Thursday, November 24, 2011

Sinopsis Ranah 3 Warna (Ahmad Fuadi)




Dalam novel pertama, penulis (A.Fuadi) telah berhasil membawa pembacanya menyelami dunia pondok pesantren yang selama ini mungkin hanya dikenal oleh para penghuni dan alumni penghuninya. Tapi seorang alumni Pondok Pesantren Gontor, telah dengan lihat mengajak kita menyelami dunia pondok pesantren yang selama ini samar-samar. Buku kelanjutan Negeri 5 Menara ini memulai kisahnya dengan acara memancing antara Alif dengan sahabat baiknya, Randai, di tepi Danau Maninjau. Potongan adegan ini menggambarkan bagaimana Randai telah melecut semangat juang Alif, yang alumni pesantren, untuk melangkah ke jenjang universitas yang diinginkannya.

Diceritakan bagaimana perjuangan Alif menempuh ujian persamaan, dan dengan apik serta mendatangkan dercak kagum, Ahmad Fuadi telah membuat kita melihat bagaimana perjuangan sungguh-sungguh seorang "anak kampung" alumni pondok pesantren yang lebih banyak belajar soal Agama, mencapai universitas negeri impiannya. Sejak perjuangan Alif mengikuti ujian persamaan, matera "man Jadda Wajada" yang selalu menjadi andalan semangatnya terus didengungkan kepada setiap pembacanya, membuat kata-kata itu seperti terpatri juga dalam hati para pembacanya, dan menjadikannya sebuah nilai tambah, ketika "mantera" tersebut ikut "memanaskan" suasana perjuangan tokoh utama dalam novel ini. 

Alif, yang akhirnya berhasil menembus salah satu universitas negeri di Bandung, semakin ditempa oleh pengalaman manis dan pahit yang silih berganti menyapanya. Kehilangan salah seorang yang dikasihinya menjadi klimaks awal dalam novel ini, terbukti dengan berawal dari kejadian pahit tersebut, Alif berusaha bangkit semampunya, dan menyempurnakan "mantera", bukan lagi sekedar "Man Jadda Wajada" tapi juga "Man Shabara Zhafira", Siapa yang bersabar akan beruntung.

Kata-kata yang didengarnya pertama kali dari Kiai Rais, gurunya di Pondok Pesantren Madani, membuatnya lebih sabar menghadapi hidup dan sekali lagi mengajak pembacanya untuk ikut menyelami lika-liku perjuangan untuk mencapai kesabaran itu sendiri. Perkenalan Alif dengan Bang Togar Parangin-angin, yang merupakan seniornya di majalah kampus adalah sebuah "warna" yang menarik dalam novel ini. Lewat sosok pemuda Batak yang ceplas-ceplos namun berhati baik ini, Alif mulai membuka wawasannya tentang dunia tulis menulis. Ditempa secara "ekstrem" oleh seniornya itu membuat Alif tidak kecil hati. Seperti cerita-cerita sebelumnya, Alif menganggapnya sebagai sebuah kompetisi, dan ia selalu ingin keluar sebagai pemenang! Berkat bantuan ilmu dari Bang Togar Parangin-angin ini juga Alif bisa mulai membiayai sendiri hidupnya di tanah perantauan.

Di pertengahan novel, kita akan mulai dibawa kembali pada mimpi Alif menjejakan kaki di benua Amerika. Ketika teman-temannya menertawakan mimpinya, Alif tidak gentar. Ia terus berjuang hingga akhirnya memperoleh suatu peluang melalui suatu program pertukaran pelajar. Alif yang tidak pandai seni harus memutar otaknya demi memenangkan kompetisi. Baginya, bukan hanya seni yang harus dipamerkan di negeri orang, tapi intelegensi juga seharusnya berperan. Ia berjuang menarik perhatian para juri untuk mempertimbangkannya untuk bisa lolos dari ujian ini. Ketika akhirnya Alif bisa menginjakkan kaki di benua impiannya, pembaca seolah diajak bersamanya menjelajah dunia yang sungguh-sungguh baru. 

Seorang anak kampung yang hanya bermodal mimpi, kini bisa menginjakkan kaki di benua yang tadinya hanya angan-angannya bersama rekan Sahibul Menara. Benua Amerika tidak lagi sejauh matanya memandang awan yang membentuk goresan Negeri Paman Sam itu. Ia menginjakkinya. Menjejakan langkahnya untuk mulai berpetualang, walaupun ia harus terima bahwa keinginannya untuk memperlancar bahasa Inggris terbentur dengan budaya di tempatnya ditempatkan yang tidak berbahasa Inggris. Tapi bukan Alif namanya kalau ia menyerah begitu saja.

Novel ini sungguh menyajikan "angin segar" diantara novel lainnya yang sudah mendahuluinya. Tidak hanya sekedar fiksi belaka, namun tuangan pengalaman hidup, ketepatan penggambaran suasana, serta kekayaan batin penulisnya, membuat isi novel ini seperti hidup. Kita benar-benar seperti diajak menjelajah ke benua Amerika, ikut menyelami budaya penduduk Quebec, daerah kecil tempat Alif ditempatkan selama kurang lebih enam bulan, dengan segudang cerita interaksi Alif dengan penduduk sekitar. Sayangnya, saya merasa kehilangan Bang Togar Parangin-angin, yang di awal novel ini menyumbang "cerita manis". "Keberadaan" Bang Togar tiba-tiba saja lenyap di pertengahan novel hingga pada halaman terakhir. Padahal, tokoh yang satu ini berjasa dalam perjalanan kehidupan Alif di Bandung.

Namun dengan semua kelebihan dan kekurangannya, novel ini sungguh layak dan disarankan untuk dibaca oleh setiap orang yang merasa "kerdil" akan impian, merasa nyaris putus asa, dan wajib juga dibaca oleh setiap orang yang sedang berlari dan tidak berhenti berlari mengejar mimpi-mimpinya.

Sinopsis Negeri 5 Manara (Ahmad Fuadi)


Novel ini bercerita tentang perjalanan seorang anak bernama Alif. Alif adalah anak desa yang ditinggal di Bayur , kampung kecil di dekat Danau Maninjau Padang, Sumatera Barat. Alif dari kecil sudah bercita-cita ingin menjadi B.J Habibie, maka dari itu selepas tamat SMP Alif sudah berencana melanjutkan sekolah Ke SMU negeri diPadang yang akan memuluskan langkahnya untuk kuliah dijurusan yang sesuai. Namun amaknya (ibunya alif) tidak setuju dengan keinginan alif untuk masuk SMU, ibunya ingin alif menjadi Buya Hamka dan melanjutkan sekolah ke pondok pesantren.

Karena alif tidak ingin mengecewakan harapan orang tua khususnya ibu, alif pun menjalankan keinginan ibunya dan masuk pondok. Atas saran dari pamannya dikairo alif kecil pun memutuskan untuk melanjutkan sekolah di pondok yang ada di Jawa Timur : PONDOK MADANI. Walaupun awalnya amak berat dengan keputusan Alif yang memilih pondok di Jawa bukan yang ada di dekat rumah mereka dengan pertimbangan Alif belum pernah menginjak tanah diluar ranah minang , namun akhirnya ibunya merestui keinginan Alif itu.

Awalnya Alif setengah hati menjalani pendidikan dipondok karena dia harus merelakan cita-citanya yang ingin kuliah di ITB dan menjadi seperti Habibie. Namun kaliamat bahasa Arab yang didengar Alif dihari pertama di PM (pondok madani )mampu mengubah pandangan alif tentang melanjutkan pendidikan di Pesantren sama baiknya dengan sekolah umum. " mantera" sakti yang diberikan kiai Rais (pimpinan pondok ) man jadda wajada, siapa yang bersungguh-sungguh pasti berhasil. Dan Alif pun mulai menjalani hari-hari dipondok dengan ikhlas dan bersungguh-sungguh.

Di PM Alif berteman dengan Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung dan si jenius Baso dari Gowa, Sulawesi. Ternyata kehidupan di PM tidak semudah dan sesantai menjalani sekolah biasa. Hari-hari Alif dipenuhi kegiatan hapalan Al-Qur'an, belajar siang-malam, harus belajar berbicara bahasa Arab dan Inggris di 6 Bulan pertama. Karena PM melarang keras murid-muridnya berbahasa Indonesia, PM mewajibkan semua murid berbahasa Arab dan Inggris. Belum lagi peraturan ketat yang diterapkan PM pada murid yang apabila melakukan sedikit saja kesalahan dan tidak taat peraturan yang berakhir pada hukuman yang tidak dapat dibayangkan sebelumnya. Tahun-tahun pertama Alif dan ke 5 temannya begitu berat karena harus menyesuaikan diri dengan peraturan di PM.

Hal yang paling berat dijalani di PM adalah pada saat ujian, semua murid belajar 24 jam nonstop dan hanya beberapa menit tidur. Mereka benar-benar harus mempersiapkan mental dan fisik yang prima demi menjalani ujian lisan dan tulisan yang biasanya berjalan selama 15 hari. Namun disela rutinitas di PM yang super padat dan ketat. Alif dan ke 5 selalu menyempatkan diri untuk berkumpul dibawah menara mesjid , sambil menatap awan dan memikirkan cita-cita mereka kedepan. Ditahun kedua dan seterusnya kehidupan Alif dan rekan-rekannya lebih berwarna dan penuh pengalaman menarik. Di PM semua teman, guru, satpam, bahkan kakak kelas adalah keluarga yang harus saling tolong menolong dan membantu. Semua terasa begitu kompak dan bersahabat, sampai pada suatu hari yang tak terduga, Baso , teman alif yang paling pintar dan paling rajin memutuskan keluar dari PM karena permasalahan ekonomi dan keluarga.

Kepergian Baso, membangkitkan semangat Alif, Atang, Dulmajid, Raja dan Said untuk menamatkan PM dan menjadi orang sukses yang mampu mewujudkan cita-cita mereka menginjakkan kaki di benua Eropa dan Amerika.

Novel ini benar-benar memberikan inspirasi bagi siapa saja yang ingin sukses dan berhasil, bahwa dimana ada usaha disitu ada jalan. Dan ikhlaslah dalam menjalani apapun yang ada dikehidupan kita, niscaya usaha dan keikhlasan hati akan diridhoi Tuhan Yang Maha Esa.


