di Jerman ketika hans Robert Jauss menerbitkan tulisan berjudul Literary Theory as a Challenge to Literary Theory (1970). Fokus perhatiannya, sebagaimana teori tanggapan pembaca lainnya, adalah penerimaan sebuah teks. Minat utamanya bukan pada tanggapan seorang pembaca tertentu pada suatu waktu tertentu melainkan pada perubahan-perubahan tanggapan interpretasi dan evaluasi pembaca umum terhadap teks yang sama atau teks-teks yang berbeda dalam kurun waktu berbeda.

Jauss merupakan seorang ahli dalam bidang sastra Perancis abad pertengahan dari Universitas Konstanz. Sebagai seorang ahli dalam bisang sastra lama, Jauss beranggapan bahwa karya sastra lama merupakan produk masa lampau yang memiliki relevansi dengan masa sekarang, dalam arti ada nilai-nilai terntentu untuk orang yang membacanya. Untuk menggambarkan relevansi itu Jauss memperkenalkan konsep yang terkenal: Horizon Harapan yang memungkinkan terjadinya penerimaan dan pengolahan dalam batin pembaca terhadap sebuah objek literer.

Melalui penelitian resepsi, Jauss ingin merombak sejarah sastra masa itu yang terkesan hanya memaparkan sederetan pengarang dan jenis sastra (genre). Fokus perhatiannya adalah proses sebuah karya sastra diterima, sejak pertama kali ditulis sampai penerimaan-penerimaan selanjutnya. De Man menilai bahwa Jauss berusaha menjembatani teori-teori formalisme Rusia dengan teori-teori Marxis. Teori formalisme Rusia dipandangnya terlalu berlebihan menekankan nilai estetik teks sehingga mengabaikan dungsi sosial sastra. Sebaliknya teori-teori Marxis terlalu menekankan fungsi sosial sastra dalam masyarakat sehingga hakikat sastra sebagai karya seni kurang diperhatikan. Jauss menegaskan bahwa sebuah karya sastra merupakan objek estetik yang memiliki implikasi estetik dan implikasi historik. Implikasi estetik timbul apabila teks dinilai dalam perbandingan dengan karya-karya lain yang telah dibaca, dan implikasi historis muncul akibat perbandingan historis dengan rangkaian penerimaan atau resepsi sebelumnya.

Jaus mengungkapkan tujuh tesis pemikiran teoretisnya. Secara singkat ketujuh tesis itu berikut ini.
1) Karya sastra bukanlah monumen yang mengungkapkan makna yang satu dan sama, seperti anggapan tradisional mengenai objektivitas sejarah sebagai deskripsi yang tertutup. Karya sastra ibarat oerkestra: selalu memberikan kesempatan kepada pembaca untuk menghadirkan resonansi yang baru yang membebaskan teks itu dari belenggu bahasa, dan menciptakan konteks yang dapat diterima pembaca masa kini. Sifat dialogal ini memungkinkan pembaca mengapropriasikan masa lampau untuk ditiru, diabaikan, atau ditolak.

2) Sistem horison harapan pembaca timbul sebagai akibat adanya momen historis karya sastra, yang meliputi suat prapemahaman mengenai genre, bentuk, dan tema dalam karya yang sudah diakrabi, dan dari pemahaman mengenai oposisi antara bahasa puitis dan bahasa sehari-hari. Sekalipun sebuah karya sastra tampak baru sama sekali, ia sesungguhnya tidak baru secara mutlak seolah-olah hadir dari kekosongan. Sastra telah memerpsiapkan pembacanya dalam sebuah sistem penerimaan yang khas melalui tanda-tanda dan kode-kode dalam perbandingan dengan hal yang sudah dikenal sebelumnya. Jadi, ada interaksi antara teks dengan konteks pengalaman pencerapan estetik yang bersifat transsubjektif itu. Horison harapan memungkinkan seseorang mengenal ciri artistik sebuah karya teks sastra.

3) Jika ternyata masih ada jarak estetik antara horison harapan dengan wujud sebuah karya sastra yang baru, maka proses penerimaan dapat mengubah harapan itu baik melalui penyangkalan terhadap pengalaman estetik yang sudah dikenal atau melalui kesadaran bahwa sudah muncul suatu pengalaman estetik yang baru. Di sini dituntut penerimaan sastra sebagaimana penerimaan seni pertunjukan, yang selalu memenuhi horison harapan sesuai dengan cita rasa keindahan, sentimen-sentimen, dan emosi yang sudah dikenal. Justru karya sastra yang adiluhung memiliki sifat artistik jarak estetik ini.

