Sunday, July 25, 2010

Kajian Stilistika Puisi “Doa di Medan Laga” Karya Subagio Sastrowardoyo


Kajian Stilistika Puisi “Doa di Medan Laga” Karya Subagio Sastrowardoyo
* Oleh: Sukrisno Santoso

DOA DI MEDAN LAGA

Berilah kekuatan sekeras baja
Untuk menghadapi dunia ini, untuk melayani zaman ini
Berilah kesabaran seluas angkasa
Untuk mengatasi siksaan ini, untuk melupakan derita ini
Berilah kemauan sekuat garuda
Untuk melawan kekejaman ini, untuk menolak penindasan ini
Berilah perasaan selembut sutra
Untuk menjaga peradaban ini, untuk mempertahankan kemanusiaan ini

(Sastrowardoyo, 1982: 24)


Stilistika merupakan ilmu yang menyelidiki pemakaian bahasa dalam karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek keindahannya. Analisis stilistika lazimnya untuk menerangkan hubungan antara bahasa dengan fungsi artistik dan maknanya. Kajian stilistika menyangkut style ‘gaya bahasa’ pengarang. Style ‘gaya bahasa’ adalah cara mengungkapkan gagasan dan perasaan dengan bahasa khas sesuai dengan kreativitas, kepribadian, dan karakter pengarang untuk mencapai efek tertentu, yakni efek estetik atau efek kepuitisan dan efek penciptaan makna. (Al-Ma’ruf: 2009)

Aspek gaya bahasa meliputi, bunyi, kata, dan kalimat. Bunyi meliputi asosiasi, alitrasi, pola persajakan, orkestrasi dan iramanya, kata meliputi aspek morfologi, sematik dan etimologi, dan kalimat meliputi gaya kalimat dan sarana retorika.

Kajian stilistika puisi “Doa di Medan Laga” bertujuan untuk mengetahui style ‘gaya bahasa’ yang digunakan oleh pengarang. Kajian stilistika dibagi dalam empat aspek yakni gaya bunyi, gaya kata (diksi), gaya kalimat, dan citraan.

1. Gaya Bunyi
Puisi “Doa di Medan Laga” secara keseluruhan didominasi oleh adanya bunyi vokal /a/ dan /i/. Sedangkan bunyi konsonan yang dominan yaitu bunyi /k/ dan /t/. Asonansi a terdapat pada baris ganjil yaitu baris 1, 3, 5, dan 7. Misalnya, pada baris pertama yaitu: Berilah kekuatan sekeras baja, pada baris ketiga: Berilah kesabaran seluas angkasa. Asonansi i terdapat pada baris genap yaitu baris 2, 4, 6, dan 8. Misalnya, pada baris kedua yaitu: Untuk menghadapi dunia ini, untuk melayani zaman ini, pada baris keempat: Untuk mengatasi siksaan ini, untuk melupakan derita ini.

Asonansi a pada baris ganjil dan asonansi i pada garis genap mengesankan bahwa puisi ini mempunyai irama yang tetap dan teratur yakni irama vokal aiaiaiai.

Pada baris pertama dijumpai aliterasi k (kekuatan, sekeras). Aliterasi k juga terdapat pada baris 3 dan 5, yakni pada kata: kesabaran, angkasa dan kemauan, sekuat. Aliterasi s terdapat pada baris ketujuh yaitu: perasaan, selembut, dan sutra.

Selain asonansi dan aliterasi, terdapat pengulangan rima yang teratur yang disusun oleh penyair. Pada baris ganjil berakhiran bunyi vokal yang sama yaitu vokal a dan pada baris genap berakhiran bunyi vokal yang sama yaitu vokal i sehingga rima puisi tersebut mempunyai rima yang teratur yaitu abab. Penggunaan gaya bunyi dengan variasi dan rima pada puisi tersebut menimbulkan sebuah irama yang menciptakan efoni yang indah dan mengesankan.

Selain itu, secara keseluruhan puisi terdapat kakofoni (cacophony) yaitu bunyi yang tidak merdu dengan ditandai adanya dominasi bunyi k, p, t, s, seperti pada kata: kekuatan, sekeras, kesabaran, untuk, mengatasi, siksaan, kekejaman, dan penindasan. Adanya kakofoni tersebut memberikan imajinasi suasana kacau, tidak teratur, dan tidak menyenangkan. Dengan kesan imajinasi seperti itu penyair hendak menyampaikan gagasannya.