Monday, October 24, 2011

Judul Skripsi Sastra Indonesia

Contoh Judul Skripsi Sastra Indonesia

  1. Analisis Unsur Komunisme dalam Novel Atheis Karya Achdiat K. Mihardja

  2. Analisis Struktural Genetik Novel Pangeran Diponegoro

  3. Kajian Feminis Marxis dalam Novel Primadona Karya Ahmad Munif

  4. Pembagian Kerja secara Seksual dalam Novel Kembang Jepuin Karya Remy Sylado

  5. Eksistensi Wanita dalam Novel Midah, Si Manis Bergigi Emas Karya Pramudya Ananta Tour

  6. Relasi Perempuan Laki-laki dalam Novel Asrama Putri Karya Dewi Linggasari

  7. Konflik Psikis pada Tokoh Utama Wanita dalam novel Alivia Karya Langit Kresna Hariadi

  8. Nilai Kemanusiaan dalam Novel Suatu Hari di Stasiun Bekasi Karya Bambang Joko Susil

  9. Kelas Sosial Tokoh Perempuan dalam Novel Tarian Bumi Karya Oka Rasmini

  10. Deiksis Sosial dalam Novel Laskar Pelangi

  11. Kritik Sosial dalam Novel Midah, Si Manis Bergigi Emas Karya Pramudya Ananta Tour

  12. Kritik Sosial dalam novel Jala Karya Titis Basino

  13. Kritik Sosial dalam Kumpulan Cerpen Sampah Bulan Desember

  14. Ajaran Moral dalam Novel Blakanis Karya Arswendo Atmowiloto

  15. Citra Sosial Budaya Jawa dalam Novel Bilangan Fu Karya Ayu Utami

  16. Stratifikasi Kelas Sosial dalam Novel Bukan Pasar Malam Karya Pramudya Ananta Toer

  17. Potret Wajah Sosial Masysrakat Indonesia dalam Kumpulan Puisi Aku Ingin Menjadi Peluru Karya Wiji Thukul

  18. Masalah Moral Kemanusiaan dalam Novel Panggil Aku Jo

  19. Analisis Unsur Penokohan dan Latar Novel Edensor Karya Andrea Hirata

  20. Tinjauan Psikologi Sastra Tokoh Utama dalam Naskah Drama Sampek Engtay Karya N. Riantiarno

  21. Pertentangan Nilai pada Diri Tokoh Glonggong Karya Junaedi Setyono

  22. Representasi Identitas dan Hibriditas dalam Novel Gadis Tangsi Karya Suparto Brata (Kajian Post Kolonial)

  23. Pengaruh Perilaku Fanatisme Beragama terhadap Konflik Antar Agama dalam novel Genesis Karya Ratih Kumala

  24. Spiritualitas Islami dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El-Khaliqy (Studi Analisis Semiotik Sastra)

  25. Unsur-Unsur Sulbarten dalam Novel Bumi Manusia karya Pramudya Ananta Toer: Kajian Pskolonial

Judul Skripsi Bahasa Indonesia

CONTOH JUDUL SKRIPSI BAHASA INDONESIA

  1. Deskripsi Pemakaian Bahasa dalam Spanduk Iklan Partai Politik di Kabupaten Pamekasan

  2. Dimensi Fungsional Keberwacanaan Lisan Anak-anak TKIT Ibnu Abbas, Dukuh, Sinduharjo, Ngaglik, Sleman

  3. Register Kepecintaalaman Bidang Panjat Tebing dalam Federasi Panjat Tebing Indonesia

  4. Analisis Penggunaan dan Penyimpangan Prinsip Kesantunan Berbahasa di Bus Kota Yogya (Kajian Sosio Pragmatik)

  5. Variasi Bahasa dalam Rubrik “Sungguh-sungguh Terjadi dalam Sepekan” di Surat Kabar Kedaulatan Rakyat

  6. Deskripsi Campur Kode dan Maksim Iklan di Televisi

  7. Ragam Bahasa SMS dalam Rubrik “Halo Jogja” di Harian Jogja

  8. Analisis Wacana Iklan HP di Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat

  9. Jargon Bahasa Waria di Kabupaten Cilacap (Kajian Sosiolinguistik)

  10. Kajian Semantik Slogan Iklan Rokok di Televisi

  11. Kajian Penyimpangan Aspek Pragmatik dalam Acara “Tawa Sutra” di ANTV

  12. Penggunaan Prinsip Kerja Sama dalam Bahasa Chating

  13. Penggunaan Istilah dalam Register Olah Raga Futsal

  14. Register Bahasa Orang Laut di Kabupaten Rembang

  15. Analisis Wacana Iklan Biro Jodoh pada Koran Kompas

  16. Interferensi Gramatikal Bahasa Jawa ke dalam Bahasa Indonesia pada Proses Pembelajaran Bahasa Indonesia

  17. Register Dakwah dalam “Percikan Bening” di Harian Jogja Edisi – Maret Januari 2009: Kajian Sosio Linguistik

  18. Analisis Wacana Pragmatik pada Poster Iklan Kartu Seluler Di DIY

  19. Tindak Tutur dalam Dialog Interaktif di TVRI: Tinjauan Pragmatik

  20. Gaya Bahasa Slogan yang Terdapat di Kota Padang (Tinjauan Semanik)

  21. Ragam Bahasa Majalah Remaja Aneka Yess!

  22. Distribusi dan Pemungutan dan Pemakaian Kata-Kata dan Bahasa Inggris dalam Surat Kabar

  23. Kalimat Terbelah dalam Kolom “Tajuk” Surat Kabar Republika

  24. Tindak Tutur dalam Acara “Nosta” di Beberapa Radio di Kota Padang: Suatu Studi Banding

  25. Tindak Tutur Pedagang Obat Kaki Lima (Tinjauan Pragmatik)

  26. Tinjauan Semiotik Terhadap Bahasa Iklan Rokok di Majalah Tempo

  27. Bahasa Gambar pada Anak: Tinjauan Psikolinguistik

  28. Analisis Percakapan dalam Acara “Selamat Datang Pagi” di RCTI

  29. Penggunaan Bahasa dalam Chating di Internet: Suatu Tinjauan Sosiolinguistik

  30. Kemampuan Bahasa Verbal Penderita Cacat Mental di Panti Sosial Bina Grahita Harapan Ibu Kuranji Padang: Studi Kasus

  31. Kemampuan Berbahasa Anak Penderita Autisme

  32. Bahasa pada Tutup Botol Fanta (Ditinjau dari Segi Diksi)

  33. Tindak Tutur Komunitas Pecinta Alam Mapala Unand Padang (Tinjauan Pragmatik)

  34. Implikatur Wacana “Pojok” pada Harian Kompas

  35. Penggunaan Bahasa pada Short Massage Service (SMS) oleh Mahasiswa Fakultas Sastra Uniersitas Andalas

  36. Jargon Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Padang (Suatu Tinjauan Sosiolinguistik)

  37. Register Mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Andalas: Suatu Kajian Sosiolinguistik

  38. Pemerolehan Bahasa Pertama Anak-anak Stadia-Telegrafis dalam Bahasa Minangkabau (Tinjauan Psikolinguistik)

  39. Gaya Bahasa Propaganda dalam Memerangi Terorisme Tinjauan Stilistika

  40. Kemampuan Bahasa Lisan Penderita Dsartria (Suatu Tinjauan Psikolinguistik)

  41. Diksi dan Gaya Bahasa Romi Rafael dalam Acara “Hipnotis” di SCTV

  42. Rekayasa Korpus Bahasa di Era Pemerintahan Megawati (Suatu Tinjauan Sosiopolitiko linguistik)

  43. Jargon B Boys pada Komunitas Squardan-B, Padang

  44. Tindak Tutur Guru Taman Kanak-Kanak dalam Proses Belajar-Mengajar (Kajian Pagmatik)

  45. Penyimpangan Prinsip Percakapan dalam Wacana Humor Pada Tabloid Nova

  46. Prinsip Kesopanan Berbahasa dalam Film Kiamat Sudah Dekat (Suatu kajian Pragmatik)

  47. Iklan Rokok A Mild: Suatu Tinjauan Semiotik

  48. Analisis Sosiolinguistik Terhadap Penggunaan Istilah-istilah dalam Tuturan Mahasiswa Unand (Studi Kasus pada Pemondokan di Pasar Baru Kec. Pauh Gadang)

  49. Jargon Komunitas Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Andalas (Suatu Tinjauan Sosiolinguistik)

Monday, July 18, 2011

Skripsi: Tindak Tutur Perlokusi dalam Wacana Cerita Rakyat Si Kabayan ’’Memancing Ikan di Atas Pohon Kelapa"

Hernawati, Titik. 2007. "Tindak Tutur Perlokusi dalam Wacana Cerita Rakyat Si
Kabayan 'Memancing Ikan di Atas Pohon Kelapa'". Skripsi. Jurusan
Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni. Universitas
Negeri Semarang. Pembimbing I: Drs. Haryadi, M.Pd; Pembimbing II:
Drs. Hari Bakti M., M.Hum.

Abstrak

Perkembangan teknologi membuat tradisi bercerita dalam masyarakat
menghilang, sehingga muncul gagasan untuk mengumpulkan cerita yang telah
berkembang dalam masyarakat untuk kemudian ditulis menjadi buku kumpulan
cerita. Hal ini menginspirasi penulis untuk meneliti tindak tutur yang ada pada cerita
rakyat Si Kabayan “Memancing Ikan di Atas Pohon Kelapa”,dengan alasan selain
telah dikenal masyarakat luas cerita yang ditampilkan juga sangat menarik dan yang
paling penting dalam wacana ini penulis menyertakan tuturan-tuturan tokoh, terutama
berupa tindak tutur perlokusi karena sebagian besar tuturan antartokoh yang ada
dalam cerita tersebut ternyata menimbulkan efek tertentu pada mitra tuturnya.


Dalam penelitian ini penulis merumuskan empat masalah, yaitu (1) jenis
tindak tutur perlokusi apa saja yang terdapat dalam wacana cerita rakyat Si Kabayan
“Memancing Ikan di Atas Pohon Kelapa ?”, (2) fungsi apa saja yang terdapat dalam
wacana tersebut?, (3) efek apa saja yang terjadi setelah penggunaan tuturan perlokusi
dalam wacana?, (4) bagaimanakah hubungan antara fungsi tuturan perlokusi dengan
efek yang terjadi setelah penggunaan tuturan perlokusi dalam wacana tersebut?.


Penelitian ini bertujuan (1) mendeskripsikan jenis tindak tutur perlokusi yang terdapat
dalam wacana cerita rakyat Si Kabayan “Memancing Ikan di Atas Pohon Kelapa”,
(2) mendeskripsikan fungsi tindak tutur perlokusi yang terdapat dalam wacana
tersebut, (3) mengidentifikasikan efek yang terjadi setelah penggunaan tindak tutur
perlokusi dalam wacana tersebut dan (4) mengidentifikasikan hubungan antara fungsi
uturan perlokusi dengan efek yang terjadi setelah penggunaan tindak tutur perlokusi
dalam wacana cerita rakyat tersebut.


Pendekatan yang digunakan, yaitu pendekatan pragmatis sebagai pendekatan
teoretis serta pendekatan deskriptif dan kualitatif sebagai pendekatan metodologis.
Pengumpulan data dilakukan dengan metode dan teknik pengamatan dan pencatatan.
Metode analisis data yang digunakan adalah metode normatif yang penggunaannya
didasarkan pada fakta atau fenomena yang ada, meliputi ciri tuturan perlokusi, jenis
tuturan perlokusi, fungsi tuturan perlokusi, efek tuturan perlokusi, serta merumuskan
hubungan antara fungsi perlokusi dengan efek yang terjadi pada mitra tuturnya.


Hasil analisis menunjukkan bahwa dalam wacana cerita rakyat Si Kabayan
“Memancing Ikan di Atas Pohon Kelapa” ditemukan jenis tindak tutur perlokusi
konstatif, performatif, lokusi, ilokusi, representatif, direktif, ekspresif, komisif, isbati,
langsung, tidak langsung, harfiah, tidak harfiah, dan vernakuler. Fungsi dalam tuturan
tersebut, yaitu fungsi representatif meliputi fungsi representatif menyatakan,
menunjukkan, mengakui, menyebutkan, meyakini dan memberitahukan. Fungsi
direktif menyuruh, meminta, memohon, mengajak, mendesak dan menyarankan.
Fungsi ekspresif memuji, menyalahkan, bersyukur, mengeluh, dan berharap. Fungsi
komisif berjanji, fungsi isbati melarang dan mengabulkan. Efek dalam wacana
tersebut meliputi efek positif maklum, melegakan, tertarik, terdorong, menyenagkan,
sabar, menurut, bangga. Efek negatif malu, curiga, marah, tersinggung, sedih, tidak
percaya dan menertawakan. Efek tindakan membangunkan, beranjak, diam, tertawa,
pergi, dan bengong. Hubungan antara fungsi dan efek meliputi efek yang sesuai

dengan fungsi, yaitu melakukan yang disuruh/disarankan, percaya, takjub, mematuhi
larangan. Efek yang tidak sesuai dengan fungsi, yaitu fungsi menyuruh-efek
berbohong, fungsi menyatakan atau meminta-efek marah, menunjukkan-jengkel,
fungsi menyarankan-efek tersinggung, fungsi mendesak-efek bersabar.