4) Rekonstruksi mengenai horison harapan terhadap karya sastra sejak diciptakan atau disambut pada masa lampau hingga masa kini, akan menghasilkan berbagai varian resepsi dengan semangat jaman yang berbeda. Dengan demikian, pandangan platonis mengenai makna karya sastra yang objektis, tunggal dan abadi untuk semua penafsir perlu ditolak.

5) Teori estetika penerimaan tidak hanya sekadar memahami makna dan bentuk karya sastra menurut pemahaman historis. Dia menuntut agar kita memasukkan sebuah karya individual ke dalam rangkaian sastra agar lebih dikenal posisi dan arti historisnya dalam konteks pengalaman sastra.

6) Apabila pemahaman dan pemaknaan sebuah karya sastra menurut resepsi historis tidak dapat dilakukan karena adanya perubahan sikap estetik, maka seseorang dapat menggunakan perspektif sinkronis untuk menggambarkan persamaan, perbedaan, pertentangan, ataupun hubungan antara sistem seni sejaman dengan sistem seni dalam masa lampau. Sebuah sejaran sastra menjadi mantap dalam pertemuan perspektif sinkronis dan diakronis. Jadi, sistem sinkronis tetap harus membuat masa lampau sebagai elemen struktural yang tak dapat dipisahkan.

7) Tugas sejarah sastra tidak menjadi lengkap hanya dengan menghadirkan sistem-sistem karya sastra secara sinkronis dan diakronis, melainkan harus juga dikaitkan dengan sejarah umum. Kedudukan khas dan unik dari sejarah sastra perlu perlu mendapat kepunuhannya dalam sejarah umum. Hubungan ini tidak berakhir dengan sekadar menemukan gambaran mengenai situasi sosial yang berlaku di dalam karya sastra. Fungsi sosial karya sastra hanya sungguh terwujud bila pengalaman sastra pembaca masuk ke dalam horison harapan mengenai kehidupannya yang praktis, membuat dirinya semakin memahami dunianya, dan akhirnya memiliki pengaruh kepada tingkah laku sosialnya. Pandangan Jauss tempaknya memperoleh sambutan dan dukungan yang luas di kalahngan ilmuwan sastra modern.

2. Wolfgang Iser: Pembaca Implisit
Iser juga termasuk salah seoramh eksponen mazhab Konstanz. Tetapi berbeda dari Jaunn yang memperkenalkan model sejarah resepsi, Iser lebih memfokuskan perhatiannya kepada hubungan individual antara teks dan pembaca (estetikan pengolahan). Pembaca yang dimaksud oleh Iser bukanlah pembaca konkret individual, melainkan pembaca implisit. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pembaca implisit merupakan suatu instansi di dalam teks yang memungkinkan terjadinya komunikasi antara teks dan pembacanya. Dengan kata lain, pembaca yang diciptakan oleh teks-teks itu sendiri, yang memungkinkan kita membaca teks itu dengan cara tertentu.

Iser mengemukakan teori resepsinya dalam bukunya The Act of Reading: a Theory of Aesthetic Response (1978). Menurut Iser, tak seorang pun yang menyangkal keberadaan pembaca dalam memberi penilaian terhadap karya sastra, sekalipun orang berbicara mengenai otonomi sastra. Oleh karena itu, observasi terhadap respon pembaca merupakan studi yang esensial. Pusat kegiatan membaca adalah interaksi antara struktur teks dan pembacanya. Teori fenomenologi seni telah menekankan bahwa pembacaan sastra tidak hanya melibatkan sebuah teks sastra, melainkan juga aksi dalam menanggapi teks. Teks itu sendiri hanyalah aspek-aspek skematik yang diciptakan pengarang, yang akan digantikan dengan kegiatan konkretisasti (realisasi makna teks oleh pembaca).

Iser (1978: 20-21) menyebutkan bahwa karya saastra memiliki dua kutub, yakni kutub artistik dan kutub estetik. Kutub artistik adalah kutub pengarang, dan kutub estetik merupakan realisasinya yang diberikan oleh pembaca. Aktualisasi yang benar terjadi di dalam interaksi antara teks (perhatian terhadap teknik pengarang, struktur bahasa) dan pembaca (psikologi pembaca dalam proses membaca, fungsi struktur bahasa terhadap pembaca). Penelitian sastra harus dimulai dari kode-kode struktur yang terdapat dalam teks. Aspek verbal (struktur/bahasa) perlu dipahami agar menghindarkan penerimaan yang arbitrer. Fungsi struktur itu tidak berlaku selama belum ada efeknya bagi pembaca. Oleh karena itu penelitian perlu dilanjutkan dengan mendeskripsikan interaksi antara bahasa dan pembaca, yang merupakan kepenuhan penerimaan teks.