2. Gaya Kata (Diksi)
Kata-kata dalam puisi “Doa di Medan Laga” secara denotatif mudah dipahami karena kata-kata yang digunakan adalah kata-kata biasa yang sering digunakan atau didengar orang. Apabila dibaca bersambung, bait-baitnya menyatu membentuk sebuah narasi. 
Dalam kesendiriannya, masing-masing kata mudah dipahami makna denotatifnya, namun secara keseluruhan narasi puisi tersebut susah untuk dipahami. Hal ini karena penggunaan kata dalam puisi tersebut tidak semata-mata mengandung makna denotatif. 
Penyair menggunakan kata-kata tersebut untuk mengungkapkan sesuatu. Sesuatu itulah yang dinamakan makna konotatif. Jadi, penggunaan kata konotatif dilakukan untuk menyatakan sesuatu secara tidak langsung. Penggunaan kata konotatif juga untuk menciptakan efek estetis.

Sesuai dengan judulnya, puisi tersebut banyak menggunakan kata permintaan yaitu berilah. Tiap baris ganjil diawali kata berilah. Sedangkan pada baris genap diawali kata untuk. Kata untuk juga terdapat pada awal klausa kedua pada setiap baris genap. Sehingga dalam puisi tersebut terdapat 4 kata berilah dan 8 kata untuk. 
Selain adanya repetisi kata berilah dan untuk, terdapat repetisi yang lain yaitu kata ini. Terdapat delapan kata ini pada puisi tersebut. Kata ini terdapat pada akhir masing-masing klausa di setiap baris genap. Dengan demikian kata untuk dan ini mengapit setiap klausa pada baris genap. Hal ini menciptakan irama yang teratur dan mengesankan ketika diucapkan.
..............
Untuk menghadapi dunia ini, untuk melayani zaman ini
..............
Untuk mengatasi siksaan ini, untuk melupakan derita ini
..............
Untuk melawan kekejaman ini, untuk menolak penindasan ini
..............
Untuk menjaga peradaban ini, untuk mempertahankan kemanusiaan ini


Selain repetisi juga terdapat beberapa sinonim yaitu sebagai berikut:

  • siksaan, kekejaman, dan penindasan.
  • menghadapi, melayani, dan mengatasi
  • melawan dan menolak
  • menjaga dan mempertahankan

Pemilihan kata pada baris genap tidak terlepas dari kata yang digunakan pada baris ganjil. Misalnya pada baris pertama penyair meminta kekuatan sekeras baja, maka pada baris kedua kata menghadapi dunia dan melayani zaman dirasa sangat cocok konteksnya. Pada baris ketiga dan keempat penyair meminta kesabaran seluas angkasa yang akan digunakan untuk mengatasi siksaan dan melupakan derita. 
Pada baris kelima dan keenam penyair meminta kemauan sekuat garuda untuk melawan kekejaman dan menolak penindasan. Baris ketujuh dan kedelapan penyair meminta perasaan selembut sutra untuk menjaga peradaban dan mempertahankan kemanusiaan. Dari hal itu terlihat pemilihan kata yang tepat sekali yang digunakan oleh penyair.

Pilihan kata (diksi) dalam puisi “Doa di Medan Laga” mempunyai efek sedih, berat, tragis, dan adanya harapan. Hal itu dapat terlihat dari penggunaan kata: menghadapi, melayani, mengatasi, melupakan, melawan, menolak, menjaga, mempertahankan, penindasan, kekejaman, siksaan. Sedangkan adanya harapan terlihat dari apa yang diminta oleh penyair yaitu: kekuatan sekeras baja, kesabaran seluas angkasa, kemauan sekuat garuda, perasaan selembut sutra.

Kesimpulan dari analisis gaya kata adalah puisi “Doa di Medan Laga” selain menggunakan kata denotatif juga menggunakan kata konotatif untuk mengungkapkan gagasan dan untuk mencapai efek estetis. Penyair banyak menggunakan pengulangan kata (repetisi) untuk menciptakan irama teratur yang indah. Selain itu, penyair juga menggunakan pilihan kata yang menciptakan efek sedih, berat, tragis, dan adanya harapan.

3. Gaya Kalimat
Salah satu ciri khusus puisi adalah pemadatan kalimat –meskipun tidak mutlak. Kepadatan kalimat dalam puisi “Doa di Medan Laga” terlihat dari bait-baitnya yang dipandang dari sudut gramatikal merupakan kalimat yang tidak sempurna. Pemadatan kalimat dilakukan dengan menghilangkan kata-kata yang dianggap kurang penting dalam menyampaikan gagasan penyair. Pemadatan kalimat dalam empat bait pertama adalah sebagai berikut.