Berdasarkan hasil tersebut, Penulis menyarankan penelitan selanjutnya akan
lebih baik jika dilakukan pada cerita lisan, dapat menggunakan teori tindak tutur lain
serta akan lebih baik jika dapat ditemukan hal baru yang dapat menambah khazanah
ilmu pengetahuan bahasa.



Kata kunci: tindak tutur, perlokusi, wacana, cerita rakyat

Wednesday, July 6, 2011

Penggunaan Bentuk Singkatan pada Surat Pribadi

PENGGUNAAN BENTUK SINGKATAN PADA SURAT PRIBADI
Oleh: Sukrisno Santoso

ABSTRAK
Surat pribadi merupakan salah satu bentuk penggunaan bahasa (wacana) yang menjadi objek kajian analisis wacana. Surat pribadi merupakan wacana yang cukup unik karena penggunaan bahasanya tidak dkenai aturan tata bahasa yang baku sehingga setiap surat pribadi mempunyai ciri tersediri sesuai dengan masing-masing penulisnya. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan karakteristik surat pribadi ditinjau dari segi penggunaan bentuk singkatan yang terdiri atas: (1) penggunaan singkatan, dan (2) penggunaan akronim.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Metode pengumpulan data menggunakan metode simak dengan teknik catat. Data penelitian ini berwujud bentuk singkatan berupa singkatan dan akronim. Sumber datanya berupa aspek kebahasaan yang tercantum pada surat pribadi. Data yang dianalisis sebanyak 25 data. Analisis data dilakukan dengan langkah (1) mengidentifikasi data, (2) mengklasifikasi data, dan (3) menganalisis data.

Hasil penelitian ini dapat dikemukakan sebagai berikut: 1) penggunaan bentuk singkatan didominasi oleh singkatan lesap vokal sehingga bentuk singkatannya berupa deretan fonem konsonan. 2) penggunaan bentuk singkatan dalam surat pribadi dipengaruhi oleh tuturan lisan yang biasa digunakan oleh penulisnya, misalnya kata sob, makasih, trus, dan blum. 3) Penggunaan bentuk singkatan dalam surat pribadi juga memperhatikan tafsiran pembaca terhadap bentuk singkatan tersebut sehingga pembaca tidak mengalami kesulitan maksud dari bentuk singkatan tersebut, misalnya pada kata terlalu disingkat menjadi tllu.


Kata kunci: singkatan, surat pribadi


PENDAHULUAN
Menurut Halliday (dalam Sumarlam, 2008: 2), bahasa mempunyai tujuh fungsi. Salah satunya adalah fungsi interaksi. Dalam hal ini bahasa berfungsi sebagai alat untuk menjalin hubungan dengan masyarakat. Salah satu media komunikasi dalam kehidupan sehari-hari adalah surat. Surat adalah suatu alat atau sarana komunikasi tulis (Solchan dan Soedjito, 2001: 1). Tujuan utama seseorang menulis surat, tidak lain adalah untuk mengkomunikasi atau menginformasikan suatu gagasan dan pikirannya kepada pihak lain, baik atas nama pribadi atau lainnya.

Berdasarkan isinya, surat terbagi menjadi tiga jenis, yaitu surat pribadi, surat dinas, dan surat niaga (Soedjito dan Solchan, 2001: 1). Surat pribadi adalah surat yang dibuat oleh seseorang yang isinya menyangkut kepentingan pribadi. Surat pribadi tidak mempunyai aturan baku. Penulisan surat pribadi sesuai kehendak penulisnya. Bahasa yang digunakan dalam surat pribadi biasanya adalah bahasa sehari-hari yang biasa penulis gunakan untuk berkomunikasi. Tidak adanya aturan baku dalam penulisan surat pribadi membuat setiap orang mempunyai ciri bahasa sendiri yang berbeda dengan orang lain. Pemilihan kata dalam surat pribadi pun bebas sesuai kehendak penulis. Ketidakbakuan bahasa dalam surat pribadi dapat memunculkan ragam bahasa surat pribadi yang berbeda dengan ragam bahasa lain.

Dalam surat pribadi banyak dijumpai bentuk singkatan, misalnya salam manis ditulis slm manis, kemarin ditulis kmrn, malam minggu ditulis malming, dan bentuk singkatan yang lain.

Proses pembentukan singkatan atau pemendekaan adalah proses penanggalan bagian-bagian leksem atau gabungan leksem sehingga menjadi sebuah bentuk singkat, tertapi maknanya tetap sama. Misalnya, bentuk lab (utuhnya laboratorium), hlm (halaman), dan SD (Sekolah Dasar). Pemendekan ini mengahsilkan singkatan. Selain singkatan, ada akronim, yaitu hasil pemendekan yang berupa kata atau dapat dilafalkan sebagai kata. Misalnya inpres (instruksi presiden) dan wagub (wakil gurbernur). (Chaer, 2008)

Penggunaan bentuk singkatan pada wacana surat pribadi tersebut membentuk karakteristik sendiri yang berbeda dengan wacana lain. Dari latar belakang masalah di atas, maka penulis tertarik untuk menganalisis surat pribadi dari aspek penggunaan bentuk singkatan. Maka, penulis akan melakukan penelitian dengan judul: “Penggunaan Bentuk Singkatan pada Surat Pribadi”.


LANDASAN TEORI
1. Bentuk Singkatan dan Akronim
Proses pembentukan singkatan atau pemendekaan adalah proses penanggalan bagian-bagian leksem atau gabungan leksem sehingga menjadi sebuah bentuk singkat, tertapi maknanya tetap sama. Misalnya, bentuk lab (utuhnya laboratorium), hlm (halaman), dan SD (Sekolah Dasar). Pemendekan ini menghasilkan singkatan. Selain singkatan, ada akronim, yaitu hasil pemendekan yang berupa kata atau dapat dilafalkan sebagai kata. Misalnya inpres (instruksi presiden) dan wagub (wakil gurbernur). (Chaer, 2008)

Singkatan ialah bentuk yang dipendekkan yang terdiri atas satu huruf atau lebih (Pusat Bahasa, 2005). Ketentuan pembentukan singkatan sesuai Ejaan Yang Disempurnakan (2005) adalah sebagai berikut:

1) Singkatan nama orang, nama gelar, sapaan, jabatan atau pangkat diikuti dengan tanda titik. Misalnya: S.E. (Sarjana Ekonomi), Sdr. (Saudara)
2) Singkatan nama resmi lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, badan atau organisasi, serta nama dokumen resmi yang terdiri atas huruf awal kata ditulis dengan huruf kapital dan tidak diikuti dengan tanda titik. Misalnya: DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), KTP (Kartu Tanda Penduduk)
3) Singkatan umum yang terdiri atas tiga huruf atau lebih diikuti satu tanda titik. Misalnya: dll. (dan lain-lain), dsb. (dan sebagainya)
4) Lambang kimia, singkatan satuan ukuran, takaran, timbangan, dan mata uang tidak diikuti tanda titik. Misalnya: kg (kilogram), kVA (kilovolt-ampere)

Akronim ialah singkatan yang berupa gabungan huruf awal, gabungan suku kata, ataupun gabungan huruf dan suku kata dari deret kata yang diperlakukan sebagai kata (Pusat Bahasa, 2005). Ketentuan pembentukan akronim sesuai Ejaan Yang Disempurnakan (2005) adalah sebagai berikut:
1) Akronim nama diri yang berupa gabungan huruf awal dari deret kata ditulis seluruhnya dengan huruf kapital. Misalnya: Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional)
2) Akronim nama diri yang berupa gabungan suku kata atau gabungan huruf dan suku kata dari deret kata ditulis dengan huruf awal huruf kapital. Misalnya: pemilu (pemilihan umum), tilang (bukti pelanggaran)

Jika dianggap perlu membentuk akronim, hendaknya diperhatikan syarat-syarat berikut:
a. Jumlah suku kata akronim jangan melebihi jumlah suku kata yang lazin pada kata Indonesia.
b. Akronim dibentuk dengan mengindahkan keserasian kombinasi vokal dan konsonan yang sesuai dengan pola kata Indonesia yang lazim.

2. Surat Pribadi
Surat adalah suatu alat atau sarana komunikasi tulis. Surat dipandang sebagai alat komunikasi tulis yang paling efisien, efektif, ekonomis, dan praktis. (Soedjito dan Solchan, 2001: 1). Berdasarkan isinya, surat terbagi menjadi tiga jenis, yaitu surat pribadi, surat dinas, dan surat niaga. Surat pribadi adalah surat yang berisi masalah pribadi yang ditujukan kepada keluarga, teman, atau kenalan. Karena sifatnya akrab dan santai, dalam surat pribadi biasa digunakan bahasa ragam akrab / ragam santai. (Soedjito dan Solchan, 2001: 14)

Surat biasanya menggunakan bahasa efektif. Bahasa efektif adalah bahasa yang secara tepat dapat mencapai sasarannya. Bahasa efektif dapat dikenali dari pemakaian bahasa yang (1) sederhana/wajar, (2) ringkas, (3) jelas, (4) sopan, dan (5) menarik. Sederhana berarti bersahaja, lugas, mudah, tidak berbelit-belit, baik pemakaian kata-katanya maupun kalimatnya. Kalimat yang ringkas umumnya lebih tegas dan mudah dipahami, sedangkan kalimat yang panjang biasanya lemah dan kabur serta tidak cepat dipahami maksudnya. Jelas berarti tidak samar-samar, tidak meragukan, tidak mendua makna, atau tidak menimbulkan salah paham. Sopan berarti hormat dengan takzim, tertib menurut adat yang baik. Menarik berarti dapat membangkitkan perhatian, tidak membosankan dan dapat mengesankan pada angan-angan pembaca. (Soedjito dan Solchan, 2001: 33-37)


METODE PENELITIAN
Sumber data dari penelitian ini adalah wacana surat pribadi. Data penelitian adalah bentuk singkatan yang terdapat dalam surat pribadi. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini peneliti menggunakan teknik rekam dan catat. Teknik rekam adalah teknik yang dilakukan dengan perekaman yang menggunakan tape recorder tertentu sebagai alatnya. Teknik catat adalah teknik yang dilakukan pencatatan pada kartu data yang segera dilanjutkan dengan klasifikasi (Sudaryanto,1993: 135). Sumber data berupa wacana surat pribadi dibuat kliping pada kertas buffalo. Data dari wacana surat pribadi berupa bentuk singkatan dicatat dalam kartu data sesuai dengan klasifikasinya.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Setelah data diklasifikasikan, peneliti menganalisis data dengan metode padan. Menurut Sudaryanto (1993: 13-14), metode padan merupakan analisis data yang memiliki alat penentu di luar bahasa, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan. Penyajian hasil analisis dalam penelitian ini menggunakan metode penyajian formal dan informal. Metode penyajian formal adalah penyajian hasil dengan gambar, tabel, atau rumus-rumus. Metode penyajian informal adalah perumusan dengan kata-kata biasa (Sudaryanto, 1993: 145).


HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam wacana surat pribadi banyak ditemukan bentuk singkatan. Hal ini dikarenakan surat pribadi bersifat informal / tidak baku juga karena keinginan penulis untuk menulis dengan cepat sehingga menyingkap beberapa kata atau frasa.

Dari sumber data penelitian diperoleh sebanyak 25 data yang terdiri dari berbagai bentuk singkatan. Data yang terdiri dari berbagai bentuk singkatan tersebut diklasifikasikan berdasarkan karakter penyingkatan kata.

Klasifikasi data dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Singkatan umum
2) Singkatan lesap vokal
3) Singkatan lesap fonem depan
4) Singkatan lesap fonem belakang
5) Singkatan lesap sebagian vokal

Singkatan umum adalah bentuk singkatan yang sudah lazim digunakan masyarakat dalam penulisan wacana resmi maupun tidak resmi. Singkatan lesap vokal adalah singkatan tidak baku yang tidak sesuai dengan kaidah EYD, terjadi pelesapan fonem vokal. Maka, singkatan tidak baku lesap vokal terdiri dari susunan fonem konsonan. Singkatan lesap fonem depan adalah singkatan tidak baku yang tidak sesuai dengan kaidah EYD, terjadi pelesapan fonem yang berada di bagian depan. Singkatan lesap fonem depan terdiri dari susunan fonem belakang dari kata atau frasa yang disingkat.

Singkatan lesap fonem belakang adalah singkatan tidak baku yang tidak sesuai dengan kaidah EYD, terjadi pelesapan fonem yang berada di bagian belakang. Singkatan lesap fonem belakang terdiri dari susunan fonem depan dari kata atau frasa yang disingkat. Singkatan lesap sebagian vokal adalah singkatan lesap vokal yang masih menyisakan fonem vokal pada bentuk singkatan.

Hasil dari klasifikasi data adalah sebagai berikut.






Klasifikasi Data

Singkatan Umum
1. wr. wb.: wa rahmatullahi wa barakatuhu
2. SMS: short service message
3. HP: hand phone

Singkatan Lesap Vokal
4. dgn: dengan
5. bls: balas
6. yg: yang
7. gmn: bagaimana
8. sll: selalu
9. jgn: jangan
10. kpd: kepada
11. krn: karena
12. dkt: dekat
13. skrg: sekarang

Singkatan lesap fonem depan
14. tu: itu
15. udah: sudah
16. makasih: terima kasih
17. ma: sama

Singkatan lesap fonem belakang
18. sob: sobat
19. curhat: curahan hati
20. no: nomor

Singkatan lesap sebagian vokal
21. slalu: selalu
22. tllu: terlalu
23. blum: belum
24. trus: terus


PEMBAHASAN
Berdasarkan klasifikasi data dapat dilihat bahwa penggunaan bentuk singkatan pada surat pribadi bervariasi. Ada lima jenis bentuk singkatan, yaitu 1) singkatan umum, 2) singkatan lesap vokal, 3) singkatan lesap fonem depan, 4) singkatan lesap fonem belakang, dan 5) singkatan lesap sebagian vokal.

1. Singkatan Umum
Singkatan umum yang digunakan dalam surat pribadi adalah singkatan yang sudah lazim digunakan dalam penulisan wacana resmi maupun tidak resmi. Bentuk SMS merupakan kepanjangan dari Short Message Service. Penggunaan bentuk SMS sudah menjadi bahasa keseharian baik lisan maupun tulis. Begitu juga bentuk singkatan HP yang merupakan kepanjangan dari Handphone. Bentuk wr. wb. Yang merupakan kependekan dari warahmatullahi wabarakatuhu hanya lazim digunakan dalam wacana tulis dan tidak digunakan dalam tuturan lisan.

2. Singkatan Lesap Vokal
Singkatan lesap vokal dalam surat pribadi seperti dgn, bls, yg, gmn dan yang lainnya. Singkatan terhadap kata dengan menghilangkan vokalnya dimaksudkan untuk mempersingkat penulisan kata tersebut. Penyingkatan kata bentuk seperti ini mudah dilakukan karena dengan menghilangkan semua fonem vokal yang ada sehingga hanya menyisakan fonem konsonan. Deretan fonem konsonan ini lebih mudah dipahami oleh pembaca. Misalnya, bentuk singkatan dgn, pembaca akan mempunyai asumsi bahwa deretan fonem d-g-n tersebut adalah kata dengan. Terjadi pelesapan dua fonem vokal, yakni fonem /e/ dan /a/.

Begitu juga deretan fonem kpd dan krn. Dua deretan fonem tersebut sesuai intuisi kebahasaan akan membentuk kata kepada dan karena. Kata kepada dan karena mengalami pelesapan fonem /e/ dan /a/ yang berada di antara fonem konsonan. Penyingkatan lesap vokal ini mudah dilakukan dan sering dijumpai dalam surat pribadi.

Semua data tersebut diawali oleh fonem konsonan selanjutnya diikuti vokal kemudian konsonan dan seterusnya. Data bentuk singkatan lesap vokal menunjukkan struktur fonem:
K-V-K-V-…

Dari analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa kata yang terdiri atas fonem konsonan dan fonem vokal dimana kata tersebut diawali dengan fonem konsonan, maka bentuk singkatan dari kata tersebut adalah dengan melesapkan fonem vokalnya.

2. Singkatan Lesap Fonem Depan
Singkatan lesap fonem depan menyisakan deret fonem belakang atau suku kata akhir. Bentuk tu, udah, dan ma merupakan kependekan dari kata itu, sudah, dan sama. Terjadi pelesapan satu fonem depan, yakni fonem /i/ pada kata itu sehingga menghasilkan bentuk singkat tu. Kata sudah mengalami pelesapan pada satu fonem depan , yakni fonem /s/ sehingga dihasilkan bentuk udah. Pada kata sama terdapat pelesapan dua fonem depan, yakni fonem /s/ dan /a/ atau suku kata awal yakni suku kata sa- sehingga dihasilkan bentuk singkat ma.

Bentuk tu, udah, dan ma dalam penulisan surat pribadi terpengaruh penggunaan bentuk-bentuk tersebut dalam tuturan lisan tidak baku yang dilakukan oleh penulis surat pribadi tersebut. Bentuk tu, udah, dan ma yang berarti itu, sudah, dan sama merupakan sebuah bentuk kata tidak baku yang sudah berkembang dan dikenal oleh masyarakat.

3. Singkatan Lesap Fonem Belakang
Singkatan lesap fonem belakang dilakukan untuk mendapatkan bentuk singkat dari sebuah kata dengan menyebutkan atau menuliskan struktur suku deret fonem depannya saja atau suku kata awal. Bentuk sob merupakan kepanjangan dari sobat. Penyingkatan bentuk sob selain untuk mendapatkan bentuk kata yang singkat juga dapat digunakan sebagai kata sapaan. Bentuk sob juga sering digunakan dalam tuturan lisan sehingga penulisan bentuk sob dalam surat pribadi tidak akan menyulitkan pembaca dalam memahaminya.

Selain bentuk sob ada juga bentuk no yang merupakan singkatan dari kata nomor. Jika bentuk sob lazim digunakan dalam tuturan lisan, bentuk no lazim digunakan dalam wacana tulis. Penulisan no untuk nomor dalam surat pribadi adalah penyingkatan yang sudah lazim digunakan dalam wacana tulis lainnya.

Selain kata, bentuk singkatan lesap fonem belakang juga dilakukan pada frase. Bentuk frase yang disingkat adalah curahan hati menjadi bentuk curhat. Kata curhat sudah biasa digunakan dalam tuturan lisan khususnya dalam tuturan tidak baku atau tuturan bahasa gaul. Bahkan kata curhat lebih familier di masyarakat dari kata curahan hati.

Dari beberapa bentuk singkatan lesap fonem belakang dapat disimpulkan bahwa penulisan bentuk singkatan tersebut dilakukan sesuai dengan tuturan lisan yang biasa dilakukan atau dikenal oleh penulis surat pribadi. Pengucapan bentuk singkatan yang tidak baku dalam komunikasi keseharian berpengaruh pada penulisan surat pribadi dengan ditemukannya bentuk-bentuk singkatan tidak baku yang terdapat dalam surat pribadi.

4. Singkatan Lesap Sebagian Vokal
Singkatan lesap sebagian vokal hampir sama dengan singkatan lesap vokal. Bedanya, dalam singkatan lesap vokal, semua fonem vokal dilesapkan, sedangkan dalam singkatan lesap sebagian vokal hanya sebagian fonem vokal yang dilesapkan sehingga masih menyisakan satu atau beberapa fonem vokal pada bentuk singkatnya. Bentuk singkat tllu, slalu, blum dan trus merupakan kependekatan dari kata terlalu, selalu, belum dan terus. Penulisan bentuk singkat slalu, blum dan trus, sebagaimana pada singkatan lesap fonem depan dan lesap fonem belakang merupakan penulisan bentuk singkatan yang terpengaruh oleh pemakaian kata-kata tersebut dalam tuturan lisan sehari-hari. Dalam tuturan tidak resmi, kata-kata selalu, belum dan terus sering diucapkan dengan menghilangkan sebagian fonem vokalnya, sehingga hanya diucapkan slalu, blum dan trus.

Berbeda dengan bentuk slalu, blum dan trus, bentuk singkat tllu tidak lazim digunakan dalam tuturan lisan. Penulisan bentuk tllu untuk kata terlalu dikarenakan penulis surat pribadi hendak menyingkat kata terlalu dengan bentuk singkatan lesap vokal namun penulis tersebut beranggapan pembaca akan kesulitan memahaminya. Misalnya kata terlalu disingkat menjadi tll, pembaca akan merasa kesulitan untuk mengidentifikasi kata tll tersebut. Untuk mengantisipasi kesalahan pemahaman oleh pembaca maka penulis menyisakan satu fonem vokal, sehingga didapat bentuk singkatan tllu.


SIMPULAN
Penggunaan bentuk singkatan dalam surat pribadi mempunyai karakter sebagai berikut. 1) penggunaan bentuk singkatan didominasi oleh singkatan lesap vokal sehingga bentuk singkatannya berupa deretan fonem konsonan. 2) penggunaan bentuk singkatan dalam surat pribadi dipengaruhi oleh tuturan lisan yang biasa digunakan oleh penulisnya, misalnya kata sob, makasih, trus, dan blum. 3) Penggunaan bentuk singkatan dalam surat pribadi juga memperhatikan tafsiran pembaca terhadap bentuk singkatan tersebut sehingga pembaca tidak mengalami kesulitan maksud dari bentuk singkatan tersebut, misalnya pada kata terlalu disingkat menjadi tllu.


DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 2008. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta

Pusat Bahasa. 2005. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan. Jakarta: Balai Pustaka

Soedjito dan Solchan TW. 2001. Surat-Menyurat Resmi Bahasa Indonesia. Bandung: Remaja Rosda Karya

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Sumarlam (Ed). 2008. Teori dan Praktek Analisis Wacana. Surakarta: Pustaka Cakra

Thursday, May 19, 2011

Sastra Sejarah dan Sejarah dalam Sastra


Membaca “Penangsang" karya NasSirun PurwOkartun sungguh membuat saya kagum terhadap pengarangnya. Bagaimana tidak, “Penangsang” disuguhkan kepada kita sebagai karya sastra yang mumpuni dilihat sebagai novel pertama lahir dari pengarangnya. Selama ini Kang Nass –panggilan akrabnya– lebih terkenal sebagai seorang kartunis. Sebagai sebuah novel karya pertama, “Penangsan”g menunjukkan kelas Kang Nass dalam dunia kesusastraan. Tak bisa dinihilkan bila di masa yang akan datang ia akan menjadi salah satu tokoh sastrawan penting Indonesia. Siapa tahu.


Membaca “Penangsang” adalah membaca ‘sejarah’. Kisah Pangeran Haryo Penangsang di masa Kerajaan Demak ‘didongengkan’ oleh Kang Nass agak berbeda –bahkan sangat berbeda– dengan teks sejarah dalam “Babad Tanah Jawi”. “Dalam Babad Tanah Jawi”, Haryo Penangsang digambarkan sebagai sosok yang gila kekuasaan dan sangat beringasan, hatinya selalu panas dan jiwanya mudah marah. Melalui novel ini, Kang Nass seperti ingin membalik kisah dalam “Babad Tanah Jawi”. Haryo Penangsang dalam novel ini adalah sosok pemberani, pembela kebenaran dan keadilan, serta penganut ajaran Islam yang bersih, sekaligus penentang sinkretisme di tanah Jawa yang gigih.

Tindakan Kang Nass tersebut membalikkan sejarah dalam “Babad Tanah Jawi” yang selama ini ‘diamini’ khalayak sebagai sebuah kebenaran. Penangsang telah melakukan dekonstruksi sejarah.

Sekali lagi, sejarah diutak-atik. Tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Contoh paling mudah adalah: Pangeran Diponegoro bagi sejarah bangsa Indonesia adalah seorang pahlawan yang sangat dihormati, sedangkan bagi sejarah Belanda, Pangeran Diponegoro adalah seorang ekstrimis, pembangkang dan pemberontak.

Dekontruksi Sejarah dalam Karya Sastra
Ngomong-ngomong soal dekonstruksi sejarah mengingatkan kita pada sosok Pramodya Ananta Toer. Karya-karya Pram memang erat berlilitkan dengan peristiwa sejarah, khususnya sejarah yang dikungkung oleh kekuasaan. Pram memandang sejarah sebagai sebuah perjuangan untuk menciptakan wacana baru dalam masyarakat yang telah dikungkung oleh wacana lain yang telah mapan. Sejarah harus disikapi sebagai sesuatu yang dialektis, sesuatu yang bisa dan boleh diubah karena nilai sebuah peristiwa dalam sejarah selalu tidak bisa lepas dari kekuasaan atau wacana tertentu yang mengukungnya (lihat: Satoto dan Fananie (edt), 2000: 285).

Dalam novel “Arok Dedes” kita juga dapati dekonstruksi sejarah. Satu hal yang mencolok yang didekonstruksi Pram adalah asal-usul, karakteristik, dan perjuangan tokoh Arok dalam merebut kekuasaan dari Tunggul Ametung. Dalam teks sejarah “Serat Pararaton Ken Arok”, asal-usul Ken Arok jelas yakni Putra Brahmana yang dititipkan melalui rahim Ken Endog. Sejarah asa-usul tersebut melegitasi kedudukan Ken Arok sebagai raja. Sedangkan bagi Pram, –melalui kisah “Arok Dedes”– Arok adalah tokoh yang silsilahnya tidak jelas. Arok adalah seorang bocah desa, wong cilik, rakyat kecil yang dengan perjuangannya mampu menjadi raja. Pram seolah ingin mengatakan bahwa wong cilik pun dapat menjadi orang besar.

Dalam beberapa teks sejarah memang terdapat beberapa cuil bagian peristiwa yang tidak ‘diunggah’ dan dikisahkan atau dengan kata lain ‘tidak disejarahkan’. Tentu saja hal tersebut dilakukan dengan pertimbangan dari pihak yang berkepentingan dalam menetapkan mana peristiwa yang patut dijadikan sejarah dan mana peristiwa yang harus dihilangkan. Dalam keadaan seperti itu, maka karya sastra menjadi alternatif untuk mensejarahkan peristiwa yang semestinya disejarahkan.

Ahmad Tohari melalui Trilogi “Ronggeng Dukuh Paruk” mencoba mensejarahkan peristiwa yang semestinya disejarahkan tersebut. Dalam RDP, Ahmad Tohari mengungkap peristiwa-peristiwa yang ditutupi oleh kekuasaan otoriter. Dalam RDP kita kenal ‘episode gelap’, yaitu beberapa naskah asli RDP yang terpaksa disimpan oleh penerbit karena berisikan hal-hal yang diperkirakan dapat menyulitkan penerbit maupun pengarangnya. Episode gelap tersebut mengisahkan kejadian-kejadian pahit yang harus dialami tahanan politik G.30S/PKI di suatu tempat di Jawa Tengah pada pertengahan tahun 1966 (lihat: Satoto dan Fananie (edt), 2000: 285).

Sejarah dalam Sastra
Diangkatnya peristiwa sejarah –sedikit maupun banyak– dalam karya sastra memunculkan pertanyaan bagi kita: Bisakah sastra sejarah dijadikan rujukan sejarah? Atau dengan kalimat tanya lain: Apakah sastra sejarah bisa dipertanggungjawabkan nilai kesejarahannya?

Menurut Kuntowijoyo (1995), sejarah itu berbeda dengan sastra dalam hal: cara kerja, kebenaran, hasil keseluruhan, dan kesimpulan. Sastra adalah pekerjaan imajinasi, kebenaran di tangan pengarang, dengan perkataan lain bersifat subjektif. Sastra bisa berakhir dengan pertanyaan, sedang sejarah harus memberikan informasi selengkap-lengkapnya.

Kita lihat karya Pram yang memang banyak mengangkat sejarah, yang terkenal adalah Tetralogi Pulau Buru. Menurut Teeuw, roman-roman Pulau Buru, yakni “Bumi Manusia”, “Anak Semua Bangsa”, “Rumah Kaca”, dan “Jejak Langkah” adalah roman yang mencitrakan sejarah. Tetralogi Pulau Buru mencitrakan sejarah karena roman ini ditulis berdasarkan peristiwa sejarah periode awal pergerakan nasionalisme Indonesia di satu sisi, tetapi di sisi lain ia sangat didominasi oleh imajinasi Pram sendiri sebagai seorang sastrawan.

Memang, substansi karya sastra tidaklah lepas dari unsur imajinatif sekaligus fiktif. Seorang pengarang mengolah karya sastra dari apa yang dialami dan dilihatnya dengan imajinasi dan kreativitasnya. Karya sastra adalah tiruan dunia nyata. Tiruan berbeda dengan yang ditiru. Semirip apapun dengan aslinya, tiruan tetaplah tiruan. Jika sebuah karya sastra sama persis 100% dengan sejarah, maka kita katakan itu bukanlah karya sastra. Karya sastra memang harus berbeda dengan kisah sejarah. Maka, sastra sejarah dapatlah kita jadikan sebagai salah satu alternatif dalam memahami sejarah.





 

Sukrisno,
Sukoharjo, 27 April 2011
00.30 WIB



Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra (7)

BAB VII
Teori dan Metode Penelitian Multidisiplin

Secara detinitif penelitian multidisiplin atau pluridisiplin adalah penelitian yang melibatkan lebih dari satu disiplin. Dasar perbedaannya adalah intensitas hubungan dan dengan sendirinya cirri-ciri ilmu yang bersangkutan. Dalam hubungan inilah dibedakan tiga macam multidisiplin, yaitu: a) multi disiplin itu sendiri, b) transdisiplin atau antardisiplin, dan c) krosdisiplin atau interdisiplin.

1. Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra atau sosiokritik dianggap sebagai disiplin yang baru. Sebagai disiplin yang berdiri sendiri, sosiologi sastra dianggap baru lahir abad ke-18, ditandai dengan tulisan madame de Stael (Albrecht, dkk., eds., 1970: ix; laurenson dan Swingewood, 1972: 25-27) yang berjudul De la litterature cinsideree dans ses rapports avec les institutions sociales (1800). Meskipun demikian, buku teks pertama baru terbit tahun 1970, berjudul The Sociology of Art and Literature: a Reader, yang dihimpun oleh Milton C. Albercht, dkk. Ada tiga indicator terpenting dalam kaitannya dengan lahirnya suatu disiplin yang baru, diantaranya: a) hadirnya sejumlah masalah baru yang menarik dan pelu dipecahkan, b) adanya metode dan teori yang relevan untuk memecahkannya, dan c) adanya pengakuan secara institusional.

Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat dan dengan demikian harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat, sebagai berikut.
1) Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, diselin oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut anggota masyarakat.
2) Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat.
3) Medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui kompetensi masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung masalah-masalah kemasyarakatan.
4) Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat-istiadat, dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetika, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat berkepentingan terhadap ketiga aspek tersebut.
5) Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat inter subjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya.

Dengan pertimbangan bahwa sosiologi sastra adalah analisis karya sastra dalam kaitannya dengan masyarakat, maka model analisis yang dapat dilakukan meliputi tiga macam, sebagai berikut.
1) Menganalisis masalah-masalah sosial yang terkandung di dalam karya sastra itu sendiri, kemudian menghubungkannya dengan kenyataan yang pernah terjadi. Pada umumnya disebut sebagai aspek ekstrinsik, model hubungan yang terjadi disebut refleksi.
2) Sama dengan di atas, tetapi dengan cara menemukan hubungan antar struktur, bukan aspek-aspek tertentu, denan model yang bersifat dialektika.
3) Menganalisis karya dengan tujuan untuk memperoleh informasi tertentu, dilakukan oleh disiplin tertentu. Model analisis inilah yang pada umumnya menghasilkan penelitian karya sastra sebagai gejala kedua.

2. Psikologi sastra
Dalam hal ini psikologi sastra menganalisis kaitannya dengan psike, dengan aspek-aspek kejiwaan pengarang. Perbedaan yang menonjol antara sosiologi sastra dengan psikologi sastra adalah subjek yang menghasilkan karya.Ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk memahami hubungan antara psikologi dengan sastra, yaitu:
- memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis,
- memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional dalam karya sastra, dan
- memahami unsur-unsur kejiwaan pembaca.

Psikologi sastra yang sebagaimana dimaksudkan dalam hal ini adalah cara-cara penelitian yang dilakukan dengan menempatkan karya sastra sebagai gejala yang dinamis.

3. Antropologi sastra
Salah satu faktor yang mendorong perkembangan antropologi sastra adalah hakikat manusia sebagaimana dikemukakan oleh Ernst Cassirer (1956: 44) manusia sebagai animal symbolicum, yang sekaligus menolak hakikat manusia sebagai semata-mata animal rationale.

Secara definitif antropologi sastra adalah studi mengenai karya sastra dengan relevansi manusia (anthropos). Antropologi dibagi menjadi dua macam, yaitu antropologi fisik dan antropologi kultural, maka antropologi sastra dibicarakan dalam kaitannya dengan antropologi kultural, dengan karya-karya yang dihasilkan manusia, seperti bahasa, religi, mitos, hukum, sejarah, adat istiadat, dan karya seni khususnya karya sastra.

