Wednesday, April 4, 2012

Skripsi: Kesantunan Berbahasa (Bab III - bag. 2)


3.2 Makna Dasar Pragmatik Imperatif Dalam Interaksi Antarsantri Putri Pondok Pesantren Sunan Drajat Dilihat Dari Tingkat Ilmu dan Status Kelembagaan

Pembahasan sebelumnya telah dirinci mengenai jenis-jenis tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif menjadi delapan makna, yaitu imperatif desakan, bujukan, himbauan, persilaan, larangan, perintah, permintaan dan ”ngelulu”. Untuk mengetahui makna dasar atau pokok dari delapan makna tersebut perlu dibahas faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya suatu tuturan yang akhirnya juga mempengaruhi jenis makna pragmatik imperatif.

Hal-hal yang dimungkinkan mempengaruhi jenis makna pragmatik imperatif, antara lain secara umum adalah faktor kedudukan atau status sosial penutur (01) dan mitra tutur (02) dalam suatu peristiwa tutur. Perbedaan status sosial tersebut berlaku pada perbedaan tingkat ilmu (santri dan ustadzah) dan status kelembagaan (santri dan pengurus). Pada perbedaan tingkat ilmu bisa dilihat bagaimana interaksi santri terhadap santri, santri terhadap ustadzah atau sebaliknya, dan ustadzah terhadap ustadzah. Sedangkan pada status kelembagaan terlihat pada interaksi santri terhadap santri, santri terhadap pengurus atau sebaliknya, dan pengurus terhadap pengurus. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat sebagai berikut:
 
Tingkat ilmu
  • Santri - santri 
  • Santri - Ustadzah
  • Ustadzah - Ustadzah
Status kelembagaan
  • Santri - Santri 
  • Santri - Pengurus
  • Pengurus - Pengurus
Selain itu, tuturan perintah atau imperatif yang telah diucapkan oleh penutur akan mengakibatkan beban bagi mitra tutur untuk melakukan suatu tindakan. Seberapa jauh 02 dapat menghindar dari beban itu atau seberapa jauh 02 boleh memilih melakukan atau tidak dari tindakan itu, juga siapa yang mendapat manfaat/faedah dari terjadinya tuturan imperatif itu. Berdasarkan hal-hal ini maka kemungkinan bisa diketahui apa jenis makna dasar pragmatik imperatif dari ketujuh makna imperatif yang telah dikemukakan sebelumnya.

Kedudukan 01 terhadap 02 ditentukan oleh faktor-faktor sosial yang dimiliki oleh 01 maupun 02, yaitu tingkat ilmu dan status kelembagaan (apakah 01 berada di atas 02 atau di bawah 02). Bentuk kedudukan 01 dan 02 dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:

a. 01 dan 02 mempunyai kedudukan yang sama
Dilihat dari tingkat ilmu: 
  • Santri dengan santri 
  • Ustadzah dengan ustadzah
Dilihat dari status kelembagaan:
  • Santri dengan santri 
  • Pengurus dengan pengurus
b. Kedudukan 01 lebih rendah daripada 02
Dilihat dari tingkat ilmu :
  • Santri dengan ustadzah
Dilihat dari status kelembagaan :
  • Santri dengan pengurus
c. Kedudukan 01 lebih tinggi daripada 02
Dilihat dari tingkat ilmu : 
  • Ustadzah dengan santri
Dilihat dari status kelembagaan :
  • Pengurus dengan santri

Ketiga hubungan ini dibedakan pada faktor-faktor sosial 01 dan 02, yaitu berdasarkan tingkat ilmu dan status kelembagaan. Seorang ustadzah akan merasa mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada santrinya (muridnya). Demikian juga berlaku pada seorang pengurus kepada santrinya selaku sebagai orang yang dipimpinnya.

Kedudukan 01 terhadap 02 ini menurut penulis juga menentukan jenis makna dari tuturan pragmatik imperatif. Satu tuturan imperatif yang diucapkan oleh 01 dengan kedudukan 01 dan 02 sama (à) akan berbeda jenis makna pragmatik imperatifnya bila diucapkan oleh 01 yang kedudukannya lebih rendah (ä) atau yang lebih tinggi (æ) daripada 02. Perhatikan contoh berikut.

Sambil berkipas-kipas sebagai tanda kepanasan, seorang ustadzah sedang berbincang-bincang dengan ustadzah dan santri lainnya dalam suatu ruangan ketika sedang mengaji bersama-sama. Dan seorang ustadzah tersebut menggunakan kalimat yang mengandung makna imperatif untuk membukakan jendela ruangan dengan menggunakan tuturan berikut:

(92) Ruangan iki puanas
’Ruangan ini panas sekali’

Jika dilihat lebih teliti, satu tuturan pragmatik imperatif ini mengandung jenis makna lebih dari satu bila tanpa melihat ketiga jenis hubungan kedudukan 01 dan 02 di atas. Hal ini dapat dibuktikan dengan mengubah tuturan tersebut menjadi parafrase seperti di bawah ini.
1. Saya menyuruhmu untuk membuka jendela karena ruangannya panas sekali.
2. Saya memintamu untuk membuka jendela karena ruangannya panas sekali.

Kalimat (1) yang mengandung makna suruhan dimungkinkan dituturkan oleh 01 yang mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada 02 (æ), yaitu ustadzah terhadap santrinya. Kalimat (2) yang mempunyai makna permintaan dimungkinkan dituturkan oleh 01 yang mempunyai kedudukan sama dengan 02 (à), yaitu teman sesama ustadzah dalam ruangan itu. Jika tuturan tersebut diucapkan dalam konteks antara guru dan murid pada suatu sekolah (bukan di lingkup pesantren), makna yang dimungkinkan timbul bisa juga bermakna permohonan dengan dibuat parafrase Saya memohon pada anda untuk membuka jendela karena ruangannya panas sekali. Kalimat yang bermakna permohonan tersebut dimungkinkan dituturkan oleh 01 yang mempunyai kedudukan lebih rendah daripada 02 (ä). Namun tidak demikian untuk lingkungan pesantren. Seorang santri dinilai tidak santun jika memerintah ustadzahnya, meskipun makna yang terkandung dalam tuturan tersebut bermakna permohonan sekalipun. Hampir bisa dipastikan hal itu tidak pernah terjadi di pesantren, meskipun jika tuturan tersebut merupakan tuturan tak langsung (wawancara dengan santri, Mei 2006).

Adanya jenis-jenis makna imperatif pragmatik seperti telah dikemukakan sebelunya berhubungan erat dengan sopan santun. Dalam imperatif (perintah) selalu ada orang yang mendapatkan beban dan ada orang yang mendapatkan manfaat dari tuturan perintah itu. Semakin mitra tutur tidak terbebani untuk melakukan tindakan dari perintah penutur maka semakin sopan tuturan perintah itu. Sebagaimana dikemukakan pada bab sebelumnya, Leech membagi tiga skala yang menunjukkan derajat sopan santun. Skala tersebut ialah skala untung-rugi, skala pilihan, dan skala kelangsungan. Ketiga skala pragmatik ini akan menentukan jenis makna pragmatik imperatif.

