Thursday, November 24, 2011

Sinopsis Ranah 3 Warna (Ahmad Fuadi)




Dalam novel pertama, penulis (A.Fuadi) telah berhasil membawa pembacanya menyelami dunia pondok pesantren yang selama ini mungkin hanya dikenal oleh para penghuni dan alumni penghuninya. Tapi seorang alumni Pondok Pesantren Gontor, telah dengan lihat mengajak kita menyelami dunia pondok pesantren yang selama ini samar-samar. Buku kelanjutan Negeri 5 Menara ini memulai kisahnya dengan acara memancing antara Alif dengan sahabat baiknya, Randai, di tepi Danau Maninjau. Potongan adegan ini menggambarkan bagaimana Randai telah melecut semangat juang Alif, yang alumni pesantren, untuk melangkah ke jenjang universitas yang diinginkannya.

Diceritakan bagaimana perjuangan Alif menempuh ujian persamaan, dan dengan apik serta mendatangkan dercak kagum, Ahmad Fuadi telah membuat kita melihat bagaimana perjuangan sungguh-sungguh seorang "anak kampung" alumni pondok pesantren yang lebih banyak belajar soal Agama, mencapai universitas negeri impiannya. Sejak perjuangan Alif mengikuti ujian persamaan, matera "man Jadda Wajada" yang selalu menjadi andalan semangatnya terus didengungkan kepada setiap pembacanya, membuat kata-kata itu seperti terpatri juga dalam hati para pembacanya, dan menjadikannya sebuah nilai tambah, ketika "mantera" tersebut ikut "memanaskan" suasana perjuangan tokoh utama dalam novel ini. 

Alif, yang akhirnya berhasil menembus salah satu universitas negeri di Bandung, semakin ditempa oleh pengalaman manis dan pahit yang silih berganti menyapanya. Kehilangan salah seorang yang dikasihinya menjadi klimaks awal dalam novel ini, terbukti dengan berawal dari kejadian pahit tersebut, Alif berusaha bangkit semampunya, dan menyempurnakan "mantera", bukan lagi sekedar "Man Jadda Wajada" tapi juga "Man Shabara Zhafira", Siapa yang bersabar akan beruntung.

Kata-kata yang didengarnya pertama kali dari Kiai Rais, gurunya di Pondok Pesantren Madani, membuatnya lebih sabar menghadapi hidup dan sekali lagi mengajak pembacanya untuk ikut menyelami lika-liku perjuangan untuk mencapai kesabaran itu sendiri. Perkenalan Alif dengan Bang Togar Parangin-angin, yang merupakan seniornya di majalah kampus adalah sebuah "warna" yang menarik dalam novel ini. Lewat sosok pemuda Batak yang ceplas-ceplos namun berhati baik ini, Alif mulai membuka wawasannya tentang dunia tulis menulis. Ditempa secara "ekstrem" oleh seniornya itu membuat Alif tidak kecil hati. Seperti cerita-cerita sebelumnya, Alif menganggapnya sebagai sebuah kompetisi, dan ia selalu ingin keluar sebagai pemenang! Berkat bantuan ilmu dari Bang Togar Parangin-angin ini juga Alif bisa mulai membiayai sendiri hidupnya di tanah perantauan.

Di pertengahan novel, kita akan mulai dibawa kembali pada mimpi Alif menjejakan kaki di benua Amerika. Ketika teman-temannya menertawakan mimpinya, Alif tidak gentar. Ia terus berjuang hingga akhirnya memperoleh suatu peluang melalui suatu program pertukaran pelajar. Alif yang tidak pandai seni harus memutar otaknya demi memenangkan kompetisi. Baginya, bukan hanya seni yang harus dipamerkan di negeri orang, tapi intelegensi juga seharusnya berperan. Ia berjuang menarik perhatian para juri untuk mempertimbangkannya untuk bisa lolos dari ujian ini. Ketika akhirnya Alif bisa menginjakkan kaki di benua impiannya, pembaca seolah diajak bersamanya menjelajah dunia yang sungguh-sungguh baru. 

Seorang anak kampung yang hanya bermodal mimpi, kini bisa menginjakkan kaki di benua yang tadinya hanya angan-angannya bersama rekan Sahibul Menara. Benua Amerika tidak lagi sejauh matanya memandang awan yang membentuk goresan Negeri Paman Sam itu. Ia menginjakkinya. Menjejakan langkahnya untuk mulai berpetualang, walaupun ia harus terima bahwa keinginannya untuk memperlancar bahasa Inggris terbentur dengan budaya di tempatnya ditempatkan yang tidak berbahasa Inggris. Tapi bukan Alif namanya kalau ia menyerah begitu saja.

Novel ini sungguh menyajikan "angin segar" diantara novel lainnya yang sudah mendahuluinya. Tidak hanya sekedar fiksi belaka, namun tuangan pengalaman hidup, ketepatan penggambaran suasana, serta kekayaan batin penulisnya, membuat isi novel ini seperti hidup. Kita benar-benar seperti diajak menjelajah ke benua Amerika, ikut menyelami budaya penduduk Quebec, daerah kecil tempat Alif ditempatkan selama kurang lebih enam bulan, dengan segudang cerita interaksi Alif dengan penduduk sekitar. Sayangnya, saya merasa kehilangan Bang Togar Parangin-angin, yang di awal novel ini menyumbang "cerita manis". "Keberadaan" Bang Togar tiba-tiba saja lenyap di pertengahan novel hingga pada halaman terakhir. Padahal, tokoh yang satu ini berjasa dalam perjalanan kehidupan Alif di Bandung.