  • (Ya, Tuhan) Berilah (aku/hamba) kekuatan sekeras baja
  • Untuk menghadapi dunia ini, (dan) untuk melayani zaman ini
  • (Ya, Tuhan) Berilah (aku/hamba) kesabaran seluas angkasa
  • Untuk mengatasi siksaan ini, (dan) untuk melupakan derita ini
  • (Ya, Tuhan) Berilah (aku/hamba) kemauan sekuat garuda
  • Untuk melawan kekejaman ini, (dan) untuk menolak penindasan ini
  • (Ya, Tuhan) Berilah (aku/hamba) perasaan selembut sutra
  • Untuk menjaga peradaban ini, (dan) untuk mempertahankan kemanusiaan ini

Pemadatan kalimat tersebut dilakukan agar kalimat menjadi ringkas dan efektif serta dapat tercipta sebuah irama kata yang indah. Pembaca puisi dianggap sudah mengetahui atau minimal menduga-duga kata-kata yang dihilangkan dalam puisi sehingga kalimat menjadi padat.

Pada baris ganjil, penyair menggunakan klausa bentuk permintaan dengan ditandai kata berilah. Sedangkan baris genap yang terdiri dari dua klausa merupakan klausa-klausa lanjutan dari baris ganjil. Sehingga dua baris (ganjil dan genap) menghasilkan satu kalimat. Baris genap merupakan klausa keterangan tujuan dari klausa baris ganjil. Contohnya adalah sebagai berikut:

  • (Ya, Tuhan) berilah (aku/hamba) kekuatan sekeras baja untuk menghadapi dunia ini, (dan) untuk melayani zaman ini.
  • (Ya, Tuhan) berilah (aku/hamba) kesabaran seluas angkasa untuk mengatasi siksaan ini, (dan) untuk melupakan derita ini.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa puisi “Doa di Medan Laga” terdapat kalimat-kalimat yang mengalami pemadatan. Pemadatan kalimat tersebut tidak mengganggu hubungan antarkalimat atau antarbait. Pemadatan kalimat tersebut dilakukan agar kalimat menjadi ringkas dan efektif serta bertujuan untuk mencapai efek estetis. 
Selain itu, dalam keseluruhan bait terdapat empat kalimat (yang hampir sempurna secara gramarikal) dengan masing-masing kalimat mempunyai tiga klausa. Klausa pertama terdapat pada baris ganjil dan klausa kedua dan ketiga terdapat pada baris genap. Penggunaan kalimat dan klausa yang teratur tersebut semakin menambah irama puisi yang teratur dan indah.

4. Citraan
Citraan dalam karya sastra berperan untuk menimbulkan pembayangan imajinatif bagi pembaca. Pada dasarnya citraan kata terefleksi melalui bahasa kias. Citraan kata meliputi penggunaan bahasa untuk menggambarkan objek-objek, tindakan, perasaan, pikiran, ide, pernyataan, dan setiap pengalaman indera yang istimewa. Citraan dibuat dengan pemilihan kata (diksi). Jenis-jenis citraan antara lain: citraan penglihatan, citraan pendengaran, citraan gerakan, citraan perabaan, citraan penciuman, citraan pencecapan, dan citraan intelektual. (Al-Ma’ruf: 2009)

Dalam puisi “Doa di Medan Laga” penyair memanfaatkan citraan untuk menghidupkan imaji pembaca melalui ungkapan yang tidak langsung. Citraan visual (penglihatan) terlihat pada baris 1, 3, 5, dan 7, yaitu baja, angkasa, garuda, dan sutra. Citraan perabaan terdapat pada baris 1 dan 7, yaitu kata sekeras dan selembut. Keras dan lembut dapat dirasakan dengan indera perabaan.

Kesimpulannya adalah puisi “Doa di Medan Laga” memanfaatkan citraan untuk menghidupkan imaji pembaca dalam merasakan apa yang dirasakan oleh penyair. Citraan membantu pembaca dalam menghayati makna puisi. Puisi “Doa di Medan Laga” memanfaatkan citraan visual (penglihatan) dan citraan perabaan.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Ma’ruf, Ali Imron. 2009. Stilistika: Teori, Metode, dan Aplikasi Pengkajian Estetika Bahasa. Surakarta: Cakra Books Solo

Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Pradopo, Rachmad Djoko. 2008. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Sastrowardoyo, Subagio. 1982. Daerah Perbatasan. Jakarta: Balai Pustaka


-------------------------------------------------------------------

Download Kajian Stilistika Puisi “Doa di Medan Laga” Karya Subagio Sastrowardoyo (pdf)

 

1 comment:

  1. Sepertinya puisi ini masih sangat layak untuk menerjemahkan jaman ini.

    ReplyDelete