Isi tuturan imperatif (ilokusi) mengacu pada tindakan yang akan dilaksanakan oleh pembicara atau oleh mitra wicara. Setelah suatu perintah diucapkan oleh seorang penutur selalu ada pihak yang diuntungkan (manfaat) dan dirugikan (beban) dari tindakan yang diakibatkan oleh tuturan itu, apakah pihak itu adalah pihak 01, pihak 02 atau orang ketiga. Skala untung-rugi ini sebenarnya terdiri dari dua skala yang berbeda, yaitu untung rugi bagi 01 dan untung rugi bagi 02. Secara umum keadaan yang menguntungkan bagi 01 biasanya merugikan bagi 02, dan yang merugikan bagi 01 biasanya menguntungkan bagi 02.

Berdasarkan anggapan penutur, isi tuturan imperatif dapat diperingkatkan pada sebuah skala untung rugi. Perhatikan contoh kalimat berikut ini:

Merugikan mitra tutur
- Kurang santun
(93) Gawaen kitab iki!
’Bawalah kitab ini!’
’Bawakan kitab ini!’

(94) Gawa’na kitab iki!
’Bawakan kitab ini!’
’Bawakan kitab ini!’

(95) Digawa ae kitab iki!
’Dibawa saja kitab ini!’
’Bawa saja kitab ini!’
 
Menguntungkan mitra tutur - Lebih santun (96) Nyantaia ae bar ujian!
’Menyantailah saja setelah ujian!’
’Santai saja abis ujian!’

(97) Njupu’a jajanku maneh!
’Mengambillah jajanku lagi!
’Ambillah jajanku lagi!’

Isi tuturan imperatif pada contoh 93-97 di atas semakin ke bawah semakin menguntungkan mitra tutur, dan sebaliknya semakin ke atas semakin merugikan mitra tutur. Demikian pula, semakin menguntungkan mitra tutur maka semakin santun tuturan itu, dan sebaliknya semakin merugikan mitra tutur maka tuturan itu akan semakin tidak santun.

Suatu perintah dari seorang penutur yang menuntut tingkah laku 02 untuk melakukan suatu tindakan, seberapa jauh 02 boleh memilih (manasuka) untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan itu. Secara umum semakin tinggi unsur manasuka (pilihan) bagi 02 maka semakin santun tuturan imperatif itu, sebaliknya semakin rendah manasuka 02 maka semakin tidak santun tuturan imperatif itu.

Skala selanjutnya yaitu skala kelangsungan. Semakin tidak langsung tuturan perintah itu maka faktor manasuka (pilihan) 02 untuk memilih tidak melakukan tindakan semakin tinggi, dengan demikian akan semakin santun pula makna imperatif yang dikandungnya. Perhatikan contoh-contoh berikut ini.

Tuturan langsung
Kurang santun
(98) Tutupen lawange!
’Tutuplah pintunya!’
’Tutupkan pintunya!’

(99) Tutupna lawange!
’Tutupkan pintunya!’
’Tutupkan pintunya!’
 
(100) Angine banter
’Anginnya kencang’
’Anginnya bertiup kencang’  
 
Tuturan Tidak langsung - Lebih santun
(101) Angine nggarai krekes-krekes
’Anginnya menyebabkan meriang
’Tiupan anginnya menyebabkan meriang’

(102) Gak wedi masuk angin ta mbak?
’Tidak takut masuk angin ta mbak?’
’Apa tidak takut masuk angin mbak?’

(103) Sampeyan gak wedi masuk angin ta mbak?
‚Kamu tidak takut masuk angin ta mbak?’
’Apakah tidak takut masuk angin mbak?

Contoh 98-103 di atas semakin ke bawah isi tuturan semakin tidak langsung, sehingga semakin santun pula tuturan itu. Sebaliknya semakin ke atas kadar kelangsungannya semakin rendah sehingga tuturan itu semakin kurang santun.

Pada prinsipnya suatu perintah atau imperatif yang diucapkan penutur menuntut suatu tingkah laku dari 02 atau bahkan 01 untuk melakukan sesuatu. Kashiwazaki dalam Roni (2005) mengungkapkan makna dasar ungkapan yang menuntut tingkah laku mitra tutur menjadi tiga, yaitu:
Makna perintah
Makna permintaan
Makna nasehat (rekomendasi)

Pada makna perintah, jika hasil tindakan berfaedah (menguntungkan) bagi 01 maka akan menjadi beban (kerugian) bagi 02, dan jika berfaedah bagi 02 kadang-kadang juga menjadi beban bagi 01. Tetapi dalam makna ini 02 dituntut harus melakukan suatu tindakan. Dengan kata lain faktor pilihan (option) 02 sangat kecil bahkan tidak ada. Perhatikan contoh berikut:

(17) Cepet jama’ah! Jama’ah! Engko kari lho.
’Cepat jama’ah! Jama’ah! Nanti ketinggalan lho.’
‘Cepat berangkat sholat jama’ah! Nanti ketinggalan jama’ah lho.’

Konteks tuturan:
Tuturan tersebut dituturkan oleh seorang ketua kamar kepada santri saat terdengar suara adzan.

(46) Disemak kitabe! Ojo ngomong dewe.
‘Dilihat kitabnya! Jangan ngomong sendiri.’
‘Lihat kitab! Kalian jangan ngomong sendiri.’

Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan ustadzah kepada santri ketika sedang mengajar dan mendapati dua santri yang sedang bicara sendiri.

Pada makna permintaan, hasil dan tindakan 02 berfaedah (menguntungkan) bagi 01 (atau mungkin orang ketiga), dan sebaliknya menjadi beban (merugikan) bagi 02. Pilihan manasuka (option) untuk tidak melakukan atau melakukan suatu tindakan bagi 02 adalah “sedikit banyak ada“. Perhatikan contoh berikut:

(51) Tulung jupukna disketku ijo iku!
’Tolong, ambilkan disketku hijau itu!’
’Tolong, ambilkan disketku warna hijau itu!’

Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan santri kepada temannya di ruang kelas.

(52) Ra, tulung jupukna kitabku nang mejo kantor!
’Ra, tolong ambilkan kitabku di meja kantor!’
’Ra, tolong ambilkan kitabku di atas meja kantor!’

Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan ustadzah kepada santrinya di ruang kelas.

Pada makna nasehat, hasil dari tindakan 02 berfaedah bagi 02 sendiri. Bagi 01 kadang-kadang tidak menjadi beban, tetapi kadang-kadang juga menjadi beban. Dalam makna ini pilihan manasuka (option) untuk tidak melakukan sesuatu atau melakukan suatu tindakan bagi 02 adalah “ada“.

(25) Nggawea jam lek ujian.
’Pakailah jam kalau ujian.’
’Kalau ujian pakailah jam tangan.’

Konteks tuturan:
Tuturan tersebut terjadi antarsantri ketika akan berangkat ujian.

(27) Lek ana acara muhadhoroh kados ngeten niki, sampeyan ya melua kabeh!
’Kalau ada acara muhadhoroh seperti ini, kamu ya ikut semua!’
’Kalau ada acara muhadhoroh seperti ini, kalian semua hendaknya ikut!’

Konteks tuturan:
Tuturan ini diucapkan seorang pengurus pondok ketika berpidato dalam acara muhadhoroh.