Bagi Iser, tugas kritik teks adalah menjelaskan potensi-potensi makna tanpa membatasi diri pada aspek-aspek tertentu, karena makna teks bukanlah sesuatu yang tetap melainkan sebagai peristiwa yang dinamik, dapat berubah-ubah sesuai dengan gudang pengalaman pembacanya. Sekalipun disadari bahwa totalitas makna teks tidak dapat secara tuntas dipahami, proses membaca itu sendiri merupakan suatu prakondisi penting bagi pembentukan makna. Makna referensial bukanlah ciri pokok estetis. Apa yang dinamakan estetis adalah jika hal tertentu membawa hal baru, sesuatu yang sebelumnya tidak ada. Jadi, penetapan makna estetis sesungguhnya bermakna ganda, bersifat estetis sekaligus diskursif. Pengalaman yang dibangun dan digerakkan dalam diri pembaca oleh sebuah teks menunjukkan bahwa kepenuhan makna estetis muncul dalam relasi dengan sesuatu di luar teks. Pandangan Iser tentang estetika resepsi dapat dipahami dengan meninjau teorinya mengenai pembaca implisit dan membandingkannya dengan teori-teori pembaca lainnya.

Menurut Iser, konsep tradisional mengenai pembaca selama ini umumnya mencakup dua kategori, yakni pembaca nyata atau pembaca historis dan pembaca potensial atau pembaca yang diandaikan oleh pengarang. Diandaikan bahwa pembaca jenis kedua ini mampu mengaktualisasikan sebuah teks dalam sebuah konteks secara memadai, seperti seorang pembaca ideal yang memahami kode-kode pengarang.

Selain teori-teori tradisional tersebut, terdapat beberapa pandangan yang lebih modern tentang pembaca, yang menurut Iser tidak bebas dari kesalahan.
1) Michael Riffaterre memperkenalkan istilah superreader, yakni sintesis pengalaman membaca dari sejumlah pembaca dengan kompetensi yang berbeda-beda. Kelompok ini diharapkan dapat mengungkap potensi semantik dan pragmatik dari pesan teks melalui stilistika. Kesulitan akan muncul bila terdapat penyimpangan gaya, yang mungkin hanya dipahami dengan referensi lain di luar teks.

2) Stanley Fish mengajukan istilah informed reader (pembaca yang tahu, yang berkompeten), yang mirip dengan konsep Rifattere. Untuk menjadi seseorang pembaca yang berkompeten, diperlukan syaratsyarat: a) kemampuan dalam bidang bahasa, b) kemampuan semantik, c) kemampuan sastra. Melalui kemampuan-kemampuan ini seorang informed reader dapat merespon karya sastra. Teori ini tidak dapat diterima karena lebih berkaitan dengan teks daripada dengan pembacanya. Perubahan kalimat misalnya, lebih berkaitan dengan aturan gramatikal daripada pengalaman pembaca.

3) Edwin Wolff mengusulkan intended reader, yakni model pembaca yang berada dalam benak penulis ketika dia merekonstruksikan idenya.

Model pembaca ini mengacu kepada pembayangan seorang penulis tentang pembaca tulisannya melalui observasi akan norma dan nilai yang dianut masyarakat pembacanya. Pembaca ini akan mampu menangkap isyarat-isyarat tekstual. Persoalannya, bagaimana jika seorang pembaca yang tidak dituju pengarang tetapi mampu memberikan arti kepada sebuah teks?

Iser sendiri mengajukan konsep implied reader untuk mengatasi kelemahan pandangan-pandangan teoritis mengenai pembaca. Pembaca tersirat sesungguhnya telah dibentuk dan distrukturkan di dalam teks sastra. Teks sendiri telah mengandung syarat-syarat bagi aktualisasi yang memungkinkan pembentukan maknanya dalam benak pembaca (Iser, 1982: 34). Dengan demikian, kita harus mencoba memahami efek tanggapan pembacanya terhadap teks tanpa prasangka tanpa mencoba mengatasi karakter dan situasi historisnya. Teks sudah mengasumsikan pembacanya, entah pembaca yang berkompeten maupun tidak. Teks menampung segala macam pembaca, siapapun dia, karena struktur teks sudah menggambarkan peranannya.

Perhatikan bahwa teks sastra disusun seorang pengerang (dengan pandangan dunia pengarangnya) mengandung empat perspektif utama, yaitu pencerita, perwatakan, alur, dan bayangan mengenai pembaca. Keempat perspektif ini memberi tuntunan untuk menemukan arti teks. Arti teks sebuah teks dapat diperoleh jika keempat perspektif ini dapat dipertemukan dalam aktivitas atau proses membaca. Di sini terlihat kedudukan pembaca yang sangat penting dalam memadukan perspetifperspektif tersebut dalam satu kesatuan tekstual, yang dipandu oleh penyatuan atau perubahan perspektif.