Lahirnya model pendekatan antropologi sastra dipicu oleh tiga sebab utama, yaitu:
1) baik sastra maupun antropologi menganggap bahasa sebagai objek penting,
2) kedua disiplin mempermasalahkan relevansi manusia budaya,
3) kedua disiplin juga mempermasalahkan tradisi lisan, khususnya cerita rakyat dan mitos.

Sosiologi sastra, psikologi sastra, antropologi sastra, sebagai ilmu humaniora jelas mempermasalahkan manusia. Ketiga interdisiplin, sekaligus memberikan intensitas pada sastra dan teori sastra. Perbedaannya, psikologi sastra mempermasalahkan masyarakat, psikologi sastra pada aspek-aspek kejiwaan, antropologi sastra pada kebudayaan. Secara praktis antropologi sastra diharapkan dapat membantu memperkenalkan khazanah sastra yang terpencil dan terisolasi.


Referensi:
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme, Prespektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra (6)

BAB VI
Teori-teori Komunikasi dalam Karya Sastra

Secara etimologis komunikasi berarti hubungan. Sebagai gejala komunikasi karya sastra sastra menunjuk pada sistem yang menghubungkan karya dengan pengarang dan pembaca. Menurut Segers (1978: 24-25) komunikasi sastra lebih rumit dibandingkan dengan komunikasi mesin. Lebih jauh, menurut Ducan (1962: 56), untuk mempelajari komunikasi, kita mesti mempelajari seni.

Salah satu ciri karya sastra yang sangat penting adalah fungsinya sebagai sistem komunikasi. Karya sastra dihasilkan melalui imajinasi dan kreativitas, sebagai hasil kontemplasi secara individual, tetapi karya sastra ditujukan untuk menyampaikan suatu pesan kepada orang lain, sebagai komunikasi. Model Jakobson, dengan enam faktor bahasa (addresser, addressee, context, message, contact, dan code) beserta enam fungsinya (emotive, conative, referential, poetic, phatic, dan metalingual), demikian juga model pendekatan Abrams (ekspresif, pragmatik, mimetik, dan objektif), dianggap sebagai ciri-ciri komunikasi yang mendasari penelitian sastra selanjutnya.

Secara garis besar komunikasi dilakukan melalui:
a) interaksi sosial,
b) aktivitas bahasa (lisan dan tulisan),
c) mekanisme teknologi.

1. Pengarang: Ciri-ciri Anonimitas
Pengarang adalah anggota masyarakat biasa, sama seperti orang lain. Kemampuannya dalam menghasilkan karya sastra disebabkan oleh perbedaaan kualitas, yaitu kualitas dalam memanfaatkan emosionalitas dan intelektualitas, bukan perbedaaan jenis.

Ciri-ciri yang harus dimiliki oleh seorang pengarang, diantaranya:
a) pengarang harus memiliki keterampilan menulis,
b) pengarang dapat mengorganisasikan keseluruhan pengalaman,
c) pengarang harus memiliki ketajaman emosionalitas dan intelektualitas,
d) pengarang harus memiliki kecintaan terhadap masalah-masalah kehidupan, dan
e) pengarang harus memiliki kekuatan imajinasi.

Fluktuasi peranan pengarang sepanjang sejarah sastra Barat dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Abad pertama hingga abad ke-16, dengan diilhami oleh Longinus, memberikan intensitas pada ekspresi dan emosi.
3) Abad Pertengahan (500-1500) pengarang sebagai pencipta kedua, pengarang sebagai semata-mata meniru Maha Pencipta. Di Indonesia tampak dalam sastra Melayu Lama.
3) Abad Renaissance (1400-1700), pengarang sebagai kreator mulai dihargai.
4) Abad ke-18 hingga abad ke-19 pengarang sebagai kreator yang otonom, seniman mendewakan diri, di Indonesia tampak pada Pujangga Baru.
5) Abad ke-20 pengarang disembunyikan di balik fokalisasi, pengarang tersirat, bahkan pengarang dianggap sebagai anonimitas.

2. Karya Sastra: Fokalisasi atau Sudut Pandang
Fokalisasi, dari kata fokus, yang berarti kancah perhatian, perspektif cerita, atau sudut pandang. Istilah fokalisasi pertama kali dikemukakan oleh Genette (Luxemburg, dkk. 1984: 156) dalam bukunya yang berjudul Narrative Discourse (1972). Objek-objek yang dapat difokalisasi, di antaranya: orang, lembaga, dan lingkungan sekitar. Fokalisasi dapat dilakukan oleh seorang tokoh dalam cerita, atau oleh juru cerita itu sendiri. Artinya, menceritakan sesuatu pasti dilakukan melalui perspektif tertentu sesuai dengan sudut pandang fokalisator.

Membedakan antara pencerita dengan fokalisator penting dalam rangka:
a) memisahkan hegemoni subjek kreator terhadap subjek fiksional,
b) menampilkan hakikat intersubjektivitas.

Fokalisasi dapat meningkatkan pemahaman mengenai aspek-aspek kemasyarakatan sebuah karya sastra yang dianalisis. Sudut pandang, gaya bahasa, dan plot dianggap sebagai unsur-unsur utama keberhasilan karya sastra.

3. Pembaca: Jenis dan Peranan
Menurut Luxemburg, dkk. (1984: 76) pembaca dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
a) pembaca di dalam teks,
b) pembaca di luar teks.
c) Pembaca di dalam teks ada dua macam, yaitu:
d) pembaca implisit (cf. Iser, 1987:30-31) mengacu pada partisipasi aktif pembaca dalam memahami karya, pembaca yang dituju oleh pengarang.
e) Pembaca eksplisit adalah pembaca yang disapa secara langsung, pada umumnya menggunakan kalimat “pembaca yang budiman”.

Pembaca di luar teks juga dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
- Pembaca yang diandaikan adalah pembaca yang berada di luar teks, pembaca yang (seharusnya) disapa oleh pengarang, pembaca yang diumpamakan membaca suatu karya oleh pengarang.
- Pembaca yang sesungguhnya merupakan objek eksperimental.


Referensi:
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme, Prespektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra (5)

BAB V
Teori-teori Postrukturalisme

1. Hubungan antara Postmodernisme dengan Postrukturalisme
Paradigma postrukturalisme adalah cara-cara mutakhir, baik dalam bentuk teori maupun metode dan teknik, yang digunakan dalam mengkaji objek. Sebagai cara yang baru, teori postrukturalisme yang sudah berkembang selama kurang lebih setengah abad, sejak awal abad ke-20.

Postmodernisme, dari kata ‘post’ + modern + ’isme’, yang berarti paham sesudah modern, dan postrukturalisme, dari kata ‘post’ + struktur + ‘isme’, yang berarti paham sesudah struktur, baik secara historis pragmatis maupun intelektual akademis memiliki kaitan yang sangat erat. Postmodernisme berkembang dalam berbagai bidang ilmu, seperti: arsitektur, perencanaan kota, sejarah, ekonomi, politik, psikologi, teknologi media massa, filsafat, bahasa, dan seni, termasuk sastra. Sebagai gejala kultural, postrukturalisme dianggap bagian postmodernisme. Postrukturalisme merupakan tradisi intelektual postmodernisme.

Postmodernisme dan postrukturalisme berkembang dengan sangat pesat, dipicu paling sedikit oleh tiga indikator yang saling melengkapi sebagai berikut:
1) Postmodernisme dan postrukturalisme sebagai kecenderungan mutakhir peradaban manusia berkembang dalam situasi dan kondisi yang serba cepat.
2) Perkembangan pesat kajian wacana, baik dalam bidang sastra, sebagai teks, maupun nonsastra, sebagai diskursus.
3) Perkembangan pesat interdisipliner yang memungkinkan berbagai disiplin dalam kajian tunggal.

2. Teori-teori Postmodernisme
Postmodern pada dasarnya masih merupakan bagian integral Zaman Modern. Zaman Modern ditandai dengan dimanfaatkannya metode eksperimental dan matematis, sekaligus ditinggalkannya secara definitif visi Aristotelian. Beberapa perintis, di antaranya: Leonardo da Vinci (1452-1519), Nicolaus Copernicus (1473-1543), Johannes Kepler (1571-1630), Galileo Galilei (1564-1643) dsb. Bapak filsuf modern adalah Rene Descartes (1561-1623).

Timbulnya postmodernisme merupakan akibat ketidakmampuan modernism dalam menanggulangi kepuasan masyarakat, yaitu berbagai kebutuhan yang berkaitan dengan masalah sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan pada umumnya. Dunia postmodern dengan demikian diciptakan dengan cara memasukkan konsep-konsep ke dalamnya, bukan benda-benda dengan sifat-sifat yang sudah ada padanya. Sebuah teori tidak perlu dibuktikan kebenarannya, tetapi apakah teori tersebut dapat dimanfaatkan, dan bagaimana hasilnya kemudian.

Sains modern pada gilirannya didekonstruksi oleh Thomas S. Kuhn dalam bukunya yang berjudul The Structure of Scientific Revolutions (1962) dengan argumentasi bahwa perubahan dalam ilmu pengetahuan bukan semata-mata dengan cara memperbaiki atau menafsirkan kembali pengetahuan masa lalu (evolusi), tetapi melalui perubahan (paradigma) secara mendadak (revolusi).

3. Teori-teori Postrukturalisme
Dasar teori-teori postrukturalisme adalah strukturalisme, sedangkan strukturalisme itu sendiri lahir melalui formalisme Rusia, yang mulai berkembang awal abad ke-20 (1915-1930), dengan tokoh-tokoh Roman Jakobson, Victor Shklovsky, Boris Eichenbaum, dan Jurij Tynjanov. Hubungan antara strukturalisme dengan postrukturalisme sangat kompleks. Metode yang digunakan dalam postrukturalisme ialah metode dekonstruksi, tujuannya adalah pluralisme, perbedaan merupakan hakikat yang wajar, perbedaan justru untuk memberikan pengakuan pada unsur lain. Menurut kelompok postrukturalis (Selden, 1986: 101), kekuatan sejarah atau lingistik tidak dapat dikuasai. Postrukturalis lebih banyak menampilkan masalah dibandingkan dengan memberikan jawaban sekaligus menghindarkan logosentrisme. Postrukturalisme pada dasarnya identik dengan post-Saussurean.

Teori-teori yang dimasukkan ke dalam kelompok postrukturalisme adalah resepsi, interteks, feminis, postkolonial, dan dekonstruksi. Teori postrukturalisme diakhiri dengan teori naratologi postrukturalisme.

a. Teori Resepsi Sastra
Secara definitif resepsi sastra, berasal dari kata recipere (Latin), reception (Inggris), yang berarti penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam arti luas resepsi didefinisikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya, sehingga dapat memberikan respons terhadapnya. Dalam kaitannya dengan teori resepsi perlu disebutkan dua buah buku yang sangat relevan, yaitu: Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra (A. Teeuw, terbit pertama kali tahun 1984) dan Resepsi Sastra Sebuah Pengantar (Umar Junus, terbit pertama kali tahun 1985).

b. Teori Interteks
Secara luas interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks yng lain. Secara etimologis (textus, bahasa Latin) berarti tenunan, anyaman, penggabungan, susunan, dan jalinan. Produksi makna terjadi dalam interteks, yaitu melalui proses oposisi, permutasi, dan transformasi. Penelitian dilakukan dengan cara menemukan hubungan-hubungan bermakna di antara dua teks atau lebih. Interteks dapat dilakukan antara novel dengan novel, novel dengan puisi, novel dengan mitos.