Yang penting diperhatikan juga adalah bahwa masing-masing makna di atas tidak berdiri sendiri secara sempurna, misalnya pada makna permintaan dapat berubah menjadi makna perintah jika faktor option 02 untuk memilih tidak melakukan tindakan adalah tidak ada. Hal ini juga mengimplikasikan bahwa suatu jenis makna pragmatik imperatif dapat berubah seiring dengan peringkat untung-rugi 01 dan 02 serta peringkat option 02, dan perubahan peringkat pada skala pragmatik ini dipengaruhi oleh hubungan atasan/bawahan antara 01 dan 02 seperti telah dijelaskan di atas.

Berdasarkan tiga makna dasar ungkapan yang menuntut tingkah laku mitra tutur seperti yang telah dijelaskan di atas, peneliti berusaha menentukan makna dasar atau makna pokok dari kedelapan makna imperatif dalam interaksi antarsantri.

Dalam penentuan tiga makna dasar ungkapan yang menuntut tingkah laku mitra tutur, penulis menggunakan skala untung-rugi dan skala option pada tuturan langsung (bentuk formal imperatif) seperti yang telah dilakukan Kashiwazaki dalam Roni (1995). Sedangkan skala kelangsungan tidak digunakan karena rumusannya sudah jelas digunakan untuk menentukan tingkat kesantunan tuturan imperatif, semakin suatu tuturan imperatif itu bersifat tidak langsung makaa semakin santun pula tuturan itu.

Berikut ini, dengan berdasarkan skala untung-rugi dan option yang telah ditabelkan di atas, dan dengan mempertimbangkan hubungan atasan-bawahan antara 01 dan 02, satu per satu dari kedelapan jenis makna pragmatik imperatif tersebut dibahas dan ditentukan makna dasarnya.

1) Tuturan Bermakna Pragmatik Imperatif Desakan

Untuk mengetahui jenis makna dasar tuturan bermakna pragmatik imperatif desakan ini perhatikan contoh kalimat berikut:

(15) Ayo cah dimari’na saiki! Engko selek bel.
‘Ayo nak diselesaikan sekarang! Nanti keburu bel.’
’Selesaikan sekarang kerajinan tangannya! Nanti keburu bel.’

Konteks tuturan:
Tuturan ini diungkapkan seorang santri kepada temannya pada saat mereka mengerjakan kerajinan tangan di kamar pondok. Sementara sebentar lagi bel sholat maghrib akan berbunyi.

(16) Ayo! Ndang diwaca nadhame.
’Ayo! Lekas dibaca nadhamnya.’
‘Ayo! Baca nadhamnya.’

Konteks tuturan:
Tuturan tersebut dituturkan seorang ustadzah kepada santri (murid)nya di kelas.

(17) Cepet jama’ah! Jama’ah! Engko kari lho.
’Cepat jama’ah! Jama’ah! Nanti ketinggalan lho.’
‘Cepat berangkat sholat jama’ah! Nanti ketinggalan jama’ah lho.’

Konteks tuturan:
Tuturan tersebut dituturkan oleh seorang pengurus kepada santri saat terdengar suara adzan.

Pada contoh kalimat (16) dan (17) di atas, mitra tutur (02) harus melakukan tindakan dari tuturan 01 itu. Dengan kata lain, pilihan (option) 02 untuk tidak melakukan tindakan tidak ada. Demikian pula pada contoh kalimat (15), mitra tutur secara tidak langsung terbebani untuk menyelesaikan kerajinan tangan saat itu juga. Dengan kata lain kalimat itu mengandung makna pragmatik ”perintah”. Pada tuturan (16) dan (17), 02 “dirugikan” yaitu agar santri membaca dan pergi shalat jama’ah. Sementara pada tuturan (15), 02 diuntungkan dengan terselesainya apa yang mereka kerjakan. Dengan demikian makna dasar pragmatik yang terkandung di dalamnya adalah makna “perintah”.

2) Tuturan Bermakna Imperatif Bujukan

(20) Coba buka’en lemari iku, lek iso tak wei hadiah tepuk tangan.
’Coba bukalah almari itu, kalau bisa aku beri hadiah tepuk tangan.’
’Coba buka almari itu, kalau bisa nanti aku beri hadiah tepuk tangan.’

Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan santri kepada teman sekamarnya. Dia menyuruh temannya untuk membuka pintu almari yang sulit dibuka.

(21) Coba Irma, maknanana bab terusane!
’Coba Irma, maknani bab selanjutnya!’
’Coba Irma, maknailah bab selanjutnya!’

Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan ustadzah kepada santri yang dianggap pintar ketika dalam kegiatan belajar mengajar di kelas.

(22) Ncul, sapuen tangga kene! Ben enak disawang.
’Ayolah, sapulah tangga disini! Biar enak dilihat.’
’Sapu tangga ini agar terlihat bersih.’

Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan pengurus ketika bertemu santri di tangga yang saat itu kotor.

Pada contoh kalimat (20) di atas, mitra tutur merasa terbebani untuk harus membuka almari itu. Sedangkan pada kalimat (21) dan (22), mitra tuturan (02) harus melakukan tindakan dari tuturan 01, pilihan untuk tidak melakukan tindakan tidak ada dalam kedua kalimat tersebut. Pada tuturan kalimat (20), 02 diuntungkan yaitu dengan diberi hadiah tepuk tangan (dalam artian memuji). Sedangkan pada tuturan kalimat (21) dan (22), 02 dirugikan yaitu harus melakukan tindakan memaknani kitab dan menyapu tangga. Dengan demikian makna dasar pragmatik yang terkandung di dalamnya adalah makna “perintah“.

3) Tuturan Bermakna Imperatif Himbauan

(25) Nggawea jam lek ujian.
’Pakailah jam kalau ujian.’
’Kalau ujian pakailah jam tangan.’

Konteks tuturan:
Tuturan tersebut terjadi antarsantri ketika akan berangkat ujian.

(26) Lek gurune nerangna, mbok diperhatikna
’Kalau gurunya menerangkan hendaknya diperhatikan’
’Kalau guru sedang menerangkan pelajaran hendaknya diperhatikan’

Konteks tuturan:
Tuturan ini diucapkan seorang ustadzah kepada santri yang berbicara dengan temannya ketika sedang mengaji.

(27) Lek ana acara muhadhoroh kados ngeten niki, sampeyan ya melua kabeh!
’Kalau ada acara muhadhoroh seperti ini, kamu ya ikut semua!’
’Kalau ada acara muhadhoroh seperti ini, kalian semua hendaknya ikut!’

Konteks tuturan:
Tuturan ini diucapkan seorang pengurus pondok ketika berpidato dalam acara muhadhoroh.

(28) Lek ana rapat mbokya tekaa.
’Kalau ada rapat diharap datanglah.’
’Kalau ada rapat sebaiknya kamu datang.’

Konteks tuturan:
Tuturan ini diucapkan seorang pengurus pondok kepada sesama pengurus pondok yang tidak ikut rapat pada hari sebelumnya.

Pada contoh kalimat (25), (26), (27), dan (28) di atas, pilihan untuk tidak melakukan tindakan sedikit banyak ada. Pada tuturan kalimat-kalimat diatas, mitra tutur diuntungkan. Dengan demikian makna dasar pragmatik yang terkandung di dalamnya adalah makna “nasehat“.