Instruksi-instruksi yang ditunjukkan teks merangsang bayangan mental dan menghidupkan gambaran yang diberikan oleh struktur teks. Jadi gambaran mental itu muncul selama proses membaca struktur teks. Pemenuhan makna teks terjadi dalam proses ideasi (pembayangan dalam benak pembaca) yang menerjemahkan realitas teks ke dalam realitas pengalaman personal pembaca. Secara konkret, isi nyata dari gambaran mental ini sangat dipengaruhi oleh gudang pengalaman pembaca sebagai latar referensial. Konsep implied reader memungkinkan kita mendeskripsikan efekefek struktur sastra dan tanggapan pembaca terhadap teks sastra.


DAFTAR PUSTAKA
Abrams, M. H. 1981. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt, Rinehart and Winston

Adams, Hazard. 1971. Critical Theory Since Plato. New York: Harcout Brace Jovanovich, Inc.

Al-Mausu’ah al-syi’riyyah. tt. Abu Dabi: Al Majma’ al Tsaqafiy lil Imarat al Arabiyyah al Muttahidah. Versi CD.

Badawi, M. M. 1975. A Critical Introduction to Modern Arabic Poetry. Cambridge: Cambridge University Press.

Bartens, Kees. 1985. Filsafat Barat Abad XX, jilid II, Perancis. Jakarta: Gramedia

Beeston A.F.L. dkk. 1983. Arabic Literature to The End of The Umayyad Period. Cambridge: Cambridge University Press.

Culler, Jonathan. 1981. Structuralist Poetics: Structuralism, Linguistics and the Study of Literature. London: Routledge & Kegan Paul.

Damono, Sapardi Djoko. 1977. Sosiologi Sastra. Jakarta: Dikti Depdikbud.

Darma, Budi. 2004. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas.

Eagletton, Terry. 1983. Literary Theory: an Introduction. Great Britain: TJ Press.

Fokkema, D.W dan Elurd Kunne-Ibsch. 1977. Theories of Literature in the Twentieth Century. London: C. Hurst & Company.

Hartoko, Dick. 1982. “Pencerapan Estetik dalam Sastra Indonesia” dalam Basis, XXXV 1 Januari. Yogyakarta: Andi Offset.

Hartoko, Dick. 1986. Kamus Populer Filsafat. Jakarta: CV Rajawali.

Holland, Norman. 1968. The Dynamics od Literary Response. New York: State University Press.

Iser, Wolfgang. 1978. The Act of Reading: a Theoru of Aesthetic Response.

Balitmore and Londong: The John Hopkins University Press.

Jauss, HR. 1982. Toward an Aesthetic of Reception. Minneapolis: University of Minnesota Press.

Juwairiyah. 2004. Sejarah Sastra Arab Masa Jahili. Surabaya: Fakultas Adab IAIN Surabaya dan Penerbit Sumbangsih.

Lesser, Simon O. 1962. Fiction and The Unconscious. New York: State Universitu Press.

Mawardi, Muhammad Ja’far. 2003. Perbandingan Syair Jarir, Farozdaq, dan Akhtol. Surabaya: Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel.

Nasr, Muhammad Ibrahim. 1994. Al-Adab. Riyad: Jami’ah al-Imam Muhammad ibn Saud al-Islamiyyah.

Noth, W.1990. Handbook of Semiotics. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press.

Pradopo, Rachmat Djoko.1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: UGM Press

Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry: Bloomington and London: Indiana University Press.

Santoso, Puji.2003. Bahtera Kandas di Bukit: Kajian Semiotika Sajak-Sajak Nuh. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri

Sarhan, Muhammad. 1978. Al-Adab al-Arab wa Tarikhuhu fi al-Ashr al-Jahili. Beirut: Dar al-Fikr.

Selden, Rahman. 1991. Panduan Pembaca Teori Sastra masa Kini. Diterjemahkan oleh Rachmat D. Pradopo. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Suwondo, Tirto.2003. Studi Sastra: Beberapa Alternatif. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.

Taum, Yoseph Yapi. 1997. Pengantar Teori Sastra. Flores: Nusa Indah.

Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Teeuw, A.1980. “Estetik, Semiotik, dan Sejarah Sastra” dalam Basis No. 301. Bulan Oktober.

Teeuw, A.1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Van Luxemburg, Jan, dkk. 1986. Pengantar Ilmu Sastra. Diindonesikan oleh Dick Hartono. Jakarta: Gramedia.

Wellek, Rena dan Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.


Sumber:
Yusuf, Kamal. 2009. Teori Sastra: Modul Kuliah. Fakultas Adab, Jurusan Bahasa dan Sastra Arab, IAIN Sunan Ampel Surabaya