Namun dengan semua kelebihan dan kekurangannya, novel ini sungguh layak dan disarankan untuk dibaca oleh setiap orang yang merasa "kerdil" akan impian, merasa nyaris putus asa, dan wajib juga dibaca oleh setiap orang yang sedang berlari dan tidak berhenti berlari mengejar mimpi-mimpinya.

Sinopsis Negeri 5 Manara (Ahmad Fuadi)


Novel ini bercerita tentang perjalanan seorang anak bernama Alif. Alif adalah anak desa yang ditinggal di Bayur , kampung kecil di dekat Danau Maninjau Padang, Sumatera Barat. Alif dari kecil sudah bercita-cita ingin menjadi B.J Habibie, maka dari itu selepas tamat SMP Alif sudah berencana melanjutkan sekolah Ke SMU negeri diPadang yang akan memuluskan langkahnya untuk kuliah dijurusan yang sesuai. Namun amaknya (ibunya alif) tidak setuju dengan keinginan alif untuk masuk SMU, ibunya ingin alif menjadi Buya Hamka dan melanjutkan sekolah ke pondok pesantren.

Karena alif tidak ingin mengecewakan harapan orang tua khususnya ibu, alif pun menjalankan keinginan ibunya dan masuk pondok. Atas saran dari pamannya dikairo alif kecil pun memutuskan untuk melanjutkan sekolah di pondok yang ada di Jawa Timur : PONDOK MADANI. Walaupun awalnya amak berat dengan keputusan Alif yang memilih pondok di Jawa bukan yang ada di dekat rumah mereka dengan pertimbangan Alif belum pernah menginjak tanah diluar ranah minang , namun akhirnya ibunya merestui keinginan Alif itu.

Awalnya Alif setengah hati menjalani pendidikan dipondok karena dia harus merelakan cita-citanya yang ingin kuliah di ITB dan menjadi seperti Habibie. Namun kaliamat bahasa Arab yang didengar Alif dihari pertama di PM (pondok madani )mampu mengubah pandangan alif tentang melanjutkan pendidikan di Pesantren sama baiknya dengan sekolah umum. " mantera" sakti yang diberikan kiai Rais (pimpinan pondok ) man jadda wajada, siapa yang bersungguh-sungguh pasti berhasil. Dan Alif pun mulai menjalani hari-hari dipondok dengan ikhlas dan bersungguh-sungguh.

Di PM Alif berteman dengan Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung dan si jenius Baso dari Gowa, Sulawesi. Ternyata kehidupan di PM tidak semudah dan sesantai menjalani sekolah biasa. Hari-hari Alif dipenuhi kegiatan hapalan Al-Qur'an, belajar siang-malam, harus belajar berbicara bahasa Arab dan Inggris di 6 Bulan pertama. Karena PM melarang keras murid-muridnya berbahasa Indonesia, PM mewajibkan semua murid berbahasa Arab dan Inggris. Belum lagi peraturan ketat yang diterapkan PM pada murid yang apabila melakukan sedikit saja kesalahan dan tidak taat peraturan yang berakhir pada hukuman yang tidak dapat dibayangkan sebelumnya. Tahun-tahun pertama Alif dan ke 5 temannya begitu berat karena harus menyesuaikan diri dengan peraturan di PM.

Hal yang paling berat dijalani di PM adalah pada saat ujian, semua murid belajar 24 jam nonstop dan hanya beberapa menit tidur. Mereka benar-benar harus mempersiapkan mental dan fisik yang prima demi menjalani ujian lisan dan tulisan yang biasanya berjalan selama 15 hari. Namun disela rutinitas di PM yang super padat dan ketat. Alif dan ke 5 selalu menyempatkan diri untuk berkumpul dibawah menara mesjid , sambil menatap awan dan memikirkan cita-cita mereka kedepan. Ditahun kedua dan seterusnya kehidupan Alif dan rekan-rekannya lebih berwarna dan penuh pengalaman menarik. Di PM semua teman, guru, satpam, bahkan kakak kelas adalah keluarga yang harus saling tolong menolong dan membantu. Semua terasa begitu kompak dan bersahabat, sampai pada suatu hari yang tak terduga, Baso , teman alif yang paling pintar dan paling rajin memutuskan keluar dari PM karena permasalahan ekonomi dan keluarga.

Kepergian Baso, membangkitkan semangat Alif, Atang, Dulmajid, Raja dan Said untuk menamatkan PM dan menjadi orang sukses yang mampu mewujudkan cita-cita mereka menginjakkan kaki di benua Eropa dan Amerika.

Novel ini benar-benar memberikan inspirasi bagi siapa saja yang ingin sukses dan berhasil, bahwa dimana ada usaha disitu ada jalan. Dan ikhlaslah dalam menjalani apapun yang ada dikehidupan kita, niscaya usaha dan keikhlasan hati akan diridhoi Tuhan Yang Maha Esa.