Cara praktis aktivitas interteks terjadi melalui dua cara, yaitu:
a) membaca dua teks atau lebih secara berdampingan pada saat yang sama,
b) hanya membaca sebuah teks tetapi dilatarbelakangi oleh teks-teks lain yang sudah pernah dibaca sebelumnya.

Dalam kerangka multikultural, aktivitas intertekstualitas berfungsi untuk membangkitkan kesadaran masa lampau, baik sebagai citra primordial maupun nostalgia, yang pada umumnya disebut teks pastiche.

c. Teori Feminis
Secara etimologis feminis berasal dari kata femme (woman), berarti perempuan (tunggal) yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas sosial. Jadi, tujuan feminis adalah keseimbangan, interelasi gender.

Dalam pengertian yang luas, feminis adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik maupun ekonomi serta kehidupan sosial pada umumnya. Dalam arti sempit, yaitu dalam sastra, feminis dikaitkan dengan cara-cara memahami karya sastra baik dalam kaitannya dengan proses produksi maupun resepsi.

Sebagai gerakan modern, feminisme lahir awal abad ke-20, yang dipelopori oleh Virginia Woolf dalam bukunya yang berjudul A Room of One’s Own (1929). Perkembangan pesatnya terjadi pada tahun 1960-an. Tokoh-tokoh terpenting feminis kontemporer, yaitu: Luce Irigarai, Julia Kristeva, Helena Cixous, dan Donna J. Haraway.

Model analisisnya sangat beragam, sangat kontekstual, berkaitan dengan aspek-aspek sosial, politik, dan ekonomi. Menurut Teuww, beberapa indikator yang dianggap telah memicu lahirnya gerakan feminis di dunia barat tersebut, sebagai berikut:
1) Berkembangnya teknik kontrasepsi, yang memungkinkan perempuan melepaskan diri dari kekuasaan laki-laki.
2) Radikalisasi politik, khususnya sebagai akibat perang Vietnam.
3) Lahirnya gerakan pembebasan dari ikatan-ikatan tradisional.
4) Sekularisasi, menurunnya wibawa agama dalam segala bidang kehidupan.
5) Perkembangan pendidikan yang secara khusus dinikmati oleh perempuan.
6) Reaksi terhadap pendekatan sastra yang mengasingkan karya dari struktur sosial, seperti Kritik Baru dan strukturalisme.
7) Ketidakpuasan terhadap teori dan praktik ideology Marxis orthodox, tidak terbatas sebagai Marxis Sovyet atau Cina, tetapi Marxis di dunia Barat secara keseluruhan.

d. Teori Postkolonial
Secara etimologis postkolonial berasal dari kata ‘post’ dan kolonial, sedangkan kata kolonial itu sendiri berasal dari akar kata kolonial, bahasa Romawi, yang berarti tanah pertanian atau permukiman.

Paling sedikit terkandung empat alasan mengapa karya sastra dianggap tepat untuk dianalisis melalui teori-teori postkolonial.
1) Sebagai gejala kultural sastra menampilkan sistem komunikasi antara pengirim dan penerima, sebagai mediator anatara masa lampau dengan masa sekarang.
2) Karya sastra menampilkan berbagai problematika kehidupan, emosionalitis dan intelektualitis, fiksi dan fakta, karya sastra adalah masyarakat itu sendiri.
3) Karya sastra tidak terikat oleh ruang dan waktu, kontemporaritas adalah manifestasinya yang paling signifikan.
4) Berbagai masalah yang dimaksudkan dilukiskan secara simbolis, terselubung, sehingga tujuan-tujuan yang sesungguhnya tidak tampak. Di sinilah ideologi oriental ditanamkan, di sini pulalah analisis dekonstruksi postkolonial dilakukan.

Ciri khas postkolonialisme dibandingkan dengan teori-teori postmodernis yang lain adalah kenyataan bahwa objeknya adalah teks-teks yang berkaitan dengan wilayah bekas jajahan imperium Eropah, khususnya Indonesia.

e. Teori Dekonstruksi
Kristeva (1980:36-37), menjelaskan bahwa dekonstruksi merupakan gabungan antara hakikat destruksif dan konstruktif. Dekonstruksi adalah cara membaca teks, sebagai strategi. Dekonstruksi tidak semata-mata ditujukan terhadap tulisan, tetapi semua pernyataan kultural sebab keseluruhan pernyataan tersebut adalah teks yang dengan sendirinya sudah mengandung nilai-nilai, prasyarat, ideologi, kebenaran dan tujuan-tujuan tertentu.

Sebagai salah satu model pemahaman postrukturalis, Umar Junus (1996:109-109) memandang dekonstruksi sebagai perspektif baru dalam penelitian sastra. Dekonstruksi justru memberikan dorongan untuk menemukan segala sesuatu yang selama ini tidak memperoleh perhatian. Dekonstruksi memungkinkan untuk melakukan penjelajahan intelektual dengan apa saja, tanpa harus terikat dengan suatu aturan yang dianggap telah berlaku universal.

4. Teori Postrukturalisme Naratologi
Naratologi, seperti telah disinggung di depan adalah bidang ilmu mengenai narasi, studi mengenai bentuk dan fungsi naratif. Narasi meliputi narasi lisan dan tulisan, sastra maupun nonsastra. Secara definitif menurut (cf. Luxemburg, dkk., 1984: 119-120; Rimon-Kenan, 1983: 1-5) struktur wacana atau teks naratif adalah semua teks atau wacana yang isinya merupakan rangkaian peristiwa, yang dibedakan menjadi struktur naratif fiksi dan struktur naratif nonfiksi.

Dengan hadirnya strukturalisme dan postrukturalisme (Gerald Prince, 1982: 4), teori dan analisis naratif menyebar hamper ke seluruh dunia, dibicarakan dalam berbagai disiplin, seperti: filsafat, psikologi, psikoanalitik, semiotika, cerita rakyat, antropologi, dan pemahaman Injil, khususnya linguistik dan sastra.

a. Wacana dan Teks
Secara etimologis wacana berasal dari wacana (Sansekerta), berarti kata-kata atau cara berkata, ucapan, perintah, nasihat. Teks seperti telah disinggung di depan, berasal dari kata textum (Latin), yang berarti tenunan, jalinan, susunan.

Wacana merupakan konsep kunci dalam teori postmodernisme dan postrukturalisme. Wacana berfungsi untuk menyampaikan berbagai informasi, membangun ilmu pengetahuan, meraih kekuasaan, alih teknologi. Pada dasarnya wacana dan teks memiliki identitas yang sama. Meskipun demikian, wacana merupakan bagian dalam struktur naratif secara keseluruhan, sedangkan teks dibicarakan dalam struktur sastra.

b. Tokoh-tokoh Postrukturalisme Naratologi
Tokoh-tokoh postrukturalisme naratologi terdiri dari: Gerard Genette, Gerald Prince, Seymour Chatman, Jonathan Culler, Roland Barthes, Mikhail Mikhailovic Bakhtin, Hayden White, Mary Louise Pratt, Jacques-Marie Emile Lacan, Michel Foucault, Jean-Francois Lyotard, Jean Baudrillard.


Referensi:
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme, Prespektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra (4)

BAB IV
Teori-teori Strukturalisme

1. Prinsip-prinsip Antarhubungan
Dalam strukturalisme konsep fungsi memegang peranan penting. Artinya, unsur-unsur sebagai ciri khas teori tersebut dapat berperanan secara maksimal semata-mata dengan adanya fungsi, yaitu dalam rangka menunjukkan antarhubungan unsur-unsur yang terlibat. Antarhubungan merupakan kualitas energetis unsur. Durkheim (Johnson, 1988: 168) mengenai masyarakat, maka dalam karya, totalitas selalu lebih besar dan lebih berarti dari jumlah unsurnya. Menurut Craib (1994: 177), variasi unsur dalam suatu komunitas hubungan bisa sama, tetapi variasi hubungan akan menghasilkan sesuatu yang sama sekali berbeda.

Sebagai kualitas totalitas, antarhubungan merupakan energi, motivator terjadinya gejala yang baru, mekanisme yang baru, yang pada gilirannya menampilkan makna-makna yang baru. Tanpa antarhubungan sesungguhnya unsur tidak berarti, tanpa antarhubungan unsur-unsur hanya berfungsi sebagai agregasi.

Relevansi prinsip-prinsip antarhubungan dalam analisis karya sastra, di satu pihak mengarahkan peneliti agar secara terus menerus memperhatikan setiap unsure sebagai bagian yang tak terpisahkan dari unsur-unsur yang lain. Antarhubungan yang menyebabkan sebuah karya sastra, suatu masyarakat, dan gejala apa saja agar memiliki arti yang sesungguhnya.

2. Teori Formalisme
Teori formalisme sebagai teori modern mengenai sastra, secara historis kelahiran formalisme dipicu paling sedikit oleh tiga faktor, sebagai berikut :

- Formalisme lahir sebagai akibat penolakannya terhadap paradigm positivisme abad ke-19 yang memegang teguh prinsip-prinsip kausalitas, dalam hubungan ini sebagai reaksi terhadap studi biografi.
- Kecenderungan yang terjadi dalam ilmu humaniora, dimana terjadinya pergeseran dari paradigm diakronis ke sinkronis.
- Penolakkan terhadap pendekatan tradisional yang selalu memberikan perhatian terhadap hubungan karya sastra dengan sejarah, sosiologi, dan psikologi.

Peletak dasar formalisme adalah kelompok formalis Rusia, yang terdiri atas para pakar sastra dan linguistik. Ada dua pusat kegiatan, yaitu :

- Lingkaran Linguistik Moskow yang didirikan tahun 1915 oleh Roman Jakobson, Petr Bogatyrev, dan Grigorii Vinokur.
- Mazhab Opojaz (Masyarakat Studi Puitika Bahasa) Leningrad yang didirikan tahun 1916 oleh Boris Eichenbaum, Victor Sklovski, Osip Brik, dan Lev laukubinskii (Nina Kolesnikoff dalam Irena R Makaryk, ed., 1993: 53).

Tujuan pokok formalisme adalah studi ilmiah tentang sastra, dengan cara meneliti unsur-unsur kesastraan, puitika, asosiasi, oposisi. Metode yang digunakan adalah metode formal. Menurut Luxemburg, dkk. (1984: 35) formalisme dianggap sebagai peletak dasar ilmu sastra modern. Ada dua konsep formalis yang paling terkenal yaitu Fabula dan Sjuzet. Fabula adalah bahan kasar, kejadian yang tersusun secara kronologis. Sjuzet adalah mengorganisasikan keseluruhan kejadian ke dalam struktur penceritaan.

3. Teori Strukturalisme Dinamik
Secara etimologis struktur berasal dari kata structura, bahasa Latin, yang berarti bentuk atau bangunan. Menurut Teeuw (1988: 131), khususnya dalam ilmu sastra, strukturalisme berkembang melalui tradisi formalisme. Artinya, hasil-hasil yang dicapai melalui tradisi formalis sebagian besar dilanjutkan dalam strukturalis. Robert Scholes (1977) menjelaskan keberadaan strukturalisme menjadi tiga tahap: pergeseran paradigma berpikir, metode, dan teori.

Secara definitife strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur, yaitu struktur itu sendiri, dengan mekanisme antarhubungannya, di satu pihak antarhubungan unsur yang satu dengan unsur lainnya, di pihak yang lain hubungan antara unsur (unsur) dengan totalitasnya. Tokoh-tokoh penting strukturalisme, di antaranya: Roman Jakobson, Jan Mukarovsky, Felix Vodicka, Rene Wellek, Jonathan Culler, Robert Scholes.