4) Tuturan Bermakna Pragmatik Imperatif Persilaan

(32) Ayo mlebu kamarku dhisik, engko budhal bareng.
’Ayo masuk kamarku dulu, nanti berangkat bersama.’
’Masuklah kamarku dulu, nanti kita berangkat bersama.’

Konteks tuturan:
Tuturan ini diucapkan santri kepada temannya di depan kamar ketika akan berangkat sekolah.

(33) Ayo lenggah sing rapi!
’Ayo duduk yang rapi!’
‘Ayo semuanya duduk yang rapi!’

Konteks tuturan:
Tuturan ini diucapkan ustadzah kepada santri-santrinya di kelas saat akan dibagikan hasil ujian.

(34) Santri-santri mangke jam enem ro’an sedanten! Annadhofatu minal iman.
’Santri-santri nanti jam enam kerja bakti semua! Kebersihan itu sebagian dari iman.’
’Bagi para santri nanti jam enam diharapkan kerja bakti! Kebersihan itu sebagian dari iman.’

Konteks tuturan:
Tuturan ini diucapkan pengurus melalui mikrofon kepada semua santri saat akan diadakan kerja bakti masal.

(35) Mbak Dwi, monggo!
’Mbak Dwi, silahkan!’
’Silahkan makan bersama kita mbak Dwi!’

Konteks Tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan santri yang sedang makan di dalam kamar bersama teman-temannya, dan melihat ketua pondok lewat di depan kamar.

Pada contoh kalimat (32), (33), (34), dan (35) di atas, pilihan untuk tidak melakukan tindakan ada. Pada tuturan kalimat-kalimat diatas, mitra tutur diuntungkan, kecuali kalimat (35) dimana penutur dirugikan. Dengan demikian makna dasar pragmatik yang terkandung di dalamnya adalah makna “nasehat“.

5) Tuturan Bermakna Pragmatik Imperatif Larangan

Dalam bahasa Jawa dialek Lamongan, imperatif larangan biasanya menggunakan penanda kesantunan ojo yang berarti jangan. Pemakaian tuturan dengan penanda kesantunan itu dapat dilihat pada contoh berikut:

(40) Ojo ndele buku neng kono.
’Jangan menaruh buku di situ.’
’Jangan menaruh buku di tempat itu.’

Konteks tuturan:
Tuturan ini disampaikan santri kepada teman sekamarnya di kamar asrama.

(41)
Lek diterangna, mpun rameh.
‘Kalau diterangkan, jangan ramai.’
‘Kalau gurunya sedang menerangkan, kalian jangan ramai.’

Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan ustadzah kepada murid-muridnya di kelas.

(42) Ojo ijin bolak-balik!
’Jangan ijin bolak-balik!’
’Jangan minta ijin terlalu sering!’

Konteks tuturan:
Tuturan ini disampaikan pengurus kepada santri di kantor pengurus saat ada santri minta ijin.

Tuturan jenis ini juga bisa berbentuk tuturan nonimperatif, yakni deklaratif dan interogatif. Contoh:

(43) Ruanganee koyo pasar.
’Ruangannya seperti pasar’
’Ruangan ini ramai seperti pasar’

Konteks tuturan:
Tuturan ini disampaikan pengurus kepada santri di ruangan saat acara khitobah akan dimulai.

(44) Tempat sampahe gak ana ta?
’Tempat sampahnya tidak ada ta?’
‘Apakah tidak ada tempat sampahnya?’

Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan pengurus kepada santri saat mendapati ada santri yang membuang sanpah sembarangan.

Pada contoh kalimat (40), (41), (42) dan (43) di atas, mitra tutur (02) harus melakukan tindakan dari tuturan 01. Dengan kata lain, pilihan (option) 02 untuk tidak melakukan tindakan tidak ada. Sedangkan pada kalimat (43), pilihannya ada meskipun kecil. Pada tuturan (40), (41), (42) dan (44), 02 “dirugikan” yaitu agar santri tidak menaruh buku di sembarang tempat, tidak ramai, tidak sering ijin, dan tidak membuang sampah sembarangan. Dengan demikian makna dasar pragmatik yang terkandung di dalamnya adalah makna “perintah”.

6) Tuturan Bermakna Pragmatik Imperatif Perintah


(45) Menenga! Ana adzan.
’Diam! Ada adzan.’
‘Diam! Sedang ada suara adzan berkumandang.’

Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan santri kepada temannya yang berbicara saat terdengar suara adzan.

(46) Disemak kitabe! Ojo ngomong dewe.
‘Dilihat kitabnya! Jangan ngomong sendiri.’
‘Lihat kitab! Kalian jangan ngomong sendiri.’

Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan ustadzah kepada santri ketika sedang mengajar dan mendapati dua santri yang sedang bicara sendiri.

(47) Lungguh! Kene’ ta’zir kok terus.
’Duduk! Kena hukuman kok terus.’
’Duduk! Masa kena hukuman kok terus.’

Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan pengurus keamanan kepada santri yang sering melanggar peraturan pondok.

(48) Mrenea! Karo sampeyan gawakna buku syahriyah iku!
‘Kesinilah! Sekalian kamu bawakan buku SPP itu!’
’Kesini! Sekalian sambil bawakan buku SPP itu!’

Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan pengurus kepada temannya yang posisinya agak jauh dari dia.

Pada contoh kalimat (45), (46), dan (47) di atas, mitra tutur (02) harus melakukan tindakan dari tuturan 01. Dengan kata lain, pilihan (option) 02 untuk tidak melakukan tindakan tidak ada. Sedangkan pada kalimat (48), pilihannya ada meskipun kecil. Pada tuturan (46), (47) dan (48), 02 “dirugikan” yaitu agar santri memperhatikan 01, duduk, dan menghampiri 01 dan membawa buku syahriyah. 01 disini juga merasa diuntungkan. Sementara pada tuturan (45), 02 diuntungkan dengan mendengarkan adzan. Dengan demikian makna dasar pragmatik yang terkandung di dalamnya adalah makna “perintah”.

7) Tuturan Bermakna Pragmatik Imperatif permintaan

(51) Tulung jupukna disketku ijo iku!
’Tolong, ambilkan disketku hijau itu!’
’Tolong, ambilkan disketku warna hijau itu!’

Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan santri kepada temannya di ruang kelas.

(52) Ra, tulung jupukna kitabku nang mejo kantor!
’Ra, tolong ambilkan kitabku di meja kantor!’
’Ra, tolong ambilkan kitabku di atas meja kantor!’

Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan ustadzah kepada santrinya di ruang kelas.

(53) Dik, tulung jalukna es teh rong gelas nang kantin!
’Dik, tolong mintakan es teh dua gelas ke kantin!’
’Dik, tolong mintakan es teh dua gelas ke penjaga kantin!’

Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan pengurus kepada santri. Saat itu ada tamu dari luar kota.

(54) Ncul ta mbak, gantikna aku qiro’ah!
’Ayolah mbak, gantikan aku qiro’ah!’
’Mbak gantikan aku qiro’ah!’

Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan pengurus kepada pengurus untuk menggantikan qiro’ah pada acara muhadhoroh, dikarenakan santri tersebut berhalangan.

Pada contoh kalimat (51), (52), (53) dan (54) di atas, mitra tutur (02) tidak harus melakukan tindakan dari tuturan 01. Dengan kata lain, pilihan (option) 02 untuk tidak melakukan tindakan sedikit banyak ada. Pada keempat tuturan tersebut jelas terlihat bahwa 02 “dirugikan” yaitu agar santri memgambil disket, mengambil kitab, meminta es teh ke kantin, dan menggantikan qiro’ah. Sementara 02 diuntungkan oleh apa yang akan dilakukan 01. Dengan demikian makna dasar pragmatik yang terkandung di dalamnya adalah makna “permintaan”.

8) Tuturan Bermakna Pragmatik Imperatif ”ngelulu”

(57) Ncul terusna!
’Ayo teruskan!’
’Ayo teruskan!

Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan santri kepada temannya ketika didapati sedang mencoret-coret buku santri tersebut.

(58) Mene lek ngaji gak usah nyemak maneh ya!
’Besok kalau mengaji tidak usah melihat lagi ya!’
’Besok kalau sedang mengaji tidak usah memperhatikan guruya ya!’

Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan ustadzah kepada santri karena tidak lancar membaca kitab kuning.

(59) Sesuk lek mbalik nang pondok nelato maneh ya!
’Nanti kalau kembali ke pondok telatlah lagi ya!’
’Lain kali kalau kembali ke pondok datang telat lagi saja ya!’

Konteks tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan pengurus kepada seorang santri yang sering telat datang ke pondok selesai pulang.

Pada prinsipnya tuturan bermakna pragmatik imperatif ngelulu adalah tuturan perintah untuk tidak melakukan sesuatu (melarang), namun dalam pengucapannya penutur menyuruh mitra tutur untuk melakukan sesuatu. Pada contoh kalimat (57), (58), dan (59) di atas, mitra tutur (02) harus melakukan tindakan dari tuturan 01. Dengan kata lain, pilihan (option) 02 untuk tidak melakukan tindakan tidak ada. Pada tuturan di atas, 02 “dirugikan”. Dengan demikian makna dasar pragmatik yang terkandung di dalamnya adalah makna “perintah”.

Jenis-jenis makna dasar pragmatik imperatif beserta penggunaannya dalam interaksi antarsantri putri Pondok Pesantren Putri Sunan Drajat, selengkapnya bisa dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2. Jenis-jenis makna dasar pragmatik imperatif dalam interaksi antarsantri putri Pondok Pesantren Sunan Drajat.











Fungsi (makna) dasar
Skala untung-rugi
penutur (01)
dan mitra tutur (02)
Skala pilihan (option) bagi mitra tutur
Jenis makna pragmatik
Dilihat berdasarkan
Terefleksi pada tuturan
Perintah
Penutur: untung
Mitra tutur: rugi
Atau
Penutur: kadang rugi
Mitra tutur: untung
Kecil bahkan tidak ada
Desakan
Bujukan
Larangan
Perintah
Ngelulu
Tingkat ilmu
Status kelembagaan
Tingkat ilmu
Status kelembagaan
Tingkat ilmu
Status kelembagaan
Tingkat ilmu
Status kelembagaan
Tingkat ilmu
Status kelembagaan
Santri – santri
Ustadzah – santri
Santri – santri
Pengurus – santri
Santri – santri
Ustadzah – santri
Santri – santri
Pengurus – santri
Santri – santri
Ustadzah – santri
Santri – santri
Pengurus – santri
Santri – santri
Ustadzah – santri
Santri – santri
Pengurus – santri
Pengurus – pengurus
Santri – santri
Ustadzah – santri
Santri – santri
Pengurus – santri
Permintaan
Penutur: untung
Mitra tutur: rugi
Sedikit banyak ada
Permintaan
Tingkat ilmu
Status kelembagaan
Santri – santri
Ustadzah – santri
Santri – santri
Pengurus – santri
Pengurus – pengurus
Nasehat/ rekomendasi
Penutur: kadang rugi
Mitra tutur: untung
Ada
Himbauan
Persilaan
Tingkat ilmu
Status kelembagaan
Tingkat ilmu
Status kelembagaan
Santri – santri
Ustadzah – santri
Santri – santri
Pengurus – santri
Pengurus – pengurus
Santri – santri
Ustadzah – santri
Santri – santri
Pengurus – santri
Santri – pengurus


3.3 Strategi Kesantunan Imperatif Antarsantri Putri Pondok Pesantren Sunan Drajat Dilihat Dari Tingkat Ilmu dan Status Kelembagaan

Kesantunan berbahasa sangat dipengaruhi ruang lingkup pesantren yang di dalamnya terdapat beberapa aturan atau norma yang harus ditaati oleh santri, baik tertulis maupun yang bersifat sosial atau yang biasa disebut dengan konteks (konteks sosial dan konteks situasi). Sebagaimana dikemukakan pada bab sebelumnya, pengaruh etika Jawa sangat berpengaruh pada hal ini, mengingat Pondok Pesantren Sunan Drajat merupakan salah satu pondok pesantren yang bertempat di pulau Jawa. 
Masyarakat di tempat ini masih memegang teguh prinsip kerukunan dan prinsip hormat. Hal ini berpengaruh juga pada santri yang ada di ponpes tersebut. Prinsip kerukunan di sini menuntut untuk mencegah segala cara kelakuan yang bisa mengganggu keselarasan dan ketenangan dalam masyarakat. Peneliti banyak menjumpai santri yang saling menerima dan bekerjasama. Bahkan banyak diantara para santri yang lebih lama belajar disana untuk menawarkan kepada santri baru untuk membimbingnya dalam belajar. Seperti tampak pada dialog berikut.

(104)
Santri 1 : Apalan Imritimu teka endi?
’Hafalan imritimu sampai mana?’
’Hafalan nadham imritimu sudah sampai mana?’

Santri 2 : Gek teka bab Mubtada’ Khobar.
’Baru sampai bab Mubtada’ Khobar (Subyek Predikat)
’Baru sampai bab Mubtada’ Khobar (Subjek Predikat)

Santri 1 : Kok suwe gak mari-mari?
’Kok lama tidak selesai-selesai?’
’Kok lama belum selesai?’

Santri 2 : Kepengin cepet mari tapi lek apalan gak ono sing nyemak. Gak ana sing mantau.
‘Ingin cepat selesai tapi kalau hafalam tidak ada yang membimbing. Tidak ada
yang memantau.’
‘Ingin cepat selesai tapi kalau hafalam tidak ada yang membimbing. Tidak ada
yang memantau perkembanganku.’

Santri 1 : Njaluk tak semak ta? Aku lek teka sekolah gak repot.
’Minta aku bimbing? Aku kalau pulang sekolah tidak repot.’
’Apakah kamu minta aku bimbing? Sehabis pulang sekolah aku tidak repot.’

Santri 2 : Iya mbak. Mulai mene yo.
‘Iya mbak. Mulai besok ya.’
‘Iya mbak. Bimbing dan pantau aku ya mbak mulai besok.’

Santri 1 : InsyaAllah…
‘InsyaAllah…’
‘InsyaAllah…’

Saat peneliti bertanya kepada santri “Mengapa antarsantri hampir tidak pernah terlihat bertengkar?” Jawaban santri adalah bahwa dalam hidup itu yang penting rukun, yakni menghormati yang lebih tua, menghargai sesama, dan menyayangi yang lebih muda. Menurut survey yang peneliti lakukan, hampir 75% santri menyatakan bahwa itulah yang disebut sopan santun. Hal ini selaras dengan pendapat R Willner yang mengatakan bahwa prinsip kerukunan tidak menyangkut suatu sikap batin atau keadaan jiwa, melainkan penjagaan keselarasan dalam pergaulan (Suseno, 2001: 40).


Dengan adanya norma yang ada di pesantren diharapkan dapat mencegah emosi-emosi yang bisa menimbulkan konflik atau sekurang-kurangnya dapat mencegah jangan sampai emosi-emosi itu pecah secara terbuka. Satu keutamaan yang sangat dihargai oleh orang Jawa adalah kemampuan untuk memperkatakan hal-hal yang tidak enak secara tidak langsung termasuk memerintah/menyuruh. Hal ini sangat menentukan tingkat kesantunan personal masing-masing.

Kerukunan antarsantri dan ustadzah sangat dipengaruhi oleh prinsip hormat, yakni wedi (takut), isin (malu), dan sungkan. Santri beranggapan bahwa seorang guru harus dihormati setelah kedua orang tuanya (wawancara dengan Ketua PPP Sunan Drajat, April 2006). Seorang guru atau yang biasa disebut ustadz/ustadzah di pesantren memiliki kedudukan yang tinggi untuk dihormati setelah keluarga kiai. Hal ini sejalan dengan anggapan masyarakat Jawa yang menganggap seorang guru layaknya digugu lan ditiru (didengarkan dan ditiru). Sikap wedi, isin, dan sungkan terlihat sangat jelas ketika santri berkomunikasi dengan ustadzah. Seperti tampak pada percakapan berikut ini:

Setting: Ustadzah berpapasan dengan santri di depan asrama Az Zahrah
Topik: menanyakan pelajaran

(105)
Ustadzah : Mene ana ulangan Taqrib lho ya.
‘Besok ada ujian Taqrib lho ya’.
‘Besok ada ujian kitab Taqrib lho ya’.

Santri : Inggih. Sampun nderes bu.
‘Iya. Sudah belajar bu’.
’Iya. Saya sudah belajar bu.’

Ustadzah : Kandanana kanca-kancamu ulangane sampe Bab Haji.
‘Bilanglah ke teman-temanmu ujiannya sampai Bab Haji’.
’Bilang ke teman-temanmu ujiannya sampai Bab Haji.’

Santri : Inggih.
‘Iya’
’Iya’

Mengamati percakapan di atas nampak bahwa ustadzah mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. Sehingga ketika berkomunikasi dengan ustadzah, santri sangat menjaga bentuk percakapan. Santri cenderung merasa wedi, isin, dan sungkan ditunjukkan pada tuturan Inggih. Sampun nderes bu. dan Inggih.


Seperti tampak juga pada percakapan antara pengurus, santri dan peneliti berikut.

(106)
Santri : Mbak Dwi, Mita ijin mboten tumut manakiban.
’Mbak Dwi, Mita ijin tidak ikut manakiban.’
’Mbak Dwi, Mita ijin untuk tidak ikut kegiatan membaca manakib.’

Pengurus : Lapo gak melu?
’Kenapa tidak ikut?’
’Kenapa Mita tidak ikut?’

Santri : Sakit.
’Sakit.’
’Sakit.’

Pengurus : Bocahe loro apa? Lek mek loro pilek ae yo ce’e melu. Masio gak melu
moco ya gak papa.
‘Anaknya sakit apa? Kalau cuma sakit flu saja ya biar ikut. Meskipun tidak ikut membaca ya tidak apa-apa.
’Anaknya sakit apa? Kalau cuman sakit flu ya sebaiknya ikut. Meskipun
tidak ikut membaca juga tidak apa-apa.’

Santri : Sakit sira mbak.
‘Sakit kepala mbak.’
’Mita sakit kepala mbak.’

Pengurus : Ya wis. Ayo nang mushola bareng.
‘Ya sudah. Ayo ke musholah bersama-sama.’
‘Ya sudah. Ayo menuju musholah bersama-sama.’

Santri : Inggih.
‘Iya.’
‘Iya.’

Ketika berjalan menuju musholah, pengurus lupa tidak membawa kitabnya. 
 
Peneliti : Manakibe nang mejo iku gak digawa ta mbak?
‘Manakibnya di meja itu tidak dibawa ta mbak?’
‘Apakah kitab manakib di meja itu tidak dibawa mbak?’

Pengurus : Oh iya, lali aku.
’Oh iya, aku lupa.’
’Oh iya, aku lupa.’

Dari tuturan di atas jelas terlihat bahwa santri lebih sedikit berbicara ketika berbicara dengan pengurus. Ini merupakan ekspresi dari prinsip hormat dimana santri merasa wedi (takut), isin (malu), dan sungkan kepada pengurus. Ketika pengurus lupa tidak membawa kitabnya, santri tidak berani mengingatkan meskipun menurut peneliti, saat itu si santri mengetahui hal itu. Dalam kehidupan santri sehari-hari, jarang sekali ditemui santri berbicara dengan pengurus maupun ustadzah dengan menggunakan kalimat bermakna imperatif pragmatik.


Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa semakin panjang bentuk tuturan maka semakin besar keinginan penutur untuk bersikap santun kepada mitra tuturnya, yang selalu dicerminkan dalam tuturan mereka. Bila diamati secara seksama, penutur sebenarnya tidak hanya semaunya sendiri dalam mengungkapkan bentuk-bentuk tuturan yang memiliki tingkat kesantunan yang berbeda-beda itu. Misalnya tuturan Tulung, panjenengan pendhetaken buku niku! Tidak akan dipilih oleh pengurus ataupun ustadzah untuk menyuruh santrinya. Dalam hal ini, pengurus ataupun ustadzah lebih senang menggunakan Tulung, jupukna buku iku! Yang bentuknya kurang sopan. Justru pemilihan bentuk yang lebih halus dianggap tidak mengenakkan santri tersebut. Parameter pragmatik sebaiknya dipahami dengan baik agar mitra tutur tidak merasa kehilangan muka (face) atau citra diri (self image).

Dalam pandangan kesantunannya, Brown dan Levinson menitik beratkan kesantunan pada muka. Mereka mengungkapkan bahwa penutur mempergunakan strategi linguistik yang berbeda-beda di dalam memperlakukan secara wajar mitra tuturnya. Sebagaimana telah dikemukakan pada landasan teori, Brown dan Levinson dalam Wijana mengidentifikasikan empat strategi dasar diantaranya:

  • Strategi 1 ® Kurang santun 
  • Strategi 2 ® Agak santun  
  • Strategi 3 ® Lebih santun  
  • Strategi 4 ® Paling santun
Keempat strategi ini harus dikaitkan dengan tiga skala atau parameter pragmatik seperti yang telah dikemukakan Brown dan Levinson, yaitu tingkat jarak sosial, tingkat status sosial dan tingkat peringkat tindak tutur.

Tingkat jarak sosial antara penutur dan mitra tutur dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan parameter perbedaan umur yang direfleksikan bahwa semua ustadzah dan pengurus Pondok Pesantren Putri Sunan Drajat, usianya lebih tua dibandingkan santri/muridnya dan satri yang dipimpinnya.

Tingkat status sosial didasarkan atas kedudukan asimetris antara penutur dan lawan tutur di dalam konteks pertuturan. Asimetris yang dimaksud disini yaitu dalam lingkup ustadzah-santri dan pengurus-santri, mengingat penelitian ini hanya dibatasi pada santri putri.
Sedangkan tingkat peringkat tindak tutur yang didasarkan atas kedudukan relatif tindak tutur yang satu dengan tindak tutur yang lain terlihat pada tuturan santri dengan nada tinggi ketika sedang mengaji dinilai tidak santun. Namun jika tuturan dengan nada tinggi tersebut diucapkan santri di kamar mandi untuk antri mandi, maka tuturan itu dianggap wajar.

Berikut ini akan dibahas strategi dasar seperti yang telah dikemukakan Brown dan Levinson:

(1) Strategi 1 kurang santun, digunakan kepada teman akrab. Strategi ini ditandai dengan:
  • Tuturan yang pendek
  • Urutan tutur diawali dengan tuturan imperatif 
  • Intonasi tinggi 
  • Tidak menggunakan ungkapan penanda kesantunan 
  • Tuturan langsung yang diwujudkan dalam bentuk tuturan imperatif.
Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada beberapa contoh di bawah ini.

- Dilihat berdasarkan tingkat ilmu, strategi ini digunakan oleh santri terhadap santri (teman akrab), ustadzah terhadap ustadzah (hubungan yang akrab), dan ustadzah terhadap santri. Untuk lebih jelasnya, silahkan perhatikan tuturan berikut:

Tuturan santri terhadap santri
(45) Menenga! Ana adzan.
’Diam! Ada adzan.’
‘Diam! Sedang ada suara adzan berkumandang.’

Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan santri kepada teman akrabnya yang masih berbicara saat terdengar suara adzan.
Tuturan ustadzah terhadap ustadzah
(88) Bu, sampeyan ngajara ambek aku semester ngarep.
‘Bu, anda mengajarlah bersama saya semester depan.’
‘Bu mengajarlah bersama saya ya semester depan.’

Konteks tuturan:
Tuturan tersebut dituturkan ustadzah kepada temannya sesama ustadzah yang sudah akrab di kantor Diniyah.
Tuturan ustadzah terhadap santri
(26) Lek gurune nerangna, mbok diperhatikna
’Kalau gurunya menerangkan hendaknya diperhatikan’
’Kalau guru sedang menerangkan pelajaran hendaknya diperhatikan’

Konteks tuturan:
Tuturan ini diucapkan seorang ustadzah kepada santri yang berbicara dengan temannya ketika sedang mengaji.

- Dilihat berdasarkan status kelembagaan, strategi ini digunakan oleh santri terhadap santri (teman akrab), pengurus terhadap pengurus (hubungan yang akrab), dan pengurus terhadap santri. Seperti tampak pada tuturan berikut:

Tuturan santri terhadap santri
(75) Adus! Selek jama’ah!
’Mandi! Keburu jama’ah!’
’Cepat mandi! Keburu waktunya sholat jama’ah!’

Konteks tuturan:
Tuturan ini diucapkan santri kepada temannya di kamar/asrama.
Tuturan pengurus terhadap pengurus
(107) Ndang diumumna! Rita disambangi abahe.
’Lekas diumumkan! Rita dijenguk ayahnya.’
’Cepat umumkan! Rita dijenguk ayahnya.’

Konteks tuturan:
Tuturan ini disampaikan pengurus kepada sesama temannya di kantor pengurus ketika ada salah satu santri yang dijenguk keluarganya.
Tuturan pengurus terhadap santri

(47) Lungguh! Kene’ ta’zir kok terus.
’Duduk! Kena hukuman kok terus.’
’Duduk! Masa kena hukuman kok terus.’

Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan pengurus keamanan kepada santri yang sering melanggar peraturan pondok.

(2) Strategi 2 agak santun, digunakan kepada teman yang tidak (belum) begitu akrab. Strategi ini ditandai dengan:
  • Tuturan yang lebih panjang
  • Penggunaan bentuk persona kedua 
  • Intonasi sedang 
  • Penggunaan ungkapan penanda kesantunan 
  • Tuturan langsung yang diwujudkan dalam bentuk tuturan imperatif.
Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada beberapa contoh di bawah ini.

- Dilihat berdasarkan tingkat ilmu, strategi ini digunakan oleh santri terhadap santri (teman yang tidak/belum akrab), ustadzah terhadap ustadzah (hubungan yang tidak/belum akrab). Silahkan perhatikan tuturan berikut:

Tuturan santri terhadap santri (teman yang tidak/belum akrab)

(108) Mbak tulung jupukna pulpen biru iku!
’Mbak tolong ambilkan pulpen biru itu!’
‘Mbak tolong ambilkan pulpen warna biru itu!’

Konteks tuturan:
Tuturan di atas dituturkan oleh seorang santri kepada temannya (keduanya bukan teman akrab) di kamar.

Tuturan ustadzah terhadap ustadzah (hubungan yang tidak/belum akrab) (88a) Bu, sampeyan iso ngajar ambek aku semester ngarep?
‘Bu, Anda bisa mengajar bersama saya semester depan?’
‘Apakah semester depan anda bisa mengajar bersama saya?’

Konteks tuturan:
Tuturan tersebut dituturkan ustadzah kepada temannya sesama ustadzah di kantor Diniyah.

- Dilihat berdasarkan status kelembagaan, strategi ini digunakan oleh santri terhadap santri (teman yang tidak/belum akrab), pengurus terhadap pengurus (hubungan yang tidak/belum akrab). Silahkan perhatikan tuturan berikut
:

Tuturan santri terhadap santri (teman yang tidak/belum akrab)
(89) Aku njaluk sepura ya, sampeyan ojo muring-muring maneh.
‘Aku meminta maaf ya, kamu jangan marah lagi.’
’Aku minta maaf ya, kamu jangan marah lagi ke aku.’

Konteks tuturan:
Tuturan tersebut dituturkan seorang santri kepada temannya karena telah memecahkan gelas kesayangannya.

Tuturan pengurus terhadap pengurus (hubungan yang tidak/belum akrab)
(54) Ncul ta mbak, gantikna aku qiro’ah!
’Ayolah mbak, gantikan aku qiro’ah!’
’Mbak gantikan aku qiro’ah!’

Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan pengurus kepada pengurus untuk menggantikan qiro’ah pada acara muhadhoroh, dikarenakan santri tersebut berhalangan.

(3) Strategi 3 lebih santun, digunakan kepada orang yang belum dikenal. Strategi ini ditandai dengan:
  • Tuturan panjang
  • Penggunaan bentuk persona kedua 
  • Intonasi sedang 
  • Penggunaan ungkapan penanda kesantunan 
  • Tuturan langsung yang diwujudkan dalam bentuk tuturan imperatif.
Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada beberapa contoh di bawah ini.

- Dilihat berdasarkan tingkat ilmu, strategi ini digunakan oleh santri terhadap santri (santri baru), ustadzah terhadap ustadzah (ustadzah baru). Silahkan perhatikan tuturan berikut:

Tuturan santri terhadap santri (belum kenal)
(109) Dik, kelase sampeyan wis masuk.
’Dik, kelasnya kamu sudah masuk.’
’Dik kelas kamu sudah masuk.’

Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan santri kepada santri baru di depan kelas.

Tuturan ustadzah terhadap ustadzah (belum kenal)
(110) Bu, menawi ngajar kelas ula njenengan kengken cah-cah maknani setunggal-setunggal!
‘Bu, kalau mengajar kelas ula (kelas 3) anda suruh anak-anak memaknai satu per satu’
‘Bu, kalau mengajar kelas 3 suruh anak-anak memaknai kitab satu per satu’

Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan ustadzah kepada ustadzah baru yang belum begitu dikenal oleh 01, ketika pertama kali mengajar kelas ula Diniyah.

- Dilihat berdasarkan status kelembagaan, strategi ini digunakan oleh santri terhadap santri (santri baru). Silahkan perhatikan tuturan berikut:

Tuturan santri terhadap santri (belum kenal)
(111) Dik, lek arepe mbuwak sampah nang kono!
’Dik, kalau akan membuang sampah di disana!
‘Dik, kalau membuang sampah, buanglah disana!’

Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan santri kepada santri baru di depan asrama.

Untuk tuturan pengurus terhadap pengurus yang belum saling kenal tidak penulis temukan dalam penelitian ini. Hal ini dikarenakan alasan bahwa seorang santri yang diangkat sebagai pengurus pondok adalah santri yang sudah lama tinggal di pesantren dan dimungkinkan antara pengurus yang satu dengan yang lainnya sudah saling kenal sebelumnya.

(4) Strategi 4 paling santun, digunakan kepada orang yang berstatus sosial lebih tinggi. Strategi ini ditandai dengan:
  • Tuturan yang pendek
  • Intonasi rendah 
  • Penggunaan ungkapan penanda kesantunan
  • Tuturan tidak langsung
Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada beberapa contoh di bawah ini.

- Dilihat berdasarkan tingkat ilmu, strategi ini digunakan oleh santri terhadap ustadzah. Seperti tampak pada tuturan berikut:
Tuturan santri terhadap ustadzah
(112)
Ustadzah : Sakniki kula maknani bab 4. Mangga disemak!
’Sekarang saya memaknai bab 4. Silahkan diperhatikan!’
‘Sekarang saya maknai bab 4. silahkan diperhatikan!’

Santri : (mengangkat tangan) bab 3 dereng bu.
(mengangkat tangan) ‘bab 3 belum bu.’
(mengangkat tangan) ‚bab 3 belum dimaknai bu.’

Ustadzah : Lho, bab 3 dereng tho? Lek ngoten sakniki maknani bab 3.
’Lho, bab 3 belum? Kalau begitu sekarang memaknai bab 3.’
’Bab 3 belum dimaknai ya? Kalau begitu sekarang maknai bab 3.’

Konteks tuturan:
Tuturan di atas diucapkan santri kepada ustadzah saat mengaji di dalam kelas.

- Sedangkan jika dilihat berdasarkan status kelembagaan, strategi ini digunakan oleh santri kepada pengurus. Perhatikan tuturan berikut:
Tuturan santri terhadap pengurus
(35) Mbak Dwi, monggo!
’Mbak Dwi, silahkan!’
’Silahkan makan bersama kita mbak Dwi!’

Konteks Tuturan:
Tuturan tersebut diucapkan santri yang sedang makan di dalam kamar bersama teman-temannya, dan melihat ketua pondok lewat di depan kamar.

Tuturan bermakna imperatif pragmatik yang dituturkan santri kepada ustadzah maupun pengurus pondok, jarang sekali terlihat dalam komunikasi sehari-hari dan hampir bisa dipastikan tidak ada. Jika memang ada itu pun tidak langsung.

Untuk mengetahui lebih jelas mengenai strategi kesantunan antarsantri putri Pondok Pesantren Sunan Drajat, bisa dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3.
Strategi kesantunan dalam interakasi antarsantri putri Pondok Pesantren Putri Sunan Drajat.


No
Jenis strategi
Ciri-ciri
Dilihat berdasarkan
Tuturan
1.
Strategi 1 kurang santun
(digunakan kepada teman akrab)
- Tuturan yang pendek
- Urutan tutur diawali dengan tuturan imperatif
- Intonasi tinggi
- Tidak menggunakan ungkapan penanda kesantunan
- Tuturan langsung yang diwujudkan dalam bentuk tuturan imperatif.
Tingkat ilmu
Santri terhadap santri
Ustadzah terhadap ustadzah
Ustadzah terhadap santri
Status kelembagaan
Santri terhadap santri
Pengurus terhadap pengurus
Pengurus terhadap santri
2.
Strategi 2 agak santun
(digunakan kepada teman yang tidak (belum) begitu akrab)
- Tuturan yang lebih panjang
- Penggunaan bentuk persona kedua
- Intonasi sedang
- Penggunaan ungkapan penanda kesantunan
- Tuturan langsung yang diwujudkan dalam bentuk tuturan imperatif.
Tingkat ilmu
Santri terhadap santri
Ustadzah terhadap ustadzah
Status kelembagaan
Santri terhadap santri
Pengurus terhadap pengurus
3.
Strategi 3 lebih santun
(digunakan kepada orang yang belum dikenal)
- Tuturan panjang
- Penggunaan bentuk persona kedua
- Intonasi sedang
- Penggunaan ungkapan penanda kesantunan
- Tuturan langsung yang diwujudkan dalam bentuk tuturan imperatif.
Tingkat ilmu
Santri terhadap santri (belum saling kenal)
Ustadzah terhadap ustadzah (belum saling kenal)
Status kelembagaan
Santri terhadap santri (belum saling kenal)
4.
Strategi 4 paling santun
(digunakan kepada orang yang berstatus sosial lebih tinggi)
- Tuturan yang pendek
- Intonasi rendah
- Penggunaan ungkapan penanda kesantunan
- Tuturan tidak langsung
Tingkat ilmu
Santri terhadap ustadzah
Santri terhadap pengurus
Status kelembagaan

Dari tabel di atas bisa dilihat bahwa tuturan pendek dinilai lebih santun jika digunakan dalam berinteraksi santri terhadap ustadzah dan pengurusnya, sedangkan tuturan yang lebih panjang dinilai kurang santun, bahkan tidak santun. Perilaku santri yang tidak banyak bicara justru semakin menunjukkan bahwa santri tersebut semakin santun terhadap ustadzah maupun pengurus pondok.



* Luthfiaytin, Ida. 2007. "Kesantunan Imperatif dalam Interaksi Antarsantri Putri Pondok Pesantren Sunan Drajat Banjaranyar Paciran Lamongan Jawa Timur". (Skripsi S-1) Fakultas Sastra, Universitas Airlangga

Sumber: http://kesantunanberbahasa.wordpress.com