Lahirnya strukturalisme dinamik didasarkan atas kelemahan-kelemahan strukturalisme sebagaimana yang dianggap sebagai perkembangan kemudian formalisme di atas. Strukturalisme dinamik dimaksudkan sebagai penyempurnaan strukturalisme yang semata-mata memberikan intensitas terhadap struktur intrinsik, yang dengan sendirinya melupakan aspek-aspek ekstrinsiknya. Strukturalisme dinamik mula-mula dikemukakan oleh Mukarovsky dan Felix Vodicka (Fokkema, 1977: 31).

4. Teori Semiotika
Menurut Noth ada empat tradisi yang melatarbelakangi kelahiran semiotika, yaitu: semantik, logika, retorika, dan hermeneutika. Culler (1977: 6) menyebutkan strukturalisme dan semiotika sebagai dua teori yang identik, strukturalisme memusatkan perhatian pada karya sedangkan semiotika pada tanda. Selden (1986: 54) menganggap strukturalisme dan semiotika termasuk ke dalam bidang ilmu yang sama, sehingga keduanya dapat dioperasikan secara bersama-sama. Untuk menemukan makna suatu karya, analisis strukturalisme mesti dilanjutkan dengan analisis semiotika.

Secara definitif, menurut Paul Cobley dan Litza Janz (2002: 4) semiotika berasal dari kata seme, bahasa Yunani, yang berarti penafsir tanda. Literatur lain menjelaskan bahwa semiotika berasal dari kata semeion, yang berarti tanda. Dalam pengertian yang lebih luas, sebagai teori, semiotika berarti studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya, apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia.

Apabila konsep-konsep Saussure bersisi ganda, sebagai diadik, maka konsep-konsep Peirce bersisi tiga, sebagai triadik. Diadik Saussurean ditandai oleh ciri-ciri kesatuan internal, sedangkan triadik Peircean ditandai oleh dinamisme internal. Dilihat dari segi kerjanya, maka terdapat:

- Sintaksis semiotika, yaitu studi dengan memberikan intensitas hubungan tanda dengan tanda-tanda yang lain.
- Semantik semiotika, studi dengan memberikan perhatian pada hubungan tanda dengan acuannya.
- Pragmatik semiotika, studi dengan memberikan perhatian pada hubungan antara pengirim dan penerima.

Dilihat dari faktor yang menentukan adanya tanda, maka tanda dibedakan sebagai berikut.
1) Representamen, ground, tanda itu sendiri, sebagai perwujudan gejala umum:
- qualisigns, terbentuk oleh kualitas: warna hijau,
- sinsigns, tokens, terbentuk melalui ralitas fisik: rambu lalu lintas,
- legisigns, types, berupa hukum: suara wasit dalam pelanggaran.

2) Object (designatum, denotatum, referent), yaitu apa yang diacu:
- ikon, hubungan tanda dan objek karena serupa, misalnya foto,
- indeks, hubungan tanda dan objek karena sebab akibat, seperti: asap dan api,
- simbol, hubungan tanda dan objek karena kesepakatan, seperti bendera.

3) Interpretant, tanda-tanda baru yang terjadi dalam batin penerima:
- rheme, tanda sebagai kemungkinan: konsep,
- dicisigns, dicent signs, tanda sebagai fakta: pernyataan deskriptif,
- argument, tanda tampak sebagai nalar: proposisi.

Di antara representamen, object, dan interpretant, yang paling sering diulas adalah object. Menurut Aart van Zoest (1996: 6), di antara ikon, indeks, dan simbol yang terpenting adalah ikon sebab, di satu pihak, segala sesuatu merupakan ikon sebab segala sesuatu dapat dikaitkan dengan sesuatu yang lain.

Menurut Aart van Zoest (1993: 5-7), dikaitkan dengan bidang-bidang yang dikaji, pada umumnya semiotika dapat dibedakan paling sedikit menjadi tiga aliran, sebagai berikut.
1) Aliran semiotika komunikasi, dengan intensitas kualitas tanda dalam kaitannya dengan pengirim dan penerima, tanda yang disertai dengan maksud, yang digunakan secara sadar, sebagai signal, seperti rambu-rambu lalu lintas, dipelopori oleh Buyssens, Prieto, dan Mounin.
2) Aliran semiotika konotatif, atas dasar ciri-ciri denotasi kemudian diperoleh makna konotasinya, arti pada bahasa sebagai system model kedua, tanda-tanda tanpa maksud langsung, sebagai symtom, di samping sastra juga diterapkan dalam berbagai bidang kemasyarakatan, dipelopori oleh Roland Barthes.
3) Aliran semiotika ekspansif, diperluas dengan bidang ppsikologi (Freud) dan sosiologi (Marxis), termasuk filsafat, dipelopori oleh Julia Kristeva.

Ada banyak cara yang ditawarkan dalam rangka menganalisis karya sastra secara semiotis. Cara yang paling umum adalah oleh Wellek dan Warren (1962), yaitu:
1) analisis intrinsik (analisis mikrostruktur)
2) analisis ekstrinsik (analisis makrostruktur)

Cara yang lain, sebagaimana dikemukakan oleh Abrams (1976: 6-29), dilakukan dengan menggabungkan empat aspek, yaitu:
- pengarang (ekspresif)
- semestaan (mimetik)
- pembaca (pragmatik)
- objektif (karya sastra itu sendiri)

a. Bidang-bidang Penerapan
Sebagai ilmu, semiotika berfungsi untuk mengungkapkan secara ilmiah keseluruhan tanda dalam kehidupan manusia, baik tanda verbal maupun nonverbal. Secara praktis, pemahaman terhadap keberadaan tanda-tanda, khususnya yang dialami dalam kehidupan sehari-hari. Secara teoretis, misalnya dengan teori konflik.

Eco (1979: 9-14) menyebutkan beberapa bidang penerapan yang dianggap relevan, di antaranya:
- semiotika hewan, masyarakat nonhuman,
- semiotika penciuman,
- semiotika komunikasi dengan perasa,
- semiotika pencicipan, dalam masakan,
- semiotika paralinguistik, suprasegmental,
- semiotika medis, termasuk psikiatiri,
- semiotika kinesik, gerakan,
- semiotika musik,
- semiotika bahasa formal: Morse, aljabar,
- semiotika bahasa tertulis: alfabet kuno,
- semiotika bahasa alamiah,
- semiotika komunikasi visual,
- semiotika benda-benda,
- semiotika struktur cerita,
- semiotika kode-kode budaya,
- semiotika estetika dan pesan,
- semiotika komunikasi massa,
- semiotika retorika,
- semiotika teks.

Menurut Aart van Zoest (1993: 102-151), secara akademis semiotika dianggap sesuai diterapkan pada beberapa disiplin : arsitektur, perfilman, sandiwara, musik, kebudayaaan, interaksi sosial, psikologi, dan media massa.

b. Semiotika Sastra
Kehidupan manusia dibangun atas dasar bahasa, sedangkan bahasa itu sendiri adalah sistem tanda. Menurut Noth (1990: 42), tanda bukanlah kelas objek, tanda-tanda hanya hadir hanya dalam pikiran penafsir. Secara definitif tanda adalah sembarang apa yang mengatakan tentang sesuatu yang lain daripada dirinya sendiri.

Menurut van Zoest (1993: 86), dalam teks sastra, ikon yang paling menarik. Ada tiga macam ikon yaitu:

- ikon topografis, berdasarkan persamaan tata ruang,
- ikon diagramatis, berdasarkan persamaan struktur,
- ikon metaforis, berdasarkan persamaan dua kenyataan yang didenotasikan sekaligus, langsung atau tidak langsung.

c. Semiotika Sosial
Semiotika sosial, menurut Halliday (1992: 3-8) adalah semiotika itu sendiri, dengan memberikan penjelasan lebih detail dan menyeluruh tentang masyarakat sebagai makrostruktur. Halliday dalam hubungan ini menganggap bahwa istilah sosial sejajar dengan kebudayaan.

Dalam kaitannya dengan sistematika sosial, Halliday mendeskripsikan tiga model hubungan teks, yaitu:

- medan sebagai ciri-ciri semantis teks
- pelaku yaitu orang-orang yang terlibat
- sarana yaitu ciri-ciri yang diperankan oleh bahasa.

Menurut Marxis, bahwa ide, konsep, dan pandangan dunia individu ditentukan oleh keberadaan sosialnya. Menurut Berger dan Lucmann (1973: 13) kenyataan dibangun secara sosial, kenyataan dengan kualitas mandiri yang tak tergantung dari kehendak subjek.

5. Teori Strukturalisme Genetik
Sejajar dengan strukturalisme dinamik, strukturalisme genetik dikembangkan atas dasar penolakan terhadap strukturalisme murni, analisis terhadap unsur-unsur intrinsik. Strukturalisme genetik ditemukan oleh Lucien Goldmann, seorang filsuf dan sosiolog Rumania-Perancis. Teori tersebut dikemukakan dalam bukunya yang berjudul The Hidden God: a Study of Tragic Vision in the Pensees of Pascal and the Tragedies of Racine. Terbit dalam bahasa Perancis, terbit pertama kali tahun 1956.

Secara definitife strukturalisme genetik adalah analisis struktur dengan memberikan perhatian terhadap asal-usul karya. Secara ringkas strukturalisme genetik berarti bahwa sekaligus memberikan perhatian terhadap analisis intrinsik dan ekstrinsik. Strukturalisme genetik berada pada puncak kejayaannya sekitar tahun 1980an hingga tahun 1990an.

Secara definitife strukturalisme genetik harus menjelaskan struktur dan asal-usul struktur itu sendiri, dengan memperhatikan relevansi konsep homologi, kelas sosial, subjek transindividual, dan pandangan dunia. Dalam penelitian langkah-langkah yang dilakukan, diantaranya:

- meneliti unsur-unsur karya sastra,
- hubungan unsur-unsur karya sastra dengan totalitas karya sastra,
- meneliti unsur-unsur masyarakat yang berfungsi sebagai genesisi karya sastra,
- hubungan unsur-unsur masyarakat dengan totalitas masyarakat,
- hubungan karya sastra secara keseluruhan dengan masyarakat secara keseluruhan.

6. Teori Strukturalisme Naratologi
Naratologi, dari kata narration (bahasa Latin, berarti cerita, perkataaan, kisah, hikayat) dan logos (ilmu). Naratologi juga disebut teori wacana (teks) naratif. Baik naratologi maupun wacana (teks) naratif diartikan sebagai seperangkat konsep mengenai cerita dan pen (cerita) an. Naratologi berkembang atas dasar analogi linguistik, seperti model sintaksis, sebagaimana hubungan antara subjek, predikat, dan objek penderita.

Narasi, baik sebagai cerita maupun penceritaan didefinisikan sebagai representasi paling sedikit dua peristiwa faktual atau fiksional dalam urutan waktu. Secara historis, menurut Marie-Laureryan dan van Alphen (Makaryk, ed,. 1990: 110-114) naratologi dapat dibagi menjadi tiga periode:

- Periode prastrukturalis (hingga tahun 1960-an),
- Periode strukturalis (tahun 1960-an hingga tahun 1980-an), dan
- Periode pascastrukturalis (tahun 1980-an hingga sekarang).


Referensi:
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme, Prespektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar